Rabu, 04 Juli 2012

HARI KELUARGA NASIONAL (HARGANAS) (MENCERMATI PERGESERAN PERAN KELUARGA)


Pengantar
Tidak berlebihan apa yang dikatakan kawan saya bahwa Daerah Nusa Tenggara Barat seolah menjadi putri yang cantik jelita nan rupawan, sehingga wajar orang-orang datang silih berganti sekedar untuk menyaksikan keindahannya (oleh Solihin Salam dijuluki sebagai Lombok Pulau Perawan). Dalam dua tahun terakhir, daerah ini banyak ketempatan acara-acara tidak hanya level nasional tetapi juga Internasional. Bahkan Presiden SBY pun sudah dua kali datang ke NTB dalam satu tahun terakhir. Dan tidak hanya itu, sang wakil presiden Prof. Budiono pun hadir di NTB dalam rangka membuka acara “Hari Keluarga Nasional” atau Harganas. Sebagai seorang putri yang cantik dan rupawan, maka wajar dikunjungi oleh banyak tamu.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas sang putri yang cantik rupawan itu, tetapi mencoba mencermati dan menangkap makna hari keluarga nasional tersebut. Hari keluarga nasional diilhami oleh bertemunya kembali para keluarga dengan para suaminya setelah bertahun-tahun melakukan perang gerilya melawan Imperialis Belanda di bawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman yang bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1945. Dan baru pada tahun 29 Juni 1993 oleh pemerintah diresmikan menjadi hari keluarga nasional pada suatu acara dimaksud di Bandar Lampung.
Keluarga dapat diartikan sebagai a group of two or more persons residing together who are related by hood, marriag or adoption (Vemriarto, 1990). Keluarga mempunyai arti penting dalam kehidupan di masyarakat. Terbentuknya keluarga bukan semata-mata mempunyai kepentingan yang sama, namun lebih dari itu adalah berdasarkan sukarela dan cinta kasih yang mendalam di antara dua manusia. Sehingga menjadi wajar kalau harinya diperingati sebagai hari keluarga nasional. Dan yang pasti bahwa terbentuknya keluarga bertujuan untuk terciptanya sebuah keluarga sakinah, mawaddah warahmah (dilihat dari perspektif  Islam).
Tidak hanya itu saja, hari-hari yang berlabel nasionalpun sudah demikian banyak diperingati di negeri ini, sebut saja hari kesaktian pancasila, hari pendidikan nasional, hari kebangkitan nasional, hari pahlawan, hari ibu, hari nusantara, hari kelaurga nasional, dan hari-hari lainnya. Mungkin tidak, kalau kita usulkan agar diadakan hari kemiskinan nasional? Namun, saya tidak yakin untuk itu, tetapi sebaiknya dilupakan saja usulan yang rada ngigau itu.
Namun yang mesti diketahui bahwa keluarga dalam sudut pandang sosiologi, tidak semata-mata dilihat sebagai kinship group yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terhimpun atas dasar darah dan perkawinan (Suyoto Usman, 1998), tetapi juga ditempatkan sebagai unit social terkecil dalam masyarakat. Antara keluarga dan masyarakat terjalin hubungan resiprokal. Maksudnya keberadaan dan dinamika yang tumbuh di dalam kehidupan keluarga dipengaruhi dan sekaligus mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Asumsi dasar tersebut di atas mengandung pemikiran bahwa di dalam keluarga sebenarnya terendap beberapa macam fungsi yang memiliki kontribusi penting bagi usaha menjaga keteraturan social (social order) dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social (blue print of social behavior). Masalahnya kemudian apakah keluarga masih dapat diharapkan berfungsi menjaga keteraturan social dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social?
Pertanyaan tersebut menjadi penting ketika banyak orang memperingati hari keluarga nasional yang tahun 2012 ini diadakan di daerah NTB. Peringatan hari keluarga nasional tersebut mungkin saja berangkat dari rasa keprihatinan semakin sering dirasakan oleh banyak keluarga bahwa perbedaan pendapat diantara anggota keluarga (suami, istri dan anak) semakin sulit dicarikan titik temunya. Tersadari atau tidak, kenyataannya kini bahwa semakin sering terjadi, suami memiliki jalan pikiran sendiri yang sangat berbeda dengan jalan pikiran istri dan demikian pula dengan si anak. Kadang anakpun punya kehendak sendiri yang tidak mudah dikompromikan dengan kehendak orang tua. Akibatnya, anak tidak bisa lagi dikontrol oleh orang tua mereka dan si anak hidup dengan kehendaknya sendiri, seakan lepas dari ikatan kekeluargaan.
Alienasi Kehidupan Keluarga
Bagaimana menerangkan kondisi seperti tersebut di atas? Memang tidak mudah menjelaskannya tetapi paling tidak kita bisa dicermati kecendrungan itu dari sudut pandang sosiologis. Prof. Sunyoto Usman (guru besar UGM Yogyakarta) dalam bukunya “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat” yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta mencoba menjelaskan kecendrungan itu. Pertama, berkaitan dengan fungsi ekonomi dalam keluarga. Akibat dari semakin kuatnya pengaruh system ekonomi yang kapitalistis, fungsi ekonomi yang terendap dalam keluarga semakin mengalami banyak pergeseran. Pada awalnya, terjadi pergeseran pada pusat produksi dari rumah tangga ke unit produksi perusahaan, pabrik atau kantor. Keluarga kemudian beralih fungsi menjadi income unit atau lingkungan yang tidak menciptakan penghasilan tetapi sekedar memperoleh suatu penghasilan. Pada tahap selanjutnya, demikian Usman menjelaskan terjadi pergeseran beban kerja, tatakala unit produksi lebih memperkerjakan tenaga kerja individual dan bukan seluruh keluarga. Kemudian pada tahap terakhir, terjadi pergeseran kedudukan keluarga sebagai unit ekonomi tatakala keluarga tidak lagi memproduksi barang dan jasa tetapi lebih mengkonsumsi barang dan jasa.
Kedua, merupakan akibat dari semakin berkembangnya kebutuhan social dan differensiasi system pembagian kerja, serta tumbuh dan berkembangnya bermacam-macam kelompok social. Kelompok-kelompok social tersebut terbentuk atas dasar berbagai kepentingan, baik ekonomi, politik, maupun kultural. Secara sosiologis, kelompok-kelompok social mempunyai kekuatan memaksa dan keberadaannya bersifat eksternal terhadap individu-individu yang terhimpun di dalamnya. Karena itu, semakin berbeda karakteristik kelompok social tempat afiliasi orang tua dengan karakteristik kelompok social tempat afiliasi anak, semakin sukar tercipta kompromi tentang sikap dan tingkah laku di antara anggota keluarga.
Ketiga, seiring dengan penetrasi modernisasi, berkembang pula privacy dalam keluarga. Artinya terjadi proses melemahnya kontrol extended family terhadap nuclear family. Walau demikian, tidak berarti bahwa tali ikatan keluarga batih dengan keluarga besar terputus sama sekali. Keluarga besar tetap mempunyai pengaruh, terutama di kalangan masyarakat yang system sosialnya mengenal system marga, itupun sebatas mengetahui semata. Keluarga besar tidak dapat mencampuri proses pengambilan keputusan keluarga. Kecendrungan samacam itu sangat berbeda dengan yang berkembang di kalangan masyarakat agraris-tradisional, dimana arah dan bentuk interaksi social yang terjalin antara suami, istri dan anak tidak berdiri sendiri, tetapi lebih banyak berada di bawah kontrol extended family.
Keempat, berkembangnya karakteristik kepemimpinan monomorphic. Ciri kepemimpinan ini hanya berperan kuat pada bidang yang diakui oleh masyarakat. Pengaruh seorang pemimpin agama misalnya, hanya terbatas pada aspek agama dan tidak berpengaruh pada aspek lainnya, seperti aspek politik dan ekonomi. Begitu pula sebaliknya, birokrat hanya berperan dalam bidang pemerintahan semata. Dalam kondisi semacam ini, baik pemimpin formal maupun informal semakin tidak terdorong untuk mencampuri urusan intern keluarga, terkecuali bersentuhan langsung dengan fungsi kepemimpinan yang diembannya.
Dari keempat kecendrungan sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Sunyoto Usman tersebut di atas, tampak bahwa dalam kehidupan modern semakin sulit mengharapkan keluarga untuk menjaga keteraturan social dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social. Keluarga semakin sulit ditagih peranannya sebagai institusi social yang mampu meredam perbedaan pendapat dan kepentingan para anggotanya. Malah terkesan keluarga semakin teralienasi dari peran dan fungsinya semula.
Dalam bidang pendidikan tampak jelas bahwa peran keluarga sudah mengalami pergeseran dan perubahan yang cukup menjolok, dimana peran keluarga telah beralih perannya ke institusi pendidikan. Guru dalam kaitan ini mempunyai tugas ganda, satu segi ia berkewajiban memberikan pengajaran kepada anak-anak dan segi lainnya sekaligus menjadi pendidik, karena pendidikan tidak lagi menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Sungguh telah terjadi proses alienasi dalam kehidupan keluarga. Akibatnya banyak anak yang merasa terasing dengan dirinya sendiri dan kehidupan keluarganya.
Secara teoritis dapat dipahami bahwa teori tentang alienasi menyatakan bahwa manusia di zaman modern telah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh proses-proses spesialisasi, efisiensi dan sebagainya yang kemudian menuntut begitu banyak waktu dari manusia. Akibatnya terjadilah keadaan dimana manusia merasa terasing dengan dirinya dan merasakan bahwa pekerjaan itu bukanlah bagian dari dirinya.  Filsuf Herbert Markus dalam bukunya “One Dimentional Man” menyebutkan bahwa karena adanya industrialisasi dan penguasaan kepada hidup oleh teknologi melalui industri, maka manusia atau anggota masyarakat modern tidak lagi menemukan dirinya kecuali sebagai bagian dari suatu mesin industri.
Mengembalikan Peran dan Fungsi Keluarga
Jika dicermati peran dan fungsi keluarga memang telah mengalami pergeseran dari fungsi awalnya. Dari beberapa kajian para ilmuwan Sosial (Hasan Sadely, 1996) terdapat dua peran keluarga yang paling substansial yakni menjaga keteraturan social (social order) dan memberikan arah adaftasi terhadap perubahan social (blue print of social behavior). Keteraturan social menjadi suatu nilai normative yang dapat diwujudkan melalui institusi keluarga. Sebuah keluarga kecil bahagia (nuclear family) dapat menjadi cermin keteraturan social dalam frame extended family. Tampaknya agak kesulitan membayangkan keteraturan social dalam makna extended family tetapi nuclear family terus mengalami gangguan dan kekacauan.
Begitu juga peran keluarga sebagai pemberi arah adaftasi perubahan sosial yang didambakan terbatas menjadi mimpi semata, karena perubahan menjadi lebih baik sangat sulit terwujud. Lihat saja, misalnya banyaknya kasus-kasus tindakan kekerasan yang terdapat dibanyak tempat lebih banyak dilakukan oleh oknum-oknum yang latar belakang keluarganya bermasalah (brokenhome), disamping juga karena himpitan ekonomi keluarga. Perubahan menuju perbaikan harisma keluarga harus terus dilakukan demi masa depan anak bangsa dengan cara mengembalikan peran dan fungsi keluarga yang paling substansial, tetapi bukan berarti mengambil kembali peran dan fungsi yang sudah terlanjur diserahkan kepada lembaga-lembaga yang sudah given.
Jika diadakan pemilahan secara sosiologis, maka terdapat fungsi-fungsi[1] keluarga yang dapat berubah dan yang tidak dapat berubah. Diantara fungsi-fungsi keluarga yang berubah antara lain: pertama. Fungsi Pendidikan. Para ahli sosiologi pendidikan menyatakan bahwa pada awalnya, keluarga adalah satu-satunya institusi pendidikan tempat anak-anak mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. sebut saja, Syaikh Lemah Abang atau Siti Jenar[2] mendapat pendidikan dan pengetahuan tentang agama, makna persahabatan, arti khalifah fil ardhi, arti hidup bermasyarakat dari keluarga terdekatnya (kakek dan ayah angkatnya yang saat itu sudah menjadi pemimpin). Memang, secara informal fungsi keluarga tetap penting tetapi secara formal fungsi pendidikan sudah diambil alih oleh sekolah. Saat ini, proses pendidikan di persekolahan tidak hanya memberikan pendidikan untuk menjadi orang pintar atau intelek tetapi juga mengarahkan pada pembentukan pribadi anak didiknya.
Kedua. Fungsi keagamaan. Agama dengan segala aktivitasnya berpusat dalam keluarga, misalnya  Imam Syafi’i mendapatkan sentuhan pendidikan agama dari orang tuanya, sehingga tidak heran sejak berumur 9 Tahun sudah menghafal alqur’an dan kala besar menjadi salah satu Imam mazhab yang sangat berpengaruh di dunia (termasuk Indonesia). Dengan demikian, keluarga dapat tetap memainkan perannya sebagai pengendali nilai-nilai religious walaupun dalam kenyataannya keluarga sudah kurang memainkan perannya karena pengaruh globalisasi dan sekularisasi. Tampaknya, segala bentuk ajaran agama sudah diambil oleh institusi keagamaan (Pondok Pessantren), sehingga yang disebut sekolah individual tidak lagi diakui eksistensinya oleh masyarakat. Pada ranah ini, telah terjadi proses simbolisasi universal dengan maraknya kegiatan keagamaan sakralitas. Akibatnya, orang tua lebih kaku dan mungkin fatalist terhadap perannya dalam agama. Ketika anak-anak terlibat tawuran antar pelajar[3], misalnya pasti gurunya yang dijadikan kambing hitam, dianggap tidak becus mendidik anak, padahal pendidikan bersifat simbiose mutualistic antara orang tua, guru, dan pemerintah.
Ketiga. Fungsi Perlindungan. Keluarga sampai saat ini diyakini menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk melindungi keluarganya, baik fisik maupun social. Namun, keyakinan itu kini sudah tidak sepenuhnya benar, banyak anak-anak yang menggelandang, jarang pulang ke rumah karena tidak betah di rumah. Sebagai anak muda, kita pernah disuguhkan film “Topan Anak Jalanan” yang mengisahkan tentang seorang anak muda yang hidup di jalanan, membikin masalah tetapi juga menjalin persahabatan sekedar untuk mencari makna hidup berkeluarga dalam persahabatan di luar rumah. Itulah dunia simbolik yang kini semakin jelas ranahnya dalam keluarga. Institusi social senyatanya telah mengambil alih fungsi perlindungan tersebut, seperti tempat perawatan anak cacat tubuh dan mental, yatim piatu, anak nakal, panti jompo, asuransi jiwa, dan lainnya.
Keempat. Fungsi rekreasi dan ekonomi. Rekreasi tidak mesti diartikan tempat melepaskan kepenatan (setelah bekerja keras) yang berada di luar rumah, namun kembali ke dalam kehidupan keluarga juga dapat diartikan sebagai rekreasi. Ketika kita masih kecil dulu, terasa sangat takut ddan tidak mau tidur terpisah dengan kedua orang tua, karena ada perasaan tenteram, nikmat, terayomi, dan gembira tidur bersamanya. Suasana batin kita saat itu, sangat dipahami oleh orang tua kita, sehingga mereka menghantarkan (bahasa Sasak bedede) dengan cara bercerita, apakah itu tentang kepahlawanan, mendidik dan tidak jarang tema ceritanya menakutkan anak-anak kecil, bahkan beraroma mistik. Mereka (orang tua), kelihatannya tidak memilah dan memilih tema cerita yang cocok dengan tingkat pemahaman si anak, yang penting si anak cepat tertidur, lalu orang tua kita cepat kerja yang lain. Kini fungsi itu sudah bergeser dan tergantikan oleh tempat semisal gedung biskop, kebun binatang, night club, pusat perbelanjaan, lapangan olah raga dan lainnya, kesemuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tempat rekreasi keluarga. Keluarga hanya sebagai tempat berkumpul untuk istirahat selepas aktivitas sehari-hari, setelah itu bubaran. Pada ranah ini, terdapat kesan bahwa kewajiban orang tua hanya mencukupi kebutuhan ekonomi material keluarga, selebihnya menjadi tugas institusi di luar, sehingga wajar kalau kuantitas Topan Anak Jalanan tidak hanya menjadi suatu fenomena tetapi telah menjadi fakta yang berinkarnasi menjadi problema social yang sulit terselesaikan. Kalau sudah begini, semua orang (termasuk Pemerintah) terkena getahnya, bukan.
Mengembalikan peran dan fungsi keluarga menjadi jawaban solutif. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang diadakan di eks Bandara Selaparang Mataram , NTB selama tujuh hari sejak tanggal 29 Juni 2012 lalu, sebaiknya di arahkan kepada proses penyadaran untuk mengambil kembali peran dan fungsi keluarga itu dan tidak sebatas pada acara seremonial dan gagah-gagahan sekedar untuk mendapatkan penghargaan. Siapa yang tidak mau mendapatkan penghargaan, semua pasti menginginkan (termasuk pemerintah) khan. Bukankan filosophy diadakannya HARGANAS untuk menangkap spirit kembalinya para kepala keluarga setelah bertahun-tahun berpisah dengan anak dan istrinya dari perang gerilya yang di pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman? Artinya bahwa setelah berjuang membebaskan negeri dari para kolonialis, mereka kembali berperan dan menjalankan fungsinya sebagai kepala rumah tangga demi terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan rohmah atau keluarga yang berkecukupan pangan, sandang dan kasih sayang.
Adakah orang yang bahagia hidupnya, di tengah kondisi keluarga brokenhome atau morat marit? Tentu jawabannya “tidak”. Oleh karena itu, peran dan fungsi-fungsi keluarga sebagaimana tersebut di atas harus diterjemahkan kembali sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing keluarga. Fungsi sosialisasi menjadi titik start kita untuk memposisikan kembali peran dan fungsi keluarga itu. Maksudnya, keluarga masih sangat berfungsi sebagai institusi dominan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi social dalam keluarga, anak mempelajari tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian. Jika fungsi sosialisasi ini dapat berperan maksimal, maka ke depan kita tidak menemukan anak-anak yang hidup di jalanan, tawuran pelajar dan konflik social. mari kita jadikan HARGANAS sebagai momentum kebangkitan dan memposisikan keluarga pada peran dan fungsi yang sebenarnya. Semoga.
*********

 



[1] Ogburn menyebutkan fungsi keluarga adalah kasih sayang, ekonomi, pendidikan, perlindungan, rekreasi, status keluarga, dan agama. Sedangkan fungsi agama menurut Bierstatt adalah menggantikan keluarga, mengatur, dan mengurusi impuls-impuls seksuil, bersifat membantu, menggerakkan, nilai-nilai kebudayaan dan menunjukkan status (lih. Dalam Elly M. Setiadi dan usman Kolip, 2005, Pengantar Sosiologi).
[2] Agus Sunyoto, 2012, Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar Jilid 2 & 3, Yogyakarta: LKIS
[3] M. Ahyar Fadli, 2012, Narasi Agama di Tengah Multiranah, LP2M IAI Qamarul Huda, Bagu, Lombok Tengah

0 komentar: