Sabtu, 05 Juli 2014

POLITIK TATA KELOLA KONFLIK

Konflik akibat pertarungan politik sepertinya belum akan beranjak pergi dari negeri Indonesia. Apapun proses politik selalu berakhir dengan gesekan, ketegangan, dan konflik antar simpatisan. Kesan politik memproduksi konflik bisa menjadi benar kalau didasarkan pada faktisitas konflik yang terjadi selama proses pergantian kekuasaan, baik pemilihan kepala desa, kepala daerah maupun pemilihan presiden. Masyarakat yang sedikit mau berfikir mempertanyakan apakah akan selamanya proses pergantian politik akan berakhir dengan bentrok atau konflik? Atau kita bisa memproduksi kedamaian dan keharmonisan selama proses dan pasca pergantian elite di Indonesia?

Secara kultural, berbagai konflik sosial dapat dilihat sebagai akibat dari tidak berjalannya dengan baik interaksi dan komunikasi antarbudaya di antara berbagai kelompok budaya yang plural di Indonesia, sehingga menimbulkan berbagai salah pengertian, salah tafsiran, salah penilaian (Yasraf A. Piliang, 2005). Tafsiran yang salah tersebut telah menimbulkan berbagai sikap budaya yang nagatif seperti ketidakpedulian terhadap orang lain, eksklusivisme kelompok, sikap mendahulukan kepentingan diri sendiri, will of power   yang tidak terbendung, sikap tidak mau menerima kekalahan secara sportif, sikap intoleran terhadap kelompok lain. Inilah sikap budaya monologisme  sikap-sikap budaya yang dapat menggiring ke arah konflik sosial bahkan disintegrasi bangsa.

Sikap budaya monologisme jelas merupakan sebuah sikap yang menghambat proses komunikasi antar budaya, oleh karena di dalam-nya orang cendrung mengutamakan kepentingannya sendiri dan tak peduli terhadap kepentingan orang lain; orang mengagungkan identitas diri sendiri dan tidak peduli terhadap identitas orang atau kelompok lain; orang hanyut dengan perasaan diri sendiri dan tidak peduli terhadap perasaan orang lain. Seiring dengan hal tersebut sikap yang cendrung berkembang adalah sikap egoisme kelompok, individualisme, dan intoleran.

Pada aras ini, interaksi dan komunikasi antarbudaya lebih merupakan sebuah alat defensif (Yasrap A. Piliang, 2005), bukan sebagai alat untuk mencari konsensus bersama tentang masalah bersama yang dihadapi. Padahal interaksi dan komunikasi antarbudaya adalah sebuah proses timbal balik atau reciprocity yang di dalamnya penting untuk dikembangkan sikap saling menghargai, sikap saling mendengarkan, saling toleransi (sebagaimana di atur dalam SKB tiga menteri), dan sikap saling menghormati identitas.

Di dalam sebuah masyarakat yang heterogen dan plural, seperti Indonesia, keberhasilan relasi antarbudaya sangat ditentukan oleh keterlibatan kelompok-kelompok budaya dalam interaksi dan komunikasi menghargai heterogenitas atau pluralitas. Relasi komunikasi antarbudaya yang baik akan menciptakan iklim yang dialogis. Ronald Englehard 2006 dalam buku Kebangkitan Peran Budaya mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menghambat sikap budaya yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi yakni sikap rasismeetnocentrisme, warisan sikap feodalisme dan nepotisme, sikap hedonisme, eksklusivisme dan separatisme.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen, salah satu bentuk penghargaan terhadap heterogenitas dan pluralitas tersebut adalah penghargaan terhadap ekspresi budaya (kepercayaan, ideologi, ritual, agama, etnis, bahasa, dan seni) yang plural.  Penting juga diberikan penjelasan untuk menghindari berbagai bentuk diskriminasi, marginalisasi, eksklusi, eksploitasi, pelecehan, perlakuan tidak adil di dalam pola interaksi antarbudaya yang sering terjadi akhir-akhir ini, yang dapat menggiring ke arah konflik sosial dan dapat bermuara ke disintegrasi bangsa.

Pertarungan dan pergulatan politik Indonesia untuk perebutan kekuasaan tidak hanya terjadi seperti sekarang (persaingan Prabowo - Hatta dengan Joko Widodo - Jusuf Kala) namun, selalu mengiringi proses pergantian kekuasaan sekitar tahun-tahun 1950-an (menjelang dan pasca pemilu 1955). Pergulatan politik Indonesia kala itu di antara Masyumi, PNI, dan PKI di jelaskan banyak ahli dalam kerangka Clifford Geertz, yang populer sebagai "politik aliran", persisnya pertarungan antara santri pada satu pihak dan abangan pada pihak lain. Sederhananya, aliran santri yang diwakili partai-partai Islam, bergumul melawan aliran abangan yang diwakili PNI dan PKI.

Tumbangnya pemerintahan Orde Lama setelah gagalnya pemberontakan PKI Tahun 1965 tidak menghapus dikhotomi santri - Abangan. Politik Indonesia masih relevan dijelaskan para pengamat dalam kerangka Geertzian. Menurut Samson (sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam kata pengantar buku Anatomi Konflik Politik di Indonesia karya Dr. Imam Tolkhah, MA), banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar bearasal dari etnis Jawa dan, karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri (Samson 1971: 2). Militer abangan yang Bostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982, dan 1987, yang juga didominasi oleh kaum abangan non - Muslim (Ward 1974: 172). Singkatnya, polarisasi antara santri dan abangan terus berlanjut dalam masa Orde Baru sampai pertengahan era pemerintahan Soeharto. Akhir-akhir pemerintahan Soeharto (menjelang pemilu 1971) mulai merangkul kalangan santri masuk pemerintahan dan dikenal dengan politik akomodatif (Gaffar 2001).

Penelitian Disertasi (1987) Pranowo di kaki gunung Merbabu, Magelang, menemukan adanya kemerosotan polarisasi keagamaan, yang pada gilirannya juga mengakibatkan lunturnya distingsi di antara santri dan abangan. Tegalroso (sampel penelitian) sebelumnya dikenal sebagai basis kubu PKI dan PNI; desa ini juga dikenal sebagai tempat merajalelanya berbagai bentuk kejahatan dan kriminal lain dan karena itu dapat diduga bahwa penduduk Tegalroso bisa disebut sebagai kaum abangan.

Setelah bubarnya Orde Lama dan PKI, Tegalroso mengalami perubahan yang drastis. Masjid-masjid dan langgar bermunculan yang menurut Pranowo, hal ini mengindikasikan bahwa ortodoksi Islam mulai menemukan momentumnya di Tegalroso dengan semakin menguatnya budaya santri. Faktisitas ini tentu saja tidak terlepas dari perkembangan politik secara makro, tetapi juga merefleksikan peningkatan attacment keagamaan, yang sekaligus menimbulkan pencairan polarisasi santri-abangan. Kesimpulan Pranowo bahwa dikhotomi dan polarisasi antara santri-abangan tidak lagi relevan untuk memahami kehidupan masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia umumnya.

Dengan memudarnya polarisasi santri-abangan tidak berarti bahwa ketegangan dan pergolakan politik dalam bentuknya yang baru sudah selesai, namun terus berlanjut sampai sekarang ini. Dalam pandangan teoritis, terutama teori elit klasik, seperti Mosca (1939) dan Michels (1915) mengaskan bahwa pada setiap masyarakat, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, senantiasa terdapat dua kelas; kelas yang berkuasa dan yang dikuasai. Kelas pertama, para pemegang kekuasaan, merupakan minoritas kecil tapi memonopoli kekuasaan politik. Mereka menikmati keuntungan-keuntungan yang lahir dari kekuasaan. Sementara kelas kedua, adalah mayoritas yang selalu dikontrol oleh oleh kelompok elit minoritas.

konflik politik yang disertai tindak kekerasan sepertinya masih menjadi pembenaran atas lemahnya sikap mental masyarakat kita. Contoh terbaru tindakan penyegelan disertai pengrusakan kantor TVOne oleh massa pendukung pasangan calon presiden dan penganiayaan seorang ibu rumah tangga yang kebetulan berpapasan dengan pendukung pasangan lain, betapa kekerasan politik masih akan menghiasi perpolitikan Indonesia. Apa yang dapat dilakukan agar konflik politik sedapat mungkin diminimalisir pada setiap pergantian kekuasaan di Indonesia? Mari kita mencoba memberikan jawab kritis terhadap pertanyaan itu.

Karena kesulitan untuk meniadakan konflik politik, maka yang mungkin dapat dilakukan adalah bagaimana tata kelola konflik (conflic management) dengan baik.Secara definitif tata kelola konflik adalah usaha mereduksi dan menekan (containment) kekerasan selama proses konflik melalui pelaksanaan wewenang dan kekuasaan (Novri Susan 2009: 165). Menurut Moore (2003: 6), sebagaimana dikutip Susan bahwa ada beberapa bentuk dan proses pengelolaan konflik yaitu (1). Avoidance; pihak-pihak yang berkonflik saling menghindari dan mengharap konflik bisa terselesaikan dengan baik. (2). Informal Problem solving; pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal. (3). Negotiation. (4). Mediation. (5). Executive dispute resolution approach; kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik. (6). Arbitration. (7). Judicial Approach;  terjadinya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum. (8). Legislative approach; intervensi melalui musyawarah politikdari lembaga perwakilan rakyat. (9). Extra legal approach;  penanganan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan legal dan mungkin tidak dimiliki oleh pihak lawan. Salah satu pihak bisa memanfaatkan kekuatannya untuk menciptakan nonviolent action dan violence.  

Pengelolaan konflik Moore tersebut di atas tidak mesti selalu berjalan sebagai proses bertahap, tetapi sangat tergantung pada konteks dan jenis konfliknya. Dalam konteks konflik politik partai politik di Indonesia telah dibentuk suatu mahkamah yang disebut "Mahkamah Partai Politik". Mahkamah ini bertugas untuk menyelesaikan konflik politik yang terjadi di dalam partai politik dengan cara-cara demokratis, tetapi kalau tidak bisa terselesaikan dapat diajukan kasusnya ke pengadilan. Oleh karena itu, menurut Novri Susan (2009) lebih setuju dengan istilah Democratic conflict governance dengan mentransformasi konflik kekerasan melalui dialog di antara seluruh pihak yang berkonflik.

Apapun bentuk dan resolusi konflik yang ditawarkan para ahli tentunya bermuara pada bagaimana konflik dapat diminimalisir walaupun tidak bisa dihapuskan sama sekali. Konflik dan turunannya pastinya akan membuat masyarakat phobia yang ujungnya akan melahirkan sikap apatisme politik, karena itu kesadaran semua masyarakat politik untuk tidak membudayakan kekerasan politik pada setiap pergantian kekuasaan pada semua tingkatan sangat diharapkan masyarakat pada umumnya. Semoga saja kekerasan politik tidak lagi dijadikan sebagai solusi untuk melampiaskan kekalahan atau kekesalannya pada sang lawan politik. Kalau masih terjadi maka mereka layak disebut sebagai "pecundang Tengik".

Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 06072014.09.09.09

0 komentar: