Politik adalah seni untuk memimpin, kata sahabat seorang seniman. Pernyataan itu bisa menjadi benar jika dilihat dari perspektif seorang seniman. Juga, bisa menjadi salah kalau hanya dilihat secara parsial, karena politik itu merupakan proses panjang untuk menjadi pemimpin (termasuk bagaimana proses perekrutan dilakukan secara demokratis). Pada aras ini, seringkali terjadi saling sikut dan pat gulipat antara kawan di internal partai politik, apalagi antara partai politik.
Lihat saja, misalnya dalam perebutan kursi ketua DPR, para politisi berupaya untuk menjegal pemenang pemilu pada pemilu legislatif 9 April 2014 untuk menjadi ketua DPR. Mengapa para politisi terus bermain dalam lipatan untuk menjegal PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu untuk menjadi ketua DPR? Atau dengan alasan apa para politisi memaksakan diri untuk merubah aturan atau merivisi aturan pemenang pemilu secara otomatis menjadi ketua DPR? Apakah semata-mata untuk membagi jatah kekuasaan demi tercitaptanya harmoni politik di pemerintahan khususnya legislatif? Atau memang para politisi sengaja bermainan pat gulipat untuk menjegal PDI Perjuangan menduduki jabatan ketua DPR?
Pengesahan undang-undang MD3 sangat kental dengan nuansa pertarungan para politisi Senayan berebut kekuasaan. Asumsi ini sulit terbantahkan, karena itu PDI Perjuangan berusaha meladeni permainan politisi Senayan melali uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mengapa undang-undang itu baru sekarang disahkan setelah PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu, kata Rieke Diyah Pitaloka dengan nada keheranan. Sementara itu, Puan Maharani tidak kalah geram melihat ketidak adilan itu dan Ia menginginkan agar klausul itu dikembalikan seperti semula. Apapun hasil keputusan MK nantinya, tentu semua pihak harus menerimanya, harap politisi moncong putih itu. Sebagai sebuah harapan, MK dapat mengabulkan tuntutan kami agar parpol sebagai pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR sebagai bentuk penghormatan dan keadilan.
Kalau merujuk ke klausul penetapan ketua DPR dalam undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pasal 82 menyebutkan ketua DPR berasal dari partai politik dengan perolehan kursi terbanyak. Wakil ketua DPR adalah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang mendapatkan kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Klausul itu telah diubah dan disahkan dalam sidang paripurna. Pasal hasil revisi menyebutkan bahwa jabatan ketua DPR diberikan kepada fraksi yang menang voting dalam sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR. Pasal ini kemudian oleh PDI Perjuangan dianggap sebagai pasal untuk menjegal mendapatkan kursi ketua DPR.
Dalam suasana kontestasi pilpres pasal-pasal tersebut tidak begitu digubris, baik oleh koalisi PDI perjuangan maupun koalisi merah putih pimpinan Gerindra. Para politisi terkonsentrasi penuh untuk bagaimana memenangkan pilpres. PDI Perjuangan dengan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajatsa. Masing-masing mengklaim akan memenangkan pilpres berdasarkan survey-survey yang dilakukan oleh lembaga survey yang dipilih oleh masing-masing pasangan calon presiden. Akibatnya pasal krusial (penetapan ketua DPR) dalam kekuasaan di legislatif terlupakan dan baru tersentak ketika KPU sudah menetapkan pasangan presiden terpilih.
PDI Perjuangan kalah cepat dengan koalisi merah putih untuk berebut kekuasaan politik di Senayan khususnya untuk menjadi ketua DPR. Bisa jadi, para politisi koalisi merah putih di bawah pimpinan PKS sangat yakin bahwa pasangan Prabowo- Hatta tidak mampu menyaingi elektabilitas pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala yang diusung koalisi PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI. Oleh karena itu, mereka segera mempermanenkan koalisi di legislatif. Masalahnya, dalam konteks sejarah koalisi di Indonesia tidak pernah koalisi permanen buktinya koalisi yang pernah ada selalu pecah di tengah jalan (contoh mutakhir koalisi besutan Demokrat). Nah, akankah koalisi merah putih mampu bertahan di Senayan sampai lima tahun ke depan atau akan sama nasibnya dengan koalisi sebelumnya? Entahlah tetapi layak untuk di nanti.
Saat ini, para politisi PDI Perjuangan berada dalam suasana bathin yang harap-harap cemas menanti proses dan hasil persidangan di MK tentang yudisal reviu yang didaftarkan. Bagaimana tidak, menjadi ketua DPR yang sudah berada di depan mata harus pupus dengan adanya perubahan klausul pemilihan pimpinan berdasarkan pemenang voting dalam sidang paripurna. Sungguh proses politik yang menerapkan politik bermain dalam lipatan untuk membuat lawan politik terkapar tidak berdaya. Apakah ini yang dimaksud dengan seni bermain politik demi kekuasaan? Lalu, di manakah etika politik itu?
Posisi PDI Perjuangan bersama PKB dan Hanura dalam revisi klausul UU MD3 berhadapan dengan koalisi besar sangat tidak menguntungkan dan hanya pasrah serta tidak bisa berbuat apa-apa karena kalah dalam voting. Arif Wibowo, anggota panitia khusus (Pansus) RUU MD3 mengatakan bahwa sejumlah fraksi mendadak lebih terfokus membahas perubahan klausul itu (Tempo, 12 Juli 2014). Padahal revisi undang-undang itu awalnya dirancang untuk penguatan lembaga-lembaga Dewan. Namun, melalui rapat Bamus sejumlah fraksi memaksakan kehendak untuk memvoting UU MD3 di sidang paripurna.
Atas demokrasi, ketua Pansus Benny K. Harman mengatakan bahwa usul voting muncul karena sejumlah fraksi ingin menjalankan demokrasi di DPR. Ide ini didukung undang-undang, kata Benny sambil merujuk ke pasal 78 undang-undang MD3 yang menyebutkan setiap anggota dewan berhak memilih dan dipilih.
Revisi UU juga mengubah ketentuan penyidikan terhadap anggota DPR yang dimuat di pasal 220. Dalam revisi disebutkan pemanggilan anggota DPR harus seizin tertulis dari presiden. Tenggat waktu paling lembat 30 hari tidak keluar izin tertulis oresiden, pemanggilan dan permintaan katerangan dapat dilakukan. Khusus anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana dengan diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkanbbukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Perubahan terhadap beberapa pasal UU MD3 merupakan reaksi politisi untuk menjaga kehormatan korpnya dari arogansi penegak hukum yang main tangkap tanpa melihat kedudukan dan jabatannya sebagai pejabat negara. Tetapi apakah revisi tersebut tidak justru akan merusak citra lembaga dan anggota DPR sendiri? Kalau sudah melanggar hukum, sebaiknya mereka secara sadar menyerahkan diri untuk diproses secara hukum demi kewibawaan hukum itu sendiri. Sudah salah kok masih mau berkelit dan bermain pat gulipat. Kewibawaan hukum harus kita jaga bersama demi tercipta keadilan yang dicitakan semua warga masyarakat.
Wallahul muwafiq ila DarissalamTanak Beak, 30072014.08.49.09
0 komentar:
Posting Komentar