Selasa, 05 Agustus 2014

URBANISASI DAN PERMASALAHAN SOSIAL IBU KOTA

(I)
Ubanisasi besar-besaran selalu terjadi setiap tahunnya ke kota-kota besar, khususnya Ibu Kota Jakarta. Dari data yang dirilis media disebutkan bahwa tidak kurang dari 7 ribu orang pendatang baru yang memadati Jakarta. Kehadiran mereka di Jakarta tidak lepas dari iming-iming syurga dari sanak keluarga mereka yang pulang mudik merayakan Idhul Fithri ke kampung halamannya. Namun, alasan mendasar adalah keinginan untuk mencari pekerjaan ke kota sebab di desa pekerjaan tidak ada, kecuali menjadi petani atau buruh tani. Apapun alasan mereka urbanisasi ke Jakarta menjadi permasalahan sosial yang membikin pemerintah Jakarta pusing tujuh keliling.
Urbanisasi yang berlebihan bila dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja di Jakarta telah menjadikan mereka terpaksa bekerja serabutan dan bergelut dengan pekerjaan informal, seperti tukang ojek, pemulung, buruh kasar di pasar tradisional, tukang parker dadakan, dan bahkan tidak bekerja. Yang namanya pekerjaan informal selalu saja memunculkan permasalahan baru, apalagi pendapatannya tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan ketika hendak berangkat meninggalkan desanya. Mau pulang, takut, mau tetap bertahan di kota, jadi pengangguran. Sehingga jalan pintas dan rasa prustasi menjadikan mereka melakukan pekerjaan yang penting bisa bertahan hidup di kota, salah satunya dengan menjadi preman pasar.  
Urbanisasi sudah menjadi pilihan masyarakat desa yang ingin merubah nasib ekonominya menjadi lebih baik. Pilihan itu bagi sebagian orang yang memiliki skill dan ilmu pengetahuan menjadi pilihan yang tepat dan bagus, karena di kota-kota besar membutuhkan orang-orang yang memiliki keahlian tertentu. Sementara, bagi mereka yang tidak memiliki skill justru akan menjadi beban dan membuat mereka hidup terlunta-lunta serta hidup menggelandang. Mereka bisa berada di tempat-tempat keramaian, entah di pasar, stasiun, terminal, dan dipangkalan ojek. Hidup mereka yang menggelandang itulah yang membuat suasana ibu kota Jakarta menjadi tidak ramah, keras, kasar, dan menakuti semua orang. Mereka hanya berusaha merubah takdirnya untuk dapat hidup lebih layak.

Desa, sebagai titik berangkatnya tidak mampu memberikan kehidupan lebih layak, karena kebijakan pembangunan lebih terkonsentrasi di kota-kota besar. Kehidupan dengan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani tidak akan membuat mereka hidup bahagia dan sejahtera. Penghasilan sebagai petani, memang tidak membuat hidup mereka berlebih. Mereka hanya bisa bersyukur bahwa alam masih ramah terhadapnya. Pemerintah tidak mampu menjamin hidup sebagai petani untuk hidup sejahtera dan bahagia karena ketidakmampuan menekan harga pupuk, obat-obatan, dan tidak mampu mengontrol harga dasar gabah ketika hendak panen. Selalu saja, harga pupuk melambung tinggi mengikuti kebijakan pemerintah menaikan harga dasar gabah. Pada aras ini, kehidupan kota menjadi impian pemuda desa untuk melakukan urbanisasi.
(II)
Urbanisasi ke kota Jakarta merupakan cerita klasik yang terus terulang setiap tahunnya. Pemerintah Provinsi Jakarta tidak pernah mampu menekan angka urbanisasi yang memasuki raganya, dan di sisi lain, mereka para urban menjadi beban bagi Jakarta. Operasi yustisia (terutama menjelang arus balik) dan himbauan-himbauan melalui spanduk kerapkali dilakukan oleh pemerintah Jakarta untuk mengurangi para urban dari desa. Namun, semua itu hanya sebagai isapan jempol belaka, karena kondisi dan pekerjaan di pedesaan yang tidak variatif, kecuali sebagai petani.
Urbanisasi berlebih dan pemekaran horisontal fisik kota sebagai akibat dari obsesi yang terlalu menggebu untuk membangun kota menjadi metropolis, juga melahirkan berbagai kontradiksi pembangunan kota. Persoalan yang timbul kemudian adalah bahwa laju pertumbuhan penduduk yang begitu pesat tidak lagi bisa diantisipasi oleh daya dukung kota secara layak. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai akibat seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketidaknyamanan, serta fenomena premanisme.
Hans Dieter Evers (1989) adalah beberapa di antara pakar yang menggambarkan bagaimana akibat obsesi yang terlalu menggebu untuk membangun kota metropolis. Kota yang memilih jalur komersial, menurut Bagong Suyanto (2003) dalam makalah HIPPIS VII, dan dibangun di bawah kendali paradigm pertumbuhan dengan mengejar kemajuan, jangan heran bila kemudian mematik hasil yang berbalikan dengan tujuan ideal pembangunan. Kota tumbuh dengan sosoknya yang penuh kontradiksi dan di dalamnya sangat rapuh karena dari segi spasial dan sosiologis tidak tertata dengan baik. Keadaan ini tidak mustahil bertambah makin parah ketika para perencana pembangunan ternyata tidak peka terhadap kebutuhan dan kondisi masyarakat kota.
Operasi dan penertiban PKL yang dilakukan oleh penjabat Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama (Ahok) sebagai bentuk kegundahan pemerintah yang tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat kota, termasuk para urban. Fakta tersebut dapat dibaca sebagai sebuah kegagalan pembangunan di Jakarta. Kenapa misalnya, pemerintah Jakarta tidak berfikir bahwa semakin tinggi angka migrasi dan semakin banyak jumlah warga yang tinggal di wilayah perkotaan berarti semakin banyak warga masyarakat yang telah melek huruf, modern dan inovatif. Namun, masalahnya sekarang apa persoalan yang timbul akibat pertambahan penduduk yang pesat itu bagi kota yang memiliki lahan dan daya dukung ruang yang relative terbatas, seperti Jakarta?
Ketika over urbanization dan ketika spasial semakin sesak, problem semakin banyak bermunculan, terutama masalah pertanahan dan masalah sosial. Penyerahan harga dan peruntukan tanah kepada mekanisme pasar menjadi salah satu factor yang membuat masalah pertanahan kota semakin runyam (Mc Asulan, 1986). Kompetisi yang bebas dimana semua orang bisa terlibat dalam bisnis ntanah sering berakibat pada pelaksanaan rencana dan tata ruang menjadi semakin sulit di jalankan. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki kemampuan terbatas dalam mengelola dan membangun fasiltas public.
Diakui atau tidak, kekuatan komersial dan swasta acapkali menjadi pihak penentu  yang mempengaruhi kekuatan kelembagaan dalam menyusun berbagai kebijakan pembangunan kota. Sementara kekuatan massa, terutama kelompok marjinal kota menjadi pihak yang sama sekali tidak diperhitungkan dalam pengaturan dan pembagian spasial tata ruang kota. Malah cendrung dianggap sebagai pengganggu dan tidak mendukung pembangunan kota, karena itu kesempatan kelompok miskin untuk memperoleh akses tanah sangat terbatas dan nyaris tidak ada. Kerapkali terjadi, golongan menengah ke bawah semakin tersisih dari hasil pembangunan kota dan tersuksesi (proses penduduk asli tergantikan para pendatang) ke daerah-daerah pinggiran yang dikenal sebagai “pemukiman kumuh”. Hak rakyat atas tanah menjadi terlupakan dan tersisih di perkotaan. Penduduk asli (orang Betawi) tidak lagi hidup di jantung ibu kota Jakarta, tetapi sudah terpinggirkan, tersebar sampai ke Bekasi, Tengerang. Pertahanan akhir orang Betawi tergambar dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” yang diperankan oleh Benyamin Suaeb, Rano Karno, dan lainnya.
(III)
Selama ini, orang seringkali membayangkan masyarakat desa itu sebagai tempat orang bergaul dengan rukun, tenang dan selaras. Bayangan itu bisa menjadi benar dan bisa jadi salah. Namun sering juga, di dalam masyarakat desa tempat orang hidup berdekatan dengan orang-orang tetangga terus menerus, kesempatan untuk pertengkaran terbuka lebar. Perang antar kampung atau desa yang terjadi di kota Mataram dan Lombok Tengah seringkali memakan kurban dan belum terselesaikan sampai sekarang ini. Penyebab masalah sepele saja dapat menyulut pertengkaran kembali.
Perselisihan lebih sering disebabkan karena masalah tanah, kedudukan dan gengsi masalah perkawinan. Para ahli Antropologi banyak memberikan gambaran hasil penelitian yang mengumpulkan bahan tentang pertengkaran-pertengkaran dalam masyarakat yang ditelitinya. Bahan dan data tersebut juga mencakup pertengkaran (konflik sosial), pertentangan (kontroversi) dan persaingan (kompetensi). Desa dalam kehidupannya yang asli adalah sifat ketentraman dan kerukunan. Boeke (1976) menggambarkan desa sebagai tempat ketentraman, bukan tempat bekerja. Ketentraman itu pada hakekatnya hidup yang sebenarnya bagi orang Timur. Namun, gambaran tentang desa sebagaimana Boeke (1976) mungkin ada benarnya bila dikaitkan dengan urbanisasi yang setiap tahunnya meningkat dan memunculkan permasalahan sosial yang tidak berkesudahan.
Kedatangan para urban di kota Jakarta pasca mudik lebaran masih belum ditemukan solusinya agar mereka nyaman hidup dan bekerja. Jakarta memang bukan tempat yang nyaman untuk bekerja dan mencari uang bagi yang tidak memiliki skill dan kelebihan khusus. Lebih tepatnya, justru bagaikan neraka baginya. Kenekatan para urban tanpa skill itu yang memunculkan permasalahan social tersendiri yang belum terpecahkan sampai saat ini. Modal yang mereka miliki hanya semangat (kerja keras) dan kekuatan fisik.
Kalau mau jujur, para pendatang (urban) adalah masyarakat desa yang biasa bekerja keras di sawah atau ladangnya. Mereka bekerja pada masa-masa tertentu, tetapi mengalami kelegaan luas yang tidak cukup untuk dapat menyelesaikan segala pekerjaan di lading atau di sawah sendiri. pada masa-masa seperti itu orang dapat menyewa tenaga tambahan atau meminta bantuan tenaga dari sesama warga desanya berdasarkan adat-adat lama seperti system bawon, tolong menolong, dan gotong royong, maupun dengan system upah.
Semangat kerja keras minus skill para urban itu menjadi modal dan potensi yang bernilai ketika masih tinggal di desa, tetapi dalam kehidupan masyarakat kota yang baru hal itu tidak cukup. Sifat individualitik, persaingan, dan ketegaan kehidupan kota membuat para urban mengalami keterkejutan budaya (meminjam istilah Geetrz). Mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru harus bisa bekerja serabutan untuk menyambung hidup, entah menjadi pemulung, pengemis gembel, dan atau mencopet. Sementara itu, sedikit dari mereka mampu bertahan hidup menjadi tukang ojek dan buruh bangunan. Mereka inilah yang disebut sebagai “orang miskin perkotaan”.
Namun demikian, saya tidak sepakat untuk menyebuat orang miskin sebagai manusia yang boros, malas, fatalistic, dungu dan bodoh. Sebenarnya mereka memiliki semangat tinggi untuk berhasil, pekerja keras, cerdik dan ulet. Kemiskinan lebih saya pahami sebagai suatu kondisi kemiskinan itu sendiri, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan yang oleh Robert Chambers (1986) disebutnya sebagai “rantai kemiskinan”. Kerentanan mencerminkan keadaan tanpa peyangga atau cadangan untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga (berobat ke rumah sakit, dll). Ketidakberdayaan golongan miskin dicerminkan dengan kemudahan golongan masyarakat lainnya atau mampu dan lebih kuat untuk menjaring, mengatur, dan membelokkan manfaat dan hasil-hasil pembangunan serta pelayanan pemerintah yang diperuntukkan bagi mereka yang kekurangan karena berada dalam kedudukan yang lemah.
(IV)
Sebenrnya, para urban tidak akan menimbulkan masalah sepanjang pemerintah kota Jakarta mampu memenuhi kebutuhan pelayanan publik, pekerjaan dan akses terhadap kepemilikan tanah. Akan tetapi, ketika kemampuan pemerintah kota untuk menyediakan pasilitas publik dan melayani kebutuhan warganya yang senantiasa bertambah  dengan pesat relative tidak berimbang, maka hal ini awal munculnya segala permasalahan sosial, seperti munculnya rumah kumuh, gelandangan, pemulung, premanisme, dan masalah lainnya.
Jika ditelisik rumah tangga miskin dan lingkungannya, terlihat bahwa ada mata rantai kemiskinan yang berjalin erat yang biasa disebut lingkaran setan, sindrom kemiskinan atau perangkap kemiskinan. Sebagai peneliti tentu lebih bisa menjelaskan dari pada mengatakan bahwa seseorang itu miskin karena dia miskin.
Kemiskinan tentu saja menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan dalam kehidupan ibu kota. Di samping karena miskin, permasalahan rumah kumuh yang ditempati orang miskin menjadikan jasmaninya lemah karena asupan makanan yang kurang, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan serangan penyakit rendah, mereka pun tersisih, karena tidak mampu membiayai sekolah dan menjadi tidak berdaya karena tidak mempunyai kekayaan dan mempunyai kedudukan yang rendah, sehingga orang miskin dalam politik nyaris tidak mempunyai suara.
Dengan demikian, pemerintah ibu kota terus berupaya untuk menekan angka urbanisasi, terutama bagi mereka yang tidak memiliki skill atau keahlian khusus karena pasti akan menjadi beban pemerintah kota Jakarta yang berakibat pada munculnya berbagai permasalahan sosial. Karena itu sebagai landasan hukum untuk mengantisipasi permasalahan sosial yang muncul, pemprov DKI Jakarta membuat perda Nomor 4 Tahun 2014. Prinsipnya perda itu berusahan untuk membatasi kedatangan orang desa minus skill ke ibu kota Jakarta. Sebagai tindak lanjutnya, dua kali dalam setahun, pemprov melakukan operasi yustisi terhadap masyarakat yang tidak memiliki identitas resmi Jakarta. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya di pulangkan ke desa asalnya karena dianggap urban gelap tanpa identitas resmi Jakarta.
Diakui atau tidak, selama ini sumber utama kegagalan pembangunan dan penderitaan warga kota-kota besar di Negara sedang berkembang, sesungguhnya adalah karena kebijakan yang represif dan administrative, sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah yang ada. Banyak bukti menunjukkan bahwa bersamaan dengan perkembangan kota-kota menjadi megacities yang timbul justru kekisruhan. Di balik wajah kota yang serba megah, ternayata yang terselingkuh bukan Cuma kekumuhan dan kesemrawutan lalu lintas (Bagong Suyanto, 2003), tetapi juga keseweang-wenangan. Kota seolah identik dengan kesombongan, sikap yang represif, dan makin tidak ramah bagi rakyat miskin.
Kampong-kampung asli (Betawi) tak berdaya karena ditikung gedung-gedung pencakar langit. Pasar-pasar taradisional makin terpojok di jejas plaza dan mega mall. Sementara itu, penggusuran tanah, penghapusan becak, peremajaan pemukiman kumuh, penertiban pedagang asongan, dan semacamnya adalah pemandangan rutin yang bisa dijumpai diberbagai kota besar di Indonesia. Singkatnya, di kota yang makin modern, yang namanya sector informal dan kaum marginal kota dianggap sebagai anak durhaka yang harus dijauhi dan disingkirkan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Latin, menurut Hernando de Soto, ketika orang-orang desa terusir dari tanah mereka akibat peceklik, banjir, karena penduduk yang sudah terlampau padat, dan pertanian makin mundur, mereka kemudian berduyun-duyun pergi ke kota. Hasilnya, semua pintu system kota ternyata sama sekali tertutup bagi mereka. Di kota besar, kaum urban yang berasal dari desa-desa miskin itu cendrung hanya menjadi bulan-bulanan dan obyek pemerasan. Hasil temuan de Soto tersebut bisa digeneralisasi sebagai cerminan dari keadaan kota-kota besar lain, terutama di Indonesia. Menurut Bagong Suyanto (2003) dalam makalah yang dipresentasikan pada HIPPIS di Medan menyebutkan bahwa kita tidak bisa menutup mata bahwa perkembangan kota-kota besar di Indonesia terasa semakin liar dan condong hanya dikendalikan oleh kekuatan komersial. Sangat terasa bahwa pembangunan yang dilakukan semakin mengarah pada kemampuan ekonomi berdasarkan system zoning, sehingga bukan hal aneh jika terjadi segregasi dan polarisasi pergaulan warga kota. Mereka yang secara ekonomis makmur berkumpul di lokasi tertentu dengan fasilitas lengkap dan mahal serta memiliki gaya hidup yang eksklusif, sementara sebagian besar massa hidup berdesak-desak dengan fasilitas public minimal dan bahkan acapkali mereka harus mengeluarkan biaya lebih mahal.
