Selasa, 05 Agustus 2014

GARUDA, MERAH PUTIH: SIMBOL-SIMBOL NEGARA YANG TIDAK LAGI SAKTI

Ketika menyebut garuda, maka kita akan mengingat lambang negara Indonesia. Begitu juga, ketika menyebut merah putih, maka kita pun pasti akan mengingat bendera kebangsaan Indonesia. Namun, ketika kita menggabungkan kedua kata dari lambang-lambang negara tersebut, maka kita pasti mengingat pasangan calon presiden nomor urut 1 yakni Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (yang bersaing dengan pasangan calon presiden Joko Widodo - Jusuf Kala) pada pilpres 9 Juli 2014. Dan atau pasti mengingat koalisi besar yang dibangun oleh Gerindra besutan Prabowo Subianto. Persaingan keduanya menuju Istana Negara sangat ketat dan penuh intrik politik.

Ketika menyebut koalisi besar, mungkin memori kita akan tertuju pada pemilu gubernur Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo - Basuki Cahaya Purnama (Ahok) yang saat itu hanya diusung oleh partai PDI Perjuangan dan Gerindra. Sungguh, tidak ada yang memprediksi pasangan Jokowi - Ahok bakal mengalahkan Fauzi Bowo dengan koalisi besarnya. Sejarah tersebut terulang kembali, ketika maju mencari peruntungan menjadi calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kala menuju Istana dan sekaligus terpilih menjadi presiden. Joko Widodo memang fenomena pemimpin politik yang menarik dan berasal dari orang biasa (bukan trah kebangsawanan) atau pemimpin sebelumnya. Hal ini mungkin yang disebut sebagai Satrio Piningit (keyakinan orang Jawa) sebagaimana yang pernah diramalkan oleh Ki Joyo Boyo dari kraton Surakarta.

Namun, tulisan ini tidak membahas dan menganalisa tentang Satrio Piningit, tetapi terfokus pada bagaimana fenomena Joko Widodo berasal dari orang biasa "yang rak iso opo-opo" mampu mengalahkan pasangan presiden yang penuh dengan simbol-simbol kenegaraan di dadanya Prabowo Subianto), tetapi dibuatnya tidak berkutik. Sebenarnya fenomena apa yang melekat pada diri Joko Widodo? Apakah karena wajah ndesonyaatau kesederhanaan hidupnya atau karena dia pemimpin yang biasa-biasa saja, karenanya sangat dekat dengan rakyatnya?

Pertanyaan tersebut berkaitan dengan dasar dari prinsip-prinsip kepemimpinan (leadership). Banyak orang tidak menyadari mengapa orang lain mengikutinya atau sebaliknya, mengapa Ia mengikuti orang lain. Para pimpinan mulai dari pimpinan agama, pejabat, adat, cendekiawan, pengusaha, sampai preman semuanya memiliki pengikut. Dalam konteks ini, penting untuk merujuk kepada makna pemimpin menurut John C. Maxwell bahwa " Leadership is influence...nothing more, nothing less". Lalu pertanyaannya kemudian, mengapa para pengikut tersebut bersedia patuh terhadap para pemimpinnya?

Terdapat tiga motip mengapa seseorang mau menjadi pengikut bagi orang lain. Motip yang pertama adalah untuk mendapatkan rasa aman. Rasa aman tersebut diperoleh seseorang pengikut karena sang pemimpin dinilai bisa memberikan perlindungan atau sebaliknya, bila tidak taat pada sang pemimpin, maka sang pemimpin tersebut justru yang akan mengancam dirinya. Motip yang kedua adalah untuk mendapatkan imbalan atau reward . Seseorang pengikut patuh terhadap pemimpinnya karena sang pemimpin bisa memberikan imbalan (dalam bentuk materi) kepada pengikut tersebut. Motip yang ketiga adalah kepuasan intelektual, emosional atau spiritual. Dalam motip yang ketiga ini, seseorang mengikuti sang pemimpin karena sang pemimpin bisa memberikan ilmu pengetahuan yang bisa memuaskan hasrat intelektual dirinya, kegembiraan yang bisa memuaskan hasrat emosionalnya atau kedamaian yang bisa memenuhi hasrat spirutualnya. Ketiga motip para pengikut tersebut dipuaskan oleh sang pemimpin dengan menggunakan kekuasaan atau power.

Dalam hal keamanan, para petugas keamanan dipatuhi karena diyakini orang yang mematuhinya akan aman-aman saja. Demikian pula atasan di kantor dipatuhi karena kalau patuh maka tidak akan dimarahi. Dalam hal imbalan, para majikan dipatuhi karena bisa memberikan upah kepada para pekerja. Sama halnya dengan cendekiawan diikuti karena kekayaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan para tokoh agama ditaati karena kebenaran yang diajarinya, dan begitu pula dengan para tetua adat dipatuhi karena kekuasaan dan pengaruh di dalam komunitasnya. Kekuasaan dalam arti positip dengan demikian, dibutuhkan untuk memuaskan motif orang-orang yang akan di arahkan untuk tujuan tertentu.

Kemunculan Joko Widodo sebagai pemimpin Indonesia tinggal menunggu waktu (hasil pleno rekapitulasi KPU) tanggal 22 Juli 2014. Karena hanya lembaga negara ini yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mentasbihkan presiden Indonesia setelah melalui proses dan tahapan pilpres yang panjang dan melelahkan, juga dengan biaya yang tidak sedikit. Sehingga siapapun yang ditetapkan KPU menjadi pemenang, maka itulah pilihan rakyat dan tidak perlu digugat. Tinggal menunggu, apa yang akan diperbuat presiden terpilih untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini yang penting bagi rakyat, sepertinya rakyat sudah bosan dibohongi terus menerus oleh pemimpinnya. Nah, apakah style Joko Widodo yang ndeso, merakyat dan sederhana akan mampu dipertahankannya atau malah menjadi elite baru yang nyaman di pucuk kekuasaan. Kalau ya, maka benar-benar rakyat sudah dipermainkannya dengan semua dalih kesederhanaannya dan mari ditunggu saja action sang presiden baru.

Namun, saya meyakini bahwa style ndeso, merakyat, dan kesederhanaan itulah yang justru menjadi kekuatan atau power Joko Widodo, maka sebagai kekuatan seharusnya mampu dipertahankannya. Bila saja, style itu hilang dari dirinya, maka habislah Joko Widodo dan rakyat tidak akan lagi percaya. Saya juga meyakini bahwa style itu pula yang membuatnya mampu mengalahkan Prabowo Subianto pada pilpres yang baru lalu, walaupun Ia mengandalkan simbol-simbol "garuda, merah putih" yang sangat melekat dalam dada rakyat Indonesia. Namun, semua itu dilupakan sejenak oleh rakyat demi hasrat yang besar melahirkan pemimpin yang merakyat dan sederhana, seperti Joko Widodo.

Dalam konteks sejarah revolusi fisik Indonesia, simbol garuda dan bendera merah putih mengalir bersama darah para pejuang Indonesia. Lambang merah putih merupakan harga mati dan siapapun yang melecehkannya, maka nyawa rakyat menjadi taruhannya. Ingat ketika Bung Tomo yang rela mengorbankan diri dan tidak takut mati untuk mengibarkan sang saka merah putih di Surabaya. Dan karena keberaniannya itu membuat rakyat Indonesia semakin menjadi Indonesia dengan mengusir kolonialisme dari bumi Indonesia. Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...merdeka...merdeka...merdeka, diucapkan secara lantang oleh Bung Tomo.

Kini, suara-suara serupa dimunculkan dalam konteks kontestasi politik merebut kuasa menjadi presiden Indonesia. Suara lantang, tidak ubahnya Bung Karno menyuarakan kata perjuangan dan demi kemerdekaan Indonesia, Prabowo Subianto terus mengobarkan dan menjanjikan kesejahteraan rakyat. Seakan-akan perjuangan dengan menjadi presiden menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar. Oleh karena itu, demi terwujudnya hasrat kekuasaan itu, maka rakyat Indonesia harus memilihnya pada pilpres. Namun, faktisitasnya, memang Prabowo Subianto punya banyak kawan, tetapi musuhnya pun tidak sedikit, sehingga hal inilah yang menjadi batu sandungan untuk memenangkan kontestasi kuasa menuju Istana Negara.

Sebut saja misalnya, Jendral Wiranto jelas-jelas menyalahkan dan dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas tragedi penculikan para aktivis yang sampai saat ini belum jelas keberadaannya. Belum lagi, para orang tua yang menjadi kurban penculikan dengan di back up oleh media terus menerus dimunculkan agar Prabowo Subianto bertanggung jawab dan mengembalikan anak-anaknya. Serta yang tidak kalah garang dan kerasnya, suara para aktivis pejuang HAM. Kesemua itu, bagian kecil batu sandungan Prabowo Subianto memenangkan kontestasi politik.

Namun terlepas dari semua itu, terpilihnya Joko Widodo sudah menjadi takdir politik. Sedangkan Prabowo Subianto-Hatta hanya menjadi pecundang pada pilpres 9 Juli 2014. Kekalahan pasangan koalisi merah putih itu juga sudah takdir yang harus diterima. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali menerima kekalahan dari pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala, dan atau kalau tidak, maka Prabowo Subianto harus menggugat hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Menerima kekalahan  atau menggugat ke MK merupakan dua pilihan yang diberikan konstitusi, namun demikian, pilihan mana yang akan dipilih oleh Prabowo, terserah saja. Tetapi yang pasti bahwa menerima kekalahan, tidak serta diamini oleh partai koalisi merah putih, apalagi disanyalir banyak ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh tim lawan maupun penyelenggara pemilu. Mau menggugat, juga bukan perkara mudah dan bahkan sangat rumit. Atas nama martabat dan demi gengsi koalisi besar merah putih, besar kemungkinannya untuk menggugat ke MK.

Simbol-simbol perjuangan garuda merah putih, sudah terlanjur di tabuh oleh pasangan presiden Prabowo-Hatta. Namun, rakyat hanya mendengarnya sumir dan tidak ditanggapi terlalu serius. Simbol-simbol negara tersebut sudah tergadai dengan murah dengan makna yang tidak jelas, tetapi rakyat tidak tertarik untuk mendapatkannya karena tidak mengetahui makna di balik lambang garuda merah putih yang melekat pada atribut kampanye pasangan koalisi merah putih.

Rakyat hanya tahu, bahwa Joko Widodo sangat merakyat, berempati kepada rakyat dengan "blusukannya", orangnya jujur, bersih, dan sederhana. Rakyat pemilih hanya tahunya itu saja, kalau soal tegas, buktinya Ia dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia dan berhasil menata birokrasi Jakarta walaupun belum selesai masa jabatannya. Rakyat hanya melihat kesederhanaan dan apa adanya dari Joko Widodo, tidak lebih dan tidak kurang. Ia tidak ganteng dan bertubuh kekar, tetapi itulah daya tariknya. Di balik ketidak gantengannya terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang telah mampu menghipnotis rakyatnya untuk tidak pindahnke lain hati pada pilpres dan faktanya terpilih menjadi presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan.

Kekalahan Prabowo-Hatta telah membuat garuda tidak lagi sakti seperti era revolusi pisik. Garuda sebagai alat propaganda politik atau untuk menarik dukunggan politik, tidak lagi manjur untuk merebut hati rakyat. Begitu pula dengan merah putih, dianggap sebagai pajangan dan hiasan ketika sudah menjadi alat propaganda politik. Keduanya, telah turun nilainya dan tidak lagi memiliki tuah yang membuat hati rakyat bergetar dan bergerak untuk membelanya mati-matian. Marwah garuda merah putih seakan telah menyatu dalam diri Joko Widodo dengan atau tanpa simbol garuda, dan merah putih. Manusia yang berparas ndeso rak iso opo-opo terpilih menjadi presiden karena kesederhanaan dan blusukan yang dilakoninya.

Apa makna simbol-simbol negara itu ketika si pemakai simbol kalah dari pesaing pada kontestasi politik yang bising, panas, dan kental intrik politik yang tidak lagi dibilang bersih? Dalam konteks kontestasi politik simbol-simbol kenegaraan itu sudah tidak laku dijual untuk menarik dukungan mayoritas pemilih. Sementara bagi si pemakai simbol tersebut harus berfikir ulang untuk memanfaatkan simbol-simbol tersebut untuk kontestasi politik kekuasaan berikutnya. Pada aras ini, pemerintah harus membuat aturan agar simbol-simbol kenegaraan tidak sembarang dipakai atau melarang pemakaian simbol-simbol kenegaraan untuk kepentingan politik sehingga tuahnya sebagai penyemangat bela negara tidak turun derajatnya. Larangan partai-partai politik menggunakan simbol-simbol kenegaraan sebagai lambang partai dapat dijadikan contoh yang baik.

Sampai saat ini, belum diketahui mengapa dan atas alasan apa pasangan Prabowo-Hatta memakai simbol garuda dan merah putih dijadikan sebagai ikon propaganda politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat pada pilpres 9 Juli 2014 yang lalu. Lalu mengapa tidak ada satu orang pun atau kelompok yang mempersoalkan pemakaian simbol-simbol kenegaƕaan tersebut untuk kepentingan politik praktis? Atau semua orang bisa memanfaatkan simbol-simbol kenegaraan tersebut untuk kepentingan sendiri tanpa ada satu pun lembaga negara yang memperdulikannya. Setahu saya, lambang garuda hanya digunakan oleh lembaga-lembaga negara seperti lembaga kepresidenan, DPR, dan lembaga-lembaga komisioner yang dibemtuk negara, tetapi tidak untuk propaganda politik untuk mengejar politik kekuasaan.

Kini koalisi Garuda, merah putih pimpinan Gerindra sudah kalah bersaing dengan koalisi kepala Banteng moncong putih atau PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarno Putri. KPU sudah mengesahkan melalui rapat pleno terbuka kemenangan pasangan Joko Widodo - Jusuf Kala. Banyak orang tidak percaya, kalau Probowo - Hatta kalah bersaing, tetapi tidak sedikit pula yang percaya bahwa Joko Widodo - Jusuf Kala pasti menjadi pemenang dan berjalan mulus menuju kursi kepresidenan. Karena itu, pihak yang kalah menempuh jalur hukum ke MK dan DKPP. Sementara sang Jawara tidak jumawa dan merayakan kemenangan secara berlebihan walaupun KPU sudah menetapkan presiden terpilih.

Nah, apakah episode berikutnya Garuda dengan koalisi merah putihnya bisa terbang tinggi kembali setelah memasukkan gugatan hasil pilpres ke MK dan DKPP bagi penyelenggara pemilu yang nakal. Apapun hasil keputusan di MK tidak penting menurut sebagian Tim Prabowo - Hatta, tetapi yang ingin ditunjukkan bahwa kalaupun kalah, kalah dengan catatan, dan kemenangan Joko Widodo - Jusuf Kalla adalah kemenangan dengan catatan pula. Oleh karena itu, Tim Prabowo - Hatta harus serius dan teliti dalam mengumpulkan barang bukti atas yang disangkakan. Keteledoran bisa berakibat fatal bagi garuda dan koalisi merah putih. Akibat lebih jauh, Prabowo - Hatta harus dapat mempertanggung jawabkan pemakaian simbol-simbol negara sebagai alat propaganda politik. Kekalahan untuk berebut kuasa pada pilpres tanggal 9 Juli 2014 yang lalu menjadi bukti bahwa garuda dan merah putih sudah tidak sakti lagi. Bagaimana mempertanggung jawabkannya? Hanya Prabowo - Hatta yang bisa menjelaskannya dan kita sebagai rakyat berhak untuk tahu alasannya. Mari kita tunggu saja.

Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Dangiang, KLU, 03082014.12.52.29.

0 komentar: