Senen,
tanggal 11 Juni 2012, saya menghadiri undangan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
kabupaten Lombok Barat pada acara sosialisasi tiga undang-undang menyangkut
tentang UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang
pemilu DPR, DPD dan DPRD, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu
dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Hadir sebagai pembicara Pakar
Hukum Tata Negara dari Universitas Mataram Prof. Dr. Gatot Dwi Hendro, SH,
M.Hum dan Ilyas Sarbini, SH dari Anggota KPU Provinsi NTB.
Acara
sosialisasi berlangsung hanya setengah hari dimulai pukul 08.00 – 12.30 Wita
yang dibuka oleh ketua KPU Provinsi NTB Fauzan Halid, M.Si. Peserta yang hadir
dari semua pimpinan partai politik peserta pemilu tahun 2009 yang lalu di
kabupaten Lombok Barat dan peserta dari tokoh agama, masyarakat dan tokoh
pemuda yang diwakili oleh 2 orang dari masing-masing kecamatan. Termasuk saya
hadir sebagai peserta mewakili dari unsur akademisi, serta seluruh anggota KPU
Lombok Barat beserta staff Sekretariatnya.
Ada
beberapa focus persoalan yakni mulai
dari semangat yang melatarbelakangi perubahan undang-undang tersebut di atas
sampai pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Permasalahan DPT sampai saat
ini terus saja menjadi persoalan setiap
kali pemilu diadakan, seperti kasus paling anyar tentang DPT pemilu Gubernur
DKI Jakarta yang ramai-ramai digugat oleh semua pasangan calon Gubernur.
Tampaknya persoalan DPT ini akan tetap menjadi persoalan sampai pemilu 2014
mendatang.
Tambal
sulam terkait tiga undang-undang tersebut di atas menjadi kemestian yang
dilakukan pemerintah dan DPR agar undang-undang itu dapat sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan zamannya. Yang lebih penting agar penyelenggaraan
pemilu menjadi lebih baik, menang dengan fair dan kalah tidak disoraki.
Setidaknya system pemilu yang seperti itu yang seharusnya terbangun pada pemilu
2014 mendatang. Dan itulah pelaksanaan dan hasil pemilu yang demokratis yang
akan dituju. Demokrasi tidak seharusnya dimaknai hanya sebatas pada hasil
pemilu, tetapi demokrasi sekaligus prosesnya.
Terkait
dengan undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang partai politik, ada ghirah yang
kuat untuk melakukan penataan dan penyempurnaan pada partai politik, terutama
pada ranah pembentukan sikap dan perilaku politik, serta bagaimana
memaksimalkan fungsi partai politik terhadap Negara, baik menyangkut pendidikan
politik, pengkaderan serta system rekrutmen. Saya melihat disini titik
kelemahan partai politik selama ini. Partai politik belum maksimal melakukan
pendidikan politik bagi anggotanya maupun masyarakat.
Dalam
UU Nomor 2 Tahun 2012, pasal 34 ayat 3a dan 3b tentang partai politik dengan
tegas menyatakan bahwa bantuan keuangan dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota
partai politik dan masyarakat (pasal 3a); Pendidikan politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: (a). Pendalaman
mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu pancasila, UUD 1945, Bhenika
Tunggal Ika, dan NKRI; (b). Pemahaman
mengenai hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan
budaya politik, dan (c). Pengkaderan
anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Perilaku
politik para kader (?) menjadi bukti nyata bahwa pendidikan politik tidak
berjalan di interen partai politik. Kebijakan fraksi di DPR kadang tidak koneks
dengan kebijakan partai, bahkan ada para anggotanya bersebrangan dengan
kebijakan keduanya. Dalam kasus Bank Century dan kenaikan harga BBM (walaupun
tidak jadi dinaikkan tahun 2011 lalu, misalnya menjadi bukti nyata bahwa system
kaderisasi tidak berjalan. Seharusnya yang namanya kader partai, dalam kondisi
apapun harus tetap berada pada barisan yang sama untuk menjalankan kebijakan
partai, tidak boleh ada yang membalelo.
Lalu,
bagaimana dengan pendidikan politik untuk rakyat? Apa mungkin partai politik
melaksanakan program itu? Rasanya, siapapun akan pesimis melihat partai politik
mau melakukannya. Melakukan kaderisasi saja masih sulit, apalagi akan melakukan
pendidikan politik untuk rakyat. Padahal, pendidikan politik merupakan amanah
dari undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik.
Ada
kesan yang tidak baik di tengah-tengah masyarakat politik bahwa undang-undang
dibuat untuk dilanggar. Saya awalnya terkejut mendengar pernyataan dari salah
satu peserta sosialisasi tiga paket undang-undang itu. Namun akhirnya, saya
memahami juga, paling tidak itulah gambaran atau potret dari ketidak jelasan
system rekrutmen dan pendidikan politik yang tidak jelas di dalam parpol
(khususnya di grassroot). Sungguh, Tidak terlintas dalam bayangan saya, ada
pengurus parpol punya kesan seperti itu. Lalu bagaimana dengan masyarakat awam
yang tidak tahu menahu tentang kepartaian?.
Wallahu a’lam bissawab.
Rasanya
sangat mustahil memimpikan suatu budaya politik demokratis terlahir dalam waktu
singkat, sebagaimana amanah undang-undang parpol tersebut di atas kalau tidak
dimulai dari intern partai politik. Rekrutmen anggota partai politik tampak
tidak jelas system dan mekanismenya, buktinya ada anggota partai politik yang
tiba-tiba saja menjadi anggota politik (D) padahal masyarakat telah mengetahui
bahwa ia anggota politik (A). menurut hemat penulis hal itu tidak pernah sebuah
persoalan yang serius, malah dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam
dunia politik.
Rekrutmen
untuk menjadi pengurus partai politik lebih amburadul lagi. Dari cerita teman
saya yang hendak mendaftarkan diri menjadi anggota komisioner tersandung
gara-gara ketidaktahuan dirinya terdaftar menjadi pengurus salah satu partai
politik. Dimana, kata kawan saya itu, tidak pernah dikonfirmasi sebelumnya
untuk dimasukkan menjadi pengurus partai politik. Untuk memenuhi persyaratan
menjadi anggota komisioner, maka terpaksa membuat surat pengunduran diri dari
kepengurusan partai politik yang tidak diketahuinya. Apa yang bisa diperbuat,
selain itu.
Tentu,
cerita tersebut di atas hanya kasus dan tidak dapat digeneralisir dan menyamaratakannya
pada semua partai politik. Banyak partai politik yang bagus system dan
mekanisme kaderisasinya, sehingga partainya dikesankan sebagai partai kader.
Anggota partai politik yang tergolong partai kader, sangat kuat memegang
prinsip kepartaian sehingga tidak mudah untuk melakukan pindah partai atau
semacam bajing loncat. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat berjalan
sangat efektif pada partai politik itu.
Lalu,
bagaimana dengan rekrutmen untuk menjadi kepala daerah dan atau presiden? Semua
partai politik tampaknya melakukan politik transaksional atau Politik kartel.
Kartelisasi politik tampaknya menjadi ciri dari politik sejak reformasi atau
dengan kata lain partai-partai politik di Indonesia telah membentuk system
kepartaian yang mirip kartel. Setidaknya ada lima ciri kartel dalam system
kepartaian di Indonesia, menurut kuskrido Ambardi (2009) dalam bukunya “Mengungkap Politik Kartel”. Pertama. Hilangnya peran idiologi partai
sebagai factor penentu perilaku koalisi partai. Kedua. Sikap permisif dalam
pembentukan koalisi. Ketiga. Tiadanya
oposisi. Keempat. Hasil-hasil pemilu
hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik. Kelima. Kuatnya kecendrungan partai
untuk bertindak secara kolektif sebagai
suatu kelompok.
Sebagai
orang awwamul awam dalam politik,
rasanya sangat wajar kalau masyarakat berprasangka jelek terhadap partai
politik di Indonesia bahwa ada proses pembiaran atau kesengajaan dari partai
politik agar rakyat tetap tidak melek politik sehingga mudah untuk melakukan
politik transaksional (terutama saat-saat menjelang pemilihan umum) untuk
mendapat dukungan dari rakyat. Kalau prasangka itu benar berarti partai politik
telah melakukan kesalahan yang besar dan melanggar undang-undang partai politik.
Kalau begitu, rakyat dapat menuntut partai politik dan atau kalau tidak
melakukan pendidikan politik, tentu rakyatpun dapat menggunakan haknya untuk
tidak memilih pada pemilu mendatang.
Namun
yang pasti bahwa perubahan terhadap ketiga undang-undang tersebut di atas
menjadi kebutuhan agar sesuai dengan tuntutan zaman dan rakyat. Mengapa? Karena
semua kita menginginkan agar system kepartaian di Indonesia menjadi lebih baik
dan pelaksanaan pemilihan umum mendatang lebih JURDIL lagi sehingga
menghasilkan pimpinan pemerintahan yang mengedepankan good and clean governance. Syarat utamanya pendidikan politik bagi
masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar-tawar, jika tidak mungkin
kita sebagai masyarakat dapat menghukum partai politik. Mungkinkah. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar