Perkembangan Filsafat dari
zaman Yunani ke Kontemporer
Filsafat adalah tertib, atau cara/metode pemikiran
yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki
pelbagai kenyataan yang tampil di muka kita. Dalam kehidupan sehari-hari
sejak jaman purbakala
manusia selalu berusaha
mencari hakekat kebenaran
mengenai hal-hal yang
bersifat hakiki, seperti
masalah alam, Tuhan, kematian,
hidup sesudah mati,
cinta dan lain-lain. Manusia berusaha mengerti
dan menaklukan alam
semesta yang penuh
dengan misteri. Sampai jaman
yang diwarnai dengan
kecanggihan teknologi saat ini,
perasaan untuk mengerti dan
memahami rahasia-rahasia alam
semesta termasuk rahasia
mengenai dirinya sendiri.
Pada masa
jaman pertengahan, manusia
belum menunjukkan minat
terhadap studi sistematis
mengenai dunia fisik,
kondisi tersebut banyak
dipengaruhi oleh pendapat
filsafat Yunani yang lebih
mengutamakan “Yang umum”
daripada “Yang khusus”.
Pengetahuan yang umum mengacu
pada hakekat dan
esensi hal-hal yang
konkrit, sedang yang
khusus membedakan benda
satu dengan yang
lain.
Dalam mitologi
Yunani dikenal adanya
istilah dewa Zeus
yang selalu dihubungkan dengan
persoalan cuaca, hujan
dan kilat, dewa
Poseidon ynag menguasai
lautan dan gempa
bumi. Manakala terjadi
bencana alam seperti
gempa bumi, banjir
dan lain-lainnya; manusia
selalu menghubung-hubungkan dengan
hal-hal yang bersifat supernatural.
Dalam perkembangan pemikirannnya
akhirnya manusia setelah
mengalami berbagai proses
berhasil menggunakan daya
nalarnya (ratio) dalam
memecahkan persoalannya. Seperti
yang terjadi pada
Abad Pertengahan dengan
penemuan-penemuan ilmiah oleh
Copernicus dan Thomas Alpha Edison[1].
Sebagaimana pendapat seorang
filosof Rene Descartes
yang mengatakan “cogito
ergo sum”[2]
(Aku ada karena
berpikir) maka manusia
mulai menggunakan pikirannya
yang luar biasa
ajaibnya.
Jembatan antara abad
pertengahan dan jaman modern disebut renesance, kelahiran kembali (dari
kata Prancis renaissance). Dalam jaman renesance (periode antara
1400 dan 1600 SM), manusia seakan lahir kembali dari tidur abad pertengahan.
Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung
seribu tahun lamanya. Pada aras ini, manusia tidak lagi menganggap dirinya
sendiri sebagai viator mundi (orang yang berziarah di dunia ini),
melainkan sebagai faber mundi (orang yang menciptakan dunianya)[3].
Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat realitas, hal itu nampak dalam
karya-karya seniman jaman renesance seperti Donatello, Botticelli,
Migelangelo, Raphael dan Leonardo da Vinci; dan juga nampak pada
sastrawan-sastrawan seperti Dante, Petrarca dan Boccaccio.
Sedikitnya ada tiga faktor
yang mempercepat perkembangan baru dalam jaman renesance yakni penemuan
baru berupa pemakaian mesiu, seni cetak dan kompas. Penemuan mesiu berarti
titik akhir kekuasaan kekuasaan feodal yang dipusatkan dalam benteng-benteng
feodalisme yang sudah tidak aman lagi. Penemuan seni cetak berarti pengetahuan
tidak lagi merupakan milik eksklusif
suatu elite intelektual kecil, melainkan sudah terbuka untuk orang
banyak. Sedangkan penemuan kompas berarti navigasi mulai aman, sehingga
dimungkinkan perjalanan jauh yang membuka suatu dunia baru.
Filsafat modern sebagai ahli waris jaman renesance bercorak antroposentris[4].
Manusia menjadi pusat perhatian. Dalam jaman Yunani dan abad pertengahan,
filsafat selalu mencari substansi, prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh
realitas. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip
induk atau arche ini. Artinya bahwa bangsa Yunani sudah tidak lagi
mempercayai mitologi-mitologi dan pengalaman yang tidak didasarkan pada sikap receptive
attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an
inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara
kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu
pengetahuan modern dan sikap kritis-lah yang menjadikan bangsa Yunani tampil
sebagai ahli fikir terkenal sepanjang masa, seperti Thales, Phytagoras,
Socrates, Plato,dan Aristoteles.
Buah pemikiran Socrates diketemukan pada muridnya
Plato. Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang
hanya terbuka bagi pancaindra dan rasio. Dunia yang pertama disebut dunia
jasmani dan kedua dunia ide[5]. Apa
yang dikatakan Plato mendapat kritikan dari Aristoteles dengan menyatakan bahwa
yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkrit; ide manusia tidak terdapat
dalam kenyataan. Aristoteles dikenal sebagai filosof realis dan sumbangannya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan sangat besar, utamanya idenya yang sampai sekarang terus
menjadi perdebatan adalah tentang abstraksi (aktivitas rasional dimana manusia
memperoleh pengetahuan). Ada tiga macam abstraksi menurut Aristoteles, yakni
abstraksi fisis, abstraksi matematis, dan abstraksi metafisis[6]. Abstraksi
yang ingin menangkap pengertian untuk mencapai kualitas disebut abstraksi
fisis. Abstraksi dimana subjek menangkap unsur kuantitatif disebut abstraksi matematis; sedangkan
abstraksi dimana seseorang menangkap yang hakiki disebut abstraksi metafisis.
Sebagai seorang filosof realis Arstoteles (384-322 s.M) memahami alam
semesta ini sebagai suatu tertib yang tercipta dan menjadi ada sejak awal
mulanya[7].
Lebih lanjut dikemukakan bahwa semesta itu tidaklah merupakan suatu tertib yang
pre-establised, akan tetapi juga berkeselarasan yang sifatnya final, dan
sekaligus juga merupakan suatu rancang bangun tatanan yang terwujud hanya
karena adanya suatu penciptaan yang mengisyaratkan adanya tujuan yang final (causa
finalis). Profesor Sutandyo sendiri, mengartikan semesta sebagai ekspresi
kecerdasan dan kearifan illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral, seperti
(yang an-organik maupun yang organik, tak kurang-kurangnya juga manusia) sudah
dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang
sudah kodrati agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib semesta ini akan
senantiasa terjaga. Berbeda dengan premis dasar Galilean-Newtonian yang
bertolak dari asumsi aksiomatik bahwa alam semesta itu hakikinya adalah
himpunan variabel yang jumlahnya tak terhingga, yang berinteraksi dalam suatu
proses yang berlangsung tanpa mengenal titik henti (causa finalis ala
Aristotelian).
Bagi pemikir abad pertengahan Tuhan merupakan arche
dengan menampilkan para teolog di lapangan ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas
ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu
adalah “ancilla theologia” atau abdi agama. Namun, harus diakui bahwa
banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa itu. Bahkan
perbedaan dengan abad sebelumnya sangat mencolok; perbedaan itu terletak pada
dominasi agama_terutama munculnya agama kristen yang di bawa Nabi Isa As.
Kehadiran agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa
Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati (sangat berbeda dengan pandangan
Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal
manusia).
Kekacauan agama Kristen yang terjadi di Barat pada
abad ke-16 dan munculnya sains modern. Itulah masa gejolak. Tidak ada yang
tetap, meskipun banyak yang terbuka_dunia dan gagasan baru. Dalam bidang sains,
Covernicus dan Vesalius[8],
dapat dipandang sebagai tokoh yang mewakili keduanya; keduanya melambangkan
kosmologi baru dan penekanan ilmiah pada pengamatan langsung. Kematian Giordano
Bruno misalnya telah meninggalkan sombolisme yang tidak disadari, karena nada
pemikiran ilmiah berikutnya_mengandung ketidakpercayaan terhadap jenis
spekulasi imajinatif yang bebas. Bahkan
William James ketika menyelesaikan risalah “Principles of Psychology” menyatakan bahwa “aku harus
menempa setiap kalimat dalam gerigi fakta yang keras dan pasti”. Di mana saja
dan kapan saja, selalu ada orang-orang yang praktis, yang tenggelam dalam fakta
yang keras dan pasti; dan selalu ada orang yang bertemperamen filosofis yang
tenggelam dalam gelombang prinsip-prinsip umum di dalam pikiran modern.
Isaac
Newton mengatakan dalam referensi praktik metodologi ‘jika filsafat natural
dalam semua bagian, akan menjadi sesuatu yang sempurna analisis filsafat moral
yang berkembang. Dalam terminology Newtonian makna dari ‘filsafat moral’ tidak
hanya termasuk etika tapi studi manusia dan fenomena social pada abad 18,
Newton sebagai ilmuwan paling besar, tidak hanya akan penemuan terhadap
mekanika tapi juga memunculkan metode yang benar berdasar investigasi ilmiah[9]. Masalahnya,
Apakah ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial_harus bekerja dengan
bebas nilai[10],
(bicara tentang yang ada, bukan yang harus ada).
Perselisihan
metode awalnya terjadi di Jerman dan Austria sekitar tahun 1890-an, para
pendekar utama adalah Menger dan Schmoller yang mempersoalkan apakah ilmu
ekonomi harus memakai metoda eksak atau historis dan kemungkinan syarat-syarat
ilmu-ilmu sosial dan ekonomi yang normatif. Istilah kebebasan nilai (wertfreyheit)
dibentuk dalam perselisihan penilaian (werturteilsstreit) termasyhur
berlangsung antara tahun 1909 dan 1914). Posisi yang paling terkenal adalah
posisi Max Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu sosial bekerja dengan bebas
nilai_tetapi juga tetap relevan terhadap masalah nilai.
Para
pendukung kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif_bahkan menambahkan bahwa
metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda.
Artinya, kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, harus
dapat menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam
ilmu alam. Untuk sampai ke tujuan itu_sebuah riset sosial harus dapat
menghasilkan deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak
memberikan penilaian apapun. Oleh karena itu_seorang ilmuan atau peneliti harus
dapat meninggalkan rasa-perasaannya, harapan-harapannya,
keinginan-keinginannya, penilaian-penilaian moralnya atau bahkan
kepentingan-kepentingannya, untuk mendekati objek sosial, sehingga diperoleh
pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau social fact.
Berdasarkan anggapan itu_para pendukung kebebasan nilai di masukkan ke dalam
kubu positivisme.
Dalam
perselisihan Positivisme[11],
Karl Popper dan Albert mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya
dikritik oleh Adorno dan Habermas. Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu
pengetahuan pada fakta dan mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai
irrasional. Kemudian pada segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak
usaha yang dilakukan Adorno Cs. Untuk memasukannya ke dalam satu ranah
(meminjam istilah Bourdieu) dengan positivisme dan menyatakan diri sebagai
anti-positivistik.
Baik
Popper cs. maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi yang saling serang dan
saling tuduh sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh Popper cs. Sebagai
positivistik (Habermas: “ein positivistisch halbierter Rationalismus”),
sedangkan Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang sesungguhnya.
Walaupun demikian_pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri anti
positivisme, sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata kedua
belah pihak itu kelihatan berpendirian sama.
Namun
kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria kebenaran. Penolakan itu_baik
oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis, bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu
sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Pada aras ini, Habermas mengenai
postulat kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi bagi ilmu-ilmu sosial,
melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja tidak bebas nilai. Sebuah
postulat yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang berlaku bagi ilmu alam
lebih berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”.
Menurut
Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan, karena untuk melaksanakan
rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi konkrit, tentu rekomendasi
itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar maching dengan situasi
itu. Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan tujuan-tujuan tidak lagi dapat
diisolasikan. Artinya tujuan dapat menjadi sarana bagi tujuan selanjutnya,
sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan bahwa realitas masyarakat tidak
dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan sarana-tujuan, melainkan harus
dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang saling menengahi.
Kesan
bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu bebas nilai sangat bersifat idiologis. Asumsi
bahwa suatu pengertian yang murni, bebas dari kepentingan_padahal kepentingan
murni ini tetap ditentukan secara normatif oleh kepentingan-kepentingan teknis.
Pemisahan antara fakta dan keputusan sendiri hanyalah akibat dari reduksi yang
tidak sah (yaitu reduksi segala bentuk pengetahuan pada pengetahuan dari jenis
teknis dan ilmu pengetahuan alam). Oleh karena itu, menurut Habermas_ tidaklah
kebetulan bahwa perpisahan keras antara fakta dan keputusan baru diadakan
dengan tajam pada awal kapitalisme. Sebab reduksi di bawah kapitalisme_semua
nilai pada nilai tukar atau nilai ekonomis mengakibatkan bahwa
hubungan-hubungan sosial akhirnya dalam semua bidang kehidupan dibendakan[12]
(dianggap benda atau barang dagangan). Kritik Habermas terhadap postulat
kebebasan nilai ilmu pengetahuan_bukan sebatas teori ilmu pengetahuan,
melainkan Habermas mau membuka kedok suatu idiologi yang kekuasaannya
menghalang-halangi emansipasi manusia. Pembongkaran itu dilakukan Habermas
dengan menggunakan metode kritik dan dialektika yang sekaligus menjadi ciri
teori kritik yang dikembangkannya.
Pada perkembangannya, abad pertengahan kelihatan mulai
kehilangan taringnya, yang ditandai dengan kebangkitan kembali pemikiran yang
bebas dari dogma-dogma agama. Manusia merindukan kembali pemikiran yang bebas
(seperti era Yunani Kuno); Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usahanya
sendiri_tidak didasarkan atas campur tangan ilahi dan era ini disebut dengan Reanaissance.
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis dan ilmu
pengetahuan yang berkembang adalah bidang Astronomi dengan tokoh-tokohnya,
seperti Roger Bacon (pengalaman empiris), Copernicus (matahari menjadi pusat =
heliosentrisisme)[13],
Johannes Keppler (menemukan tiga buah hukum = gerak mengikuti lintasan elips;
garis penghubung antara planet dan matahari melintasi bidang yang luasnya sama;
bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y,
sedangkan waktu untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2 :
Q2 = X3 : Y3), Galileo Galilei (membuat teropong bintang dan mengamati beberapa
peristiwa angkasa secara langsung; juga menyimpulkan bahwa planet Venus dan
Mercurius, sebagaimana bulan_tidak memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya
memantulkan cahaya dari matahari)[14].
Dalam jaman modern, peranan substansi diambil alih
oleh manusia sebagai subjek. Yang terletak di bawah seluruh realitas, yang
memikul realitas. Oleh karenanya, jaman modern sering disebut “jaman
pembentukan subjektivitas”. Seluruh sejarah jaman modern dapat dilihat sebagai
satu rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf jaman
modern menyelidiki segi-segi subyek manusia “aku” sebagai pusat pemikiran,
pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak dan pusat
perasaan, maka, Louis Leahy menyebut “manusia sebagai sebuah misteri[15].
Jaman modern juga, ditandai dengan berbagai penemuan
dalam bidang ilmiah, yang sesungguhnya sudah dirintis sejak jaman renaissance.
Dimulai dari Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat modern (juga
seorang ahli ilmu pasti). Penemuannya dalam ilmu pasti adalah “orthogonal
coordinate system” (sistem koordinat) yang terdiri atas dua garis lurus X
dan Y dalam bidang datar dan tentunya “cogito ergo sum” dalam bidang
filsafat. Isaac Newton dengan temuannya teori gravitasi. J.J. Thompson dengan
temuannya elektron. Charles Darwin dengan teorinya struggle for life; the
origin of species. Perjungan untuk hidup berlaku pada setiap kumpulan
mahluk hidup yang sejenis, karena meskipun sejenis_namun tetap punya
kelainan-kelainan kecil dan berpengaruh terhadap daya menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan. Mahluk hidup yang dapat menyesuakan diri memiliki peluang
besar untuk bertahan hidup, pun sebaliknya_oleh karena itu, yang dapat bertahan
adalah yang paling unggul atau survival of the fittest.
Kini, di abad ke 20 diakui para filosof bahwa bidang fisika menempati kedudukan
paling tinggi. Trout_misalnya, menganggap fisika sebagai dasar ilmu pengetahuan
yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam
semesta. Fisikawan terkenal abad ini adalah Albert Einstein. Ia menyatakan
bahwa alam ini tidak berhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak
berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein
percaya akan kekekalan materi, karenanya bersifat kekal dan tidak diciptakan.
Di samping penemuan di bidang fisika, juga penemuan di bidang teknologi canggih
(komputer, internet atau cyber), begitu pula dalam bidang kedokteran
semakin terspesialisasi dan bahkan super-spesialisasi, sehingga dihasilkan
sebuah ilmu baru bio-teknologi yang dikenal dengan teknologi kloning. Tentu
saja, penemuan dalam bidang ilmu baru ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pemikir ilmu sosial dan menjadi dilema moralitas termasuk agama.
Pengetahuan
dan keyakinan (Idealitas dan Normativitas)?
Ilmu
pengetahuan dan keyakinan sama-sama merupakan sikap mental seseorang dalam hubungan
dengan objek yang disadarinya sebagai ada dan terjadi. Hanya saja, terdapat
perbedaan yang mendasar antara keduanya; dalam hal keyakinan, objek yang disadari
sebagai ada itu, tidak perlu harus ada sebagaimana adanya. Sebaliknya_dalam hal
pengetahuan, objek yang disadari itu memang harus ada sebagaimana adanya. Juga,
yang membedakan adalah keyakinan bisa saja keliru tetapi sah saja dianut
sebagai keyakinan, namun_tidak dengan pengetahuan; pengetahuan tidak bisa salah
atau keliru karena begitu suatu pengetahuan terbukti salah atau keliru, maka
tidak bisa lagi dianggap sebagai pengetahuan. Begitu suatu pengetahuan dianggap
keliru, maka pengetahuan serta merta berubah menjadi keyakinan. Sehingga, pada
aras ini tampak jelas perbedaan antara keyakinan dan pengetahuan.
Apa
yang dianggap sebagai pengetahuan lalu dirumuskan sebagai proposisi.
Pengetahuan yang diungkapkan dalam proposisi itu hanya sah sebagai pengetahuan
kalau proposisi itu pada kenyataannya benar, sebagaimana yang diungkapkan.
Misalnya 25 + 25 = 50 hanya merupakn sebuah pengetahuan kalau memang dalam
kenyataannya 25 + 25 = 50. Semua burung gagak berwarna hitam_hanya sah menjadi
sebuah pengetahuan, kalau dalam kenyataannya semua burung gagak berwarna hitam.
Kalau dalam kenyataan tidak benar demikian, maka proposisi tadi hanya menjadi
sebuah keyakinan. Dengan demikian, pengetahuan selalu berarti pengetahuan
tentang kebenaran. Plato sendiri mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang
kebenaran adalah pengingat kembali apa yang sudah diketahui sebelumnya[16].
Dalam
banyak kasus, kita tahu sesuatu walaupun tanpa menyadari bahwa kita tahu; baru
setelah orang lain menyinggung hal itu_baru kita sadar bahwa sesungguhnya kita
tahu. Kita memang tahu banyak hal, tetapi ketika kita tidak sadar akan apa yang
kita ketahui itu, ini belum merupakan pengetahuan. Contoh yang relavan Isac
Newton. Jauh sebelum Newton sadar mengenai hukum garvitasi_ketika satu buah
apel jatuh persis mengenai kepalanya, dia dan banyak orang sezamannya tahu akan
hukum itu. Hanya saja, hukum itu baru dianggap sebagai pengetahuan ketika
Newton menyadari dan merumuskannya. Jadi pengetahuan selalu menuntut adanya
kesadaran bahwa si subjek itu sendiri tahu; si subjek harus tahu bahwa dia tahu
dengan pasti.
Persoalannya yang muncul adalah bagaimana kita
tahu secara pasti tentang sesuatu? Dalam sejarah filsafat_persoalan itu di
jawab oleh dua aliran pemikiran, yaitu rasionalisme dan empirisisme[17]. Kaum rasionalis beranggapan bahwa kita dapat
sampai kepada pengetahuan yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi,
sedangkan kaum empirisme punya anggapan bahwa kita sampai pada pengetahuan yang
pasti dengan mengandalkan pancaindra kita yang memberi informasi tentang objek
tertentu. Kaum rasionalis menolak anggapan bahwa pengetahuan di peroleh melalui
pancaindra, baginya akal budi sudah cukup memberi pemahaman dan terlepas dari
pancaindra.
Di
dalam Teologi Islam, perdebatan semacam itu juga muncul_terutama berkaitan
dengan sejauhmana akal budi mampu mengetahui tentang kebenaran atau apakah
manusia diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam mengatur hidupnya, ataukah manusia
terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? Ada tiga aliran
dalam Teologi Islam, yakni kaum Qadariah (free will dan free act);
kaum Jabariah (fatalisme atau predestination); dan kaum
Mu’tazilah (designatie)[18]. Bagi
kaum Qadariah (dengan tokohnya Ma’bad al-Jauhani), manusia mempunyai kebebasan
dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya, kaum
Jabariah (dengan tokohnya al-ja’d Ibn Dirham dan disebarkan oleh Jahm Ibn
Safwan dari Khurazan) menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat
pada kehendak Tuhan.
Kaum
Mu’tazilah (dikenal sebagai kaum rasionalis Islam) karena menggunakan
pendekatan filosofis dan mendewakan akal; tokoh dan pendirinya adalah Wasil Ibn
‘ata’. Lima ajaran kaum Mu’tazilah yaitu pertama, posisi menengah (al-manzilah
bain al-manzilatain) maksudnya_orang yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula
mukmin tetapi fasiq (posisi antara kafir dan mukmin). Kedua, Tuhan bersifat
bijaksana dan adil; Tuhan tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Tidak mungkin
Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
perintah-Nya. Dengan demikian, manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan baik dan perbuatan jahatnya (kepatuhan dan ketidakpatuhannya sama
Tuhan). Kemudian muncul nama-nama Jamaludin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad
Abduh (1849), Muhammad Rasyid (1865). Dengan potensi akal yang dimiliki
manusia, demikian diungkapkan Muhammad Abduh, maka manusia dapat mengetahui
tentang baik dan buruk perilaku manusia. Dari kalangan Filosof Muslim[19],
muncul nama-nama seperti Al-Kindi (185H) dengan konsepnya, pengetahuan
rasional, Pengetahuan Isyraqi, metafisika; Al-Razi (251H), Al-Farabi (257H)
tentang sepuluh kecerdasan, emanasi; Ibnu Sina (340H) dengan teori fisika
(benda, form, masa, dan gerak); dan Al-Ghazali ( (450M) tentang filsafat
metafisika, iradat Tuhan, Qadimnya Alam dan tasauf.
Untuk
memahami lebih jauh tentang rasionalisme, penting mengurai pemikiran dua tokoh
dari paham rasionalisme yakni Plato dan Rene Descartes. Plato dapat dikatakan
sebagai rasionalis pertama. Satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan
tunggal dan tidak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Apa yang ditangkap
melalui pancaindra hanya merupakan tiruan dari ide-ide tertentu yang abadi.
Hanya ide-ide itu yang bersifat nyata dan sempurna. Maka pengetahuan menurut
Plato adalah sekumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia dan untuk sampai
kepada pengetahuan sejati_hanya dapat dicapai dengan mengandalkan akal budi.
Sementara Descartes melalui metode “meragukan segala sesuatu” atau “clara et
distincta”. Ia beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan
bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan
yakin akan apa yang diketahui. Unsur utama yang menipu[20]
dan menghalangi manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman
indrawi.
Bagi
Descartes, keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai; melainkan keraguan
hanya sebuah sarana untuk bisa menemukan
segala sesuatu yang bisa diketahui secara pasti. Atas dasar inilah_Descartes
menyatakan akal budi sebagaimana dalam ilmu ukur dan matematika_ sebagai
indikator untuk sampai pada pengetahuan pasti. Kenyataan yang pasti dan yang
tidak diragukan Descartes adalah “ia ada”. Beradanya berarti ia bisa meragukan
segala sesuatu, jika ia tidak ada_ berarti ia tidak bisa meragukan sesuatu.
Jadi, saya berfikir berarti saya ada “cogito ergo sum”. Dari pernyataan
itu_sekaligus sebagai penegasan bahwa berfikir, akal budi adalah unsur paling
pokok dari manusia dan juga bagi pengetahuan manusia.
Rumusan
yang bisa diberikan mengenai rasionalisme dari uraian di atas, bahwa kaum
rasionalis lebih mengandalkan geometri atau ilmu ukur dan matematika (dengan
demikian kaum rasionalis hanya menerima metode deduktif)_yang memiliki
aksioma-aksioma umum terlepas dari pengamatan atau pengalaman pancaindra. Juga_kaum
rasionalis menerima semua pengetahuan adalah pengetahuan apriori[21]
yang terutama mengandalkan sillogisme. Ada ide-ide bawaan yang telah ada dalam
benak manusia sejak lahir, demikian kaum rasionalis. Data dan fakta tidak
begiti penting bagi munculnya pengetahuan, walaupun mungkin berguna. Dengan
demikian, kaum rasionalis meremehkan peran pengalaman dan pengamatan pancaindra
bagi pengetahuan.
Apa
yang diungkapkan kaum rasionalis mendapat tantangan dari kaum empirisme, hanya
keduanya bertemu pada suatu keinginan menanggapi persoalan yang diajukan
skeptisisme, bagaimana bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti benar? Bagi
kaum empirisme (tokohnya John Locke dan David Hume) pada pokonya menyatakan
bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman[22].
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi melalui dan bantuan
pancaindra (bersifat spontan dan langsung)[23].
Pancaindra memainkan peranan terpenting dibanding dengan akal budi
(rasionalis). Karena itu, bagi kaum empiris_akal budi hanya mengkombinasikan
pengalaman indrawi untuk sampai kepada pengetahuan.
Dengan
mengikuti fisika Newton, Locke kemudian mengembangkan pandangan masyarakat yang
atomistik, yang menggambarkannya dalam pengertian balok dasarnya, manusia.
Sebagaimana fisikawan yang mereduksi sifat-sifat gas menajdi gerak atom atau
molekul; Locke mencoba mereduksi pola-pola yang diamati dalam masyarakat
menjadi perilaku individu. Analisis Locke tentang hakekat manusia dipengaruhi
filosof Thomas Hobbes yang menyatakan
bahwa sumber pengetahuan berdasarkan persepsi indra_yang kemudian menggunakan
metafora “tabula rasa”[24].
Lalu,
bagaimana sampai kepada pengetahuan sebab-akibat? Menurut kaum empirisme_(David
Hume), pengetahuan ini dicapai berdasarkan pengalaman ketika menemukan bahwa
objek tertentu selalu berkaitan dengan objek lainnya (bukan melalui penalaran
apriori[25],
sebagaimana kaum rasionalis). Pengalaman yang mengajarkan, bagaimana satu
peristiwa selalu diikuti oleh peristiwa lainnya, kata Hume. Demikian pula
halnya, kenyataan bahwa semua angsa berwarna putih_tidak dengan sendirinya
berarti semua angsa berwarna putih.
Hanya
saja, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut pandangan kaum
empirisme. Pertama, sampai tingkat tertentu_kaum empirisme mengakui
bahwa persepsi atau proses penginderaan tidak dapat diragukan (indibituble).
Persepsi bebas dari kemungkinan salah_karena kekeliruan tidak punya tempat pada
apa yang given dan sesuatu yang given pada tataran tertentu harus
diterima sebagai nyata. Kedua, dari empirisme Hume, terungkap bahwa
empirisme hanya sebuah tesis tentang pengetahuan empirisme, tetapi ada
pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi. Ketiga,
kaum empirisme lebih menekankan metode pengetahuan induktif[26]. Sikap
dasar kaum empiris ini mempunyai sumbangan besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan modern, karena mendorong percobaan yang di dasarkan pada observasi
dan penelitian empiris. Pada aras ini, ilmuan tidak lagi terpaku pada rumusan
yang bersifat apriori dan berlaku mutlak, melainkan lebih giat melakukan
penelitian lapangan untuk membutikan kebenaran berbagai proposisi dan
pengetahuan universal. Dan terutama pengaruh Hume dan Francis Bacon, semakin
kuat untuk merelatifkan kebenaran berbagai pengetahuan manusia. Keempat,
kepastian mengenai pengetahuan empiris harus dicek berdasarkan pengamatan,
data, pengalaman.
Bagi
Arsitoteles (dikenal sebagai seorang realis), mengungkapkan bahwa pengetahuan
manusia tercapai melalui hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang
banyak, lalu menarik unsur-unsur universal dari yang partikular. Jadi,
pengetahuan diperoleh dengan jalan abstraksi yang dilakukan atas bantuan akal
budi terhadap kenyataan yang diamati. Kendati ada empirisme kuat dalam pemikiran Aristoteles_secara tersirat
seakan mendamaikan pandangan rasionalisme dan empirisme. Bagi Aristoteles, akal
budi hanya melakukan abstraksi atas data yang diperoleh melalui pengamatan.
Pengetahuan yang melibatkan pancaindra dan akal budi adalah pengetahuan yang
lebih umum dan lebih pasti.
Menuju
Saintifik – Positivistik
Sejarah
filsafat berjalan paralel dengan perjalanan sains dan asal usul filsafat modern
sama dengan asal usul sains, juga sezaman. Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi pergolakan kultural yang kompleks dan
rumit, dengan diwarnai oleh suasana relativisme, skeptisisme, dan anarki. Muara
dari pergolakan itu_dimulai dari pergeseran pendulum epistemologi dari objek ke
subjek dan berkembang dalam rasionalistis filsafat Perancis dan Jerman. Dimulai
dari Descartes, Leibniz dan Immanuel Kant. Juga perkembangan dalam tradisi
Anglo-Saxon yang epistemologinya berorientasi psikologis, seperti tampak dalam
filsafat Hobbes, Locke, Berkeley, dan David Hume.
Arus
modernisasi menancapkan keyakinan bahwa lebih sahih meyelidiki kondisi fikir manusia (subjek) daripada
memperdebatkan masalah ada tidak adanya Tuhan, kebenaran, kebebasan, kenyataan
tertinggi (objek). Pada aras ini, Immanuel Kant tidak hanya mendukung Descartes
yang penekanannya pada subjek, juga memperlihatkan the condition of
possibility dari fikiran manusia. Di masa kant, ilmu-ilmu alam dan
penerapannya dalam teknologi mulai memasuki zaman keemasannya dan epistemologi,
serta memperkokoh ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan
yang mungkin tentang kenyataan.
Trend untuk
meletakkan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan
pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan_serta
memuncak pada positivisme Comte_pengetahuan indrawi (khususnya yang terwujud
dalam ilmu alam), bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-satunya
norma bagi kegiatan pengetahuan[27].
Dalam positivisme, pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek indrawi
(bukan spekulatif sebagaimana tampil
dalam abad pertengahan). Positivisme tampil untuk membangun kembali tatanan
objektif baru yang bukan di dasarkan pada metafisika, melainkan pada metode
ilmu-ilmu alam; positivisme menjadi saintisme. Saintifikasi berbagai bidang
hidup mengimplikasikian teknologisasi berbagai bidang hidup dan akhirnya
mereduksi manusia pada matra objektifnya.
Gagasan
Auguste Comte tentang ilmu-ilmu positif
mencapai puncaknya dalam sosiologi; ilmu ilmiah yang menguasai segenap
bidang kehidupan manusia dan diteruskan pada abad ke XX (dikenal abad modern
atau disebut zaman Barok oleh Hammersma)_ oleh lingkungan Wina, yang dikenal
sebagai positivisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis. Pada
prinispnya lingkungan wina (salah satu tokohnya Victor Kraft) menolak perbedaan
antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial; berusaha menyatukan semua ilmu
pengetahuan dalam suatu bahasa ilmiah yang universal; menganggap pernyataan
yang tidak dapat diverifikasikan secara empiris (seperti etika, estetika,
metafisika) sebagai nonsense[28].
Retorika
positivisme[29]
tentang representasi meliputi satu ketergantungan pada wacana semacam hukum dan
aura ilmiah yang didorong secara metodologis. Meskipun, positivisme
sejati_mengisahan teori tiga tahap Comte misalnya, kini sebagian besar sosiolog
menggantikan argumentasi naratif dengan piroteknik figural, yang mirip
dengan ilmu alam dan juga memproduksi representasionalitas metaforis (misalnya,
grafik yang merefresentasikan pola fisik dunia luar). Aura ilmiah diproduksi
dengan mengubah kata-kata dengan matematika, dimana positivisme logis pada
Vienna Circle mengidentifikasikannya sebagai esensi sains[30]. Atau
seperti dikatakan Ben Agger bahwa sosiologi berpacu mengejar ilmu fisika dalam
pematematikannya, sehingga meningkatkan legitimasi disipliner dan memperkuat
pandangan beku terhadap masyarakat yang mencegah kemungkinan perubahan sosial
radikal[31]. Hukum Positivisme bersifat membatasi pada
dasar hukum-hukum penyebaban dan hukum materialisme sebagai core
keilmuan. Karenanya, positivisme telah memacu lahirnya perkembangan ilmu-ilmu
positif (sains).
Kultur
positivisme yang bersifat materialistis telah membawa akibat terhadap
pengabaian kodrat hidup dan kehidupan manusia. Kultur positivisme menjunjung
tinggi ilmu-ilmu fisika alam yang eksperimental (sains) sebagai
satu-satunya pengetahuan. Teologi, filsafat, dan tradisi tidak diakui bobot
keilmuannya. Agama perlu diperbaharui berdasarkan hukum positivisme untuk
sejejahteraan rakyat. Pada aras ini, Comte menegaskan bahwa suatu kultur,
dimana dikembangkan hukum-hukum sosial yang positivistis dan penerapan hukum
positivisme penting bagi penataan kehidupan masyarakat agar menjamin adanya
masyarakat yang berkembang. Di samping positivisme, problem lainnya yang
menghiasi zaman modern adalah Evolusionisme, Psikologisme, Sosiologisme,
Marxisme, Metodologi, Ideologi, dan Teknologi.
Lalu
bagaimana dengan suasana zaman Kontemporer? Ada dua suasana yang menghiasinya, pertama,
suasana yang dibawa periode sebelumnya yakni kelanjutan dari pencerahan dan
positivisme. Kedua, suasana baru yang ditimbulkan oleh gerakan pemikiran
pencerahan dan positivisme[32].
Problem kultural zaman modern di bawah pencerahan dan positivisme lebih
bersifat kemanusiaan, mengikuti hukum perkembangan alam dan ilmu pengetahuan
(humanis, naturalis, dan intelektualis). Namun juga_mengikuti hukum
perkembangan alam anti-intelektualis (humanis, naturalis, dan
anti-intelektualis) yang menghiasi zaman kontemporer.
Gerakan
positivisme punya pengaruh yang kuat pada era ini; evolusi ilmu menjadi sangat
cepat dan makin bercabang. Timbulnya spesialisasi semakin memperbesar pengaruh
ideologi dan teknologi keilmuan. Pertumbuhan pengetahuan semakin pesat dan
sebagai konsekuensinya adalah tumbuhnya konflik-konflik yang saling
memperebutkan hegemoni kebenaran dan kepastian. Suasana pemikiran yang semakin
memperkuat pengaruh positivisme_akhirnya memaksa adanya penerapan ilmu tertentu
terhadap kebudayaan (psikologisme misalnya mengajarkan bahwa yang membentuk
kebudayaan adalah rasa ketakutan). Rasisme menerangkan kebudayaan dan peradaban
dipengaruhi oleh ras atau warna kulit suatu bangsa; juga determinisme ekonomi
menerangkan bahwa kebudayaan ditentukan oleh ekonomi sebagai faktor tunggal.
Kondisi
ini semakin menampakkan bahwa ilmu telah menjadi pegangan pokok (atau bukan
ideologi) bagi segala perjuangan kultural ke depan. Ilmu pengetahuan menjadi
satu-satunya kekuatan dalam rangka perjuangan pembaharuan kultural, politik,
negara, hukum serta kemasyarakatan. Ilmu-ilmu eksperimental (sains) menjadi
semakin kuat posisinya di era ini. agama dan filsafat juga akhirnya telah
menjadi semakin terlempar dari kedudukannya. Tuhan yang supranatural menjadi
tergeser oleh saintisme dan naturalisme_sehingga memunculkan apa yang disebut
sebagai sekularisme dan atheisme modern sebagai gejala yang mendunia.
Sebagai
sistem berfikir_ilmu pengetahuan menjadi sebab lenyapnya banyak kepercayaan
tradisional (agama dan filsafat). Setidaknya ada empat hal baru ilmu pengetahuan
sebagai penyebabnya yakni pertama, pengamatan lawan otoritas. Motif filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes dan
Herakleitos ketika berbicara arche dari alam semesta dan motif ini merupakan
motif terdalam dari para ilmuan. Kedua,
otonomi dunia fisik. Dunia fisik mengikuti hukum fisika_tidak ada pengaruh
roh-roh halus dan dengan sendirinya Dewa-Dewi lenyap dengan sendirinya, dan
tergantikan dengan hukum-hukum gravitasi dari Galileo, teori kuantum, serta
hukum Boyle tentang “tekanan berbanding terbalik dengan volume”. Ketiga,
tersingkirnya konsep tujuan. Hukum sebab akibat terhadap peristiwa_yang utama
dari ilmu pengetahuan dibanding dengan konsep finalitas, karena itu masyarakat
akan lebih percaya terhadap Charles Darwin tentang konsep Adaftasi “the
survival of the fittest”, daripada percaya pada tujuan finalitas dari
seluruh evolusi kosmik dari Tuhan, misalnya. Keempat, tempat manusia dalam
alam. Gambaran yang diberikan agama-agama yang menempatkan bumi dan manusia
sebagai pusat dari alam semesta; namun ilmu pengetahuan justru, menjelaskan
bahwa manusia tidak banyak artinya dalam alam semesta. Copernicus menyatakan
bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Dalam semesta terdapat ruang hampa yang
tidak terkira luasnya, dan dalam ruang hampa itu ada sekitar 300.000 juta
bintang. Dengan penggambaran ini_ tidak mudah untuk mempartahankan posisi
sentral manusia dalam alam semesta, jika berhadapan dengan kebesaran Bimasakti.
Hanya
saja, dari segi praktis, ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena
penguasaan ilmu pengetahuan dan dengannya telah meningkatkan kesadaran akan
kekuasaan. Dampak ilmu pengetahuan terhadap cara berfikir manusia dan
masyarakat sungguh dahsyat. Rasionalitas ilmu pengetahuan itu_tidak hanya
merubah cara pandang tradisional kita, tetapi juga Teologi yang terlalu
teosentris. Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap Dewa –
Dewi Tradisional dan Tuhan Allah-Nya Deisme[33].
Ilmu pengetahuan membangun suatu rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas
kepercayaan-kepercayaan tradisional dan agama itu.
Pada
aras ini, memacu tumbuhnya bentuk-bentuk determinisme dan partikularisme yang
tidak utuh; terjadi pergeseran dari pemikiran dengan hukum perkembangan yang
bersifat mutlak kepada perombakan dan pembaruan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan yang sifatnya non-kumulatif[34]. Ilmu
pengetahuan berparadigma jamak berganti menjadi berparadigma tunggal yang
pusatnya pada manusia. Muncul kesadaran adanya tanggungjawab kultural dalam
rangka pengembangan epistemologi dan kesadaran akan diri sebagai pusat dari
seluruh perkembangan sejarah. Sehingga muncul kerinduan akan bangkitnya “a
new humanism which tends to make man more trully human”.
Manusia
pasca perang dunia II menginginkan kebebasan, keleluasaan yang tidak serba
deterministik baik oleh agama, teologi, filsafat, ilmu pengetahuan, ideologi
maupun teknologi. Manusia semakin menyadari bahwa pengetahuan, kepastian dan
kebenaran adalah sebagian saja dari dari situasi kemanusiaan. Kebenaran dan
kepastian bukan problem intelektual saja, tetapi problem hidup manusia
(kultural) dan problem pilihan, sehingga selalu ada tanggungjawab kultural yang
menyatu. Karena itu_pemikiran yang muncul di era kontemporer dengan diwarnai
oleh asumsi-asumsi psikologi untuk mengungkap situasi kemanusiaan, seperti
Fenomenologi, Eksistensialisme, Personalisme, Antropologi Kefilsafatan,
Neo-positivisme, Pragmatisme, Neo-Marxisme, dan Hermeneutika.
Pergolakan
kultural dan krisis akan terus menghiasi pengetahuan manusia, tumbuh semakin
majemuk dan kompleks, tetapi juga akan tumbuh menjadi saling berhubungan.
Manusia akan semakin sadar untuk terus melakukan aktualisasi dirinya di dalam
sejarah (menyangkut hakikat diri dan kehidupan manusia) dan alam semesta.
Pendekatan Eksistensialisme, semakin menguatkan serta menempatkan manusia dan
kemanusiaan sebagai subjek dan orientasi utama dalam perkembangan epistemologi.
Harapannya_dengan pengetahuan akan menjadi kekuatan yang tidak merusak dan
memecah belah, melainkan memperkaya dan mempersatukan kemanusiaan dan
kemasyarakatan.
*********
DAFTAR PUSTAKA
Alfred
North Whitehead,2005, Sains dan Dunia Modern, Bandung: Nuansa
A.F.Chalmers,1982,
Apa itu yang dinamakan ilmu?, Jakarta: Hasta Mitra
Ahmad
Mustofa,2004, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia; lih.
Aholiab
Watlolly,2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius
Ben
Agger,2006, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Fritjof
Capra,2007, The Turning Point sudah ditejemahkan dengan Judul Titik
Balik Peradaban, Bandung: Nuansa Cendekia
F. Budi
Hardiman,1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dengan kepentingan.
Yogyakarta: Kanisius
Harry Hammersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern, Jakarta: Gramedia
Harold H.Titus,
Marilyn S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Living Issues In Philosophy,
seventh edition, New York: D. Van Nostrand Company.
Harun
Nasution, 2002, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan,
Jakarta: UI Press.
Louis
O.Kattsoff,1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
K.
Berten, 1990, Panoraman Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
_______,
1975, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: kanisius
_______,
1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris_Jerman, Jakarta: Gramedia
Louis
Leahy,1989, Manusia, sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia
Muhammad
Hatta, 1990, Alam Fikiran Yunani, Jakarta: UI Press
Musa
Asy’ari,1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta:
Lesfi.
Rizal Mustansyir
(1996), Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan YP
Fakultas Filsafat UGM.
Soetandyo
Wignjosoebroto, 2008, Rumpun Ilmu dan Tempat Ilmu pengetahuan Sosial dan
Humaniora Dalam Rumpun itu, Makalah sebagai bahan perkuliahan Filsafat Ilmu Sosial Program S3
Ilmu Sosial Unair.
Scott Gordon, The
History and Philosophy of Social Science,
London and New York: Routledge, 1991
Thomas
S. Kuhn,1993, Peran Paradigma dalam
Revolusi Sains, Bandung:
Rosda Karya
[2] Harry Hammersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern, Jakarta: Gramedia
[3] Harold H.Titus, Marilyn
S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Living Issues In Philosophy, seventh
edition, New York: D. Van Nostrand Company.
[4] Louis O.Kattsoff,1992, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
[6] _______, 1975, Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta: kanisius
[7] Soetandyo
Wignjosoebroto, 2008, Rumpun Ilmu dan Tempat Ilmu pengetahuan Sosial dan
Humaniora Dalam Rumpun itu, Makalah sebagai bahan perkuliahan Filsafat Ilmu Sosial Program S3
Ilmu Sosial Unair.
[8] Vesalius
memperoleh reaksi keras ketika ia membedah mayat untuk mempelajari anatomi
tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi mahluk-mahluk hewani
lainnya (lih. Soetandyo Wignjosoebroto, Log.Cit.; lih. Alfred North
Whitehead, 2005, Log.Cit.h.11)
[9] Scott Gordon, The
History and Philosophy of Social Science,
London and New York: Routledge, 1991
[10] Bahwasanya orang sering
tidak sepakat mengenai nilai-nilai dan masalah nilai sesungguhnya adalah
masalah pengutamaan, selera (de gustibus non est disputandum), jadi
orang tidak perlu mempertentangkannya. Kalaupun dipertentangkan itu sudah
mengarah kepada kepentingan (Ralph Barton Perry dalam bukunya “General
Theory of Value”).
[11] Disebut
perselisihan Positivisme, karena para wakil teori Kritis masyarakat berpendapat
bahwa tuntutan agar ilmu-ilmu sosial bekerja bebas dari pelbagai penilaian,
pada dasarnya berakar dalam pendekatan positivistik.
[12] Frans Magnis Suseno, Log.Cit.
hal.202
[13] Pendapat
Copernicus berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hipparcus dan
Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme).
[14] Rizal Mustansyir (1996),
Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan YP Fakultas
Filsafat UGM.
[15] Louis Leahy,1989, Manusia,
sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia
[17] Rasionalisme lebih
dikenal sebagai filsafat kontinental karena tokoh-tokoh utamanya berasal dari
Eropa Daratan seperti Rene Descartes, W.G.Leibniz dan Barukh Spinoza. Sementara
Empirisme lebih dikenal sebagai filsafat Inggris_ karena tokoh-tokohnya berasal
dari Inggris, seperti John Locke, David Hume dan Berkeley.
[18] Harun Nasution, 2002, Teologi
Islam: aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan, Jakarta: UI Press.
[19] Ahmad Mustofa,2004, Filsafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia; lih. Musa Asy’ari,1992, Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lesfi.
[20] Bagi
kaum rasionalis pancaindra bisa menipu, sebagaimana dicontohkan Rene Descartes
sendiri tentang objek tata surya dan botol berisi air dan sebuah tongkat yang
dimasukan ke dalam air akan kelihatan bengkok_tidak lurus sebagaimana aslinya. Jadi
pancaindra tidak bisa diandalkan, yang dapat dapat ditangkap hanya dunia
gejala, yang semu, yang tidak nyata dan tidak sempurna, demikian kata Plato.
[21] Dikatakan apriori karena
manusia sudah memiliki pengetahuan itu sebelumnya dan mendahului pengalaman.
Contohnya, “Lilin pasti mencair kalau dimasukan ke dalam air yang mendidih”.
Proposisi ini mesti benar secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan,
karena prinsip umumnya bahwa “parafin selalu mencair pada suhu 60’ C”. Karena
unsur utama dari lilin adalah parafin, maka dapat diambik kesimpulan bahwa
lilin pasti mencair dalam air yang sedang mendidih sebab air mendidih pada suhu
100’C.
[22] Harold H.Titus, Marilyn
S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Log.Cit.
[23] Pengalaman,
percobaan, pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta
dan data, itu merupakan titik tolak dari pengalaman manusia_karena pada
dasarnya manusia tahu tentang segala sesuatu hanya berdasarkan dan titik tolak
pengalaman indrawi.
[24] Locke mengadopsi teori
Hobbes dengan metaforanya yang terkenal_membandingkan akal manusia yang baru
lahir dengan sebuah tabula rasa, sebuah meja kecil yang kosong sama sekali yang
akan ditulisi dengan pengetahuan sesudah pengetahuan diperoleh melalui indra.
Juga gambaran itu_meninggalkan pengaruh aliran behaviorisme dan psikoanalisis.
[25] Apriori secara harfiah
berarti dari yang lebih dulu atau sebelum, sedang aposteriori berarti dari apa
yang sesudahnya. Menurut Aristoteles, A
lebih dahulu dari B, jika dan hanya jika B tidak bisa ada tanpa A. Dengan
pembedaan itu, berarti A lebih dahulu dari B jika dan hanya jika kita tidak
bisa mengetahui B jika kita tidak mengetahui A.
[26] yaitu
cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan dan
eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan, karenanya
pengetahuan yang ditekankan kaum empiris adalah pengetahuan aposteriori
(A.F.Chalmers,1982, Apa itu yang dinamakan ilmu?, Jakarta: Hasta Mitra).h.16.
[27] F.
Budi Hardiman,1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dengan
kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.h.127. Dalam kata positif _bukan hanya
termuat prinsip normatif pengetahuan
kita hendaknya tidak melampaui fakta
objektif, melainkan juga tampak penghancuran subjek yang berfikir keras
pengetahuan_kita peroleh dengan menyalin fakta objektif. Karenanya, dalam positivisme, pendulum
epistemologi bergerak ke ke pihak objek lagi (maksudnya objek indrawi).
[29] Istilah positivisme
pertama kali digunakan oleh Saint Simon dan baru kemudian disebarkan oleh
Aguste Comte. Inti ajarannya adalah menolak segala pemikiran kefilsafatan dan
teologi. Di Perancis Simon dan Comte di jadikan referensi, diJerman referansi
aliran Positivisme adalah Von Feuerbach. Timbulnya positivisme merupakan
kelanjutan dari perkembangan zaman modern tengah. Juga positivisme dipandang
sebagai kelanjutan dari empirisme (sebagaimana rasionalisme dipandang
kelanjutan dari idealisme).Lih. Aholiab Watlolly,2001, Tanggung Jawab
Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius; Fritjof Capra,2007, The Turning Point
sudah ditejemahkan dengan Judul Titik Balik Peradaban, Bandung: Nuansa
Cendekia.
[30] Scott Gordon, The
History and Philosophy of Social Science,
London and New York: Routledge, 1991
[31] Ben Agger,2006, Teori
Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 374
[33] Suatu
pandangan yang menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memecahkan seluruh problem
kehidupan manusia, dan manusia hanya menunggu kapan Tuhan bisa menyelesaikan
problem kemanusiaan.lih. Muhamad Rasyidi, 1987, Filsafat Agama, Jakarta:
Panji Masyarakat.
[34] Thomas S. Kuhn,1993, Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains,
Bandung: Rosda Karya
0 komentar:
Posting Komentar