Bagi warga kota kelas bawah yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup adalah melakukan penghematan ongkos transportasi karena tempat tinggalnya yang berjauhan dari tempat kerjanya di pusat kota. Karena itu, pilihan utamanya adalah mengontrak rumah di kampong-kampung kumuh di pusat kota atau mendiami stren-stren kali sebagi pemukiman liar di Jakarta. Dalam kondisi seperti itu, tidak mengherankan jika mereka lalu menjadi rawan dan sering terancam penggusuran. Mereka mengidealkan hidup layak, tetapi karena akses dan harga tanah di kota melonjak tinggi serta wilayah pemukiman semakin berkurang, maka hidup seadanya dan tinggal di bantaran sungai menjadi pilihannya.
Pembangunan yang tidak ramah di kota Jakarta sangat dirasakan oleh penduduk asli Betawi yakni terusirnya mereka dari pusat kota ke daerah pinggiran. Kini mereka hanya bisa bangga dengan pesatnya pembangunan dengan gedung pencakar langit, tetapi di hati kecilnya justru menangis karena tidak mampu bertahan di daerah kelahirannya. Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menatap gedung-gedung menjulang tinggi dengan tatapan kosong dan keharuan menyesakkan dada.
Keberadaan mereka kini mulai terusik kembali oleh kelas menengah ke atas yang sudah gerah dengan kehidupan kota yang polusi dan macet. Satu per satu mulai pindah dan melakukan intervensi ke daerah pinggiran kota yang tanahnya masih belum begitu mahal. Proses intervensi ini oleh Hans Dieter Evers (1990) dinamakan sebagai efek lompat katak. Pada aras ini, kembali warga kota kelas rendah berada pada posisi yang terjepit dan tidak berdaya, serta tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya bisa menghela nafas panjang.
Tentu, efek yang ditimbulkan oleh penetrasi penduduk pusat kota ke daerah pinggiran kota menurut Evers (1990) ada dua yaitu: Kerugian ekologis yang cukup parah dan keterpaksaan dari penghuni lama menjual lahan kepada penghuni baru. Akibatnya, harga-harga dan baiaya hidup rata-rata akibat invasi pendatang meningkat serta perkembangan wilayah-wilayah pinggiran pada gilirannya kemudian sering juga menyebabkan penghuni asli yang masih bertahan lambat-laun menyingkir ke wilayah lain yang kondisinya lebih sesuai dan lenih ramah bagi kehidupannya. Artinya, penduduk asli yang seharusnya lebih berhak tinggal dan bisa ikut mencicipi hasil pembangunan terlihat satu per satu tersisih dari tanah kelahirannya.
(V)
Urbanisasi minus skill membuat kehidupan kota menjadi lebih semrawut dan lebih tepat lagi, telah memunculkan dampak sosial yang belum terselesaikan. Kota yang tumbuh di bawah kendali pro-modernisasi yang hanya mengejar kepentingan pertumbuhan ekonomi dan melayani kepentingan industrialisasi ternyata hanya melahirkan ketidakadilan, kekecewaan, dan marginalisasi terhadap masyarakat miskin. Apa yang dilakukan pemprov DKI Jakarta dengan mengangkut lapak-lapak pedagang bukanlah tindakan yang patut di puji malah sebaliknyaoleh. Memberikan mereka hidup nyaman dan layak di ibu kota Jakarta menjadi tugas dan kewajiban pemerintahan Joko Widodo dan Basuki Cahaya Purnama (Ahok).
Apapun kondisi para urban yang kini hidup di Jakarta, hendaknya para perencana pembangunan lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Segala bentuk operasi seperti yustisi, tidak dihajatkan semata-mata untuk mengusir mereka, namun dibina dan diberikan pengertian bahwa berkarya dan bekerja keras di daerah asal jauh lebih baik di bandingkan datang ke Jakarta tanpa skill khusus. Kalau hendak jadi pemulung atau tukang ojek tidak perlu jauh-jauh datang ke Jakarta. Cara-cara pendekatan seperti itu yang dibutuhkan masyarakat miskin, bukannya main gusur dan memulangkan mereka kembali ke daerah asalnya.  Dan juga, pertimbangan kemanusiaan, keadilan dan menghargai hak asasi para urban harus dijunjung tinggi agar pemerintah tidak menggali kuburnya sendiri. Artinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri tidak terjadi akibat dari kecerobohan dan tidak peka serta tidak berpihak terhadap nasib mereka.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Tanak Beak, 08082014.09.01.09  

0 komentar: