Jumat, 11 Juli 2014

TRANSISI KULTURAL POLITIK ULAMA

Pada tulisan ini, tidak mempermalahkan apalagi menyangsikan urgensi istiharah dalam kehidupan ummat. Istiharah dimaknai sebagai strategi untuk memilih satu pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang tersedia dengan  melibatkan Tuhan. Istikharah dalam segala urusan memang dianjurkan oleh agama Islam untuk memilih pilihan agar orang Muslim dituntun tetap berada di jalan kebenaran dan tidak terjebak pada kepentingan duniawi tanpa nilai ilahiah.

Keterlibatan ulama dalam partai politik, tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah sikap sesaat, tetapi sebuah pilihan berdasarkan hasil istiharah. Pilihan sikap tersebut juga, memiliki keterkaitan dengan dinamika sosial politik yang sedang berkembang dan juga berkaitan dengan konstelasi politik pada masa-masa sebelumnya.

Pada masa Orde Baru, kecendrungan arus politik yang sentralistik menjadikan ulama menghadapi dilema, khususnya saat berhadapan dengan pemerintah. Segala aktivitas politik masyarakat (termasuk aktivitas politik ulama) dibatasi atau bahkan dicurigai. Untuk memudahkan kontrol terhadap aktivitas politik ulama, pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah koordinasi gerakan para ulama. Orientasi pembemtukannya adalah kebersamaan walau pada hakekatnya adalah pembatasan.

Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto telah berhasil mendorong perubahan citra politik ulama dan generasi muda santri yang sebelumnya di kenal sebagai kaum oposan menjadi lebih akomodatif terhadap penguasa. Bersamaan dengan itu, dunia pesantren mengalami modernisasi dengan membentuk pendidikan formal, madrasah dan sekolah. Suasana kehidupan pesantren yang asli dengan tempat tinggal para santri yang beratapkan ilalang kini sulit ditemui. Gedung-gedung pesantren sudah bertingkat dengan lantai keramik dan cahaya terang benderang listrik.

Faktisitas semacam ini pada kenyataanya justru memiliki dampak lain berupa menguatnya posisi ulama dalam konstelasi sosial kultural masyarakat. Marzuki Wahid dan Rumadi (2002) menulis dalam bukunya "Islam Mazhab Negara", menguraikan bahwa Ulama yang masuk dalam katagori ini adalah mereka yang benar-benar dekat yang menyatu dengan ummat, membela mereka dari segala bentuk penyimpangan yang terjadi, dan atau menjadi penengah dalam relasi antara rakyat dengan pemerintah.

Era reformasi atau tepatnya sejak pemilu 1999 telah membawa perubahan konstelasi politik secara fundamental. Mengencangnya angin reformasi yang kemudian diikuti dengan terbentuknya partai-partai Islam tampaknya memberi angin segar bagi posisi ulama di Indonesia. Kemunculan partai-partai Islam baru seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Syarikat Islam, Partai Nahdlatul Ummah, Partai Amanah Nasional, di samping partai lama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pelaksanaan pemilu dengan sistem multipartai telah membuka kran dan peluang bagi partisipasi dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan ulama. Ulama menjadi sosok yang memiliki posisi tawar strategis dalam konstelasi politik Indonesia baru. Tidak hanya ulama, secara umum, anak-anak muda santri mulai mempersiapkan diri untuk memasuki panggung politik nasional dalam kehidupan dan kehidupan nasional.  Melalui berbagai politik yang tanpa label Islam maupun label Islam, anak-anak muda santri ini mulai berada di tengah pusaran peradaban modern.

Momentum pemilu 1999, para ulama dan generasi muda santri mulai menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, seperti menjadi menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati-Walokota, dan berbagai jabatan birokrasi yang tak pernah mereka sentuh di masa sebelumnya. Melalui jalur pendidikan modern, anak-anak muda santri dan ulama mulai meniti karir tertinggi di lembaga militer dan kepolisian berpangkat jenderal. Selain itu, mereka menempati posisi tertinggi di perguruan tinggi, berbagai perusahaan nasional dan multinasional dengan gelar akademik Doktor atau guru besar.

Naiknya KH Abdurrahman Wahid ke kursi presiden ke-4 Indonesia, walaupun kurang dua tahun, menjadi gerbong besar yang membawa para ulama ke pusat peradaban yang tak dikenal dalam doktrin sosial dan politik Islam konvensional. Energi positip kaum santri dengan naiknya Gus Dur menjadi presiden membuat kaum santri lebih percaya diri menjelajah hutan belantara politik yang mungkin bagi sebagian mereka terasa asing di dunia itu. Tetapi dengan semangat dan karakter yang sudah terbentuk, mereka terus saja mencari tantangan dan pengalaman baru memasuki dunia politik.

Dinamika politik ulama dan generasi muda santri menapaki sejarah nasional cukup panjang selama kolonialisme dan pasca kemerdekaan. Dinamika kaum ulama dan kaum santri dalam peta sosial politik nasional hampir identik dengan dinamika Indonesia sebagai bangsa (Mulkhan, 2001).  Goresan perjuangan KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, dan para ulama lainnya sebagai contohnya. Perubahan perilaku ulama menjadi petunjuk untuk melihat arah perubahan kebangsaan Indonesia yang selanjutnya memberi petunjuk perubahan dunia pesantren. Karena itu, seiring berbagai perubahan kebangsaan, perilaku santri tampak berubah secara berarti, seperti yang dialami pesantren.

Namun demikian, keterlibatan ulama dalam politik praktis berimplikasi terhadap masyarakat pesantren di satu sisi dan partai yang dimasuki ulama sisi yang lain. Implikasi ulama berpolitik bagi masyarakat pesantren ialah semakin berkurangnya kesempatan para ulama dalam membina pesantren karena aktivitas politik membuat para ulama harus sering keluar untuk aktivitas politik. Tetapi di sisi lain, terjadi perubahan fisik pesantren dengan datangnya segala bentuk bantuan material dan non-material. Hal ini disebut sebagai asas manfaat keterlibatan ulama dalam politik praktis.

Jika meminjam teori Fungsional Struktural untuk melihat peran ulama dalam aktivitas politik, maka dampak positip yang segera terbaca yakni perubahan fisik dunia pesantren. Batas wilayah kulturil, fisik dan ekonomi dunia pesantren dan kehidupan masyarakat sekitar pesantren sudah mulai terbangun dengan tegas. Tembok tinggi tebal secara mencolok di bangun sebagai batas fisik dunia pesantren dan masyarakatnya. Keterpaduan antara keduanya sejatinya menjadi ciri khas pesantren. Batas kulturil ini diperkukuh dengan konsep pengembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dalam UUSP Nomor 20 Tahun 2004. Undang-undang ini mungkin saja secara tersamar  bisa mengubah bentuk asli pesantren yang akan kehilangan fungsi profetiknya (Mulkhan, 2001) seperti sebelumnya.

Lebih lanjut Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa batas kulturil kaum ulama dan santri dengan rakyat yang dikukuhkan oleh pengubahan pesantren justru akan mengakibatkan rendahnya dukungan rakyat atas partai dan gerakan Islam. Hal ini menjelaskan mengapa partai berlambang Islam tidak pernah memperoleh dukungan significan dari pemilih yang mayoritas beragama Islam di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Jarak budaya santri dan rakyat kebanyakan yang mayoritas muslim dari petani dan buruh tetap lebar. Pelibatan kaum ulama dan santri ke pusat peradaban modern sekuler seharusnya mencairkan batas-batas kulturil tradisi santri dan sekuler. Sayangnya, hal ini ternyata belum mampu mengubah tradisi santri yang elitis menjadi tradisi populis, malahan muncul pemimpin populis dari kalangan abangan, seperti Joko Widodo Gubernur DKI Jakarta yang kini bersaing berebur kursi Presiden Indonesia pada pemilu 2014.

Ahmad Fatoni dalam Disertasinya mengemukakan bahwa konstribusi peran dan motif ulama masuk parpol sebagai masukan bagi yang berwenang terutama pemerintah dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan demokrasi. Namun, faktisitasnya keterlibatan ulama dalam partai politik ternyata memiliki implikasi yang tidak semuanya bernilai positif. Dari sisi peran, ulama kemudian memiliki peran ganda. Satu sisi sebagai ulama yang memiliki santri yang berkaitan dengan agama yang mencakup peran spiritual, pendidikan, agen of change, sosial budaya dan patron-client. Sementara di sisi lain sebagai figur yang terlibat dalam politik, dalam bentuk partisipan, pendukung dan aktor. Hal inilah yang kemudian memunculkan ambiguitas dalam peran gandanya.

Pada aras ini, dapat dicermati bahwa bagaimana ulama dan generasi muda santri berada dalam perangkap konflik dengan dirinya sendiri di tengah budaya transisional. Ironisnya perangkap ini, tulis Mulkhan seperti sengaja dibuat sendiri di antara yang sakral dan sekuler, di antara rakyat kebanyakan dan kelas elit, di antara memihak massa ummat dan kemapanan diri. Kesediaan kaum ulama dan santri meredefinisi peran profetiknya dalam alam empirik duniawiyah akan menentukan arah dari transisi budaya dalam kehidupan kebangsaan Indonesia di masa depan. Dengan demikian Islam sebagai agama akan ditafsir sesuai kebutuhan aktual masyarakat pemeluknya dan masyarakat dimana ajaran agama itu dipraktikkan. Karena itu, eksistensi ulama berpolitik sesungguhnya dalam kerangka amar ma'ruf nahi mungkar.

Wallahul muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 11072014.19.25.59.

0 komentar: