Jumat, 18 Juli 2014

PESANTREN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Sudah cukup lama saya tidak mengamati kehidupan pesantren, terutama semenjak saya menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Hakim pada tahun 1989. Saya baru tersadar bahwa betapa pendidikan pesantren memiliki karakter dan ciri khusus yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lainnya. Karena alasan tersebut, saya menelisik kehidupan pesantren yang masih bertahan di tengah arus modernisasi. Saya juga merindu akan kehidupan pesantren yang sederhana dan bersahaja. Yang saya syukuri ternyata anak pertama saya ingin masuk pesantren (selepas menamatkan pendidikan dasarnya) padahal sang bunda menawarinya untuk sekolah di SMP. Saya mau masuk pesantren ma (panggilan untuk ibunya). Loh, kenapa mau masuk pesantren, tanya saya kepada anak pertama saya. Tanpa saya sadari, ternyata anak saya sudah melahap materi buku "Setengah abad Nurul Hakim" yang saya tulis bersama tim. Ia hanya tersenyum sambil menenteng buku itu.

Di samping anak saya, dua keponakan saya juga sudah memasuki pondok pesantren lebih dulu. Apa anak saya dipengaruhi oleh kedua saudara misannya? Saya berkeyakinan tidak, Ia berangkat dari kesadarannya untuk melanjutkan sekolahnya ke pesantren atas pilihannya sendiri berdasarkan apa yang dipahami dari bacaannya. Sebagai orang tua, saya tentu mendukung pilihan si anak untuk melanjutkan studinya ke pesantren dan atau kalau pilihannya tidak ke pesantren. Masalahnya, mengapa ke pesantren.

Pesantren masih diyakini sebagai tempat yang baik untuk pembentukan karakter anak. Di pesantren anak-anak ditempa untuk menjadi insan takwa dan berkarakter kuat. Bagi siapa pun yang pernah mengenyan pendidikan di pesantren pasti akan men-amini pernyataan tersebut di atas. Sementara bagi mereka yang tidak pernah berada di pesantren bisa jadi akan memberikan penilaian berbeda atau bisa jadi debatable. Namun, hal itu bagus untuk bisa saling membuka diri atau kritik terhadap eksistensi pendidikan pesantren.

Pada era globalisasi dengan ditandai oleh kaburnya batas-batas teritorial dan informasi yang sudah memasuki ruang private membuat masyarakat semakin khawatir akan perilaku hidup anak-anaknya. Bagaimana tidak, media dan penglihatan mata telanjang kita menunjukkan bahwa akhlak, budi pekerti dan karakter anak bangsa semakin memprihatinkan. Kita belum pernah membayangkan bahwa salah satu penyebab anak putus sekolah karena salah pergaulan dan cendrung tidak mau diatur bahkan berani berduel fisik dengan orang tuanya.

Belum lagi Fenomena kekerasan dalam bentuk tawuran antar pelajar yang terus saja terjadi dengan berbagai bentuknya yang semakin meresahkan masyarakat, termasuk orang tua wali. Pemerintah pun dibuat kerepotan atas berbagai tindak kekerasan di dunia persekolahan Indonesia. Para guru pun dibuatnya galau dan serba salah dihadapan orang tua wali dan pemeritah karena dianggap tidak bisa mendidik dan mengendalikan para siswa. Saya kira, tidak etis untuk melempar kesalahan pada kondisi seperti tersebut di atas dan seharusnya mereka (pemerintah, guru dan orang tua wali) bersinergi untuk memberikan pelayanan terbaik demi masa depan anak bangsanya.

Upaya membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kondaratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik menjadi tugas bersama pemerintah, guru dan masyarakat atau wali siswa. Penanganan untuk mewujudkan generasi yang berkarakter kuat pada nilai-nilai agama dan bangsa tidak boleh ditangani secara parsial oleh guru saja, wali saja, dan atau pemerintah semata, namun harus bersinergi. Faktisitas yang terhampar di hadapan masyarakat sudah cukup menjadi pembelajaran agar pendidikan karakter mendesak untuk dilakukan. Pendidikan karakter merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan (countinous quality improvement)  yang ditujukan pada terwujudnya  sosok manusia masa depan dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.

Hakikat pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik memiliki kesadaran dam pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan dan penerapan kurikulum 2013 mungkin sebagai jawaban atas pentingnya pendidikan karakter bagi tunas muda bangsa. Kurikulum 2013 sepanjang yang saya pahami, guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, namun bagaimana guru sekaligus sebagai panutan dalam berperilaku dan bertindak berdasarkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Pada aras ini, anak didik tidak hanya dijadikan sebagai manusia yang kreatif dan inovatif tetapi juga berkarakter.

Karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral  yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap  orang lain dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam  konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ihsan. Dan dalam kaitan ini Aristoteles menyatakan bahwa karakter berkaitan dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan diamalkan.

Wynne (1991) mengemukakan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Oleh katena itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam dan rakus dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter jelek, sedangkan yang berperilaku baik, jujur, dan suka menolong dikatakan  sebagai orang yang memiliki karakter mulia.

Megawangi (pencetus pendidikan karakter) di Indonesia menyusun 9 karakter mulia yang dijadikan acuan dalam pendidikan karakter yakni
1. Cinta Allah dan kebenaran
2. Tanggung jawab, disiplin dan mandiri
3. Amanah
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, peduli, dan kerja sama
6. Percaya diri, kreatif dan pantang menyerah
7. Adil dan berjiwa kepemimpinan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleran dan cinta damai.

Ki Hajar Dewantoro (pahlawan nasional) telah menyusun pendidikan karakter sebagai asas taman siswan1922 dengan tujuh prinsip yakni
1. Hak seseorang untuk mengatur diri sendiri dengan tujuan tertibnya persatuan dalam kehidupan umum.
2. Pengajaran berarti mendidik  anak agar merdeka batinhya, pikirannya, dan tenaganya
3. Pendidikan harus selaras dengan kehidupan
4. Kultur sendiri yang selaras dengah kodrat harus dapat memberi kedamaian hidup
5. Harus bekerja menurut kekuatan sendiri
6. Perlu hidup dengan berdiri sendiri
7. Dengan tidak terikat, lahir batin dipersiapkan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik.

KH Hasyim Asy'ari dalam kitabnya Adab Al-alim Wa Al-Muta'allim menekankan konsep pendisikan karakter, bahwa belajar diartikan sebagai ibadah untuk mencari ridha Alkah, dalam rangka mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, serta untuk melestarikan nilai-nilai (budaya) Islam, dan tidak sekedar menghilangkan kebodohan. Berdirinya Pesantren Tebuireng sudah diselaraskan dengan tujuan membentuk karakter dan kemandirian santri.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen atau stakeholders harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu sendiri, yaitu kurikulum, rencanan pembelajaran, proses pembelajaran, mekanisme penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan serta etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan, melalui tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian apa yang dilihat, didengar, ditasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain itu, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting dan turut membentuk karakter peserta didik.

Pondok pesantren sebagai camp pembentukan karakter peserta didik tidak bisa disepelekan urgenitasnya. Founding Fathers pendiri bangsa Indonesia seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, Muhamad Natsir, dan Lainnya tidak bisa diragukan sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa sampai kemerdekaan. Perjuangan para Kiai bersama komponen bangsa lainnya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia didasari semangat membela harkat dan martabat bangsa berlandaskan ajaran agama Islam.  Mereka memiliki basis pendidikan agama atau pesantren yang kuat dan di dalamnya mereka ditempa dengan berbagai nilai-nilai agama yang membuatnya menjadi manusia sempurna.

Nilai-nilai tersebut di bawah ini menjadi Indikator keberhasilan pendidikan karakter di pesantren atau sekolah dirumuskan sebagai berikut
1. Kesadaran
2. Kejujuran
3. Keihlasan
4. Kesederhanaan
5. Kemandirian
6. Kepeduliam
7. Kebebasan dalam bertindak
8. Kecermatan/ketelitian
9. Komitmen

Para santri yang hidup di dunia pesantren tidak asing dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, para pemimpin seharusnya mendasarkan segala tindakannya pada nilai-nilai tersebut, sehingga para santri yang menjadi pemimpin dapat menjadi panutan bagi semua komponen bangsa. Pesantren sebagai tempat pembentukan manusia sempurna sesuai nilai-nilai di atas sudah tidak bisa ragukan sumbangsih dan komitmennya. Kita berharap dari pesantren akan lahir para pemimpin bangsa yang berkarakter yang mampu mewujudkan cita "baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur". 

Wallahul muwafiq ila Darissalam.b
Tanak Beak,20072014.18.05.39

0 komentar: