Rabu, 13 Agustus 2014

REFORMASI STRUKTURAL BIROKRASI ALA JOKO WIDODO

Pekerjaan rumah bagi presiden terpilih Joko Widodo tidak ringan. Banyak proyek-proyek besar yang mangkrak peninggalan presiden SBY akibat dari desentralisasi yang salah arah dan ditambah lagi dengan aturan perundangan yang saling tumpang tindih. Dan juga fenomena mulai munculnya raja-raja kecil di daerah, lebih khusus lagi raja-raja kecil di desa. Dengan telah disahkannya undang-undang nomor 16 Tahun 2014 tentang desa maka kepala desa menjadi penguasa baru yang diberikan mengelola uang sekitar 1,4 miliar rupiah. Kondisi tersebut bisa menimbulkan gesekan dan kepentingan antara kepala daerah dengan kepala desa. Dengan demikian, pekeejaan yang mesti dilakukan oleh presiden terpilih yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 mendatang adalah melakukan reformasi struktural.

Hubungan pusat dengan daerah sampai saat ini masih belum terurai dengan baik. Contoh paling mencolok adalah banyak sekali proyek-proyek nasional di daerah yang mangkrak akibat adanya tumpang tindih aturan dalam hal pembebasan tanah dan kepentingan pusat dengan daerah yang tidak singkron. Semangat undang-undang otonomi daerah bermuara pada kesejahteraan rakyat, tetapi yang terjadi adalah munculnya raja-raja kecil di daerah yang menumbuh suburkan politik dinasty di daerah. Kepentingan politik dinasty ini kerap kali menimbulkan masalah-masalah yang tidak berkesudahan. Maksudnya segala bentuk proyek berputar pada kekuarga besar si kepala daerah. Masih ingat kasus Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijadikan tersangka oleh KPK karena kasus korupsi pelbagai proyek di daerahnya.

Keterlibatan sanak keluarga dan kolega dalam lingkaran pemerintahan daerah telah menyebabkan kepala daerah terjebak dalam kubangan korupsi. Setidak ada 70 persen kepala daerah yang diindikasikan terkibat kasus korupsi dan sebagiannya sudah dijadikan tersangka KPK selebihnya masih dalam proses penyidikan. Kalau ditelisik penyebab utamanya terletak pada kentalnya pokitik dinasty di daerah. Akibat paling parah dari politik dinasty adalah pelayanan birokrasi yang kacau balau dan amburadul. Birokrasi, sebagai lembaga pekayanan publik, di pusat maupun di daerah, dalam banyak hal belum mengalami perubahan yang signifikan. Secara struktural kelembagaan masih tetap tambun dan dipenuhi oleh sumber daya manusia (aparatus) yang kurang bermutu, kemudian dari sisi fungsi masih tetap lamban, rumit, boros dan banyak sekali pekerjaan yang tak mampu diselesaikan baik dan tuntas. Lebih dari itu, birokrasi juga masih menjadi lembaga yang korup, tidak melayani, tidak profesional, dan feodalistik.

Perjalanan politik masyarakat dan bangsa Indonesia menunjukkan kecendrungan yang sangat kuat bahwa birokrasi merupakan instrumen politik yang sangat efektif yang dibangun oleh sebuah rezim guna membesarkan dan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, kata Afan Gaffar (2005) dengan mengutip pendapat Sutherland (1990), karena pola-pola pemanfaatan birokrasi sebagai instrumen politik rezim terjadi sejak masa pemerintahan kolonial. Pada masa pemerintahan kolonial, kalangan "Pangreh Praja" atau Inlandsch Bestuur merupakan instrumen kekuasaan pemerintahan, baik pemerintahan kerajaan ataupun pemerintahan kolonial. Pemerintah kolonial memanfaatkannya untuk berhubungan dengan masyarakat lokal, sementara administrasi pemerintah kolonial itu sendiri dijalankan melalui semacam Departemen Dalam Negeri.

Lebih jauh dijelaskan Gaffar bahwa ketika memasuki politik masa pasca kemerdekaan, terutama sekitar tahun 1950-an awal, istilah Pangreh Praja ditinggalkan dan diganti menjadi Pamong Praja, dengan harapan mereka akan menjadi aparat pemerintah baru yang memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakatnya. Sekalipun Pamong Praja merupakan sebutan untuk pegawai pemerintah yang terdapat di lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pegawai Negeri Sipil secara keseluruhan merupakan sebuah institusi yang menjadi tempat pertarungan kekuasaan dari partai-partai politik masa itu.

Konteks kehidupan politik yang demokratis pada masa pasca kenerdekaan yang diwarnai oleh sistem pemerintahan parlementer membawa implikasi yang sangat besar terhadap birokrasi Indonesia. Yang menjadi kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri yang merekrut para menteri dari parpol tertentu sesuai dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi pada waktu itu. Maka yang terjadi adalah para menteri yang direkrut tersebut menjadikan departemen yang dipimpinnya sebagai sumber mobilisasi dukungan bagi partai politiknya. Oleh karena itu, departemen tertentu diidentikkan dengan sumber dukungan yang kuat dari parpol tertentu. Hal ini terjadi misalnya pada Departemen Dalam Negeri dan Departemen Penerangan yang merupakan sumber dukungan yang sangat kuat bagi Partai Nasional Indonesia (PNI). Sementara, Departemen Agama merupakan sumber mobilisasi dukungan yang sangat efektif bagi Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU).

Birokrasi masa pasca kemerdekaan sampai reformasi mengalami proses politisasi dan pragmentasi. Aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudah terkapling-terkapling ke dalam partai-partai politik yang bersaing sangat intensif guna memperoleh dukungan. Pada aras ini, sangat tidak sehat karena peranan ideologi masing-masing partai meningkatkan proses pragmentasi yang sangat tinggi.

Untuk lebih memahami birokrasi, ada baiknya menelisik gagasan-gagasan birokrasi yang memiliki kesalingtergantungan menurut Max Weber, sebagaimana disadur oleh Guezort dan King Mulyadi Guntur Waseso dalam buku "Kekuasaan Birokrasi, Harta dan Agama", sebagai berikut: pertama. Suatu norma legal tertentu dapat ditetapkan melalui kesepakatan atau pemaksaan, atas dasar alasan kepatutan atau nilai-nilai rasional atau kedua-duanya, disertai tuntutan ketaatan setidak-tidaknya pada sebagian dari anggotankelompok korporasi.

Kedua. Dalam birokrasi pelaksanaan hukum dianggap terletak pada penerapan aturan terhadap kasus-kasus khusus. Proses administratif merupakan upaya pemenuhan secara rasional kepentingan-kepentingan yang dispesifikasikan dalam tatanan yang mengatur kelompok korporasi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh aturan-aturan hukum yang sah.

Ketiga. Dalam birokrasi, orang yang punya otoritas menduduki suatu jabatan. Dalam tindakan yang berhubungan dengan statusnya, termaauk perintah-perintah yang dikeluarkannya kepada orang lain, dia tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakannya.

Keempat. Orang yang mentaati otoritas berbuat demikian hanya dalam kapasitas dia sebagai seorang anggota kelompok korporasi dan apa yang ditaatinya tak lain adalah hukum. Kelima. Para anggota kelompok korporasi, sepanjang mereka taat kepada seorang yang sedang berkuasa, tidak menunjukkan ketaatan itu ditujukan kepada pribadi perseorangan melainkan kepada tatanan yang impersonal.

Keenam. Hanya orang yang memiliki pendidikan teknis yang memadailah yang memenuhi syarat untuk menjadi anggota staf administrasi  suatu kelompok yang terorganisasikan secara birokratis, dan oleh karenanya hanya orang-orang seperti itulah yang dapat dipilih untuk menduduki posisi-posisi jabatan. Ketujuh. Dalam suatu birokrasi, organisasi jabatan mengikuti prinsip hirarki artinya jabatan rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan (supervisi) jabatan di atasnya.

Kedelapan. Dalam jenis birokrasi yang rasional, ada suatu prinsip yang harus dijadikan pegangan yakni para anggota staf administrasi harus benar-benar terjauhkan dari pemilikan alat-alat produksi atau administrasi.  Pada dasarnya ada pemisahan antara kekayaan milik organisasi yang dibatasi di lingkungan kantor atau jabatan saja, dan kekayaan pribadi individu yang digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Ada pengaturan pemisahan tempat di mana fungsi-fungsi kepejabatan dilaksanakan.

Kesembilan. Tindakan, keputusan, dan aturan-aturan administratif dirumuskan dan dicatat secara tertulis, bahkan dalam kasus-kasus di mana pembicaraan lisan sudah menjadi aturan atau perintah sekali pun. Perpaduan antara dokumen-dokumen tertulis dan pengorganisasian fungsi pejabat secara terus menerus itulah yang mewujud menjadi jabatan, yang merupakan titik pusat perhatian semua jenis tindakan korporasi modern.

Gagasan-gagasan Weber tentang birokrasi sebagai uraian tersebut di atas, maka wajar kalau Merton menyebutnya sebagai "perintis kajian sistematis tentang birokras". Ketertarikan Weber terhadap birokrasi karena birokrasi melambangkan tahapan lain proses rasionalisasi yang menandai masyarakat modern yang berbeda dengan bentuk-bentuk masyarakat yang tradisional.

Birokrasi dengan demikian berfungsi untuk melayani masyarakat dengan baik dan membentuk pemerintahan yang kuat. Pemerintah yang kuat menurut Georg Sorensen (1993) tidak sama dengan pemerintah otoritarian. Pemerintah yang kuat bercirikan antara lain, yakni (1). Memiliki birokrasi yang effisien dan tidak korup. (2). Memiliki elit politik yang berkemauan dan mampu memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi. (3). Memiliki kebijakan yang dirancang dengan baik untuk mencapai tujuan pembangunan.

Kemenangan Joko Widodo pada pemilu presiden tanggal 9 Juli 2014 lalu harus mampu melahirkan pemerintahan yang kuat, sebagaimana yang dicirikan Sorensen tersebut. Reformasi struktural birokrasi agar lebih effisien merupakan tugas yang tidak gampang. Warisan struktur birokrasi yang gemuk dari pemerintah sebelumnya, kemudian dilakukan  perampingan mesti dilakukan dengan seksama dan hati-hati karena pasti akan mendapat tantangan dari koalisi permanen di bawah komando partai Gerindra. Dalam kondisi seperti itu, apa pun yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo nantinya pasti akan memdapat tantangan, tetapi teformasi struktural harus dilakukan agar masyarakat terlayani dengan baik, cepat, dan tepat waktu. Tidak pilihan bagi Joko Widodo kalau mau berhasil dalam mengelola pemerintahan yang kuat.

Pemerintah yang kuat melambangkan mencairnya demokrasi yang selama ini dikatagorikan sebagai demokrasi beku (frozen democracies) atau demokrasi lemah serta demokrasi tidak solid. Style kepemimpinan Joko Widodo yang apa adanya, sederhana, terbuka, dan sering blusukan menandakan bahwa Ia sosok pemimpin yang memiliki karakter untuk membentuk pemerintah yang kuat dan solid, serta akan melakukan perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, utamanya menyangkut kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. Pembusukan akan menjadi cepat bila pemerintah yang berkuasa tidak sanggup menciptakan pemerintahan yang kuat apalagi lawan politiknya siap untuk mendorong pembusukan itu nantinya.

Tentu, dalam kontek politik sipil tidak ada yang menginginkan pemerintahan bentukan Joko Widodo - Jusuf Kala gagal di tengah perjalanan sebagaimana KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kalau sampai gagal dalam menciptakan tata tertib dan konsolidasi untuk mendorong terciptanya iklim kondusif bagi kelangsungan proses demokrasi, serta praktek-praktek demokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik, maka pemakzulan sangat mungkin terjadi.

Fase konsolidasi bisa dicapai bila ada kompetisi secara terbuka, partisipasi serta kebebasan politik sipil. Sistem politik yang berjalan selama ini telah mengandung elemen demokrasi tetapi ada keterbatasan pada kompetisi, partisipasi, dan kebebasan politik sipil. Apakah kemunculan "rumah transisi" yang dibentuk Joko Widodo dalam kerangka untuk menjembatani hal tersebut untuk membentuk pemerintahan yang kuat? Jawabnya mungkin saja. Namun, keyakinan untuk membuka kran berkompetisi, partisipasi, dan kebebasan politik pasti akan dilakukan Tuan Presiden.

Dalam proses konsolidasi yang dilakukan presiden Joko Widodo nantinya, kemungkinan besar akan melibatkan partisipasi masyarakat. Dibentuknya rumah transisi bisa dianggap sebagai upaya untuk menghimpun dukungan masyarakat karena memang sangat dibutuhkannya sebagai modal untuk mengimbangi kekuatan koalisi permanen lawan politiknya. Karena Joko Widodo sangat yakin bahwa partisipasi masyarakat, terutama partisipasi pada tingkat lokal atau akar rumput yang membuatnya eksis sebagai pemimpin seperti sekarang ini. Partisipasi masyarakat akan membuat massa rakyat (1). Lebih mampu menaksir kinerja wakil-wakil rakyat di tingkat nasional. (2). Lebih mampu mengambil keputusan untuk lingkup nasional. (3). Lebih mampu menimbang dampak keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat terhadap kehidupan masyarakat. (4). Lebih mampu menciptakan terciptanya persatuan nasional.

Masalahnya kemudian, kondisi apa yang diperlukan agar demokrasi politik, termasuk partisipasi masyarakat atau pemerintahan demokratis berjalan stabil? Menciptakan kondisi atau budaya politik demokratis menjadi tugas berat pemerintahan Joko Widodo ke depan. Sebagai seorang presiden, ada beberapa langkah menurut Dahl (2001), yang harus dilakukan yakni (1). Sebagai pemimpin tidak boleh menggunakan koersi, kekerasan yaitu polisi dan militer untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya. (2). Adanya organisasi masyarakat pluralis yang modern dan dinamis. (3). Potensi konflik dalam pluralisme struktural dipertahankan pada tingkat yang masih dapat ditoleransi. (4). Dalam masyarakat, khususnya yang aktif dalam politik, ada budaya politik dan sistem keyakinan yang mendukung ide demokrasi dan lembaga poliarki atau demokrasi.

Di samping itu, menurut Dahl, perlu mempertimbangkan pengaruh dan kontrol negara asing atau lembaga donor karena mereka bisa menghambat atau mendukung secara positif proses demokratisasi. Belakangan ini di Indonesia sendiri, para donor, baik negara maupun badan internasional, selalu mengkaitkan bantuan dengan upaya mendorong negara penerima bantuan untuk menciptakan kondisi good governance yakni penghormatan terhadap HAM, demokrasi, peejuangan melawan korupsi dan mismanajemen. Hal tersebut sebagai upaya negara atau lembaga internasional untuk mendorong proses demokratisasi di negara-negara yang dipandang demokrasinya masih lemah.

Wallahul  Muwafiq  ila Darissalam
Tanak Beak, 06082014.11.0809.

0 komentar: