(I)
Ubanisasi besar-besaran selalu terjadi setiap tahunnya ke
kota-kota besar, khususnya Ibu Kota Jakarta. Dari data yang dirilis media
disebutkan bahwa tidak kurang dari 7 ribu orang pendatang baru yang memadati
Jakarta. Kehadiran mereka di Jakarta tidak lepas dari iming-iming syurga dari
sanak keluarga mereka yang pulang mudik merayakan Idhul Fithri ke kampung
halamannya. Namun, alasan mendasar adalah keinginan untuk mencari pekerjaan ke
kota sebab di desa pekerjaan tidak ada, kecuali menjadi petani atau buruh tani.
Apapun alasan mereka urbanisasi ke Jakarta menjadi permasalahan sosial yang
membikin pemerintah Jakarta pusing tujuh keliling.
Urbanisasi yang berlebihan bila dibandingkan dengan daya
serap tenaga kerja di Jakarta telah menjadikan mereka terpaksa bekerja
serabutan dan bergelut dengan pekerjaan informal, seperti tukang ojek,
pemulung, buruh kasar di pasar tradisional, tukang parker dadakan, dan bahkan
tidak bekerja. Yang namanya pekerjaan informal selalu saja memunculkan
permasalahan baru, apalagi pendapatannya tidak sesuai dengan apa yang mereka
bayangkan ketika hendak berangkat meninggalkan desanya. Mau pulang, takut, mau
tetap bertahan di kota, jadi pengangguran. Sehingga jalan pintas dan rasa
prustasi menjadikan mereka melakukan pekerjaan yang penting bisa bertahan hidup
di kota, salah satunya dengan menjadi preman pasar.
Desa, sebagai titik berangkatnya tidak mampu memberikan
kehidupan lebih layak, karena kebijakan pembangunan lebih terkonsentrasi di
kota-kota besar. Kehidupan dengan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani tidak
akan membuat mereka hidup bahagia dan sejahtera. Penghasilan sebagai petani,
memang tidak membuat hidup mereka berlebih. Mereka hanya bisa bersyukur bahwa
alam masih ramah terhadapnya. Pemerintah tidak mampu menjamin hidup sebagai
petani untuk hidup sejahtera dan bahagia karena ketidakmampuan menekan harga
pupuk, obat-obatan, dan tidak mampu mengontrol harga dasar gabah ketika hendak
panen. Selalu saja, harga pupuk melambung tinggi mengikuti kebijakan pemerintah
menaikan harga dasar gabah. Pada aras ini, kehidupan kota menjadi impian pemuda
desa untuk melakukan urbanisasi.
(II)
Urbanisasi ke kota Jakarta merupakan cerita klasik yang
terus terulang setiap tahunnya. Pemerintah Provinsi Jakarta tidak pernah mampu
menekan angka urbanisasi yang memasuki raganya, dan di sisi lain, mereka para
urban menjadi beban bagi Jakarta. Operasi yustisia (terutama menjelang arus
balik) dan himbauan-himbauan melalui spanduk kerapkali dilakukan oleh
pemerintah Jakarta untuk mengurangi para urban dari desa. Namun, semua itu
hanya sebagai isapan jempol belaka, karena kondisi dan pekerjaan di pedesaan
yang tidak variatif, kecuali sebagai petani.
Urbanisasi berlebih dan pemekaran horisontal fisik kota
sebagai akibat dari obsesi yang terlalu menggebu untuk membangun kota menjadi
metropolis, juga melahirkan berbagai kontradiksi pembangunan kota. Persoalan
yang timbul kemudian adalah bahwa laju pertumbuhan penduduk yang begitu pesat
tidak lagi bisa diantisipasi oleh daya dukung kota secara layak. Hal ini tentu
saja menimbulkan berbagai akibat seperti kemiskinan, pengangguran, dan
ketidaknyamanan, serta fenomena premanisme.
Hans Dieter Evers (1989) adalah beberapa di antara pakar
yang menggambarkan bagaimana akibat obsesi yang terlalu menggebu untuk
membangun kota metropolis. Kota yang memilih jalur komersial, menurut Bagong
Suyanto (2003) dalam makalah HIPPIS VII, dan dibangun di bawah kendali paradigm
pertumbuhan dengan mengejar kemajuan, jangan heran bila kemudian mematik hasil
yang berbalikan dengan tujuan ideal pembangunan. Kota tumbuh dengan sosoknya
yang penuh kontradiksi dan di dalamnya sangat rapuh karena dari segi spasial
dan sosiologis tidak tertata dengan baik. Keadaan ini tidak mustahil bertambah
makin parah ketika para perencana pembangunan ternyata tidak peka terhadap
kebutuhan dan kondisi masyarakat kota.
Operasi dan penertiban PKL yang dilakukan oleh penjabat
Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama (Ahok) sebagai bentuk kegundahan
pemerintah yang tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat kota, termasuk para
urban. Fakta tersebut dapat dibaca sebagai sebuah kegagalan pembangunan di
Jakarta. Kenapa misalnya, pemerintah Jakarta tidak berfikir bahwa semakin
tinggi angka migrasi dan semakin banyak jumlah warga yang tinggal di wilayah
perkotaan berarti semakin banyak warga masyarakat yang telah melek huruf,
modern dan inovatif. Namun, masalahnya sekarang apa persoalan yang timbul
akibat pertambahan penduduk yang pesat itu bagi kota yang memiliki lahan dan
daya dukung ruang yang relative terbatas, seperti Jakarta?
Ketika over
urbanization dan ketika spasial semakin sesak, problem semakin banyak
bermunculan, terutama masalah pertanahan dan masalah sosial. Penyerahan harga
dan peruntukan tanah kepada mekanisme pasar menjadi salah satu factor yang
membuat masalah pertanahan kota semakin runyam (Mc Asulan, 1986). Kompetisi
yang bebas dimana semua orang bisa terlibat dalam bisnis ntanah sering
berakibat pada pelaksanaan rencana dan tata ruang menjadi semakin sulit di
jalankan. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki kemampuan terbatas dalam
mengelola dan membangun fasiltas public.
Diakui atau tidak, kekuatan komersial dan swasta acapkali
menjadi pihak penentu yang mempengaruhi
kekuatan kelembagaan dalam menyusun berbagai kebijakan pembangunan kota.
Sementara kekuatan massa, terutama kelompok marjinal kota menjadi pihak yang
sama sekali tidak diperhitungkan dalam pengaturan dan pembagian spasial tata
ruang kota. Malah cendrung dianggap sebagai pengganggu dan tidak mendukung
pembangunan kota, karena itu kesempatan kelompok miskin untuk memperoleh akses
tanah sangat terbatas dan nyaris tidak ada. Kerapkali terjadi, golongan
menengah ke bawah semakin tersisih dari hasil pembangunan kota dan tersuksesi
(proses penduduk asli tergantikan para pendatang) ke daerah-daerah pinggiran
yang dikenal sebagai “pemukiman kumuh”. Hak rakyat atas tanah menjadi
terlupakan dan tersisih di perkotaan. Penduduk asli (orang Betawi) tidak lagi
hidup di jantung ibu kota Jakarta, tetapi sudah terpinggirkan, tersebar sampai
ke Bekasi, Tengerang. Pertahanan akhir orang Betawi tergambar dalam sinetron
“Si Doel Anak Sekolahan” yang diperankan oleh Benyamin Suaeb, Rano Karno, dan
lainnya.
(III)
Selama ini, orang seringkali membayangkan masyarakat desa
itu sebagai tempat orang bergaul dengan rukun, tenang dan selaras. Bayangan itu
bisa menjadi benar dan bisa jadi salah. Namun sering juga, di dalam masyarakat
desa tempat orang hidup berdekatan dengan orang-orang tetangga terus menerus,
kesempatan untuk pertengkaran terbuka lebar. Perang antar kampung atau desa
yang terjadi di kota Mataram dan Lombok Tengah seringkali memakan kurban dan
belum terselesaikan sampai sekarang ini. Penyebab masalah sepele saja dapat
menyulut pertengkaran kembali.
Perselisihan lebih sering disebabkan karena masalah tanah,
kedudukan dan gengsi masalah perkawinan. Para ahli Antropologi banyak
memberikan gambaran hasil penelitian yang mengumpulkan bahan tentang
pertengkaran-pertengkaran dalam masyarakat yang ditelitinya. Bahan dan data
tersebut juga mencakup pertengkaran (konflik sosial), pertentangan
(kontroversi) dan persaingan (kompetensi). Desa dalam kehidupannya yang asli
adalah sifat ketentraman dan kerukunan. Boeke (1976) menggambarkan desa sebagai
tempat ketentraman, bukan tempat bekerja. Ketentraman itu pada hakekatnya hidup
yang sebenarnya bagi orang Timur. Namun, gambaran tentang desa sebagaimana
Boeke (1976) mungkin ada benarnya bila dikaitkan dengan urbanisasi yang setiap
tahunnya meningkat dan memunculkan permasalahan sosial yang tidak berkesudahan.
Kedatangan para urban di kota Jakarta pasca mudik lebaran
masih belum ditemukan solusinya agar mereka nyaman hidup dan bekerja. Jakarta
memang bukan tempat yang nyaman untuk bekerja dan mencari uang bagi yang tidak
memiliki skill dan kelebihan khusus. Lebih tepatnya, justru bagaikan neraka
baginya. Kenekatan para urban tanpa skill itu yang memunculkan permasalahan
social tersendiri yang belum terpecahkan sampai saat ini. Modal yang mereka
miliki hanya semangat (kerja keras) dan kekuatan fisik.
Kalau mau jujur, para pendatang (urban) adalah masyarakat
desa yang biasa bekerja keras di sawah atau ladangnya. Mereka bekerja pada
masa-masa tertentu, tetapi mengalami kelegaan luas yang tidak cukup untuk dapat
menyelesaikan segala pekerjaan di lading atau di sawah sendiri. pada masa-masa
seperti itu orang dapat menyewa tenaga tambahan atau meminta bantuan tenaga
dari sesama warga desanya berdasarkan adat-adat lama seperti system bawon,
tolong menolong, dan gotong royong, maupun dengan system upah.
Semangat kerja keras minus skill para urban itu menjadi
modal dan potensi yang bernilai ketika masih tinggal di desa, tetapi dalam
kehidupan masyarakat kota yang baru hal itu tidak cukup. Sifat individualitik,
persaingan, dan ketegaan kehidupan kota membuat para urban mengalami
keterkejutan budaya (meminjam istilah Geetrz). Mereka yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan kehidupan baru harus bisa bekerja serabutan untuk
menyambung hidup, entah menjadi pemulung, pengemis gembel, dan atau mencopet.
Sementara itu, sedikit dari mereka mampu bertahan hidup menjadi tukang ojek dan
buruh bangunan. Mereka inilah yang disebut sebagai “orang miskin perkotaan”.
Namun demikian, saya tidak sepakat untuk menyebuat orang
miskin sebagai manusia yang boros, malas, fatalistic, dungu dan bodoh.
Sebenarnya mereka memiliki semangat tinggi untuk berhasil, pekerja keras,
cerdik dan ulet. Kemiskinan lebih saya pahami sebagai suatu kondisi kemiskinan
itu sendiri, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan yang
oleh Robert Chambers (1986) disebutnya sebagai “rantai kemiskinan”. Kerentanan
mencerminkan keadaan tanpa peyangga atau cadangan untuk menghadapi hal-hal yang
tidak terduga (berobat ke rumah sakit, dll). Ketidakberdayaan golongan miskin
dicerminkan dengan kemudahan golongan masyarakat lainnya atau mampu dan lebih
kuat untuk menjaring, mengatur, dan membelokkan manfaat dan hasil-hasil
pembangunan serta pelayanan pemerintah yang diperuntukkan bagi mereka yang
kekurangan karena berada dalam kedudukan yang lemah.
(IV)
Sebenrnya, para urban tidak akan menimbulkan masalah
sepanjang pemerintah kota Jakarta mampu memenuhi kebutuhan pelayanan publik,
pekerjaan dan akses terhadap kepemilikan tanah. Akan tetapi, ketika kemampuan
pemerintah kota untuk menyediakan pasilitas publik dan melayani kebutuhan
warganya yang senantiasa bertambah
dengan pesat relative tidak berimbang, maka hal ini awal munculnya
segala permasalahan sosial, seperti munculnya rumah kumuh, gelandangan,
pemulung, premanisme, dan masalah lainnya.
Jika ditelisik rumah tangga miskin dan lingkungannya,
terlihat bahwa ada mata rantai kemiskinan yang berjalin erat yang biasa disebut
lingkaran setan, sindrom kemiskinan atau perangkap kemiskinan. Sebagai peneliti
tentu lebih bisa menjelaskan dari pada mengatakan bahwa seseorang itu miskin
karena dia miskin.
Kemiskinan tentu saja menjadi permasalahan yang sulit
dipecahkan dalam kehidupan ibu kota. Di samping karena miskin, permasalahan rumah
kumuh yang ditempati orang miskin menjadikan jasmaninya lemah karena asupan
makanan yang kurang, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh terhadap
infeksi dan serangan penyakit rendah, mereka pun tersisih, karena tidak mampu
membiayai sekolah dan menjadi tidak berdaya karena tidak mempunyai kekayaan dan
mempunyai kedudukan yang rendah, sehingga orang miskin dalam politik nyaris
tidak mempunyai suara.
Dengan demikian, pemerintah ibu kota terus berupaya untuk
menekan angka urbanisasi, terutama bagi mereka yang tidak memiliki skill atau
keahlian khusus karena pasti akan menjadi beban pemerintah kota Jakarta yang
berakibat pada munculnya berbagai permasalahan sosial. Karena itu sebagai
landasan hukum untuk mengantisipasi permasalahan sosial yang muncul, pemprov
DKI Jakarta membuat perda Nomor 4 Tahun 2014. Prinsipnya perda itu berusahan
untuk membatasi kedatangan orang desa minus skill ke ibu kota Jakarta. Sebagai
tindak lanjutnya, dua kali dalam setahun, pemprov melakukan operasi yustisi
terhadap masyarakat yang tidak memiliki identitas resmi Jakarta. Tidak sedikit
dari mereka yang akhirnya di pulangkan ke desa asalnya karena dianggap urban
gelap tanpa identitas resmi Jakarta.
Diakui atau tidak, selama ini sumber utama kegagalan
pembangunan dan penderitaan warga kota-kota besar di Negara sedang berkembang,
sesungguhnya adalah karena kebijakan yang represif dan administrative,
sebagaimana tertuang dalam peraturan daerah yang ada. Banyak bukti menunjukkan
bahwa bersamaan dengan perkembangan kota-kota menjadi megacities yang timbul
justru kekisruhan. Di balik wajah kota yang serba megah, ternayata yang
terselingkuh bukan Cuma kekumuhan dan kesemrawutan lalu lintas (Bagong Suyanto,
2003), tetapi juga keseweang-wenangan. Kota seolah identik dengan kesombongan,
sikap yang represif, dan makin tidak ramah bagi rakyat miskin.
Kampong-kampung asli (Betawi) tak berdaya karena ditikung
gedung-gedung pencakar langit. Pasar-pasar taradisional makin terpojok di jejas
plaza dan mega mall. Sementara itu, penggusuran tanah, penghapusan becak,
peremajaan pemukiman kumuh, penertiban pedagang asongan, dan semacamnya adalah
pemandangan rutin yang bisa dijumpai diberbagai kota besar di Indonesia.
Singkatnya, di kota yang makin modern, yang namanya sector informal dan kaum
marginal kota dianggap sebagai anak durhaka yang harus dijauhi dan
disingkirkan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Latin, menurut Hernando de
Soto, ketika orang-orang desa terusir dari tanah mereka akibat peceklik,
banjir, karena penduduk yang sudah terlampau padat, dan pertanian makin mundur,
mereka kemudian berduyun-duyun pergi ke kota. Hasilnya, semua pintu system kota
ternyata sama sekali tertutup bagi mereka. Di kota besar, kaum urban yang
berasal dari desa-desa miskin itu cendrung hanya menjadi bulan-bulanan dan
obyek pemerasan. Hasil temuan de Soto tersebut bisa digeneralisasi sebagai
cerminan dari keadaan kota-kota besar lain, terutama di Indonesia. Menurut
Bagong Suyanto (2003) dalam makalah yang dipresentasikan pada HIPPIS di Medan
menyebutkan bahwa kita tidak bisa menutup mata bahwa perkembangan kota-kota
besar di Indonesia terasa semakin liar dan condong hanya dikendalikan oleh
kekuatan komersial. Sangat terasa bahwa pembangunan yang dilakukan semakin
mengarah pada kemampuan ekonomi berdasarkan system zoning, sehingga bukan hal
aneh jika terjadi segregasi dan polarisasi pergaulan warga kota. Mereka yang
secara ekonomis makmur berkumpul di lokasi tertentu dengan fasilitas lengkap
dan mahal serta memiliki gaya hidup yang eksklusif, sementara sebagian besar
massa hidup berdesak-desak dengan fasilitas public minimal dan bahkan acapkali
mereka harus mengeluarkan biaya lebih mahal.
Bagi warga kota kelas bawah yang bisa dilakukan untuk
bertahan hidup adalah melakukan penghematan ongkos transportasi karena tempat
tinggalnya yang berjauhan dari tempat kerjanya di pusat kota. Karena itu,
pilihan utamanya adalah mengontrak rumah di kampong-kampung kumuh di pusat kota
atau mendiami stren-stren kali sebagi pemukiman liar di Jakarta. Dalam kondisi
seperti itu, tidak mengherankan jika mereka lalu menjadi rawan dan sering
terancam penggusuran. Mereka mengidealkan hidup layak, tetapi karena akses dan
harga tanah di kota melonjak tinggi serta wilayah pemukiman semakin berkurang,
maka hidup seadanya dan tinggal di bantaran sungai menjadi pilihannya.
Pembangunan yang tidak ramah di kota Jakarta sangat
dirasakan oleh penduduk asli Betawi yakni terusirnya mereka dari pusat kota ke
daerah pinggiran. Kini mereka hanya bisa bangga dengan pesatnya pembangunan
dengan gedung pencakar langit, tetapi di hati kecilnya justru menangis karena
tidak mampu bertahan di daerah kelahirannya. Tidak ada yang bisa dilakukan
selain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menatap gedung-gedung menjulang
tinggi dengan tatapan kosong dan keharuan menyesakkan dada.
Keberadaan mereka kini mulai terusik kembali oleh kelas
menengah ke atas yang sudah gerah dengan kehidupan kota yang polusi dan macet.
Satu per satu mulai pindah dan melakukan intervensi ke daerah pinggiran kota
yang tanahnya masih belum begitu mahal. Proses intervensi ini oleh Hans Dieter
Evers (1990) dinamakan sebagai efek lompat katak. Pada aras ini, kembali warga
kota kelas rendah berada pada posisi yang terjepit dan tidak berdaya, serta
tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya bisa menghela nafas panjang.
Tentu, efek yang ditimbulkan oleh penetrasi penduduk pusat
kota ke daerah pinggiran kota menurut Evers (1990) ada dua yaitu: Kerugian
ekologis yang cukup parah dan keterpaksaan dari penghuni lama menjual lahan
kepada penghuni baru. Akibatnya, harga-harga dan baiaya hidup rata-rata akibat
invasi pendatang meningkat serta perkembangan wilayah-wilayah pinggiran pada
gilirannya kemudian sering juga menyebabkan penghuni asli yang masih bertahan lambat-laun
menyingkir ke wilayah lain yang kondisinya lebih sesuai dan lenih ramah bagi
kehidupannya. Artinya, penduduk asli yang seharusnya lebih berhak tinggal dan
bisa ikut mencicipi hasil pembangunan terlihat satu per satu tersisih dari
tanah kelahirannya.
(V)
Urbanisasi minus skill membuat kehidupan kota menjadi lebih
semrawut dan lebih tepat lagi, telah memunculkan dampak sosial yang belum
terselesaikan. Kota yang tumbuh di bawah kendali pro-modernisasi yang hanya
mengejar kepentingan pertumbuhan ekonomi dan melayani kepentingan
industrialisasi ternyata hanya melahirkan ketidakadilan, kekecewaan, dan
marginalisasi terhadap masyarakat miskin. Apa yang dilakukan pemprov DKI
Jakarta dengan mengangkut lapak-lapak pedagang bukanlah tindakan yang patut di
puji malah sebaliknyaoleh. Memberikan mereka hidup nyaman dan layak di ibu kota
Jakarta menjadi tugas dan kewajiban pemerintahan Joko Widodo dan Basuki Cahaya
Purnama (Ahok).
Apapun kondisi para urban yang kini hidup di Jakarta,
hendaknya para perencana pembangunan lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Segala
bentuk operasi seperti yustisi, tidak dihajatkan semata-mata untuk mengusir
mereka, namun dibina dan diberikan pengertian bahwa berkarya dan bekerja keras
di daerah asal jauh lebih baik di bandingkan datang ke Jakarta tanpa skill
khusus. Kalau hendak jadi pemulung atau tukang ojek tidak perlu jauh-jauh
datang ke Jakarta. Cara-cara pendekatan seperti itu yang dibutuhkan masyarakat
miskin, bukannya main gusur dan memulangkan mereka kembali ke daerah asalnya. Dan juga, pertimbangan kemanusiaan, keadilan
dan menghargai hak asasi para urban harus dijunjung tinggi agar pemerintah tidak
menggali kuburnya sendiri. Artinya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintahnya sendiri tidak terjadi akibat dari kecerobohan dan tidak peka serta
tidak berpihak terhadap nasib mereka.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 08082014.09.01.09
0 komentar:
Posting Komentar