Hukuman
bagi koruptor semakin ramai diperbincangkan masyarakat. Perbincangan itu
semakin menajam sampai menentukan bentuk hukuman yang harus diberikan bagi
koruptor. Suara-suara itu bagaikan Meriam Bambu yang biasa dimainkan anak-anak
kecil suku Sasak di pedesaan
yang mengeluarkan dentuman suara dari moncongnya. Suara Meriam Bambu itu
mengeluarkan suara yang memekakkan telinga, tetapi tidak jelas sasaran
tembaknya. Bila Meriam Bambu itu didengar dari kejauhan seolah telah meluluh
lantahkan bangunan yang kokoh dan terbangun dengan teknis matang, tapi
kenyataannya tidak apa-apa dan masih tetap kokoh berdiri.
Benar. Dentuman Meriam bambu itu, hanya permainan yang
dilakukan oleh anak-anak di desa-desa, terutama saat pelaksanaan ibadah puasa.
Tujuannya hanya sebagai hiburan untuk menyamarkan rasa haus dan dahaga. Tentu,
semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, tidak sebatas wacana dan hanya
didiskusikan, tetapi harus ada tindakan nyata memberikan hukuman yang berat
bagi pelakunya dan untuk kemudian uang Negara dapat terselamatkan, tetapi tidak
untuk dikorupsi kembali.
Adalah
para petinggi lembaga negara silih berganti bersuara untuk pemberantasan
korupsi mulai dari Presiden, Mahkamah Agung, Pimpinan DPR, Mahkamah Konstitusi
sampai ke Pimpinan Kepolisian. Kelihatan agak lucu saja kalau Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut-ikutan seperti Meriam Bambu dengan dentuman
suara khasnya. KPK mestinya tidak terjebak ke dalam diskursus korupsi tetapi lebih
pada bagaimana menghukum koruptor dengan berat dan penjara seumur hidup atau
hukuman mati.
Ketua
Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD bersuara lantang untuk memberikan hukuman
mati atau Kuburan bagi Koruptor agar
mempunyai efek jera. Jauh sebelum pak mahfud melontarkan hukuman mati,
sebenarnya Baharudin Lopa telah mengusulkan “menyediakan keranda mayat” bagi
koruptor, tetapi sayang, belum sampai idenya dijalankan kematian sudah
menjemputnya. Hukuman
mati itu harus diberikan bagi koruptor karena mereka mengidap penyakit
imunitas. Artinya mereka tidak takut melakukan korupsi dan paling dihukum
penjara 4 sampai 5 tahun saja. Hukuman mati bisa dilakukan sebagaimana negara
Cina dan sangat tergantung pada keberanian para hakim memutuskan.
Apa
yang diusulkan Profesor Mahfud memunculkan pro dan kontra dari masyarakat. Bagi mereka yang kontra menganggap bahwa usulan
hukuman mati itu sebagai sebuah strategi menghadapi pemilu 2014 mendatang.
Artinya pak Mahfud punya keinginan untuk menjadi Presiden. Sementara bagi
mereka yang pro menganggap usulan itu wajar dan mungkin hukuman mati sangat pantas diberlakukan. Terlepas dari pro dan kontra, yang
jelas bahwa apa yang diusulkan Profesor Mahfud, perlu
diterapkan dengan segera agar imunitas korupsi di Indonesia dapat
terselesaikan.
Kuburan mungkin sangat layak bagi koruptor. Rasanya
tidak ada hukuman yang lebih pantas bagi koruptor selain hukuman mati. Jika,
pemerintah berani menerapkan hukuman mati bagi para tersangka koruptor tentu
Indonesia menjadi kaya raya dan rakyatnya dapat hidup makmur. Hukuman tersebut
menjadikan para koruptor untuk berfikir seribu kali dan mempunyai efek jera,
bagi siapa saja yang ingin korupsi. Tinggal political
will untuk menerapkan hukuman mati dari pemerintah dan DPR yang kita
tunggu.
Korupsi Bagai Penyakit Lupus
Korupsi
sudah menjadi penyakit atau sudah membudaya kata Arswendo Atmowiloto dalam
dialog di TVOne beberapa waktu lalu. Karenanya sangat sulit untuk memberikan
dan menentukan obat Generik bagi penderita karena memang penyakit yang sudah biasa (dikasih obat apa
saja bisa sembuh tetapi kambuhnya cepat). Obat paten dan berdosis tinggipun
masih belum tentu bisa sembuh kecuali obat yang dipatenkan.
Korupsi bagaikan penyakit lupus yang menyerang seluruh
sendi kehidupan bernegara sampai kepada jantung kehidupan Negara. Mengapa
lupus? Kita tahu bahwa penyakit lupus merupakan system kekebalan tubuh manusia
yang menyerang tubuhnya sendiri, kata Dr Jelantik (seorang dokter spesialis
penyakit anak). Setidaknya itulah pengertian sederhana tentang penyakit lupus
yang mematikan itu, karena secara medis belum ditemukan obatnya sampai saat
ini. Obatnya hanya satu yakni kematian.
Namun, tidak berarti penyakit lupus tidak bisa
disembuhkan, bisa tetapi harapannya kecil. Syaratnya penderita Lupus harus
diberikan semangat hidup, diperlakukan atau dirawat secara baik, dan patuhi
semua saran para dokter. Memberikan semangat hidup adalah kunci utamanya,
sementara yang lainnya hanya pelengkap saja. Buktinya banyak penderita penyakit
lupus yang mempunyai keturunan walaupun secara medis sangat melarangnya karena
dapat menurun kepada anak-anaknya.
Korupsi bagaikan penyakit lupus yang mematikan itu.
Dengan demikian Korupsi harus diberikan terapi yang cepat, tepat dan jitu, jika
tidak, korupsi dapat memasuki aliran darah dan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Akibat yang ditimbulkan Negara menjadi bangkrut dan rakyat menjadi sengsara
hidupnya. Kalau kita setuju dengan pernyataan bahwa korupsi sudah menjadi
budaya, maka sulit menghapus korupsi di Indonesia. Tentu, pernyataan itu dapat
diperdebatkan benar salahnya, tetapi yang pasti
bahwa semua orang di Indonesia pernah melakukan korupsi.
Kemauan politik adalah kata kunci untuk membuka tabir
korupsi yang menyelimuti bangsa ini. Tersadari atau tidak, kelihatannya korupsi
sangat mudah dihapus selama masyarakat dan kemauan politik menyatu. Masyarakat
terlihat belum seratus persen mendukung pemberantasan korupsi buktinya
masyarakat tidak menutup ruang bagi koruptor untuk melakukan tindakan jahatnya.
Kadang-kadang atas nama ingin mendapatkan pelayanan yang baik dan tidak buang
waktu, kita justru melakukan tindakan yang membuka peluang untuk orang
melakukan tindakan korupsi, misalnya dalam mengurus KTP, pengurusan Akta Tanah
dan pembuatan surat ijin mengemudi. Bagaimana penyakit korupsi mau disembuhkan
kalau masyarakat sendiri membuka dan memberikan ruang atau space untuk
melakukan tindakan korupsi. Seharusnya, kita menutup ruang dan akses untuk tindakan
korupsi.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat menjadi
keharusan untuk pemberantasan korupsi dengan jalan sederhana seperti tersebut
di atas. Atau dengan kata lain, komitmen bersama semua pihak, baik pemerintah
dan juga masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi. Upaya-upaya
penghapusan korupsi bukan saja ditujukan kepada unsur-unsur pemerintah semata,
tetapi juga harus ditujukan kepada semua lapisan masyarakat. Karena setiap
tindakan korupsi hampir melibatkan masyarakat, sehingga diharapkan semua unsur
masyarakat saling melakukan pengawasan diantara masyarakat untuk mencegah dan
mengingatkan masyarakat ketika terlibat atau memberikan kontribusi terhadap
terjadinya tindak pidana korupsi.
Masyarakat sebenarnya ingin melibatkan diri dan
mengunakan haknya sebagai warga Negara untuk ikut serta mengontrol pelaksanaan
pemerintahan. Paradigm yang terbangun selama ini bahwa tugas pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, ini
sebenarnya kendala utama mengapa masyarakat pasif dalam mengawasi pemerintahan.
Untuk itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa masyarakat berhak dan
dapat berposisi sebagai pengawas proses pemerintahan sebab masyarakatlah yang
memberi mandat (Affan Gafar, 2000) dan ditambah lagi dengan pemilihan pejabat
pemerintahan dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka akan sulit untuk
mendeteksi dan mengungkap tindak pidana korupsi, dimana anggota masyarakat
berada di dalamnya. Sangat ironis, berposisi sebagai pengawas malah ikut
terjebak dalam kubangan tindak pidana korupsi. Siapa pelaku dan siapa pengawas
korupsi sudah sulit dipisahkan, sehingga sulit untuk melakukan tindakan
terhadap koruptor. Inilah yang dimaksudkan korupsi bagaikan penyakit lupus yang
terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Lalu siapa yang dapat
diharapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi tersebut, kalau kondisinya
seperti itu? Tentu, kita masih beruntung ada institusi super body yang bernama KPK, kalau tidak, sudah hampir
pasti jantung kehidupan Negara terkena virus lupus korupsi.
Krisis Governance
KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad masih dapat
diharapkan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kita masih
ingat bahwa Ketua KPK itu memberikan pernyataan tidak biasa dilakukan oleh
pejabat di negeri ini, “kalau saya tidak mampu mengungkap dan menyelesaikan
kasus-kasus korupsi, maka saya akan mengundurkan diri dan pulang kampung”.
Pernyataan Abraham Samad itu tergolong berani dan masyarakat menunggu hasil kerja
KPK.
Dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kerja KPK
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi masih kuat. Kerja dan kinerja KPK
serta seberapa banyak kasus korupsi yang mampu ditangani dan berapa banyak uang
negera yang dapat dikembalikan menjadi indikator keberhasilan KPK. Kita
berharap kepada KPK agar penanganan tindak pidana korupsi tidak pandang bulu,
entah itu anggota DPR, Menteri, Gubernur, Bupati, atau siapa saja yang
terindikasi merugikan uang Negara KPK harus berani menindaknya.
Hasil kerja KPK selama ini, harus diberikan apresiasi
oleh masyarakat. Bayangkan, hasil-hasil kerja KPK jika merujuk kepada kuantitas
dan kualitas tindak pidana korupsi yang ditanganinya menunjukkan KPK serius.
Buktinya, tidak kurang dari 10 mantan menteri dan menteri aktif yang sudah
dijadikan tersangka dan saksi tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan
uang Negara, serta terdapat 173 orang kepala daerah yang sudah dijadikan
tersangka dan bahkan ada sudah diponis penjara dan diberhentikan dari
jabatannya sebagai kepala daerah.
Tindak hanya para pejabat pemerintah, para anggota
legislative dan yudikatif pun
menjadi bidikan KPK, seperti M.
Nazarudin dengan kasus Wisma Atlet, Hakim Sarifudin, Nunun Nurbaiti telah di
ponis 4 tahun penjara sebagai pelaku suap atas terpilihnya Miranda Goultom
sebagai Deputi Gubernur Senior BI dengan melibatkan beberapa anggota DPR dan
kini sudah berada di rumah tahanan.
Wangsit apa yang dapat dibaca dari tindakan dan
kejadian tersebut di atas? Rasanya hanya persoalan waktu semata, KPK akan
menetapkan para pejabat Negara menjadi pesakitan. Hanya permasalahnnya, apakah
dengan ditetapkannya para pejabat Negara menjadi tersangka oleh KPK, itu
menunjukkan keseriusan pemerintah memberantas tindak pidana korupsi atau malah
sebaliknya menunjukkan kegagalan pemerintah untuk mewujudkan good and clean governance di negeri ini.
Jika demikian, bukankah kini Negara dalam kondisi krisis governance dan presiden SBY sebagai pemangku jabatan kepala Negara
dan pemerintahan juga telah gagal karena ketidakmampuannya mengontrol tingkah
polah pejabat Negara. Kondisi itu diperkuat oleh seringnya pejabat mengatakana
bahwa APBN kita jebol kalau BBM tidak dinaikkan.
Ketika reformasi mulai digagas oleh para reformis,
salah satunya adalah Prof. Amin Rais dan
tokoh lainnya, menjadikan good and clean
governance (pengelolaan atau tata pmerintahan yang baik dan bersih)
merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi (A. Ubaidillah dan Abdul
Razak, 2006). Wacana good and clean
governance seringkali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan
pemerintahan yang professional, akuntabel dan bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Sebuah kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang sarat
dengan KKN yang berakhir dengan krisis ekonomi berkepanjangan. Isu dan
perdebatan good and clean governance
merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM dan masyarakat Madani
yang diusung oleh gerakan reformasi.
Good and clean governance dalam pemaknaannya menurut Andi Faesal Bakti sebagaimana dikutip oleh
Ubaidillah dan Razak dalam bukunya Civic Education, memiliki pengertian
pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan
yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai (Ubaidillah dan
Razak, 2006: 216). Dalam konteks Indonesia substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan
istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Lebih jauh, Bakti
menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan
oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level pemerintahan Negara yang
berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam
praktiknya pemerintahan yang bersih (clean
governance), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
tarnsparan dan bertanggung jawab (Bakti, 2000: 216).
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik
itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam
pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan,
memperoleh dukungan dari rakyat, dan bebas dari gerakan-gerakan anarkis yang
bisa menghambat proses pembangunan. Pemerintahan yang baik, juga dapat dilihat
dari pembangunan yang dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan
hasil yang maksimal. Factor lain yang tak kalah penting (Ubaidillah dan Razak,
2006), suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktifitas bersinergi
dengan peningkatan indicator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek
produktifitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Sebagai sebuah paradigm pengelolaan lembaga Negara,
good and clean governance dapat terwujud jika ditopang oleh Negara dan
masyarakat madani (di dalam ada peran sector swasta). Negara dengan birokrasi
pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan public dari perspektif
birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan
berpihak kepada kepentingan masyarakat (M. Ali, 2005). Dan pada saat yang sama,
sebagai komponen di luar birokrasi Negara, sector swasta harus terlibat dan
dilibatkan oleh Negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber
daya dan perumusan kebijakan publik.
Keterlibatan sector swasta ini akan berdampak
positif jika prinsip-prinsip
fundamental good governance di saat
yang bersamaan dijalankan oleh sector swasta. Maksudnya, implementasi prinsip
good governance akan berjalan maksimal jika ditopang oleh komitmen untuk
melaksanakan prinsip-prinsipnya baik oleh Negara maupun komponen masyarakat
madani yang di dalamnya terdapat sector swasta. Bersinerginya dua komponen
penting (Negara dan masyarakat)
diharapkan dapat mengembangkan demokrasi dan kemaslahatan bersama, tentu
sikap apatisme masyarakat atas kinerja dan pelayanan public birokrasi
pemerintah maupun swasta dapat diperkecil secara maksimal.
Keterbukaan dan niat baik Negara atau pemerintahan SBY
yang mempersilahkan KPK memeriksa siapa saja yang terindikasi melakukan tindak
pidana korupsi. Tentu, kita sebagai rakyat juga harus jujur dan mau memberikan
apresiasi terhadap kemauan politik pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi,
walaupun masih jauh dari harapan rakyat. Siapa saja (entah gubernur,
Bupati/waali kota, para Menteri, anggota DPR), bahkan kader partai demokrat
sendiri, SBY menjamin tidak akan menghalangi KPK. Niat baik itu dibuktikannya
dengan membiarkan kader partai demokrat di periksa dan sudah di ponis 4 tahun
10 bulan, seperti Muhamad Nazarudin, Angelina Sondah, juga mengijinkan para
pembantunya di kabinet, diperiksa
sebagai saksi seperti Muhaimin Iskandar dan Andi Alpian Malarangeng.
Semakin banyaknya para pejabat daerah dan pusat di
periksa, menunjukkan bahwa pemerintahan SBY dalam kondisi krisis dan lemah,
serta bukan sebagai prestasi pemberantasan korupsi. Mengapa? Karena mereka
sebagai pejabat telah membuka aibnya sendiri di depan public bahwa mereka cacat
secara moral, melanggar sumpah jabatan, dan tidak amanah dalam mengemban
kepercayaan rakyat yang telah memilihnya secara langsung. Tentu kondisi
tersebut, telah membuat kita sebagai rakyat sangat prihatin dan ke depannya,
kita perlu merumuskan suatu system hukuman yang membuat mereka jera melakukan
tindak pidana korupsi.
Kuburan bagi Koruptor
Pemikiran Ketua Mahkamah Konstitusi (Prof. Mahfud MD)
yang akan menyediakan kuburan bagi para koruptor layak untuk dipertimbangkan.
Pemikiran tersebut, bukan pemikiran original dari Ketua MK, karena sebelumnya
sudah pernah di lontarkan oleh Baharudin Lopa (selaku Menteri Kehakiman saat
itu) dengan symbol keranda mayat bagi koruptor. Barangkali keduanya punya
kemiripan ide dan pemikiran dalam bahasa symbol, namun sama-sama ingin
memberikan hukuman yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar jera.
Sebagai sebuah ide dan pemikiran dari kedua tokoh itu,
kelihatannya tidak ada yang salah, hanya saja system hukum kita belum mengenal
hukuman mati. Supaya ide dan pemikiran itu punya landasan yuridis yang kuat,
kiranya perlu dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan untuk
memberikan tempat hukuman mati bagi para koruptor. Dengan hukuman mati, bisa
menjadi shock terapi bagi siapa saja yang berniat untuk melakukan tindak pidana
korupsi.
Memang, dakwaan maksimal 17 Tahun penjara bagi
koruptor sangat ringan, buktinya sampai saat ini, tindak pidana korupsi tumbuh
subur, bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Koruptor tidak pernah jera.
Hukum yang ada, seakan tidak pernah mampu memberikan efek jera bagi para calon
tindak pidana korupsi. Semua komponen bangsa ini terasa linglung dengan semakin
semaraknya tindak pidana korupsi dari daerah sampai pusat, dari hilir sampai
hulu, dari pemerintahan desa sampai pemerintah pusat.
Ahli hukum meyakini bahwa perilaku koruptif yang masih kuat, salah satunya disebabkan
oleh hukuman (punishment) yang
terlampau ringan. Penjara selama dua atau lima tahun adalah hukuman yang tidak
memberi efek jera sehingga korupsi masih menggurita. Wacana mengenai efek jera
melalui hukuman setimpal (seperti hukuman mati atau kuburan bagi koruptor) adalah
benar adanya.
Namun, hukuman efek jera dengan hukuman setimpal itu
perlu ditopang dengan transformasi eksklusivisme kepentingan menjadi
inklusivisme kepentingan (Susan, 2009). Artinya, melembagakan karakter politik
yang memahami dinamika politik sebagai proses memperjuangkan kepentingan umum.
Strategi transformasi ini adalah dengan mendesain politik diliberatif di
Indonesia. Maksudnya, politik yang memberi penekanan terhadap kualitas
partisipasi politik masyarakat yang memberi fondasi oleh praktik diskursif dan
kritis.Siapapun, kelihatannya tidak akan pernah jera untuk korupsi selama ada
kesempatan. Karena mereka sudah mengetahui hukuman ringan yang akan
diterimanya. Walaupun, tuntutannya maksimal sampai 17 Tahun penjara, tetapi
kenyataannya hakim memutuskan hukuman paling tinggi 5 Tahun penjara atau
subsider denda 200 juta rupiah. Lihat saja, hukuman bagi para koruptor seperti
M. Nazarudin hanya di hukum 4 Tahun dan 10 bulan; Nunun Nurbaiti di hukum 4
Tahun; Mindo Rosalina di hukum 3,5 Tahun, Yulianis dan el Idris hanya di hukum
2,5 Tahun. Sangat ringan bukan, karenanya orang tidak akan pernah untuk
taubat.
Korupsi seakan menjadi sesuatu yang biasa (untuk tidak
mengatakan sudah membudaya) bagi rakyat di negeri ini. Sebagian besar dari
komponen bangsa ini sudah pernah melakukan korupsi dalam pemaknaan yang
berbeda, entah korupsi waktu, kesempatan, menyerobot kesempatan orang, tidak
mau antri dalam pembelian tiket, antri ambil uang di bank, tidak mau antri
dalam pembagian beras raskin dan bahkan sampai ada yang harus meninggal dunia
karena diinjak-injak saat pembagian zakat. Sungguh, korupsi menjadi kebiasaan
yang sulit diberantas, namun harus diperangi dan berikan hukuman mati saja bagi
para koruptor.
Pada konteks ini, tentu usulan Prof. Mahfud MD menjadi
solusi yang tepat sebagai shock
terapi bagi para tersangka koruptor. Dengan
ancaman hukuman mati, sudah pasti orang akan berfikir untuk melakukan tindak
pidana korupsi. Di beberapa Negara yang telah menerapkan hukuman mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi ternyata sangat efektif untuk menekan tindakan korupsi. Tinggal
kemauan politik dari pembuat Undang-undang (Pemerintah dan DPR), siapkah untuk
menghukum koruptor dengan hukuman mati? Atau dengan perkataan yang lebih halus,
maukah kita menghantarkan para koruptor ke tempat peristirahatannya yang
terakhir yakni di kubur. Atau jangan-jangan, sebagai pejabat sudah ngeri
duluan, sehingga tidak ada keberanian untuk menetapkan hukuman mati untuk
dirinya sendiri, sebagaimana usulan sang Ketua MK. Wallahul Musta’an Ila Darissalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar