Kamis, 10 Mei 2012

KUBURAN BAGI KORUPTOR


Hukuman bagi koruptor semakin ramai diperbincangkan masyarakat. Perbincangan itu semakin menajam sampai menentukan bentuk hukuman yang harus diberikan bagi koruptor. Suara-suara itu bagaikan Meriam Bambu yang biasa dimainkan anak-anak kecil suku Sasak di pedesaan yang mengeluarkan dentuman suara dari moncongnya. Suara Meriam Bambu itu mengeluarkan suara yang memekakkan telinga, tetapi tidak jelas sasaran tembaknya. Bila Meriam Bambu itu didengar dari kejauhan seolah telah meluluh lantahkan bangunan yang kokoh dan terbangun dengan teknis matang, tapi kenyataannya tidak apa-apa dan masih tetap kokoh berdiri.
Benar. Dentuman Meriam bambu itu, hanya permainan yang dilakukan oleh anak-anak di desa-desa, terutama saat pelaksanaan ibadah puasa. Tujuannya hanya sebagai hiburan untuk menyamarkan rasa haus dan dahaga. Tentu, semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, tidak sebatas wacana dan hanya didiskusikan, tetapi harus ada tindakan nyata memberikan hukuman yang berat bagi pelakunya dan untuk kemudian uang Negara dapat terselamatkan, tetapi tidak untuk dikorupsi kembali.
Adalah para petinggi lembaga negara silih berganti bersuara untuk pemberantasan korupsi mulai dari Presiden, Mahkamah Agung, Pimpinan DPR, Mahkamah Konstitusi sampai ke Pimpinan Kepolisian. Kelihatan agak lucu saja kalau Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut-ikutan seperti Meriam Bambu dengan dentuman suara khasnya. KPK mestinya tidak terjebak ke dalam diskursus korupsi tetapi lebih pada bagaimana menghukum koruptor dengan berat dan penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Mahfud MD bersuara lantang untuk memberikan hukuman mati  atau Kuburan bagi Koruptor agar mempunyai efek jera. Jauh sebelum pak mahfud melontarkan hukuman mati, sebenarnya Baharudin Lopa telah mengusulkan “menyediakan keranda mayat” bagi koruptor, tetapi sayang, belum sampai idenya dijalankan kematian sudah menjemputnya. Hukuman mati itu harus diberikan bagi koruptor karena mereka mengidap penyakit imunitas. Artinya mereka tidak takut melakukan korupsi dan paling dihukum penjara 4 sampai 5 tahun saja. Hukuman mati bisa dilakukan sebagaimana negara Cina dan sangat tergantung pada keberanian para hakim memutuskan.
Apa yang diusulkan Profesor Mahfud memunculkan  pro dan kontra dari masyarakat.  Bagi mereka yang kontra menganggap bahwa usulan hukuman mati itu sebagai sebuah strategi menghadapi pemilu 2014 mendatang. Artinya pak Mahfud punya keinginan untuk menjadi Presiden. Sementara bagi mereka yang pro menganggap usulan itu wajar dan mungkin hukuman mati sangat pantas diberlakukan. Terlepas dari pro dan kontra, yang jelas bahwa apa yang diusulkan Profesor Mahfud, perlu diterapkan dengan segera agar imunitas korupsi di Indonesia dapat terselesaikan.
Kuburan mungkin sangat layak bagi koruptor. Rasanya tidak ada hukuman yang lebih pantas bagi koruptor selain hukuman mati. Jika, pemerintah berani menerapkan hukuman mati bagi para tersangka koruptor tentu Indonesia menjadi kaya raya dan rakyatnya dapat hidup makmur. Hukuman tersebut menjadikan para koruptor untuk berfikir seribu kali dan mempunyai efek jera, bagi siapa saja yang ingin korupsi. Tinggal political will untuk menerapkan hukuman mati dari pemerintah dan DPR yang kita tunggu.
Korupsi Bagai Penyakit Lupus
Korupsi sudah menjadi penyakit atau sudah membudaya kata Arswendo Atmowiloto dalam dialog di TVOne beberapa waktu lalu. Karenanya sangat sulit untuk memberikan dan menentukan obat Generik bagi penderita karena memang  penyakit yang sudah biasa (dikasih obat apa saja bisa sembuh tetapi kambuhnya cepat). Obat paten dan berdosis tinggipun masih belum tentu bisa sembuh kecuali obat yang dipatenkan.
Korupsi bagaikan penyakit lupus yang menyerang seluruh sendi kehidupan bernegara sampai kepada jantung kehidupan Negara. Mengapa lupus? Kita tahu bahwa penyakit lupus merupakan system kekebalan tubuh manusia yang menyerang tubuhnya sendiri, kata Dr Jelantik (seorang dokter spesialis penyakit anak). Setidaknya itulah pengertian sederhana tentang penyakit lupus yang mematikan itu, karena secara medis belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Obatnya hanya satu yakni kematian.  
Namun, tidak berarti penyakit lupus tidak bisa disembuhkan, bisa tetapi harapannya kecil. Syaratnya penderita Lupus harus diberikan semangat hidup, diperlakukan atau dirawat secara baik, dan patuhi semua saran para dokter. Memberikan semangat hidup adalah kunci utamanya, sementara yang lainnya hanya pelengkap saja. Buktinya banyak penderita penyakit lupus yang mempunyai keturunan walaupun secara medis sangat melarangnya karena dapat menurun kepada anak-anaknya.
Korupsi bagaikan penyakit lupus yang mematikan itu. Dengan demikian Korupsi harus diberikan terapi yang cepat, tepat dan jitu, jika tidak, korupsi dapat memasuki aliran darah dan sendi-sendi kehidupan bernegara. Akibat yang ditimbulkan Negara menjadi bangkrut dan rakyat menjadi sengsara hidupnya. Kalau kita setuju dengan pernyataan bahwa korupsi sudah menjadi budaya, maka sulit menghapus korupsi di Indonesia. Tentu, pernyataan itu dapat diperdebatkan benar salahnya, tetapi yang pasti  bahwa semua orang di Indonesia pernah melakukan korupsi.
Kemauan politik adalah kata kunci untuk membuka tabir korupsi yang menyelimuti bangsa ini. Tersadari atau tidak, kelihatannya korupsi sangat mudah dihapus selama masyarakat dan kemauan politik menyatu. Masyarakat terlihat belum seratus persen mendukung pemberantasan korupsi buktinya masyarakat tidak menutup ruang bagi koruptor untuk melakukan tindakan jahatnya. Kadang-kadang atas nama ingin mendapatkan pelayanan yang baik dan tidak buang waktu, kita justru melakukan tindakan yang membuka peluang untuk orang melakukan tindakan korupsi, misalnya dalam mengurus KTP, pengurusan Akta Tanah dan pembuatan surat ijin mengemudi. Bagaimana penyakit korupsi mau disembuhkan kalau masyarakat sendiri membuka dan memberikan ruang atau space untuk melakukan tindakan korupsi. Seharusnya, kita menutup ruang dan akses untuk tindakan korupsi.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat menjadi keharusan untuk pemberantasan korupsi dengan jalan sederhana seperti tersebut di atas. Atau dengan kata lain, komitmen bersama semua pihak, baik pemerintah dan juga masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi. Upaya-upaya penghapusan korupsi bukan saja ditujukan kepada unsur-unsur pemerintah semata, tetapi juga harus ditujukan kepada semua lapisan masyarakat. Karena setiap tindakan korupsi hampir melibatkan masyarakat, sehingga diharapkan semua unsur masyarakat saling melakukan pengawasan diantara masyarakat untuk mencegah dan mengingatkan masyarakat ketika terlibat atau memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana korupsi.
Masyarakat sebenarnya ingin melibatkan diri dan mengunakan haknya sebagai warga Negara untuk ikut serta mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Paradigm yang terbangun selama ini bahwa tugas pengawasan terhadap jalannya pemerintahan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, ini sebenarnya kendala utama mengapa masyarakat pasif dalam mengawasi pemerintahan. Untuk itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa masyarakat berhak dan dapat berposisi sebagai pengawas proses pemerintahan sebab masyarakatlah yang memberi mandat (Affan Gafar, 2000) dan ditambah lagi dengan pemilihan pejabat pemerintahan dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka akan sulit untuk mendeteksi dan mengungkap tindak pidana korupsi, dimana anggota masyarakat berada di dalamnya. Sangat ironis, berposisi sebagai pengawas malah ikut terjebak dalam kubangan tindak pidana korupsi. Siapa pelaku dan siapa pengawas korupsi sudah sulit dipisahkan, sehingga sulit untuk melakukan tindakan terhadap koruptor. Inilah yang dimaksudkan korupsi bagaikan penyakit lupus yang terus menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Lalu siapa yang dapat diharapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi tersebut, kalau kondisinya seperti itu? Tentu, kita masih beruntung ada institusi super body yang bernama KPK, kalau tidak, sudah hampir pasti jantung kehidupan Negara terkena virus lupus korupsi.
Krisis Governance
KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad masih dapat diharapkan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kita masih ingat bahwa Ketua KPK itu memberikan pernyataan tidak biasa dilakukan oleh pejabat di negeri ini, “kalau saya tidak mampu mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus korupsi, maka saya akan mengundurkan diri dan pulang kampung”. Pernyataan Abraham Samad itu tergolong berani dan masyarakat menunggu hasil kerja KPK.
Dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap kerja KPK untuk pemberantasan tindak pidana korupsi masih kuat. Kerja dan kinerja KPK serta seberapa banyak kasus korupsi yang mampu ditangani dan berapa banyak uang negera yang dapat dikembalikan menjadi indikator keberhasilan KPK. Kita berharap kepada KPK agar penanganan tindak pidana korupsi tidak pandang bulu, entah itu anggota DPR, Menteri, Gubernur, Bupati, atau siapa saja yang terindikasi merugikan uang Negara KPK harus berani menindaknya.
Hasil kerja KPK selama ini, harus diberikan apresiasi oleh masyarakat. Bayangkan, hasil-hasil kerja KPK jika merujuk kepada kuantitas dan kualitas tindak pidana korupsi yang ditanganinya menunjukkan KPK serius. Buktinya, tidak kurang dari 10 mantan menteri dan menteri aktif yang sudah dijadikan tersangka dan saksi tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan uang Negara, serta terdapat 173 orang kepala daerah yang sudah dijadikan tersangka dan bahkan ada sudah diponis penjara dan diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala daerah.
Tindak hanya para pejabat pemerintah, para anggota legislative dan yudikatif  pun menjadi  bidikan KPK, seperti M. Nazarudin dengan kasus Wisma Atlet, Hakim Sarifudin, Nunun Nurbaiti telah di ponis 4 tahun penjara sebagai pelaku suap atas terpilihnya Miranda Goultom sebagai Deputi Gubernur Senior BI dengan melibatkan beberapa anggota DPR dan kini sudah berada di rumah tahanan.
Wangsit apa yang dapat dibaca dari tindakan dan kejadian tersebut di atas? Rasanya hanya persoalan waktu semata, KPK akan menetapkan para pejabat Negara menjadi pesakitan. Hanya permasalahnnya, apakah dengan ditetapkannya para pejabat Negara menjadi tersangka oleh KPK, itu menunjukkan keseriusan pemerintah memberantas tindak pidana korupsi atau malah sebaliknya menunjukkan kegagalan pemerintah untuk mewujudkan good and clean governance di negeri ini. Jika demikian, bukankah kini Negara dalam kondisi krisis governance dan presiden SBY sebagai pemangku jabatan kepala Negara dan pemerintahan juga telah gagal karena ketidakmampuannya mengontrol tingkah polah pejabat Negara. Kondisi itu diperkuat oleh seringnya pejabat mengatakana bahwa APBN kita jebol kalau BBM tidak dinaikkan.
Ketika reformasi mulai digagas oleh para reformis, salah satunya adalah  Prof. Amin Rais dan tokoh lainnya, menjadikan good and clean governance (pengelolaan atau tata pmerintahan yang baik dan bersih) merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi (A. Ubaidillah dan Abdul Razak, 2006). Wacana good and clean governance seringkali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintahan yang professional, akuntabel dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebuah kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan KKN yang berakhir dengan krisis ekonomi berkepanjangan. Isu dan perdebatan good and clean governance merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM dan masyarakat Madani yang diusung oleh gerakan reformasi.
Good and clean governance dalam pemaknaannya menurut Andi Faesal Bakti sebagaimana dikutip oleh Ubaidillah dan Razak dalam bukunya Civic Education, memiliki pengertian pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai (Ubaidillah dan Razak, 2006: 216). Dalam konteks Indonesia substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Lebih jauh, Bakti menyatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah sikap dimana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level pemerintahan Negara yang berkaitan dengan sumber-sumber social, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya pemerintahan yang bersih (clean governance), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, tarnsparan dan bertanggung jawab (Bakti, 2000: 216).
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, dan bebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Pemerintahan yang baik, juga dapat dilihat dari pembangunan yang dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Factor lain yang tak kalah penting (Ubaidillah dan Razak, 2006), suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktifitas bersinergi dengan peningkatan indicator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktifitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Sebagai sebuah paradigm pengelolaan lembaga Negara, good and clean governance dapat terwujud jika ditopang oleh Negara dan masyarakat madani (di dalam ada peran sector swasta). Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan public dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat (M. Ali, 2005). Dan pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi Negara, sector swasta harus terlibat dan dilibatkan oleh Negara untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan publik.
Keterlibatan sector swasta ini akan berdampak positif   jika prinsip-prinsip fundamental good governance di saat yang bersamaan dijalankan oleh sector swasta. Maksudnya, implementasi prinsip good governance akan berjalan maksimal jika ditopang oleh komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya baik oleh Negara maupun komponen masyarakat madani yang di dalamnya terdapat sector swasta. Bersinerginya dua komponen penting (Negara dan masyarakat)  diharapkan dapat mengembangkan demokrasi dan kemaslahatan bersama, tentu sikap apatisme masyarakat atas kinerja dan pelayanan public birokrasi pemerintah maupun swasta dapat diperkecil secara maksimal.
Keterbukaan dan niat baik Negara atau pemerintahan SBY yang mempersilahkan KPK memeriksa siapa saja yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Tentu, kita sebagai rakyat juga harus jujur dan mau memberikan apresiasi terhadap kemauan politik pemerintahan SBY untuk memberantas korupsi, walaupun masih jauh dari harapan rakyat. Siapa saja (entah gubernur, Bupati/waali kota, para Menteri, anggota DPR), bahkan kader partai demokrat sendiri, SBY menjamin tidak akan menghalangi KPK. Niat baik itu dibuktikannya dengan membiarkan kader partai demokrat di periksa dan sudah di ponis 4 tahun 10 bulan, seperti Muhamad Nazarudin, Angelina Sondah, juga mengijinkan para pembantunya di kabinet,  diperiksa sebagai saksi seperti Muhaimin Iskandar dan Andi Alpian Malarangeng.
Semakin banyaknya para pejabat daerah dan pusat di periksa, menunjukkan bahwa pemerintahan SBY dalam kondisi krisis dan lemah, serta bukan sebagai prestasi pemberantasan korupsi. Mengapa? Karena mereka sebagai pejabat telah membuka aibnya sendiri di depan public bahwa mereka cacat secara moral, melanggar sumpah jabatan, dan tidak amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat yang telah memilihnya secara langsung. Tentu kondisi tersebut, telah membuat kita sebagai rakyat sangat prihatin dan ke depannya, kita perlu merumuskan suatu system hukuman yang membuat mereka jera melakukan tindak pidana korupsi. 
Kuburan bagi Koruptor
Pemikiran Ketua Mahkamah Konstitusi (Prof. Mahfud MD) yang akan menyediakan kuburan bagi para koruptor layak untuk dipertimbangkan. Pemikiran tersebut, bukan pemikiran original dari Ketua MK, karena sebelumnya sudah pernah di lontarkan oleh Baharudin Lopa (selaku Menteri Kehakiman saat itu) dengan symbol keranda mayat bagi koruptor. Barangkali keduanya punya kemiripan ide dan pemikiran dalam bahasa symbol, namun sama-sama ingin memberikan hukuman yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar jera.
Sebagai sebuah ide dan pemikiran dari kedua tokoh itu, kelihatannya tidak ada yang salah, hanya saja system hukum kita belum mengenal hukuman mati. Supaya ide dan pemikiran itu punya landasan yuridis yang kuat, kiranya perlu dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan untuk memberikan tempat hukuman mati bagi para koruptor. Dengan hukuman mati, bisa menjadi shock terapi bagi siapa saja yang berniat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Memang, dakwaan maksimal 17 Tahun penjara bagi koruptor sangat ringan, buktinya sampai saat ini, tindak pidana korupsi tumbuh subur, bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Koruptor tidak pernah jera. Hukum yang ada, seakan tidak pernah mampu memberikan efek jera bagi para calon tindak pidana korupsi. Semua komponen bangsa ini terasa linglung dengan semakin semaraknya tindak pidana korupsi dari daerah sampai pusat, dari hilir sampai hulu, dari pemerintahan desa sampai pemerintah pusat.
Ahli hukum meyakini bahwa perilaku koruptif  yang masih kuat, salah satunya disebabkan oleh hukuman (punishment) yang terlampau ringan. Penjara selama dua atau lima tahun adalah hukuman yang tidak memberi efek jera sehingga korupsi masih menggurita. Wacana mengenai efek jera melalui hukuman setimpal (seperti hukuman mati atau kuburan bagi koruptor) adalah benar adanya.  
Namun, hukuman efek jera dengan hukuman setimpal itu perlu ditopang dengan transformasi eksklusivisme kepentingan menjadi inklusivisme kepentingan (Susan, 2009). Artinya, melembagakan karakter politik yang memahami dinamika politik sebagai proses memperjuangkan kepentingan umum. Strategi transformasi ini adalah dengan mendesain politik diliberatif di Indonesia. Maksudnya, politik yang memberi penekanan terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat yang memberi fondasi oleh praktik diskursif dan kritis.Siapapun, kelihatannya tidak akan pernah jera untuk korupsi selama ada kesempatan. Karena mereka sudah mengetahui hukuman ringan yang akan diterimanya. Walaupun, tuntutannya maksimal sampai 17 Tahun penjara, tetapi kenyataannya hakim memutuskan hukuman paling tinggi 5 Tahun penjara atau subsider denda 200 juta rupiah. Lihat saja, hukuman bagi para koruptor seperti M. Nazarudin hanya di hukum 4 Tahun dan 10 bulan; Nunun Nurbaiti di hukum 4 Tahun; Mindo Rosalina di hukum 3,5 Tahun, Yulianis dan el Idris hanya di hukum 2,5 Tahun. Sangat ringan bukan, karenanya orang tidak akan pernah untuk taubat. 
Korupsi seakan menjadi sesuatu yang biasa (untuk tidak mengatakan sudah membudaya) bagi rakyat di negeri ini. Sebagian besar dari komponen bangsa ini sudah pernah melakukan korupsi dalam pemaknaan yang berbeda, entah korupsi waktu, kesempatan, menyerobot kesempatan orang, tidak mau antri dalam pembelian tiket, antri ambil uang di bank, tidak mau antri dalam pembagian beras raskin dan bahkan sampai ada yang harus meninggal dunia karena diinjak-injak saat pembagian zakat. Sungguh, korupsi menjadi kebiasaan yang sulit diberantas, namun harus diperangi dan berikan hukuman mati saja bagi para koruptor.
Pada konteks ini, tentu usulan Prof. Mahfud MD menjadi solusi yang tepat sebagai shock terapi bagi para tersangka koruptor.  Dengan ancaman hukuman mati, sudah pasti orang akan berfikir untuk melakukan tindak pidana korupsi. Di beberapa Negara yang telah menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi ternyata sangat efektif  untuk menekan tindakan korupsi. Tinggal kemauan politik dari pembuat Undang-undang (Pemerintah dan DPR), siapkah untuk menghukum koruptor dengan hukuman mati? Atau dengan perkataan yang lebih halus, maukah kita menghantarkan para koruptor ke tempat peristirahatannya yang terakhir yakni di kubur. Atau jangan-jangan, sebagai pejabat sudah ngeri duluan, sehingga tidak ada keberanian untuk menetapkan hukuman mati untuk dirinya sendiri, sebagaimana usulan sang Ketua MK. Wallahul Musta’an Ila Darissalam.

*********

0 komentar: