Pengantar
Tidak berlebihan apa yang dikatakan kawan saya bahwa
Daerah Nusa Tenggara Barat seolah menjadi putri yang cantik jelita nan rupawan,
sehingga wajar orang-orang datang silih berganti sekedar untuk menyaksikan
keindahannya (oleh Solihin Salam dijuluki sebagai Lombok Pulau Perawan). Dalam dua
tahun terakhir, daerah ini banyak ketempatan acara-acara tidak hanya level
nasional tetapi juga Internasional. Bahkan Presiden SBY pun sudah dua kali
datang ke NTB dalam satu tahun terakhir. Dan tidak hanya itu, sang wakil
presiden Prof. Budiono pun hadir di NTB dalam rangka membuka acara “Hari
Keluarga Nasional” atau Harganas. Sebagai seorang putri yang cantik dan
rupawan, maka wajar dikunjungi oleh banyak tamu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas sang
putri yang cantik rupawan itu, tetapi mencoba mencermati dan menangkap makna
hari keluarga nasional tersebut. Hari keluarga nasional diilhami oleh
bertemunya kembali para keluarga dengan para suaminya setelah bertahun-tahun
melakukan perang gerilya melawan Imperialis Belanda di bawah komando Panglima
Besar Jenderal Sudirman yang bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1945. Dan baru
pada tahun 29 Juni 1993 oleh pemerintah diresmikan menjadi hari keluarga
nasional pada suatu acara dimaksud di Bandar Lampung.
Keluarga dapat diartikan sebagai a group of two or more persons residing together who are related by
hood, marriag or adoption (Vemriarto, 1990). Keluarga mempunyai arti
penting dalam kehidupan di masyarakat. Terbentuknya keluarga bukan semata-mata
mempunyai kepentingan yang sama, namun lebih dari itu adalah berdasarkan
sukarela dan cinta kasih yang mendalam di antara dua manusia. Sehingga menjadi
wajar kalau harinya diperingati sebagai hari keluarga nasional. Dan yang pasti
bahwa terbentuknya keluarga bertujuan untuk terciptanya sebuah keluarga sakinah, mawaddah warahmah (dilihat dari
perspektif Islam).
Tidak hanya itu saja, hari-hari yang berlabel nasionalpun
sudah demikian banyak diperingati di negeri ini, sebut saja hari kesaktian
pancasila, hari pendidikan nasional, hari kebangkitan nasional, hari pahlawan,
hari ibu, hari nusantara, hari kelaurga nasional, dan hari-hari lainnya. Mungkin
tidak, kalau kita usulkan agar diadakan hari kemiskinan nasional? Namun, saya
tidak yakin untuk itu, tetapi sebaiknya dilupakan saja usulan yang rada ngigau
itu.
Namun yang mesti diketahui bahwa keluarga dalam sudut
pandang sosiologi, tidak semata-mata dilihat sebagai kinship group yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terhimpun
atas dasar darah dan perkawinan (Suyoto Usman, 1998), tetapi juga ditempatkan
sebagai unit social terkecil dalam masyarakat. Antara keluarga dan masyarakat
terjalin hubungan resiprokal.
Maksudnya keberadaan dan dinamika yang tumbuh di dalam kehidupan keluarga
dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Asumsi dasar tersebut di atas mengandung pemikiran
bahwa di dalam keluarga sebenarnya terendap beberapa macam fungsi yang memiliki
kontribusi penting bagi usaha menjaga keteraturan social (social order) dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan
social (blue print of social behavior).
Masalahnya kemudian apakah keluarga masih dapat diharapkan berfungsi menjaga
keteraturan social dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social?
Pertanyaan tersebut menjadi penting ketika banyak
orang memperingati hari keluarga nasional yang tahun 2012 ini diadakan di
daerah NTB. Peringatan hari keluarga nasional tersebut mungkin saja berangkat
dari rasa keprihatinan semakin sering dirasakan oleh banyak keluarga bahwa
perbedaan pendapat diantara anggota keluarga (suami, istri dan anak) semakin
sulit dicarikan titik temunya. Tersadari atau tidak, kenyataannya kini bahwa
semakin sering terjadi, suami memiliki jalan pikiran sendiri yang sangat
berbeda dengan jalan pikiran istri dan demikian pula dengan si anak. Kadang
anakpun punya kehendak sendiri yang tidak mudah dikompromikan dengan kehendak
orang tua. Akibatnya, anak tidak bisa lagi dikontrol oleh orang tua mereka dan
si anak hidup dengan kehendaknya sendiri, seakan lepas dari ikatan
kekeluargaan.
Alienasi
Kehidupan Keluarga
Bagaimana menerangkan kondisi seperti tersebut di
atas? Memang tidak mudah menjelaskannya tetapi paling tidak kita bisa dicermati
kecendrungan itu dari sudut pandang sosiologis. Prof. Sunyoto Usman (guru besar
UGM Yogyakarta) dalam bukunya “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat” yang
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta mencoba menjelaskan kecendrungan
itu. Pertama, berkaitan dengan fungsi
ekonomi dalam keluarga. Akibat dari semakin kuatnya pengaruh system ekonomi
yang kapitalistis, fungsi ekonomi yang terendap dalam keluarga semakin
mengalami banyak pergeseran. Pada awalnya, terjadi pergeseran pada pusat
produksi dari rumah tangga ke unit produksi perusahaan, pabrik atau kantor.
Keluarga kemudian beralih fungsi menjadi income unit atau lingkungan yang tidak
menciptakan penghasilan tetapi sekedar memperoleh suatu penghasilan. Pada tahap
selanjutnya, demikian Usman menjelaskan terjadi pergeseran beban kerja,
tatakala unit produksi lebih memperkerjakan tenaga kerja individual dan bukan
seluruh keluarga. Kemudian pada tahap terakhir, terjadi pergeseran kedudukan
keluarga sebagai unit ekonomi tatakala keluarga tidak lagi memproduksi barang
dan jasa tetapi lebih mengkonsumsi barang dan jasa.
Kedua, merupakan akibat dari semakin berkembangnya kebutuhan social dan
differensiasi system pembagian kerja, serta tumbuh dan berkembangnya
bermacam-macam kelompok social. Kelompok-kelompok social tersebut terbentuk
atas dasar berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun kultural. Secara
sosiologis, kelompok-kelompok social mempunyai kekuatan memaksa dan
keberadaannya bersifat eksternal terhadap individu-individu yang terhimpun di
dalamnya. Karena itu, semakin berbeda karakteristik kelompok social tempat
afiliasi orang tua dengan karakteristik kelompok social tempat afiliasi anak,
semakin sukar tercipta kompromi tentang sikap dan tingkah laku di antara
anggota keluarga.
Ketiga, seiring dengan penetrasi modernisasi, berkembang pula privacy dalam keluarga. Artinya terjadi
proses melemahnya kontrol extended family
terhadap nuclear family. Walau
demikian, tidak berarti bahwa tali ikatan keluarga batih dengan keluarga besar
terputus sama sekali. Keluarga besar tetap mempunyai pengaruh, terutama di
kalangan masyarakat yang system sosialnya mengenal system marga, itupun sebatas
mengetahui semata. Keluarga besar tidak dapat mencampuri proses pengambilan
keputusan keluarga. Kecendrungan samacam itu sangat berbeda dengan yang
berkembang di kalangan masyarakat agraris-tradisional, dimana arah dan bentuk
interaksi social yang terjalin antara suami, istri dan anak tidak berdiri
sendiri, tetapi lebih banyak berada di bawah kontrol extended family.
Keempat, berkembangnya karakteristik kepemimpinan monomorphic. Ciri kepemimpinan ini hanya berperan kuat pada bidang
yang diakui oleh masyarakat. Pengaruh seorang pemimpin agama misalnya, hanya
terbatas pada aspek agama dan tidak berpengaruh pada aspek lainnya, seperti
aspek politik dan ekonomi. Begitu pula sebaliknya, birokrat hanya berperan
dalam bidang pemerintahan semata. Dalam kondisi semacam ini, baik pemimpin
formal maupun informal semakin tidak terdorong untuk mencampuri urusan intern
keluarga, terkecuali bersentuhan langsung dengan fungsi kepemimpinan yang
diembannya.
Dari keempat kecendrungan sebagaimana dijelaskan oleh
Profesor Sunyoto Usman tersebut di atas, tampak bahwa dalam kehidupan modern
semakin sulit mengharapkan keluarga untuk menjaga keteraturan social dan
memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social. Keluarga semakin sulit
ditagih peranannya sebagai institusi social yang mampu meredam perbedaan
pendapat dan kepentingan para anggotanya. Malah terkesan keluarga semakin
teralienasi dari peran dan fungsinya semula.
Dalam bidang pendidikan tampak jelas bahwa peran
keluarga sudah mengalami pergeseran dan perubahan yang cukup menjolok, dimana
peran keluarga telah beralih perannya ke institusi pendidikan. Guru dalam
kaitan ini mempunyai tugas ganda, satu segi ia berkewajiban memberikan
pengajaran kepada anak-anak dan segi lainnya sekaligus menjadi pendidik, karena
pendidikan tidak lagi menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Sungguh telah terjadi
proses alienasi dalam kehidupan keluarga. Akibatnya banyak anak yang merasa
terasing dengan dirinya sendiri dan kehidupan keluarganya.
Secara teoritis dapat dipahami bahwa teori tentang
alienasi menyatakan bahwa manusia di zaman modern telah dikuasai oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh proses-proses spesialisasi,
efisiensi dan sebagainya yang kemudian menuntut begitu banyak waktu dari
manusia. Akibatnya terjadilah keadaan dimana manusia merasa terasing dengan
dirinya dan merasakan bahwa pekerjaan itu bukanlah bagian dari dirinya. Filsuf Herbert Markus dalam bukunya “One Dimentional Man” menyebutkan bahwa
karena adanya industrialisasi dan penguasaan kepada hidup oleh teknologi
melalui industri, maka manusia atau anggota masyarakat modern tidak lagi
menemukan dirinya kecuali sebagai bagian dari suatu mesin industri.
Mengembalikan
Peran dan Fungsi Keluarga
Jika dicermati peran dan fungsi keluarga memang telah
mengalami pergeseran dari fungsi awalnya. Dari beberapa kajian para ilmuwan Sosial
(Hasan Sadely, 1996) terdapat dua peran keluarga yang paling substansial yakni
menjaga keteraturan social (social order)
dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social (blue print of social behavior). Keteraturan social menjadi suatu
nilai normative yang dapat diwujudkan melalui institusi keluarga. Sebuah
keluarga kecil bahagia (nuclear family)
dapat menjadi cermin keteraturan social dalam frame extended family. Tampaknya agak kesulitan membayangkan keteraturan
social dalam makna extended family
tetapi nuclear family terus mengalami
gangguan dan kekacauan.
Begitu juga peran keluarga sebagai pemberi arah
adaftasi perubahan sosial yang didambakan terbatas menjadi mimpi semata, karena
perubahan menjadi lebih baik sangat sulit terwujud. Lihat saja, misalnya
banyaknya kasus-kasus tindakan kekerasan yang terdapat dibanyak tempat lebih
banyak dilakukan oleh oknum-oknum yang latar belakang keluarganya bermasalah (brokenhome), disamping juga karena
himpitan ekonomi keluarga. Perubahan menuju perbaikan harisma keluarga harus
terus dilakukan demi masa depan anak bangsa dengan cara mengembalikan peran dan
fungsi keluarga yang paling substansial, tetapi bukan berarti mengambil kembali
peran dan fungsi yang sudah terlanjur diserahkan kepada lembaga-lembaga yang
sudah given.
Jika diadakan pemilahan secara sosiologis, maka
terdapat fungsi-fungsi[1]
keluarga yang dapat berubah dan yang tidak dapat berubah. Diantara
fungsi-fungsi keluarga yang berubah antara lain: pertama. Fungsi Pendidikan. Para ahli sosiologi pendidikan
menyatakan bahwa pada awalnya, keluarga adalah satu-satunya institusi
pendidikan tempat anak-anak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. sebut saja,
Syaikh Lemah Abang atau Siti Jenar[2]
mendapat pendidikan dan pengetahuan tentang agama, makna persahabatan, arti khalifah fil ardhi, arti hidup
bermasyarakat dari keluarga terdekatnya (kakek dan ayah angkatnya yang saat itu
sudah menjadi pemimpin). Memang, secara informal fungsi keluarga tetap penting
tetapi secara formal fungsi pendidikan sudah diambil alih oleh sekolah. Saat
ini, proses pendidikan di persekolahan tidak hanya memberikan pendidikan untuk
menjadi orang pintar atau intelek tetapi juga mengarahkan pada pembentukan
pribadi anak didiknya.
Kedua. Fungsi keagamaan. Agama dengan segala aktivitasnya berpusat dalam
keluarga, misalnya Imam Syafi’i
mendapatkan sentuhan pendidikan agama dari orang tuanya, sehingga tidak heran
sejak berumur 9 Tahun sudah menghafal alqur’an dan kala besar menjadi salah satu
Imam mazhab yang sangat berpengaruh di dunia (termasuk Indonesia). Dengan
demikian, keluarga dapat tetap memainkan perannya sebagai pengendali
nilai-nilai religious walaupun dalam kenyataannya keluarga sudah kurang
memainkan perannya karena pengaruh globalisasi dan sekularisasi. Tampaknya, segala
bentuk ajaran agama sudah diambil oleh institusi keagamaan (Pondok Pessantren),
sehingga yang disebut sekolah individual tidak lagi diakui eksistensinya oleh
masyarakat. Pada ranah ini, telah terjadi proses simbolisasi universal dengan
maraknya kegiatan keagamaan sakralitas. Akibatnya, orang tua lebih kaku dan
mungkin fatalist terhadap perannya dalam agama. Ketika anak-anak terlibat
tawuran antar pelajar[3],
misalnya pasti gurunya yang dijadikan kambing hitam, dianggap tidak becus
mendidik anak, padahal pendidikan bersifat simbiose mutualistic antara orang
tua, guru, dan pemerintah.
Ketiga. Fungsi Perlindungan. Keluarga sampai saat ini diyakini menjadi tempat
yang aman dan nyaman untuk melindungi keluarganya, baik fisik maupun social.
Namun, keyakinan itu kini sudah tidak sepenuhnya benar, banyak anak-anak yang
menggelandang, jarang pulang ke rumah karena tidak betah di rumah. Sebagai anak
muda, kita pernah disuguhkan film “Topan
Anak Jalanan” yang mengisahkan tentang seorang anak muda yang hidup di
jalanan, membikin masalah tetapi juga menjalin persahabatan sekedar untuk
mencari makna hidup berkeluarga dalam persahabatan di luar rumah. Itulah dunia
simbolik yang kini semakin jelas ranahnya dalam keluarga. Institusi social
senyatanya telah mengambil alih fungsi perlindungan tersebut, seperti tempat
perawatan anak cacat tubuh dan mental, yatim piatu, anak nakal, panti jompo,
asuransi jiwa, dan lainnya.
Keempat. Fungsi rekreasi dan ekonomi. Rekreasi tidak mesti diartikan tempat
melepaskan kepenatan (setelah bekerja keras) yang berada di luar rumah, namun
kembali ke dalam kehidupan keluarga juga dapat diartikan sebagai rekreasi.
Ketika kita masih kecil dulu, terasa sangat takut ddan tidak mau tidur terpisah
dengan kedua orang tua, karena ada perasaan tenteram, nikmat, terayomi, dan
gembira tidur bersamanya. Suasana batin kita saat itu, sangat dipahami oleh
orang tua kita, sehingga mereka menghantarkan (bahasa Sasak bedede) dengan cara bercerita, apakah
itu tentang kepahlawanan, mendidik dan tidak jarang tema ceritanya menakutkan
anak-anak kecil, bahkan beraroma mistik. Mereka (orang tua), kelihatannya tidak
memilah dan memilih tema cerita yang cocok dengan tingkat pemahaman si anak,
yang penting si anak cepat tertidur, lalu orang tua kita cepat kerja yang lain.
Kini fungsi itu sudah bergeser dan tergantikan oleh tempat semisal gedung
biskop, kebun binatang, night club,
pusat perbelanjaan, lapangan olah raga dan lainnya, kesemuanya membutuhkan biaya
yang tidak sedikit dan tempat rekreasi keluarga. Keluarga hanya sebagai tempat
berkumpul untuk istirahat selepas aktivitas sehari-hari, setelah itu bubaran.
Pada ranah ini, terdapat kesan bahwa kewajiban orang tua hanya mencukupi
kebutuhan ekonomi material keluarga, selebihnya menjadi tugas institusi di
luar, sehingga wajar kalau kuantitas Topan Anak Jalanan tidak hanya menjadi
suatu fenomena tetapi telah menjadi fakta yang berinkarnasi menjadi problema
social yang sulit terselesaikan. Kalau sudah begini, semua orang (termasuk
Pemerintah) terkena getahnya, bukan.
Mengembalikan peran dan fungsi keluarga menjadi
jawaban solutif. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang diadakan di eks Bandara
Selaparang Mataram , NTB selama tujuh hari sejak tanggal 29 Juni 2012 lalu,
sebaiknya di arahkan kepada proses penyadaran untuk mengambil kembali peran dan
fungsi keluarga itu dan tidak sebatas pada acara seremonial dan gagah-gagahan
sekedar untuk mendapatkan penghargaan. Siapa yang tidak mau mendapatkan
penghargaan, semua pasti menginginkan (termasuk pemerintah) khan. Bukankan
filosophy diadakannya HARGANAS untuk menangkap spirit kembalinya para kepala
keluarga setelah bertahun-tahun berpisah dengan anak dan istrinya dari perang
gerilya yang di pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman? Artinya bahwa
setelah berjuang membebaskan negeri dari para kolonialis, mereka kembali
berperan dan menjalankan fungsinya sebagai kepala rumah tangga demi terwujudnya
keluarga sakinah, mawaddah dan rohmah atau keluarga yang berkecukupan
pangan, sandang dan kasih sayang.
Adakah orang yang bahagia hidupnya, di tengah kondisi
keluarga brokenhome atau morat marit?
Tentu jawabannya “tidak”. Oleh karena itu, peran dan fungsi-fungsi keluarga
sebagaimana tersebut di atas harus diterjemahkan kembali sesuai dengan tingkat
kemampuan masing-masing keluarga. Fungsi sosialisasi menjadi titik start kita
untuk memposisikan kembali peran dan fungsi keluarga itu. Maksudnya, keluarga
masih sangat berfungsi sebagai institusi dominan dalam membentuk kepribadian
anak. Melalui interaksi social dalam keluarga, anak mempelajari tingkah laku,
sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai masyarakat dalam rangka
perkembangan kepribadian. Jika fungsi sosialisasi ini dapat berperan maksimal,
maka ke depan kita tidak menemukan anak-anak yang hidup di jalanan, tawuran
pelajar dan konflik social. mari kita jadikan HARGANAS sebagai momentum
kebangkitan dan memposisikan keluarga pada peran dan fungsi yang sebenarnya.
Semoga.
*********
[1] Ogburn menyebutkan fungsi
keluarga adalah kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan, rekreasi,
status keluarga, dan agama. Sedangkan fungsi agama menurut Bierstatt adalah menggantikan
keluarga, mengatur, dan mengurusi impuls-impuls seksuil, bersifat membantu,
menggerakkan, nilai-nilai kebudayaan dan menunjukkan status (lih. Dalam Elly M.
Setiadi dan usman Kolip, 2005, Pengantar Sosiologi).
[2] Agus Sunyoto, 2012, Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh
Siti Jenar Jilid 2 & 3, Yogyakarta: LKIS
[3] M. Ahyar Fadli, 2012, Narasi Agama di Tengah Multiranah, LP2M
IAI Qamarul Huda, Bagu, Lombok Tengah
0 komentar:
Posting Komentar