Kamis, 03 Juli 2014

MATINYA ETIKA DAN ALPANYA MALAIKAT DALAM POLITIK GADUH

Persaingan antara dua pasangan calon presiden (Prabowo-Hatta dengan Joko Widodo-Jusuf Kala) semakin hangat dan tidak terkendali. Masing-masing tim sukses saling mempropokasi dan mengungkit kelemahan masing-masing yang berujung pada pengrusakan stasiun transmisi TVOne di Yogyakarta. Saling tuduh dengan terus melakukan propoganda bahwa pasangan yang satu sebagai pasangan boneka dan fasis. Sementara pasangan yang dituduh tidak terima dengan balas menuduh bahwa pasangan tersebut sebagai pasangan otoriter dan tidak bisa membangun keluarga yang harmonis.

Saling mempropoganda dan saling serang membuat suasana semakin keruh dan mungkin sengaja di arahkan menuju suasana chaos oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga wajar kalau presiden Susilo Bambang Yudoyono memberikan maklumat yang ditujukan kepada TNI-Polri untuk menjaga stabilitas menjelang dan pasca pemilu presiden 9 Juli 2014 yang akan datang. Maklumat presiden itu mengisaratkan bahwa ada sinyal bahwa potensi kisruh dan bahkan konflik pada pemilu presiden sangat mungkin terjadi sebab fenomena serta fakta yang telah terjadi.

Perkembangan terakhir propoganda yang dialamatkan kepada masing-masing pasangan calon presiden sudah menyentuh ranah sensitif sebut saja SARA. permasalahan suku, agama dan ras merupakan wilayah sensitif yang seharusnya dihindari karena kalau tersulut dapat mengakibatkan konflik sosial seperti kasus 171 di Mataram, Nusa Tenggara Barat dan kasus-kasu lainnya di Indonesia yang tidak kalah dahsyatnya. Namun, wilayah sensitif tersebut kini dijadikan konten propoganda politik untuk menghabisi lawan politiknya. Perkembangan menjelang kampanye atau debat tahap ke lima pasangan capres semakin memanas. Masing-masing sibuk menepis isu dan tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Para juru bicara masing-masing pasangan calon pun sibuk merasionalisasi senjata-senjata propoganda berbau SARA.

Anies Baswedan sebagai juru bicara pasangan Joko Widodo - Jusuf Kala terlihat sangat serius dengan gestur yang tidak biasanya. Ia membantah segala tuduhan yang di alamatkan kepada Joko Widodo tentang agama dan keyakinan, serta tuduhan yang dianggapnya sangat menyakitkan yakni tuduhan bahwa Joko Widodo seorang fasisis. Tuduhan dan segala bentuk propoganda tersebut oleh Anies Baswedan dianggap mengada-ada. Saya tahu pak Joko Widodo seorang Muslim yang menghargai waktu-waktu shalat dan sudah berhaji serta beberapa kali UMRAH. Bahkan dengan mimik yang serius Anies Baswedan menyatakan bahwa keluarga saya merupakan keluarga yang anti fasis dan komunis, sehingga tidak mungkin saya akan berada pada kelompok tersebut apalagi menjadi juru bicaranya. Oleh karena itu, semua tuduhan yang di alamatkan kepada Joko Widodo tidak benar dan sesat. 

Semua propoganda tersebut menjadi semakin tajam dan membuat pendukung pasangan calon dapat tersulut dan bisa mengarah kepada aneka bentuk anarkisme. Kejadian pengrusakan kantor TVOne di Yogyakarta misalnya, merupakan rangkaian propoganda dan propokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau mungkin akibat dari santernya pemberitaan yang dianggap selalu menyudutkan pasangan yang diusungnya. Jadi, pengrusakan tersebut sebagai akibat saja dari sebab atau ada hubungan kausalitas terhadap kasus tersebut. Keberpihakan media terhadap masing-masing pasangan calon dapat juga menjadi penyebab lain kasus Yogyakarta. Metro TV yang berada di kubu Joko Widodo - Jusuf Kala tidak kalah garangnya dalam mengangkat dan menjelek-jelekan pasangan Prabowo - Hatta, dan begitu pula dengan TvOne yang tidak memberikan proforsi yang sama dalam pemberitaan tentang pasangan Joko Widodo - Jusuf Kala. 

Kesemua bentuk propoganda, pitnah, tuduhan, black and negative campaign seakan menjadi pembenar bahwa kemenangan menjadi segala-galanya sehingga apapun bisa dilakukan demi suatu kemenangan. Etika politik di tempatkan di dunia antah barantah yang tidak membumi dan menjadi sebatas istilah akademis yang sopisticated. Keterlibatan para ulama dan akademisi pada masing-masing pasangan calon tidak banyak memberikan sumbangsih untuk mengedepankan kesantunan dan etika politik di tengah kegaduhan politik pemilu presiden. Malahan keterbelahan para ulama dan akademisi membuat suasana semakin gaduh karena masing-masing mereka menggunakan terminologi agama dan logika akademis sebagai pembenaran dan secara tidak langsung mematikan etika dalam berpolitik dan Tuhan pun dibiarkan alpa.

Tiga abad lalu, Nietze menyatakan bahwa "Tuhan telah mati". Tampaknya kini Malaikat pun telah mati bersama Filsuf, ilmuwan dan agamawan dengan etikanya (Mulkhan, 2003). Etika Weberian membuat manusia percaya diri dan merasa legal ketika merampas hak-hak orang lain atas nama Tuhan secara sistematis melalui sistem kapitalisme. Dalam konteks politik Indonesia politisi dan tim sukses merasa benar mengatasnamakan Tuhan untuk melakukan propaganda dan menghabisi lawan politiknya melalui black and negative campaign. Mungkin, Tuhan memang telah mati atau menarik dari dari pergulatan politik yang tidak beretika di dunia. Para ulama yang semestinya menyampaikan pesan-pesan moral Tuhan dalam berpolitik malah membuat Tuhan tidak lagi memihak sebagaimana ketika Adam As di kalahkan oleh setan di masa lalu. Janji-janji syurgawi pasangan calon akhirnya menjadi pepesan kosong yang tanpa makna sama sekali kecuali ego kekuasaan yang akan meraup keuntungan duniawi.

Kalau Tuhan saja telah dibuat tidak lagi memihak kepada politik gaduh dan korup apalagi kepada para pesaing-pesaing politiknya pasti disikat habis dan pada akhrnya masyarakat pun dibuat tidak berdaya serta mungkin dikurbankan. Dalam logika politik kuasa yang gaduh sangat mungkin terjadi. Logika agama dalam konteks ini hanya sebatas seruan moral yang tidak berbunyi bahwa berbuat baik kepada sesama, mendahulukan kepentingan umum dan memendam kepentingan diri sebelum orang lain terpenuhi, berikan yang terbaik darimu pada orang lain, semua orang sepakat. Namun, orang yang sama bisa berbuat kejam dan penindas melalui sistem ekonomi, sosial dan politik tanpa merasa bersalah karena dilindungi sistem-sistem yang disusun oleh para tiran sendiri.

Tanpa disadari, kita pun boleh jadi telah mengubur Tuhan dalam keyakinan mistis (Mulkhan, 2003) ketika Tuhan dengan mudah diajak kompromi melalui doa yang selalu dibaca setelah berbuat dosa dan berlaku curang dalam ekonomi dan politik yang didesain rapi serta disengaja. Doktrin moral dan akhlak yang secara kefilsafatan terus dikaji dalam etika sebatas kalimat suci tanpa kaki-tangan yang kuat sehingga gagal membuat seseorang bergerak melakukan tindakan suci bagaikan berkhutbah di atas menara tinggi tanpa jamaah karena jamaahnya jauh berada di bawahnya..

Terabaikannya moralitas atau etika berpolitik dapat membuat suasana menjadi lebih gaduh yang berujung pada konflik sosial. Politik saling serang antara dua pasangan calon presiden membuat sebagian masyarakat meradang dan ketakutan jangan-jangan akhir dari drama pilpres ini berujung bentrok dan anarkisme karena modal sosial, finansial, dan potensi lainnay habis tergadaikan, tinggal menunggu takdir saja. Pemenang tersenyum bahagia. Pecundang meradang, melawan, dan atau berkicau bagaikan burung kenari.

Tindakan politik selama bersaing memperebutkan politik kekuasan dengan menghalalkan segala cara menjadi gambar atau potret tentang kematian moralitas, etika, dan akhlak bahkan kematian malaikat ketika semuanya gagal memaksa setan-setan (meminjam istilah Munir Mulkan) dan manusia bertindak adil di saat keadilan di pandang hanya sebuah fatamorgana di tengah terik matahari. Para etikus dan moralis hanya pandai menghimbau ketika gendang telinga sudah pecah, mata telah buta, dan hati telah beku. Pada saat yang sama, para ulama, intelektual, etikus, dan moralis tidak lagi kerasan dengan dunia teologisnya lalu terjen bebas berebut kekuasaan dan hasrat duniawi bersama para politisi penggaduh yang lebih makmur dan sejahtera. Mereka para ulama dan intelektual punya beban berat yang harus dipertanggung jawabkan sebab telah berjasa mendorong kematian malaikat dalam kesunyian dan tidak berdaya. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Tanak Beak, 04072014.6.17.49

0 komentar: