Jumat, 15 Juni 2012

TENTANG PENDIDIKAN POLITIK


Senen, tanggal 11 Juni 2012, saya menghadiri undangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Lombok Barat pada acara sosialisasi tiga undang-undang menyangkut tentang UU  Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu DPR, DPD dan DPRD, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Hadir sebagai pembicara Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mataram Prof. Dr. Gatot Dwi Hendro, SH, M.Hum dan Ilyas Sarbini, SH dari Anggota KPU Provinsi NTB.
Acara sosialisasi berlangsung hanya setengah hari dimulai pukul 08.00 – 12.30 Wita yang dibuka oleh ketua KPU Provinsi NTB Fauzan Halid, M.Si. Peserta yang hadir dari semua pimpinan partai politik peserta pemilu tahun 2009 yang lalu di kabupaten Lombok Barat dan peserta dari tokoh agama, masyarakat dan tokoh pemuda yang diwakili oleh 2 orang dari masing-masing kecamatan. Termasuk saya hadir sebagai peserta mewakili dari unsur akademisi, serta seluruh anggota KPU Lombok Barat beserta staff Sekretariatnya.
Ada beberapa focus persoalan  yakni mulai dari semangat yang melatarbelakangi perubahan undang-undang tersebut di atas sampai pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Permasalahan DPT sampai saat ini  terus saja menjadi persoalan setiap kali pemilu diadakan, seperti kasus paling anyar tentang DPT pemilu Gubernur DKI Jakarta yang ramai-ramai digugat oleh semua pasangan calon Gubernur. Tampaknya persoalan DPT ini akan tetap menjadi persoalan sampai pemilu 2014 mendatang.
Tambal sulam terkait tiga undang-undang tersebut di atas menjadi kemestian yang dilakukan pemerintah dan DPR agar undang-undang itu dapat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan zamannya. Yang lebih penting agar penyelenggaraan pemilu menjadi lebih baik, menang dengan fair dan kalah tidak disoraki. Setidaknya system pemilu yang seperti itu yang seharusnya terbangun pada pemilu 2014 mendatang. Dan itulah pelaksanaan dan hasil pemilu yang demokratis yang akan dituju. Demokrasi tidak seharusnya dimaknai hanya sebatas pada hasil pemilu, tetapi demokrasi sekaligus prosesnya.
Terkait dengan undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang partai politik, ada ghirah yang kuat untuk melakukan penataan dan penyempurnaan pada partai politik, terutama pada ranah pembentukan sikap dan perilaku politik, serta bagaimana memaksimalkan fungsi partai politik terhadap Negara, baik menyangkut pendidikan politik, pengkaderan serta system rekrutmen. Saya melihat disini titik kelemahan partai politik selama ini. Partai politik belum maksimal melakukan pendidikan politik bagi anggotanya maupun masyarakat.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012, pasal 34 ayat 3a dan 3b tentang partai politik dengan tegas menyatakan bahwa bantuan keuangan dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat (pasal 3a); Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan: (a). Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu pancasila, UUD 1945, Bhenika Tunggal Ika, dan NKRI;  (b). Pemahaman mengenai hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik, dan (c). Pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Perilaku politik para kader (?) menjadi bukti nyata bahwa pendidikan politik tidak berjalan di interen partai politik. Kebijakan fraksi di DPR kadang tidak koneks dengan kebijakan partai, bahkan ada para anggotanya bersebrangan dengan kebijakan keduanya. Dalam kasus Bank Century dan kenaikan harga BBM (walaupun tidak jadi dinaikkan tahun 2011 lalu, misalnya menjadi bukti nyata bahwa system kaderisasi tidak berjalan. Seharusnya yang namanya kader partai, dalam kondisi apapun harus tetap berada pada barisan yang sama untuk menjalankan kebijakan partai, tidak boleh ada yang membalelo.
Lalu, bagaimana dengan pendidikan politik untuk rakyat? Apa mungkin partai politik melaksanakan program itu? Rasanya, siapapun akan pesimis melihat partai politik mau melakukannya. Melakukan kaderisasi saja masih sulit, apalagi akan melakukan pendidikan politik untuk rakyat. Padahal, pendidikan politik merupakan amanah dari undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik.
Ada kesan yang tidak baik di tengah-tengah masyarakat politik bahwa undang-undang dibuat untuk dilanggar. Saya awalnya terkejut mendengar pernyataan dari salah satu peserta sosialisasi tiga paket undang-undang itu. Namun akhirnya, saya memahami juga, paling tidak itulah gambaran atau potret dari ketidak jelasan system rekrutmen dan pendidikan politik yang tidak jelas di dalam parpol (khususnya  di grassroot). Sungguh, Tidak terlintas dalam bayangan saya, ada pengurus parpol punya kesan seperti itu. Lalu bagaimana dengan masyarakat awam yang tidak tahu menahu tentang kepartaian?. Wallahu a’lam bissawab.
Rasanya sangat mustahil memimpikan suatu budaya politik demokratis terlahir dalam waktu singkat, sebagaimana amanah undang-undang parpol tersebut di atas kalau tidak dimulai dari intern partai politik. Rekrutmen anggota partai politik tampak tidak jelas system dan mekanismenya, buktinya ada anggota partai politik yang tiba-tiba saja menjadi anggota politik (D) padahal masyarakat telah mengetahui bahwa ia anggota politik (A). menurut hemat penulis hal itu tidak pernah sebuah persoalan yang serius, malah dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam dunia politik.
Rekrutmen untuk menjadi pengurus partai politik lebih amburadul lagi. Dari cerita teman saya yang hendak mendaftarkan diri menjadi anggota komisioner tersandung gara-gara ketidaktahuan dirinya terdaftar menjadi pengurus salah satu partai politik. Dimana, kata kawan saya itu, tidak pernah dikonfirmasi sebelumnya untuk dimasukkan menjadi pengurus partai politik. Untuk memenuhi persyaratan menjadi anggota komisioner, maka terpaksa membuat surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik yang tidak diketahuinya. Apa yang bisa diperbuat, selain itu.
Tentu, cerita tersebut di atas hanya kasus dan tidak dapat digeneralisir dan menyamaratakannya pada semua partai politik. Banyak partai politik yang bagus system dan mekanisme kaderisasinya, sehingga partainya dikesankan sebagai partai kader. Anggota partai politik yang tergolong partai kader, sangat kuat memegang prinsip kepartaian sehingga tidak mudah untuk melakukan pindah partai atau semacam bajing loncat. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat berjalan sangat efektif  pada partai politik itu.
Lalu, bagaimana dengan rekrutmen untuk menjadi kepala daerah dan atau presiden? Semua partai politik tampaknya melakukan politik transaksional atau Politik kartel. Kartelisasi politik tampaknya menjadi ciri dari politik sejak reformasi atau dengan kata lain partai-partai politik di Indonesia telah membentuk system kepartaian yang mirip kartel. Setidaknya ada lima ciri kartel dalam system kepartaian di Indonesia, menurut kuskrido Ambardi (2009) dalam bukunya “Mengungkap Politik Kartel”. Pertama. Hilangnya peran idiologi partai sebagai factor penentu perilaku koalisi partai. Kedua. Sikap permisif  dalam pembentukan koalisi. Ketiga. Tiadanya oposisi. Keempat. Hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik. Kelima. Kuatnya kecendrungan partai untuk bertindak secara kolektif  sebagai suatu kelompok.
Sebagai orang awwamul awam dalam politik, rasanya sangat wajar kalau masyarakat berprasangka jelek terhadap partai politik di Indonesia bahwa ada proses pembiaran atau kesengajaan dari partai politik agar rakyat tetap tidak melek politik sehingga mudah untuk melakukan politik transaksional (terutama saat-saat menjelang pemilihan umum) untuk mendapat dukungan dari rakyat. Kalau prasangka itu benar berarti partai politik telah melakukan kesalahan yang besar dan melanggar undang-undang partai politik. Kalau begitu, rakyat dapat menuntut partai politik dan atau kalau tidak melakukan pendidikan politik, tentu rakyatpun dapat menggunakan haknya untuk tidak memilih pada pemilu mendatang.
Namun yang pasti bahwa perubahan terhadap ketiga undang-undang tersebut di atas menjadi kebutuhan agar sesuai dengan tuntutan zaman dan rakyat. Mengapa? Karena semua kita menginginkan agar system kepartaian di Indonesia menjadi lebih baik dan pelaksanaan pemilihan umum mendatang lebih JURDIL lagi sehingga menghasilkan pimpinan pemerintahan yang mengedepankan good and clean governance. Syarat utamanya pendidikan politik bagi masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar-tawar, jika tidak mungkin kita sebagai masyarakat dapat menghukum partai politik. Mungkinkah. Wallahul Musta’an ila Darissalam.

*********
 

0 komentar: