Rabu, 20 Juni 2012

MEMBINCANG BUDAYA SASAK


Pengantar
Dua Minggu berturut-turut Mataram Dialog Forum (MDF) bekerja sama dengan TV9 menayangkan diskusi tentang budaya Sasak. Banyak orang mempertanyakan kenapa MDF membedah topic yang sama, apakah MDF kehabisan ide sehingga mendiskusikan topic kebudayaan dalam dua session? Kenapa tidak membedah topic yang lebih actual, seperti tentang pilkada gubernur dan beberapa kabupaten kota di Nusa Tenggara Barat atau tentang mandegnya pembangunan Islamic Center (IC).
Tentu, tulisan ini tidak pada posisi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena kesemuanya merupakan hak dari MDF dan TV9. Topik-topik yang didiskusikan satu kali dalam dua minggu sepengetahuan penulis didiskusikan dan diputuskan oleh tim yang dibentuk oleh Inskrip NTB berdasarkan pertimbangan yang cukup matang (salah satunya adalah pertimbangan actual). Membincangkan tentang budaya sasak dalam dua minggu berturut-turut, lebih didasarkan pada pada pertimbangan menemukan kembali identitas kesasakan yang sudah tergerus zaman dan mencari strategi tepat mendudukannya kembali pada posisi semestinya agar supaya dapat menjadi filter dan pengarah warga sasak menghadapi dunia global.
Mencermati fenomena yang tampak bahwasanya orang-orang sasak seolah sudah kehilangan ruh kebudayaannya, baik itu menyangkut system nilai, sopan santun, etiket dan tata cara berpakaian. Pada diskusi yang diadakan oleh MDF yang ditayangkan secara live oleh TV9 tampak para peserta diskusi mempertanyakan orang-orang sasak seolah telah kehilangan jati diri atau identitas kelokalannya sebagai suku bangsa sasak., terutama tata cara berpakaian pada upacara atau gawe adat nyongkolan atau nyondol.
Tata cara berpakaian pada gawe adat nyondol atau nyogkolan menurut Jalaludin Arzaki sangat jauh menyimpang dari pakaian adat sasak (bahkan terkesan sangat mirip dengan pakaian adat Bali). Sementara menurut Lalu Banyu dari pengurus Majelis Adat Sasak (MAS) punya pendapat yang agak sama dengan Arzaki. Lebih jauh Lalu Banyu menyatakan bahwa melihat tata cara berpakaian masyarakat Sasak pada saat gawe adat nyondol seperti itu terkesan tidak atau kurang memahami adat. Terlepas dari beragam kritikan pada acara MDF itu, tetapi yang jelas bahwa masyarakat tidak bisa disalahkan sama sama sekali, ketidaktahuan itu lebih disebabkan karena pemangku adat dalam hal ini pengurus Majelis Adat Sasak (MAS) tidak pernah melakukan sosialisasi.
Sebenarnya, momentum pergantian pengurus MAS beberapa waktu yang lalu dapat dijadikan media untuk menggali, mengidentifikasi dan menetapkan kebudayaan suku bangsa Sasak yang sebenarnya. Hal itu menjadi sangat penting karena kita sebagai generasi muda sangat kebingungan menentukan budaya suku bangsa sasak dan membedakannya dengan budaya Bali dalam banyak hal. Kebingungan generasi muda itu sangat beralasan, sebab mereka sudah banyak mengalami keterputusan budaya (meminjam istilah Koentjaraningrat) karena sudah sangat dominannya budaya luar. Ditambah lagi oleh begitu kentalnya kebudayaan Bali mempengaruhi kebudayaan Sasak, sehingga sangat sulit untuk melihat wajah budaya sasak sebenarnya, sebab warna budaya Bali selalu ada. Diakui atau tidak, itulah kondisinya.
Mapping Budaya Sasak
Memetakan budaya Sasak menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dilakukan agar masyarakat Sasak tidak kehilangan jati dirinya, sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat budaya. Adalah menjadi tugas MAS dan Perekat Ombara untuk melakukan pemetaan budaya sasak tersebut. Mengapa MAS dan mengapa pula Perekat Ombara? Kenapa harus ada dua kepengurusan pengampu adat di gumi sasak ini? Apakah itu berarti bahwa budaya sasak itu memang tidak satu.
Memang, kelihatannya kita selalu dihadapkan pada kesulitan yang amat serius untuk melakukan pemetaan budaya sasak itu. Baru saja berkeinginan untuk mencoba menemukan jati diri suku bangsa sasak, kita sudah dihadapkan pada kebingungan untuk masuk melalui pintu yang mana, apakah pintu MAS atau Perekat Ombara. Keduanya, memang menyatakan dirinya sebagai pemegang dan pemelihara adat Sasak. Hanya bedanya, Mas berbasis di Mataram dan didirikan pada tahun 1986 sedangkan Perekat Ombara didirikan pada tahun 1997 di desa Sesait kabupaten Lombok Utara.
Jika dicermati dari tahun berdirinya tampak bahwa MAS berdiri lebih awal dan daerah persebarannya cukup luas yang meliputi kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Sementara Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Sasak Lombok Utara) hanya tersebar di kabupaten Lombok Utara. Namun, walaupun demikian, yang pasti bahwa keduanya tetap  sebagai masyarakat Sasak.
Dari mana memulai pemetaan budaya sasak? Inilah pertanyaan mendasar yang belum pasti kita selaku orang sasak menyepakatinya untuk memulai dari mana? Menurut hemat saya, pemetaan budaya sasak sebaiknya dimulai dari menemukan unsur-unsur kebudayaan sasak dan secara teoritis telah dijelaskan oleh Koentjaraningrat terdapat 7 (tujuh) unsur kebudayan[1]. Ketujuh unsur kebudayaan itu yakni system religi dan upacara keagamaan; system dan organisasi kemasyarakatan; system pengetahuan; bahasa; kesenian; system mata pencaharian hidup dan system teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut dapat dipakai untuk menggambarkan tentang kebudayaan sasak.
Tentu, melakukan pemetaan tentang budaya bukan perkara mudah sebab membutuhkan waktu, tenaga ahli dan sumber keuangan yang tidak sedikit. Walau demikian, MAS dan Perekat Ombara sebagai pemangku adat sasak harus memulainya untuk melakukan pemetaan agar generasi sasak ke depan tidak kehilangan arahan dan jati diri atau identitasnya. Atau jika hal itu sulit dilakukan, paling tidak dimulai dari mengumpulkan berbagai karya ilmiah yang berhubungan dengan Sasak dan memberikan subsidi bagi mereka yang serius meneliti tentang budaya sasak. Karya-karya budayawan sasak yang belum diterbitkan perlu dibantu pendanaannya.
Terobosan yang dilakukan BAPEDA NTB patut diapresiasi karena telah memberikan bantuan pendanaan untuk menerbitkan buku-buku yang berkaitan dengan kebudayaan sasak atau dinamika kehidupan masyarakat sasak. Bantuan penerbitan buku-buku yang dimaksudkan tampak masih sangat terbatas dan diberikan hanya kepada orang-orang tertentu saja, serta tema-tema tertentu. Dalam pemberian bantuan penerbitan buku-buku itu BAPEDA bekerja sama dengan Newmont Nusa Tenggara sebagai penyandang dana. Sebagai sebuah terobosan tentu, apa yang dilakukan Dr Rosyadi sebagai kepala BAPEDA patut didukung dan sekaligus kritikan. Mengapa? Agar dalam memberikan bantuan ke depan lebih selektif  dan kuantitas penerbitan dalam setiap tahunnya dapat lebih banyak lagi.
Identitas Budaya, Pentingkah?
Luas diyakini bahwa identitas budaya dengan sengaja dibentuk atau dibangun[2], tetapi, kalangan intelektual berbeda pendapat mengenai seberapa jauh konstruksi identitas budaya berkaitan dengan proses-proses tertentu dan pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Saya merasa bahwa pendekatan terhadap pertanyaan tentang identitas budaya sangat bermanfaat untuk membincang mengenai identitas budaya sasak.
Secara harfiah identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dari orang lain[3]. Koento Wibisono, sebagaimana dikutip Ubaedillah dan Rozak bahwa pengertian identitas pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri khas tersebut maka suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kehidupannya. Dengan demikian identitas budaya sasak semestinya berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia.
Secara umum terdapat beberapa dimensi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara normative berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis. Adapun beberapa dimensi  identitas antara lain:
1.      Pola perilaku, adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, misalnya adat istiadat, budaya dan kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong merupakan identitas nasional yang bersumber dari adat dan budaya.
2.      Lambing-lambang, adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi suku bangsa atau Negara. Lambing-lambang itu biasanya dinyatakan undang-undang, misalnya bendera, bahasa, pakaian, dan lagu kebangsaan.
3.      Alat-alat perlengkapan, adalah sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan yang berupa bangunan, peralatan dan teknologi, misalnya bangunan candi, rumah adat, pakaian adat.
4.      Tujuan yang ingin dicapai, identitas yang bersumber dari tujuan ini bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu.
Melihat dari beberapa dimensi identitas tersebut di atas, tampak jelas bahwa sasak identity merupakan sesuatu yang mestinya berbeda dengan identity suku bangsa lainnya, identitas budaya tidak hanya constructed, tetapi juga menemukan konteksnya[4]. Atau dengan perkataan lain bahwa konsep tentang identitas dan bahkan identitas itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks sejarah dengan construct. Oleh karena itu, kebudayaan sebaiknya dipandang sebagai produk dari proses-proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang terbuka bagi segala reinterpretasi dan gagasan-gagasan baru serta ausnya konseptualisasi kebudayaan. Dengan demikian, identitas kebudayaan tetap penting dan harus dimiliki setiap suku bangsa.
Jangan Tangisi Tradisi
Setidaknya ada tiga pandangan mengenai eksistensi budaya yang saling berkonfrontasi. Pihak pertama ingin membongkar tradisi dan menggantinya dengan nilai-nilai Barat. Pihak kedua ingin mempertahankan kebudayaan asli, sedangkan pihak ketiga ingin mempertahankan dan sekaligus memperbaharuinya dalam perspektif  modern.
Dari ketiga kelompok itu, tampaknya yang dominan adalah kelompok ketiga. Misalnya, dalam tradisi seni budaya kecimol (tradisi seni modern dalam masyarakat Sasak) tampak perubahan total dalam berkesenian. Kecimol berbeda dengan seni-seni  yang sudah lama dikenal masyarakat sasak, misalnya seni rudat, gendang belek, lelekaq, dan berbalas pantun. Seni-seni asli tersebut sudah jarang ditampilkan karena ketiadaan tenaga terampil, sementara seni kecimol bak jamur di musim hujan, tumbuh dan berkembang. Seni kecimol sering dan biasanya ditampilkan pada saat acara nyongkolan atau nyondol, dan tidak pada even lainnya.
Garis nasib yang telah menentukan seni-seni tradisional Sasak tersebut di atas tinggal menjadi kenangan yang tercatat di dalam sejarah kesenian daerah, walaupun dewasa ini sudah untuk dikembangkan kembali, seperti seni gendang belek. Namun, demikian masih kalah bersaing dengan seni kecimol yang tidak butuh keterampilan maksimal sebagaimana dalam seni gendang belek dan seni rudat.
Mengapa seni-seni asli dalam masyarakat sasak sangat sulit dikembangkan? Seni rudat dan pewayangan misalnya, sudah hampir punah. Seni tari rudat dewasa ini tidak lebih dari 10 kelompok seni tari rudat yang ada, itupun sumber daya manusia sangat terbatas. Belum lagi seni wayang sangat memprihatinkan, dan yang tersisa hanya wayang  Gerung pimpinan H. Lalu Nasip AR. Perlukah kita tangisi tradisi seni yang hampir punah itu? Ada ada political will dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jika tidak, hanya tangisan yang akan mengiringi kepunahan tradisi berkesenian di Gumi Gora ini. Belum lagi, music-musik indy dan budaya pop popular yang siap menggerus habis seni-seni asli tersebut sampai habis. Wallahul musta’an ila Darissalam.
*********



[1] Koentjaraningrat, 1994, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia
[2] Mark R. Woodward, 2004, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS
[3] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (peny), 2003, Civic Education, Jakarta: ICCE UIN Syarif  Hidayatullah
[4] Joel S. kahn, 1998, Southeast Asian Identities: Introduction. Dalam Joel  S. Kahn (Ed) Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand, Singapore: ISEAS

0 komentar: