Kamis, 06 Oktober 2011

MENERAWANG KELAHIRAN AGAMA BARU (Belajar dari Kasus Ahmadiyah)


Pilihan yang Sulit
Kemajuan dan perkembangan ekonomi dan teknologi tidak selamanya menimbulkan dampak positif, tetapi sejumlah pengaruh negatif yang menyertainya pun cukup memprihatinkan. Tengok saja berbagai peristiwa dan kejadian yang menimpa kalangan generasi muda, mulai dari tawuran antar siswa dan mahasiswa seolah sudah ditasbihkan menjadi tradisi di banyak daerah, narkoba yang sudah menggurita pikiran dan ruang hati generasi muda, kurangnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru, atau bahkan anak-anak dan siswa/siswi yang mulai berani duel atau adu otot secara terbuka. Belum lagi tindakan-tindakan kekerasan yang sengaja dipertontonkan para generasi muda lewat rekaman video.
Faktisitas tersebut di atas, diperparah dengan permasalahan-permasalahan kekerasan yang berbasis agama, sebut saja misalnya permasalahan Ahmadiyah yang sampai saat ini belum terselesaikan dengan tuntas. Kasus kekerasan terhadap Jamaat Ahmadiah Indonesia (JAI) yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia telah mengundang perhatian sebagian besar ummat, tidak terkecuali tokoh agama, MUI, politisi, bahkan sampai Presiden Susilo Bambang Yudoyono terpaksa harus turun gunung.
Keprihatinan terhadap terjadinya kasus JAI itu, memunculkan keprihatinan sebagian besar warga masyarakat dan pada prinsipnya, mereka menuntut agar kekerasan terhadap Ahmadiyah yang dilakukan oleh sebagian warga untuk secepatnya terselesaikan. Alternatif pilihan-pilihan penyelesaian yang ditawarkan terhadap JAI terkesan menjebak dan tidak masuk akal oleh warga JAI, sebab pihak MUI, pemerintah, dan politisi oleh jamaat Ahmadiyah sangat menyulitkan, karena mereka dianjurkan untuk membikin agama baru dan keluar dari Islam. Sungguh pilihan-pilihan yang menyulitkan dan buah simalakama, ungkap salah satu penganut jamaat Ahmadiyah. Namun yang jelas, itulah beberapa pilihan yang harus dipilih jamaat Ahmadiyah jika menginginkan kasus kekerasan tidak terulang kembali. Atau mungkin perlu diberikan alternatif pilihan yang lebih moderat? Sehingga tidak perlu ada yang dikorbankan untuk kedua kalinya.
Ummat Islam Indonesia seakan selalu terbangunkan dari mimpi indah dan tidur panjang oleh konflik sosial  bernuasa agama. Kasus demi kasus yang bernuansa SARA muncul silih berganti. Kasus lama belum selesai muncul kasus baru dengan kualitas berbeda. Kasus terbaru diawal Februari lalu, warga Ahmadiyah diserang oleh kelompok massa di Cikiusik Pandeglang Banten yang mengakibatkan tiga nyawa meelayang dan puluhan orang warga luka-luka, belum lagi kerugian material. Sungguh kejadian-kejadian dan peristiwa sejenis telah menodai rasa kemanusiaan dan kebebasan dalam menjalani kehidupan beragama di bumi pertiwi ini yang dilindungi oleh konstitusi kita.
                Susul menyusul kasus penyerangan terhadap warga minoritas seperti jamaat Ahmadiyah di sebagian wilayah Indonesia memunculkan rasa pesimisme tertanganinya kasus-kasus tersebut secara tuntas dengan dihukumnya pelaku penyerangan. Hukum di negeri ini seakan sudah kehilangan tajinya. Aparat penegak hukum, sebut saja kepolisian telah kehilangan otoritas selaku penerima mandat negara menjaga ketertiban dan menjamin rasa aman masyarakat. Malahan, sebagaimana terekam di media, para penegak hukum membiarkan sang pelaku melakukan tindakan melawan hukum. Dengan gagah perkasa dan tanpa rasa bersalah menghakimi mereka yang belum tentu bersalah.
                Tokoh agama sebagai pewaris dan pemegang estapet kepemimpinan yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad SAW, seakan diam membisu, bingung sendiri, kalaupun bersuara tidak memberi kesejukan kepada ummatnya, malah cendrung menghakimi. Tentu di aras ini, apa tidak sebaiknya ummat Islam dan tokoh agama mesti meniru keteladan nabi Muhammad SAW dalam memberi rasa aman, nyaman, dan hidup berdampingan di negara Madinah saat itu. Setiap segi kehidupan warga Madinah tidak pernah luput dari pantauannya. Setiap permasalahan yang dihadapi ummat Islam dan warga Madinah dapat diselesaikan nabi Muhammad SAW dengan elegan dan tanpa warisan dendam.
                Suara moral dan tanpa tendensi dari para tokoh agama sangat dinantikan ummat. Ummat Islam Indonesia butuh kesejukan, aman, nyaman, harmonisasi, dan dapat hidup berdampingan dengan penganut agama lain menjadi cita-cita suci yang masih mencari bentuk. Bahkan para pendiri republik Indonesia telah menghajatkan dan menggariskan hidup rukun dalam perbedaan atau dikenal dengan slogan “Bhenika Tunggal Ika”. Tentu cita-cita dan norma-norma sosial yang melandasi kahidupan warga bangsa harus tetap menjadi acuan dan dasar menuju Indonesia yang lebih baik. Label yang diberikan bangsa lain terhadap Indonesia sebagai syurganya teroris telah menyayat hati dan menyakiti masyarakat Islam Indonesia.
Di aras ini, semua kita akan membela mati-matian Islam tetapi yang terpenting adalah warga bangsa perlu melakukan muhasabah agar tidak terus-terusan terjebak ke jurang yang lebih curam. Ya, label sebagai penyumbang teroris sudah begitu melekat dan secara politis sangat merugikan bangsa Indonesia. Permasalahannya,  peran apa yang mesti dimainkan para tokoh agama untuk penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama ini? Para tokoh agama terkesan alpa dan terkejut ketika penyerangan atas nama agama terjadi? mestinya, para tokoh agama kita tetapkan mengedapan dan menghadirkan agama yang santun, damai, dan rahmatan lil alamin,  dalam menyelesaikan semua permasalahan ummat termasuk kasus JAI? 
Memudarnya rasionalitas
Menyelesaikan persoalan Ahmadiyah bukan perkara mudah. Dan bisa jadi persoalannya tidak akan pernah terselesaikan secara tuntas karena kita (negara) tidak mampu memberikan pilihan-pilihan yang tepat dan rasional terhadap jamaat Ahmadiyah. Atau mungkin karena jamaat Ahmadiyah terlalu banyak maunya sehingga sulit menentukan skala prioritas pilihan yang tepat.
Persoalan Ahmadiyah menyangkut keyakinan dan bukan syari’at. Keyakinan sama dengan keimanan, karena itu sangat sulit untuk memformulasikan solusi terbaik. Mengapa? Karena di dunia ini tidak ada polisi keyakinan yang akan menindak dan tidak ada hakim yang akan memutuskan keyakinan itu benar atau salah. Karena juga, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang keyakinan (tidak juga negara). Sehingga solusi yang ditawarkan selalu hitam – putih, benar – salah.
Perlu diingat bahwa agama-agama atau kepercayaan sesungguhnya muncul, ketika sejarah dan tatanan sosial muncul menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Nabi-nabi datang sebagai utusan Tuhan sebagai pigur yang mampu membebaskan kehidupan manusia dari tirani dan penindasan. Nabi Musa as misalnya, hadir dalam konteks kebutuhan Bani Israil untuk membebaskan diri dari Fir’aun. Nabi Isa as lahir dalam situasi sistem kerahiban Yahudi yang berkolaborasi dengan kekuatan politik yang merampas kebebasan masyarakat. Sedangkan nabi Muhammad SAW diutus untuk membebaskan manusia dari kegelapan tata hidup jahiliyah yang amoral dan feodalistik menuju pada cahaya ilmu, kedamaian, keadilan dan kasih sayang. Dengan demikian, patut disayangkan terjadinya kekerasan di bumi pertiwi ini yang dilakukan atas nama pembelaan terhadap agama itu sendiri. Atau dalam bahasa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Tuhan tidak perlu dibela.
Dalam laporan penelitian UNSFIR atau United Nation Support Facility for Indonesia Recovery yang berjudul Pattern of Collective Violence in Indonesia 2003 menyimpulkan bahwa kekerasan antar agama maupun di dalam agama yang sama, dengan aliran atau kelompok yang berbeda merupakan jenis kekerasan yang paling banyak terjadi dan menyebar di hampir seluruh seluruh provinsi di Indonesia. Di aras ini, dimensi protesis agama-agama sangat mendesak untuk diangkat kembali.
Munculnya kelompok-kelompok keagamaan baru boleh jadi akibat mulai memudarnya dimensi profetis agama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, membebaskan manusia dari ketertindasan secara sosial, ekonomi, politis, dan kultural. Kondisi seperti itu menyebabkan masyarakat mencari solusi alternatif  yang lebih instan memasuki kelompok-kelompok yang dapat memberikan ketenangan dan ketentraman ditengah-tengah himpitan hidup semakin sulit, sementara agama-agama yang ada kurang memuaskan.
 Setiap pemeluk agama berkeyakinan bahwa agama yang dianutnya pasti benar. namun sejujurnya mesti diakui bahwa sesungguhnya tidak diketahui secara pasti bagaimana cara beragama yang benar, di tengah tumbuh suburnya firqah-firqah di bumi  Indonesia. Yang tanpak justru beragama sesuai cara dan selera firqahnya sendiri, sehingga truth claim menjadi suatu keharusan.
Di aras ini, menghormati keyakinan atau agama yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh orang lain merupakan keniscayaan yang harus diterima oleh seluruh komunitas beragama. Tanpa kesediaan untuk menghormati keyakinan orang lain yang berbeda, berarti pula pengabsahan terhadap orang lain untuk tidak menghormati keyakinan kita sendiri.
Dan dalam realitasnya, membangun saling pengertian antar komunitas beragama bukanlah perkara mudah. Sebaliknya perbedaan-perbedaan antar agama justru banyak memunculkan saling curiga, gesekan, bahkan konflik, kekerasan serta pertumpahan darah. Salah satu diantara penyebab gesekan dan konflik antar komunitas beragama adalah klaim kebenaran atau truth claim terhadap agamanya sendiri[1]. Klaim tersebut biasanya tidak disertai dengan kesediaan untuk menghargai dan menerima kehadiran komunitas lain yang berbeda.
Kekerasan yang berangkat dari justifikasi klaim kebenaran agama tersebut dapat membuat pelaku kekerasan tidak dibayang-bayangi suatu perasaan bersalah atau berdosa, dan bahkan merasa apa yang dilakukannya bagian dari pembelaan terhadap agamanya. Kekerasan semacam ini yang disebut Galtung sebagai kekerasan kultural[2]. Kekerasan kultural menyangkut aspek-aspek budaya, wilayah simbolis eksistensi manusia yang diwakili agama dan ideologi, bahasa dan seni menjustifikasi kekerasan langsung atau struktural. Justifikasi kultural tersebut membuat kelompok tertentu melakukan kekerasan dan tindakan yang lebih brutal dan berdarah-darah dalam melakukan tindakan kekerasan, seperti penjarahan, pembakaran pasilitas umum, tempat ibadah, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain.
Klaim kebenaran sepihak pada penganut agama tertentu, baik didukung faktor etnisitas atau tidak, tetap memiliki kecendrungan kuat untuk selalu memperangkapkan para penganutnya untuk terlibat konflik dengan penganut agama atau aliran yang berbeda dan melakukan tindakan kekerasan atau aksi teroristik terhadap mereka ketika ada gesekan antar mereka. Simbol agama kemudian dimunculkan untuk meligitimasi tindak kekerasan tersebut. Peristiwa ledakan bom di gereja Kristen Protestan tahun 29 Mei 2000 dan gereja Katolik Medan, serta bom Juli 2001 di gereja Santa Anna Jakarta merupakan contoh dari peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan motif keagamaan.
Kelompok atau etnis tertentu terlibat konflik kekerasan dengan kelompok lain yang kebetulan berbeda etnis dan agama, atau satu agama tapi berbeda aliran. Kasus kekerasan terhadap sekte Ahmadiyah akhir-akhir ini menjadi realitas telanjang tentang tindak kekerasan yang dilakukan terhadap penganut agama yang sama tetapi berbeda aliran, seperti di cikeusik, Pandeglang, Banten. Sedangkan terhadap berbeda agama terjadi di Temanggung Jawa Tengah, gara-gara tidak puas terhadap keputusan hakim yang menghukum Antonius Bawean (tersangka penodaan agama), tempat ibadah seperti Gereja, masjid, ruang sidang pengadilan, dan fasilitas umum lainnya dirusak massa, serta kasus terbaru penyegelan tempat ibadah JAI dan pengusiran terhadap para penganutnya.
Dalam konflik yang terjadi silih berganti, kelihatannya agama merupakan bahan yang paling empuk sebagai faktor pemersatu, dan sekaligus pada saat yang sama, simbol agama menjadi yang paling efektif atau crying banner dalam melakukan tindakan anarkis[3] dan berbagai tindakan anarkis lainnya. Di aras ini, lalu agama menjadi kambing hitam sebagai penyebab utama yang menjadikan dunia porak poranda dan kehidupan yang penuh anarkisme. Sampai-sampai agama oleh Karl Marx dianggap sudah out of date.
Makna yang diambil dari kejadian tersebut, terdapat isyarat pemuatan agama dan upaya pembenturan peradaban, antara Islam dan Kristen, sebagaimana telah lama disinyalir oleh Samuel P. Huntington[4]. Atau antara peradaban Islam dan peradaban Barat di balik semua peristiwa tragis itu. Barat dan Kristen dianggap sebagai ancaman bagi sebagian Muslim Indonesia; begitu pula bagi sebaliknya bagi kalangan Kristen fundamentalis.
Gambaran di atas, mempertunjukkan betapa konflik kekerasan nyaris menjadi bagian yang menyatu dalam hidup keseharian bangsa dan masyarakat pancasilais ini. Kelihatannya ruang publik meminjam istilah Habermas[5], tampaknya tidak ada lagi yang tidak disantroni dan dijamah konflik kekerasan. Ranah yang sejatinya milik bersama kini bergeser menjadi kepemilikan kelompok-kelompok tertentu yang mentasbihkan kekerasan boleh dilakukan di wilayah tersebut.
Kondisi di atas, menjadi entri point yang menuntut kita untuk merekonstruksi keberagamaan[6], sehingga kita dapat meletakkan agama dalam perannya yang hakiki dan melepaskannya dari muatan-muatan kepentingan yang dapat mereduksi peran tersebut. Mencarikan jalan keluar terhadap kasus Ahmadiyah mestinya di tempatkan pada posisi memberikan solusi yang terbaik, khususnya bagi penganutnya. Tentu di aras ini, para tokoh agama (dalam hal ini MUI) perlu lebih arif dalam memberikan solusi sehingga sebagian warga tidak terpicu atau merasa benar untuk melakukan tindakan kekerasan yang di dasari fatwa. Masalahnya, apakah dengan fatwa yang menganggap  jamaat Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, kemudian semua masalah bisa terselesaikan? Tentu tidak, namun yang harus dipikirkan bagaimana mengeksekusi fatwa itu? Di sinilah titik lemah dari fatwa MUI itu. Karena kelemahan itulah, maka terjadi tindak kekerasan terhadap Jamaat Ahmadiyah. Sehingga jangan sampai fatwa-fatwa MUI yang didasarkan atas pertimbangan dalil-dalil naqli dan aqli justru menjadi tidak bermakna ketika pada tataran eksekusi atau dengan kata lain rasionalitasnya menguap seiring dengan datangnya angin dan yang tersisa hanya hitam putih, benar-salah semata atau bahkan abu. Mestinya, fatawa apapun dapat dilihat sebagai proses penyelesaian permasalahan keummatan secara baik, damai, adil, dan jujur, sehingga wajah Islam yang damai dapat tergambar dari setiap tindakan ummatnya.
Reaksi beragam menjadi sesuatu yang normal dan alamiah dari berbagai elemen masyarakat, baik dari ahli hukum, politisi, tokoh agama, dan bahkan sampai Presiden SBY ikut turun gunung menyayangkan tindakan kekerasan warga yang sampai menelan korban jiwa 3 (tiga) orang dari jamaat Ahmadiyah tersebut. Presiden menyarankan agar semua pihak mematuhi SKB 3 (tiga) Menteri sebagai solusi terbaik. Advokat senior Adnan Buyung Nasution bersuara lantang agar pelaku tindak kekerasan dihukum seberat-beratnya. Komnas HAM menilai penyerangan itu adalah pelanggaran HAM berat.
Memang kasus tindak kekerasan terhadap jamaat Ahmadiyah ini sudah berulangkali terjadi, tetapi sampai saat ini belum ada penyelesaian yang tuntas, atau lebih bersifat penyelesaian instan semata dari pemerintah. Entahlah, tetapi yang terpenting bahwa harus segera dicarikan solusi yang tepat agar tindakan kekerasan terhadap jamaat Ahmadiyah tidak terulang lagi. Banyak saran pendapat yang diberikan tokoh agama, anggota DPR, dan elit politik untuk penyelesaian kasus Ahmadiyah ini. Terdapat titik persamaan diantara saran-saran itu adalah agar Ahmadiyah menjadi agama baru saja (walau hati kecil saya mengatakan bagaimana mekanisme melahirkan agama baru?). Dengan demikian dijamin tidak akan ada lagi tindak kekerasan terhadap jamaat Ahmadiyah Indonesia. Dengan menjadi agama baru, tentu kita dapat hidup berdampingan, toleransi, dan saling menghargai eksistensi masing-masing, kata anggota MUI dalam dialog di TV One beberapa waktu lalu. Rasionalkah pilihan tersebut? Wallahu a’lam bissowab.
Mungkinkah Agama Baru Terlahir?
                Agama baru, mungkinkah? Rasanya sulit dan kemungkinannya sangat kecil terlahir dari rahim ibu pertiwi. Melahirkan agama baru tidak semudah yang dibayangkan sebagai solusi penyelesaian kasus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Perlu penerawangan yang seksama dan penuh kehatian-hatian untuk melahirkan agama baru. Kalau salah terawang bukan tidak mungkin akan memunculkan permasalahan baru yang kualitasnya bisa lebih dahsyat. Dan mungkin malah lebih merepotkan dan merumitkan dari permasalahan yang mau diselesaikan.
Mungkin, kita akan sampai pada suatu kesangsian sama bahwa kita tidak pernah punya pengalaman melahirkan agama-agama atau agama baru tidak akan pernah terlahir di bumi Indonesia. Di aras ini, yang paling rasional adalah permintaan Presiden SBY untuk mentaati Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 (tiga) Menteri Agama, Menteri dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tahun 2008 lalu.
                Ada 6 (enam) butir isi SKB 3 (tiga) Menteri yaitu pertama, memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran tentang agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan agama yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut anggota dan anggota pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah nabi Muhammad SAW.
Ketiga. Penganut anggota dan anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana yang dimaksud dalam diktum ke-1 dan ke-2 dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk organisasi dan badan hukumnya.
Keempat. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut anggota dan anggota pengurus JAI.
Kelima. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan dan perintah sebagaimana dalam diktum ke-1 dan ke-4 dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keenam. Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka penanganan dan pengawasan pelaksanaan bersama ini. 
                Jika merujuk ke SKB 3 (tiga) menteri yang memuat 6 (enam) butir tersebut di atas, mestinya aparat kepolisian tidak perlu ragu dalam memberikan tindakan hukum terhadap siapa saja yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Jamaat Ahmadiyah di Cikeusih Pandeglang Banten beberapa waktu yang lalu. Pada saat yang sama, pemerintah harus melakukan pembinaan terhadap JAI agar mengikuti aturan dan keyakinan sebagaimana penganut Islam. Jika tidak, tentu harus diberikan sanksi sebagaimana peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam SKB Menteri di atas.
                Pemerintah tampaknya sangat paham dengan semboyan “kalau tidak bisa dibina, ya dibinasakan saja”. Semboyan ini muncul karena kecendrungan tumbuh suburnya gerakan sempalan yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan. Karena itu, dengan dalih kepentingan nasional, negara tanpa tedeng aling-aling akan memberangus aliran, sekte, atau agama apapun yang dianggap mengganggu stabilitas dan keamanan nasional, termasuk Ahmadiyah. Memang, negara punya hak untuk melakukan sanksi terhadap siapa saja yang mengganggu rasa aman masyarakat, ungkap Aristoteles. Namun, negara dipihak lain tidak dapat melanggar hak asasi warga masyarakatnya.
Semboyan tersebut sangat politis sebab sampai saat ini sangat sulit membedakan antara identitas gerakan sempalan dengan gerakan terlarang dan gerakan oposisi politik, atau bahkan gerakan separatisme. Hampir semua aliran, paham dan gerakan yang pernah dilabeli sempalan, ternyata memang telah dianggap membahayakan negara[7]. Karenanya, dinyatakan terlarang atau diharamkan oleh Majlis Ulama. Beberapa aliran yang pernah menjadi kontroversi misalnya Islam Jama’ah/Darul Hadits, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin versi Warsidi Lampung, Syi’ah, Baha’i, Inkarussunah, Darul Arkam, Jama’ah Imran, dan gerakan Usrah[8]. Begitu juga, fenomena munculnya Ahmad Mushaddeq dengan al-Qiyadah al-Islamiyah, Lia Aminuddin atau Lia Eden dengan kelompok tahta suci kerajaan Eden, dan Anand Krishna dengan lembaga spiritualnya Anand Ashram.
 Istilah gerakan sempalan atau agama marginal begitu populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran yang dianggap dan tidak sesuai dengan mainstream pemikiran keagamaan yang sudah establish, baik secara akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas ummat.
Dengan dimasukkannya jamaat Ahmadiyah ke dalam kelompok sempalan, maka cepat atau lambat akan bernasip sama dengan kelompok atau sekte sejenis yang telah dilabeli sesat, haram, atau menyesatkan oleh Majlis Ulama. Dianjurkannya jamaat Ahmadiyah menjadi agama baru dan secara otomatis menanggalkan identitas keislaman yang selama ini dianutnya. Sungguh berat sekaligus sulit memilih posisi itu, sebab keyakinan itu merupakan warisan keyakinan dari leluhurnya. Lalu, apa yang mesti jamaat Ahmadiyah lakukan? Ya, bertahan walaupun terus berada dalam tekanan dan hidup di penampungan sebagaimana jamaat Ahmadiyah Ketapang Lombok Barat yang sudah berada di penampungannya di wisma Tarsito Selagalas kota Mataram. Atau melunak dengan melakukan dialog serta mengikuti SKB tiga menteri untuk harmanisasi kehidupan beragama di Indonesia.
Atau memilih menjadi agama baru? Kelihatannya pilihan-pilihan yang sama-sama mengandung resiko. Namun yang jelas tawaran MUI agar Ahmadiyah menjadi agama tersendiri di luar Islam sangat tidak realistis dan tidak masuk akal, karena secara historis Ahmadiyah agama inport yang berpusat di Lahore dan Qadian, Pakistan. Dan juga, Ibu Pertiwi belum pernah punya pengalaman melahirkan suatu agama dan bagaimanapun nanti ketika Ahmadiyah beribadat seperti ummat Islam maka akan dinilai melakukan penodaan terhadap agama dan pasti akan melahirkan kasus serupa yang akibatnya bisa jadi lebih parah.
Jika demikian, pilihan yang paling realistis untuk penyelesaian kasus Ahmadiyah adalah membuka pintu dialog dan merangkul kembali para jamaat Ahmadiyah ke pangkuan agama Islam yang sejati, terutama dalam keyakinan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Serta mengusut tuntas pelaku brutal terhadap jamaat Ahmadiyah di Cikeusik. Kepolisian harus bertindak cepat menangkap pelakunya, jika tidak berarti pemerintah telah gagal melaksanakan poin-poin dalam SKB, terutama janji untuk melindungi pengikut JAI dari kekerasan dan penyerangan warga. Kalau saja hal ini dapat dilakukan berdasarkan SKB 3 (tiga) menteri, maka tidak perlu lagi ada ketakutan dan perasaan tertekan, serta teror tindakan kekerasan berikutnya. Agama baru menjadi sesuatu yang tidak realistis dan tidak bisa ditoleransi kemunculannya di bumi pertiwi ini. Masalahnya kemudian, apa yang mendasari MUI memberikan tawaran kepada JAI menjadi agama baru? Untuk menjawabnya, mari kita melakukan muhasabah dan temukan sendiri jawabannya. Semoga saja Tuhan tidak murka.
Agar kekerasan tidak berbalas kekerasan, maka ada baiknya merenungkan etiket rasulullah SAW dalam menanggapi perlakuan orang-orang Yahudi terhadap Islam. Dalam beberapa kejadian, dimana orang-orang Yahudi sangat membenci ummat Islam, sehingga mereka tidak mengucapkan “assalamu’alaikum”, melainkan mengucapkan “assamu ‘alaikum” yang bunyinya hampir sama. Maka rasulullah SAW mengajarkan untuk menjawabnya “wa’alaikah”, untukmu juga. Artinya, disebutkan dalam bentuk tunggal ‘alaikah dan bukan dalam bentuk jamak ‘alaikum. Ini menunjukkan kebesaran hati Rasulullah SAW, sehingga ucapan dalam bentuk kekerasan yang amat mengutuk tersebut hanya dikembalikan kepada individu yang mengucapkannya saja dalam bentuk ‘alaikah dan bukannya untuk semua orang Yahudi dalam bentuk ‘alaikum.
Hadits tersebut menunjukkan kelemahlembutan hati Rasulullah SAW terhadap musuh-musuh beliau sekalipun, beliau tidak menghendaki apabila Aisyah memaki-maki orang-orang yang menyalami dengan ucapan yang lebih jelek, melainkan beliau menghendaki agar Aisyah melatih diri dalam menahan amarahnya. Di aras ini, para penegak hukum harus sigap dalam mengusut tuntas pelaku tindak kekerasan terhadap jamaat Ahmadiyah. Spirit moral yang dicontohkan Rasulullah SAW seharusnya bisa diterjemahkan untuk mempercepat proses hukum terhadap siapa saja yang melanggar hukum.    
                Sehingga pilihan dan mempersilahkan JAI membentuk agama baru menurut hemat penulis merupakan pilihan yang terburu-buru dan irrasional. Pilihan hitam – putih untuk penyelesaian kasus JAI juga kurang tepat sebab masih banyak pilihan yang lebih moderat yang dapat diambil, seperti berdialog dengan banyak pihak (walaupun pilihan ini butuh waktu lama). Kebijakan pemerintah melalui SKB tiga menteri harus dijadikan referensi utama agar terlahir harmonisasi kehidupan beragama di bumi pertiwi ini. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********


[1] Nurcholis Madjid, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Mizan
[2] Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian, Surabaya: Pustaka Eurika;lih. I. Marsana Windhu,1992, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung, Yogyakarta: Kanisius
[3] Johan Galtung, Kekerasan Kultural dalam jurnal Ilmu Sosial Trasformatif, Wacana, Edisi 9, Tahun III 2002.
[4] Samuel P. Huntington, 2001, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan politik Dunia, Yogyakarta: Qalam
[5] Jurgen Habermas, 2008, Ruang Publik, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[6] Abdul A’la, Konflik Agama, Etnisitas, dan Politik Kekuasaan, dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia, 2007, Thoha Hamim (Ed), Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
[7] Muhsin Jamil,2008, Agama-agama Baru di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
[8] Abdul Aziz, dkk, 1994, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus

0 komentar: