Pengantar
Generasi
Emas? Satu pertanyaan yang mungkin bagi
sebagian orang sebagai mimpi, fantasi, yang berada di dunia ide dan dunia
hayal. Penganut empirisme mungkin yang
paling skeptis akan kemunculan generasi emas ini karena faktisitas dunia
pendidikan di Indonesia masih terbelenggu dengan pelbagai permasalahan
diantaranya kemiskinan, kekerasan, kurikulum yang selalu berubah, anggaran, dan
manajemen yang tidak terkelola dengan baik. Permaslahan-permasalahan tersebut sangat
mungkin menjadi penyebab rumitnya mengurai benang kusut dunia pendidikan di
Indonesia menuju cita Generasi Emas.
Generasi
Emas menyangkut dunia cita, dunia ide, dunia yang terdiri dari manusia yang
tidak statis tetapi dinamis, progresiv dan terus bergerak untuk mewujudkan
impian-impiannya. Tidak ada rumus untuk menyerah terkapar terhadap permasalahan
yang melanda manusia generasi emas. Dengan demikian generasi emas merupakan
generasi manusia ideal atau super mens
yang akan dituju dengan dilingkupi oleh nilai-nilai moralitas tinggi,
demokratis, berketerampilan, inovatif, religious, dan berakhlak mulia.
Edukasi
generasi emas manjadi pintu masuk untuk sampai kepada cita generasi emas atau
generasi berkarakter. Karena itu, edukasi generasi emas harus berkelanjutan dan
tidak pernah berakhir (never ending
process) sebagai bagian terpadu
untuk menyiapkan generasi bangsa, yang disesuaikan dengan sosok manusia
masa depan, berakar pada filosofi dan nilai cultural religious bangsa Indonesia. Edukasi generasi dalam bayangan
saya setara dengan pendidikan karakter
yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Pendidikan karakter
harus mengembangkan filosofi dan pengamatan atas keseluruhan karakter bangsa
ini secara utuh, dan menyeluruh[1]. Karakter bangsa mengandung perekat budaya dan
cultural yang harus terwujud dalam kesadaran cultural (cultural awareness) dan kecerdasan kultural (cultural intelligence)
setiap warga Negara.
Kesadaran
dan kecerdasan kultural (awareness and
intelligence cultural) ini bisa menjadi penyebab lambannya pembentukan dan
pengembangan generasi emas atau generasi berkarakter pada masa depan. Kemiskinan dan kekerasan, serta permasalahan
sosial lain merupakan virus-virus yang menggerogoti dan merusak system imun
atau ketahanan dalam mengembangkan
edukasi generasi emas masa depan. Racikan strategi dan diagnose yang
cermat dan tepat menjadi kebutuhan mendesak untuk menahan gerak berkembangnya
virus-virus perusak system imun atau kekebalan. Jika tidak, maka cita
mewujudkan generasi emas di masa depan akan tetap menjadi cita dan impian pada
dunia ide yang sulit ditarik ke dunia nyata kehidupan manusia.
Permasalahannya
kemudian, apa dan bagaimana edukasi generasi emas atau generasi
berkarakter Indonesia? Pada kondisi lingkungan sosio-kuktural yang
bagaimana generasi emas dapat berkembang?
Apa strategi yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan
dan kekerasan pada konteks pengembangan generasi emas Indonesia? Beberapa pertanyaan tersebut di atas yang
akan ditemukan dalam uraian dan penjelasan pada tulisan ini.
Wajah Buram Kemiskinan
Data
penduduk miskin di Indonesia Tahun 2013 sekitar 28,07 juta orang. Sementara
data penduduk pengangguran atau yang tidak memiliki pekerjaan di tahun yang
sama sekitar 10,3 juta orang. Penduduk miskin dan pengangguran sudah pasti akan
semakin bertambah manakala terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dengan demikian, kemiskinan seakan menjadi objek yang selalu dipertaruhkan dan
terasa sangat sulit untuk menurunkan angka kemiskinan sampai ke titik nol.
Artinya bahwa kemiskinan akan selalu menjadi momok yang menakutkan.
Kemiskinan
bagaikan monster yang selalu menghantui gerak langkah kehidupan manusia.
Rasulullah Muhammad Saw sendiri sebenarnya sangat takut dengan monster
kemiskinan itu, hal dapat dilihat dari hadist yang menyatakan “kaadal fakru al yakuna kufran”.
Maksudnya kamiskinan dapat membuat orang menjadi kafir. Hanya orang miskin yang jabary dan fatalist
yang masih mau bersahabat dengan kemiskinanya. Selebihnya, mayoritas menganggap
kemiskinan sebagai monster atau alien yang selalu menghantui gerak
kehidupannya, sehingga segala cara dapat dilakukan untuk terhindar dari monster
kemiskinan. Korupsi, kolusi, menjambret, mencuri, dan cara-cara lainnya dapat
dilakukan oleh manusia yang memiliki kesempatan agar terhindar dan aman dari
jebakan kemiskinan. Pada konteks ini, kemiskinan diterjemahkan sebagai
kemiskinan ekonomi semata. Sedangkan kemiskinan tidak hanya mencakup dimensi
kemiskinan ekonomi, tetapi kemiskinan struktural, budaya, dan akses[2].
Dalam
konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, rasa-rasanya, kemiskinan
merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa. Ia merupakan inspirasi dasar dan
perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan
masyarakat adil dan makmur. Sejak kebangkitan Nasional para “founding fathers” Republik Indonesia
untuk menghayati kembali “cride coeur” bangsa untuk bebas dari kemiskinan,
kemelaratan, kehinaan dan nasib bangsa kuli. Sehingga ada ucapan terkenal
Presiden Soekarno, “Een natie van koelies
en koelitus sen de naties”, yang maknanya kurang lebih suatu bangsa yang
terdiri dari kuli dan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa. Kesediaan Soekarno,
Hatta, Syahrier untuk menderita, dibuang di pengasingan agar dapat menghayati
dan antipasti terhadap kondisi rakyat yang diperjuangkannya.
Pada
kondisi kemiskinan yang akut, maka masyarakat tidak dapat berfikir tentang
pendidikan yang membebaskan, sebagaimana Paulo Freire membebaskan masyarakat
Brazil dari buta aksara[3].
Freire dikenal sebagai seorang ahli pendidikan yang telah berjasa membawa
bangsa Brazil terbebas dari buta aksara menuju masyarakat yang berpendidikan
dan maju. Namun demikian keberhasilan dalam membangun pendidikan di Brazil
tidaklah bersifat “sui generis”,
tetapi pada dasarnya selalu bersinggungan dengan kekuasaan.
Pendidikan
sebagai kawasan yang terkait dan terikat dengan kekuasaan Negara, maka
pendidikan bersinggungan dengan aspek-aspek, seperti ekonomi, social, budaya.
Kaum positivist berpandangan bahwa kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan
yang membutuhkan campur tangan kekuasaan Negara agar dapat dioptimalkan menjadi
lebih baik. Namun kaum yang berpandangan negative akan selalu melihat
persinggungan pendidikan dengan kekuasaan Negara akan berujung pada pemanfaatan
pendidikan demi kepentingan kekuasaan.
Adanya perbedaan pandangan tentang
persinggungan pendidikan dengan kekuasaan tersebut tidak sepatutnya
menghabiskan energy terlalu besar untuk terus berdebat, bukankah dibalik
persinggungan itu terdapat kemanfaatan. Namun yang pasti bahwa kita bersepakat
untuk menuju masyarakat yang dicitakan yang mutu kapasitas dan kapabilitas diri
unggul, maka setidak-tidaknya masyarakat harus memiliki kekuatan, keuletan, dan
semangat untuk berfikir solutif untuk keluar dari problema kemiskinan. Selama
kemiskinan masih menjadi monster yang menakutkan, maka selama itu pula
masyarakat tidak dapat berfikir untuk bisa menjadi bermutu dan unggul dalam
kerangka pendidikan yang membebaskan. Permasalahannya kemudian, bagaimana kita
terbebas dari kemiskinan itu?
Rasa-rasanya
kita sangat sulit untuk terbebas dari kemiskinan. Kemiskinan akan selalu
melingkupi kehidupan manusia, terutama kaitannya dengan peningkatan mutu
pendidikan, karena atas nama kemiskinan, anak bangsa akan tidak betah dan
meninggalkan sekolah. Program-program penanganan kemiskinan sudah banyak
dilakukan oleh pemerintah tetapi kuantitas kemiskinan masih stagnan dalam
angka-angka yang selalu turun naik.
Di Indonesia, terdapat kecerdrungan bahwa
seakan-akan kemiskinan hanya bisa
diberantas oleh program-program pemberdayaan masyarakat dalam arti sempit[4].
Pemberdayaan seolah hanya mencakup pemberian modal usaha untuk membuka warung
kecil di sudut kampung, pemberian sapi atau kambing untuk peternakan[5],
dan pelatihan keterampilan perbengkelan atau kerajinan tangan. Asumsi
sederhananya, jika orang-orang miskin diberi modal dan dilatih, maka mereka
akan memiliki pekerjaan dan pendapatan. Kehidupan mereka akan menjadi lebih
baik dan tidak miskin lagi.
Asumsi
ini, kata Suharto dalam bukunya tersebut telah menjadi keyakinan umum dan
bahkan cendrung dianggap kebenaran mutlak. Tidak heran, jika banyak penentu
kebijakan, politisi, akademisi, dan masyarakat awam sangat tidak bersahabat,
bahkan cendrung memusuhi program-program penanganan kemiskinan yang bermatra
perlindungan social. Kebijakan stransfer uang atau barang, seperti Bantuan
Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Beras Miskin (Raskin),
Program Keluarga Harapan (PKH) di serang habis-habisan. Padahal, kata Edi
Suharto lebih lanjut, skema-skema “cash and in-kind transfer” ini sudah lama
dan banyak dipraktikkan di Negara-negara lain, seperti di AS, Australia,
Selandia Baru, Prancis, Jerman, Portugis, Brazil, Guatemala, dan Negara
lainnya, serta terbukti berhasil mengurangi beban dan penderitaan
kelompok-kelompok sasarannya.
Namun,
program-program Basic Income Grant
(BIG), seperti BLT di Indonesia, tidak sepi dari kritik. Beberapa ilmuan dan
mass media mengajukan kritiknya yang cendrung berdasarkan asumsi umum, taken for granted dan tidak didasari
studi mendalam. Setidaknya ada dua kritik yang diungkapkan tentang program
Basic Income Grand (BIG) yakni, bahwa (1). program BIG akan menyebabkan
ketergantungan dan kemalasan serta menimbulkan kebusukan moral pada masyarakat.
(2). Bantuan sebesar $10 per bulan per kapita dianggap terlalu kecil dan tidak
akan mampu membuat perbedaan apapun pada penerima layanan.
Memang,
program-program BIG, seperti BLT, Raskin, BOS, PKH, dan sejenisnya tidak akan
mampu menanggulangi kemiskinan, tetapi cukup bermanfaat mengurangi kemiskinan
walau sesaat. Tidak salah juga, kalau kebijakan transfer uang atau barang
diibaratkan seperti obat penawar sakit kepala. Dan benar bahwa program BLT dan
Raskin tidak mampu menghilangkan kemiskinan, karena program-program tersebut
tidak dirancang untuk merespon dan mencabut akar kemiskinan, melainkan, sekedar
mengurangi kerentanan dan kesengsaraan. Atau dengan kata lain, program-program
tersebut hanya mampu merespon symptom atau gejala dan bukan akar masalahnya.
Kemiskinan
dengan demikian, masih menjadi permasalahan yang menghantui peningkatan
kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pelbagai upaya dan program telah
dijalankan oleh pemerintah untuk mendorong anak bangsa bisa terus sekolah.
Sekolah gratis, beasiswa miskin, dan lainnya masih belum mampu memotivasi
masyarakat miskin untuk menyekolahkan anak-anaknya, karena masalahnya berada
pada kemiskinan ekonomi yang membelitnya. Anak bisa terus sekolah, tetapi untuk
biaya kesehariannya di sekolah yang menjadi masalahnya. Ketidakmampuan untuk
memenuhi standar hidup minimum masih mendominasi persepsi masyarakat tentang
kemiskinan.
Oleh
karena itu, kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok
masih digambarkan sebagai gejala kemiskinan. Persepsi manusia terhadap
kebutuhan pokok yang diperlukan depengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat
istiadat, dan system nilai yang dimiliki[6].
Dalam hal inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi dan rendah. Berkaitan
dengan posisi manusia dalam lingkungan social, bukan kebutuhan pokok yang
menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatnya di tengah-tengah masyarakat
sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi
ditentukan oleh komposisi pangan, apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan
kalori, sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan
iklim, dan lingkungan alam yang dialaminya.
Kekerasan di Dunia Pendidikan
Tawuran
antar pelajar, pemerasan, pelecehan seksual semakin sering terjadi dan memperburuk
citra dunia pendidikan Indonesia. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum
guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama di Jakarta terhadap anak didiknya
sehingga si anak tidak mau lagi masuk sekolah[7].
Oknum guru sebagai aktor penindas telah
mencoreng wajah pendidikan kita. Lebam di wajah, memar di sekujur tubuh, dan
diam tidak berkata apa-apa sepulang sekolah membuat prihatin orang tua. Anak
sering tidak masuk sekolah dan terkadang membolos membuat para guru meradang
dan galau. Kasus-kasus tersebut memunculkan pelbagai pertanyaan dari
masyarakat, Kesalahan siapa? Adakah kelalaian orang tua ataukah ketidak
seriusan para guru memberi tauladan, sehingga anak didik berperilaku aneh,
mencari-cari alasan untuk tidak masuk sekolah, kalaupun masuk berusaha mencari
celah alasan untuk membolos dan menyimpang.
Penindasan,
menurut Barbara Coloroso (2004) kerap melibatkan tiga pemeran atau actor yakni Penindas, Tertindas dan Penonton[8].
Ketiganya tak hanya akrab kita jumpai, tapi juga sering kita jalani. Tersadari
atau tidak bahwa tiga karakter itu sejatinya juga dimainkan dan dipelajari oleh
anak-anak didik kita dalam keseharian mereka di rumah, di sekolah dan di tempat
bermain.
Penindasan
adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak
yang lebih lamah. Penindasan dapat
mengambil beragam bentuk. Di sekolah, penindasan lebih dikenal dengan
istilah-istilah digertak, dihabok, dipermak, digencet, dipermalukan, dan
lainnya. Ribuan anak setiap harinya pergi ke sekolah dengan penuh rasa takut
dan gemetaran, yang lain berpura-pura sakit agar terhindar dari olok-olok atau
supaya tidak di serang dalam perjalanan ke sekolah, berupaya membuat diri
mereka sakit di sekolah agar terhindar dari pelecehan di lorong-lorong sekolah[9].
Oleh karena itu, anak-anak yang tertindas menghabiskan banyak waktu untuk
memikirkan cara guna menghindari trauma dan hanya memiliki sedikit energy untuk
belajar.
Di
rumah, tidak sedikit pula anak-anak yang mengalami nasib tidak lebih baik dari
kondisi di sekolah. Masih hangat dalam ingatan kita, bahwa kasus anak kakak
beradik yang berumur 7 tahunan di Manado yang dipaksa oleh ibu kandungnya
untuk tidur di kandang bebek dan anjing.
Ada pula kasus seorang ayah yang berprofesi sebagai pemulung memukul kepala
anak kandungnya sampai pingsan, dan kasus lainnya seorang ayah yang menghamili
anak kandungnya sampai hamil dan akhirnya melahirkan anak dari ayah kandungnya
sendiri. Penindasan demi penindasan silih berganti dialami anak bangsa ini,
sehingga mereka tidak sempat lagi berfikir untuk menjalani hidup bahagia,
nyaman dan aman melalui pendidikan.
Derita
akibat penindasan ini, tidak hanya dialami oleh anak yang tertindas, tetapi
anak-anak penindas banyak yang terus memiliki perilaku selaku penindas hingga
dewasa, sehingga kelak mereka akan menindas anak-anak mereka sendiri, karena
gagal dalam hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan dan berakhir di
penjara. Kemungkinan lain bisa juga terjadi, seperti memutilasi dan membunuh
anaknya sendiri akibat dari rasa cemburu berlebihan karena pekerjaan istrinya
menjadi tukang cuci keliling dan tukang pijat.
Penonton
yang menyaksikan penindasan bisa terpengaruh dengan penindas atau antipati
terhadap penindasan sehingga dating sebagai super
hero. Mereka sebagai penonton mungkin mengamati penindasan, menyingkir
pergi, ikut-ikutan bersekongkol, atau turut campur dengan menolong anak-anak
yang tertindas. Semua pilihan yang bakal dilakukan penonton memiliki resiko
yang sama beratnya.
Masyarakat
seringkali disuguhkan film anak sekolahan yang membawa pesan tentang bagaimana
sekolah menengah umum kadang dijadikan tempat menampung berbagai anak yang
bermasalah dan tidak mampu member iklim yang sehat. Tiap anak kemudian
memutuskan untuk membuat lingkungannya sendiri dan membentuk kelompok untuk dapat
menjalankan misi yang dikonstruksinya. Berhimpun dalam gerombolan itu biasanya
yang terlihat di tempat-tempat umum, terminal, Mall dimana anak-anak remaja
nongkrong, bercanda dan melakukan kegaduhan. Mereka tumbuh di bawah asuhan
pendidikan yang selalu mempertautkan mereka dengan kehidupan di luarnya
sehingga membuat anak-anak sekolahan ini kemudian menjadi konsumen utama pasar.
Akibat
pentautan tersebut kemudian memicu ledakan masalah secara lebih luas dan
massif. Sekolah menengah kemudian menjadi articulator utama dalam proses
kesenjangan social. Tawuran pelajar yang semakin sering terjadi di sejumlah
kota tidak bisa dibaca sebagai peristiwa biasa cara menggapai identitas.
Menurut Eko Prasetyo (2007) bahwa yang kurang banyak dideteksi adalah pertumbuhan
sekolah yang kian eksklusif dimana siswa dibesarkan dalam lingkungan pendidikan
yang berbeda dengan kenyataan umum di masyarakat. Beberapa sekolah menengah
yang mahal, megah dan mewah kemudian memformat pelajaran dan mencetak peserta
didiknya sebagai sosok yang bisa memenangkan segalanya. Kemudian dapat
melahirkan manusia super (superman) yang tidak peduli dengan kondisi lingkungan
masyarakat sekolah. Atau dalam konteks pewayangan, sekolah seperti itu dapat
melahirman manusia seperti Gatot Koco yang hidup di langit atau awang-awang,
turun ke bumi saat pertempuran di Kuru Setra. Namun naas, turunnya Gatot Koco
yang hendak membela kehormatan keluarga Pandawa mati bersimbah darah tertembus
panah.
Masalahnya
kemudian, perkelahian ataupun tawuran menjadi saluran untuk mengekspresikan
jiwa kelompok yang tetap merasa lebih unggul di banding yang lain atau segala
bentuk kekerasan di dunia pendidikan sebagai akibat dari sebuah proses
pendidikan yang eksklusif. Segala kemungkinan bisa terjadi, bukan. Memang ironis,
hanya persoalan sepele bisa berbuah perkelahian berdarah dan memakan kurban
jiwa. Hanya masalah yang berpangkal pada seragam bisa membuahkan pertarungan
kejam dan massal. Iklim kompetitif yang ditanam oleh lembaga pendidikan telah
menanam buah keji, dendam yakni hadirnya anak muda terpelajar yang miskin
kemampuan diplomasi atau bagaimana mengelola perbedaan. Kekerasan dicetuskan
bukan saja untuk melampiaskan rasa prustasi melainkan juga sebagai cara untuk
menyatakan sesuatu atau kepentingan politik tertentu.
Memutus
siklus kekerasan memang tidak mudah dilakukan, tapi harus dilakukan demi
harmonisasi hidup masa depan anak bangsa. Tidak ada pilihan, kecuali memutus
siklus kekerasan itu, apapun resikonya. Sinergi
antara tiga pilar utama pendidikan yakni Guru, orang tua wali, dan masyarakat
harus terbangun. Masing-masing pihak tidak bisa saling mengklaim atau saling
menyalahkan bahwa kekerasan anak didik dalam berbagai bentuknya akibat kurang
perhatian dari berbagai pihak. Ketiganya harus bersinergi untuk terus melakukan
komunikasi tiga arah agar kekerasan dan tawuran pelajar bisa terselesaikan
dengan solusi yang tepat.
Konstruksi Edukasi Generasi Emas
Problem
kemiskinan dan kekerasan dalam berbagai bentuknya menjadi penghalang program
peningkatan kualitas pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.
Program peningkatan kualitas SDM tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi
harus terintegrasi secara sistemik dan bersamaan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan
Dokter yang harus menyembuhkan pasien yang mengalami komplikasi. Dokter tidak
bisa melakukan penyembuhan penyakit secara bersamaan, tapi secara bertahap
mengobati penyakit yang satu sebelum mengobati penyakit lainnya.
Pelbagai
kasus yang terus bermunculan dalam dunia pendidikan tidak sampai mengakibatkan
pada ketidak percayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan, termasuk kepada
gurunya. Masyarakat tetap berkeyakinan bahwa sekolah dan guru menjadi elemen
penting bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan atau edukasi menjadi salah satu
instrumen untuk mencetak generasi bangsa yang produktif dan inovatif. Maju berkembang menjadi lebih baik menuju
cita mayoritas masyarakat adalah suatu keniscayaan[10].
Pendidikan menjadi salah satu cara yang dipilih untuk meraih kemajuan (mode of getting forward) dengan cara
memberdayakan para anggota masyarakat agar memiliki mutu kapasitas dan
kapabilitas diri sesuai yang diharapkan (citakan).
Sudah
merupakan hukum alam atau sunnatullah bahwa setiap zaman pada suatu masyarakat pasti memiliki cita agar warga negaranya
memiliki mutu dan kualitas tertentu. Misalnya, masyarakat Sparta era Yunani
Kuno melalui pendidikan mengidealitakan mutu diri berupa “kepribadian satria”[11].
Masyarakata Athena menginginkan warga negaranya memiliki mutu diri berupa
“kecerdasan”[12].
Sementara Rasulullah Muhammad Saw mencitakan ummat Islam dan warga Negara
Madinah memiliki mutu diri “taqwa” dan saling menghargai atau toleran di tengah
perbedaan keyakinan masyarakat Madinah. Cita mutu diri warga Negara Madinah
disebut dengan “masyarakat madani”[13]. Mutu kapasitas, kapabilitas dan cita dapat
dipahami sebagai serangkaian upaya masyarakat dalam rangka mewujudkan kualitas
anggota-anggotanya agar dapat menjadi manusia taqwa atau manusia dewasa
meminjam istilah MJ. Langeveld.
Kedewasaan
lebih dimaknai sebagai suatu kondisi berkembangnya potensi yang dimiliki
individu-individu anggota masyarakat, mencakup seluruh dimensi yang melekat
pada diri individu tersebut, yang mencakup dimensi individualitas, sosialitas,
rasionalitas, religiusitas, dan moralitas. Dimensi individualitas dapat
tercermin pada sifat dan sikap seseorang yang berupa kemandirian, ketekunan,
kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, konsep diri, keuletan, kesabaran,
semangat[14]. Lebih
lanjut Rahman (2009) menjelaskan bahwa dimensi sosialitas tercermin dalam sikap
dan perilaku kedermawanan, keramahan, saling menolong, toleransi,
kerjasama, suka berbagi dengan sesama,
berorganisasi, dan hidup bersama dengan masyarakat secara harmonis. Dimensi rasionalitas
diketahui melalui keruntutan penalaran, cara berfikir logis dan kritis,
pernyataan yang mengedepankan data dan fakta, berfikir analisis sintesis, tidak
gegabah dalam membuat kesimpulan dan membuat penyimpulan yang solutif.
Dimensi
religiusitas tampak pada ucapan dan tindakan berupa ketaatan menjalankan ajaran
agama, ketekunan beribadah, keyakinan akan adanya Tuhan, keshalehan,
keikhlasan, kesabaran, kesediaan berdakwah, dan tawakkal. Dan dimensi moralitas
terlihat pada pengetahuan tentang nilai-nilai moral, pengetahuan tentang
akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku moral, kemampuan membedakan moral
baik dan buruk, serta ketahanan dalam menghadapi aneka godaan.
Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa setiap anak atau manusia
mempunyai nilai positif yang pintar, cerdas, kreatif, dan luhur budi.
Pendidikan di sekolah atau di rumah mempunyai peran penting, apakah nilai
positif dari diri setiap manusia itu akan tumbuh menguat, atau tumbuh
sebaliknya menjadi culas. Pendidikan dan atau pembelajaran yang dilakukan
secara tidak tepat, akan bisa mendorong tumbuhnya sifat negative manusia dalam
hubungan social yang luas, seperti perilaku kekerasan dan atau tindak criminal
lainnya.
Konflik
dan kekerasan yang masih terus muncul di negeri seribu etnis ini, selain
disebabkan belum tegaknya hukum, adalah akibat belum tumbuhnya pribadi yang
pintar yaitu yang kreatif dan cerdas[15].
Orang yang cerdas akan selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan
obyektif, dan orang yang kreatif akan mempunyai banyak pilihan untuk memenuhi
kepentingan dengan kemampuan menentukan pilihan yang tepat, di luar cara-cara
kekerasan atau nir-kekerasan (meminjam istilah Mahatma Gandhi[16]).
Kecerdasan kreatif bersumber dari kesadaran nilai-nilai diri dan social, dan
peduli pada kemanusiaan[17].
Karena
itu, fungsi utama pendidikan ialah menumbuhkan daya kreatif, kecerdasan
personal dan kecerdasan social serta kesadaran kemanusiaan. Di sinilah arti
penting pendidikan kepribadian yang akhir-akhir ini muncul dalam bingkai pendidikan
budi pekerti yang dalam khazanah Islam dikenal sebagai pendidikan akhlak[18].
Urgensi pendidikan budi pekerti telah menjelma dalam Mata Pelajaran Pendidikan
Agama dan Budi Pekerti pada kurikulum 2013. Namun, perlu disadari bahwa
pendidikan budi pekerti, kepribadian atau akhlak, bukanlah sebuah indoktrinasi,
melainkan penumbuhan kesadaran dan pengalaman kreatif anak-anak itu
sendiri.
Kepribadian
adalah produk kesadaran kemanusiaan yang tumbuh dari kesadaran atas nilai-nilai
secara kreatif. Kualitas ini tidak hanya bisa dicapai melalui undang-undang dan
peraturan, tapi perlu usaha budaya dalam pendidikan di rumah, masyarakat, dan
ruang kelas. Jika dilakukan secara keliru, pendidikan bisa melahirkan jiwa yang
beku dan sikap otoriter. Banyak pihak terkejut dan hamper tidak percaya melihat
rakyat dan anak-anak negeri yang selama ini dikenal santun, tiba-tiba
berperilaku bringas dan sadistis. Situasi ini menyisakan luka hati dan social
yang dalam yang terus membayang bagaikan bending kelabu negeri ini.
Negeri
ini bagaikan sebuah kapal selam yang kehilangan tenaga dan terperangkap di
laut-dalam tanpa secercah sinar matahari yang mampu menerobos memberi harapan.
Multi krisis nampak berkembang makin ruwet, tradisi KKN mulai mengembangkan
modus operandi baru, dan integritas penyelenggara Negara semakin diragukan.
Pada aras ini, banyak orang mulai ragu, apakah kepemelukan agama dari bangsa
yang religious ini bisa mencegah perilaku sadistis. Kebijakan politik
pendidikan, juga pendidikan agama, tak hanya mematikan kecerdasan, tetapi juga
empati kemanusiaan dan moralitas. Dari ruang segi empat dengan daya tampung
puluhan siswa itu tradisi otoritarian dimulai, perilaku selingkuh dibiarkan,
hak asasi manusia anak-anak dilecehkan, dan demokrasi dibungkam. Memori anak-anak
selaku peserta didik sudah diisi dengan materi pengekangan dan kekerasan
terselubung justru oleh guru-gurunya. Karena itu, tidak perlu heran kalau
peserta didik keluar dari lingkungan sekolahnya akan menunjukkan identitas diri
dan institusinya.
Namun
dari ruang itu pula sebenarnya bisa ditumbuhkan pribadi kreatif anak-anak
manusia yang pintar, sadar diri dan sadar sosial. Mewujudkan kualitas diri
peserta didik atau anak-anak yang demikian itu dimulai dari penataan hubungan
antar sesama yang lebih manusiawi, termasuk hubungan guru-murid. Hubungan
guru-murid dalam konteks pembelajaran demokratis tidak lagi dibatasi oleh
sekat-sekat yang justru akan menghambat lahirnya anak-anak yang bermutu dan
sadar akan lingkungan sosialnya. Yang harus disadari bahwa posisi dan peran
guru sebagai mitra atau fasilitator peserta didik, terutama dalam pendidikan
yang membebaskan. Hanya saja, tidak banyak guru yang menyadari peran dan
fungsinya di tengah perubahan paradigma pendidikan yang telah berubah.
Dengan
demikian upaya memajukan masyarakat melalui pendidikan dalam kerangka
mewujudkan kualitas Sumber Daya Manusia atau generasi emas yang bermutu merupakan
kebutuhan bagi semua. Sumber Daya Manusia bermutu dan berkualitas merupakan
modal dasar generasi emas pembangunan. Generasi emas dengan semua dimensinya,
sebagaimana terurai di atas, dapat terwujud dengan sebuah rekayasa politik yang
berpijak pada pendidikan yang bermutu. Maksudnya adalah penerapan pendekatan,
metode, strategi perumusan dan penerapan kebijakan politik yang mengatur secara
ketat penyelenggaraan pendidikan. Rekayasa politik dilakukan melalui perumusan
dan penerapan kebijakan pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang
bermutu dan demokratis[19].
Oleh karena itu, tiga pilar pendidikan yang utama yakni sekolah, wali siswa,
dan siswa harus bersinergi
mengimplementasikan semua kebijakan pemerintah menuju cita generasi emas.
Kesimpulan
(1). Generasi emas merupakan generasi cita atau impian. Suatu
generasi yang berkualitas dilingkupi oleh nilai-nilai moralitas tinggi,
demokratis, kreatif, inovatif, religious dan berakhlak mulia. (2). Generasi emas akan tercipta bila terjalin kerjasama atau bersinergi
antara tiga pilar pendidikan yang utama yakni pemerintah, sekolah dan wali siswa
atau masyarakat. (3). Kemiskinan dan kekerasan di dunia pendidikan sebagai suatu virus
yang menakutkan harus segera ditemukan solusinya agar terwujud generasi emas yang
dicitakan bersama.
[1]
Mulyasa, 2011, Menejmen Pendidikan
Karakter, Jakarta: Bumi Aksara
[2]
LL. Pasaribu dan B. Simanjuntak, 1986, Sosiologi
Pembangunan, Bandung: Tarsito. Hal. 226
[3]
Miguel Escobar dkk. (Ed) 1998, Sekolah
Kapitalisme yang Licik, Yogyakarta: LKiS. Hal 33
[4]
Edi Suharto, 2009, Kemiskinan dan
Perlindungan Sosial di Indonesia, Bandung: Alfabeta. Hal. 5
[5] Di
Nusa Tenggara Barat di bawah kepemimpinan gubernur Tgh. M. Zainul Majdi,
program pemberian sapi bagi peternak dan bukan peternak menjadi satu program
unggulan untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan program tersebut Nusa
Tenggara Barat dijadikan ikon Bumi Sejuta Sapi (BSS).
[6]
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011), Pengantar
Sosiologi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 798
[7] M.
Ahyar Fadly (2012), Narasi Agama di Tengah
Multi Ranah, Yogyakarta: Serambi.
[8]
Barbara Coloroso (2004), Penindas,
Tertindas dan Penonton, Jakarta: Serambi Ilmu semesta. Hal. 26
[9]
Eko Prasetyo, 2007, Guru: Mendidik itu
Melawan, Yogyakarta: Resist Book. Hal. 98
[10]
Arief Rahman, 2009, Politik Ideologi
Pendidikan, Yogyakarta: Mediatama
[11]
Louis O.Kattsoff, 1992, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
[12]
Jerome R. Raverz, 2004, Filsafat Ilmu,
Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[13]
Munawir Sadzali, 2008, Islam dan Tata
Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta UI Press. Hal. 16
[14]
Rahman, 2009, log.cit. 7
[15]
John P. Miller, 2002, Humanizing The
Class Room: Models of Teachings in Affective Education, di Sadur oleh Abdul
Munir Mulkhan, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[16]
Mahatma Gandhi merupakan tokoh pejuang India yang telah berjuang membebaskan
negerinya dari kekejaman colonialism. Dia telah melawan kekerasan dengan tanpa
kekerasan atau nir-kekerasan.
[17]
Hans Fink, 1981, Social Philosophy,
New York: Methuen & Co Ltd.
[18] Hamzah
Tualeka, dkk, 2011, Akhlak Tasawuf,
Surabaya: Sunan Ampel Press
[19]
Kebijakan pendidikan dimaksudkan sebagai keseluruhan keputusan serta
perundang-undangan hasil dari proses dan produk politik yang mengatur
penyelenggaraan pendidikan. Termasuk di dalamnya peraturan pemerintah,
permendikbud, dan peraturan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar