Minggu, 13 Mei 2012

KEKERASAN DAN KEGILAAN


Pengantar
Ada kecurigaan bahwa bangsa Indonesia sedang sakit jiwa yang  banyak dilontarkan akhir-akhir ini. Silih bergantinya tindakan kekerasan dan kejahatan massal di dalam masyarakat sebagai pertanda pembenaran terhadap kecurigaan itu. Lihat saja, belum usai  penyelesaian kasus kekerasan yang dilakukan kelompok geng  Motor, perampokan dengan menggunakan senjata api dan penusukan terhadap beberapa siswa SMP di Jakarta, kini polisi sudah dihadapkan dengan konflik antara Brimob dengan Kostrad di Gorontalo. Siapapun kita, akan menyayangkan terjadinya peristiwa antara Brimob dengan Kostrad tersebut. Memang tidak sepatutnya atau tidak etis kedua kelompok tersebut yang notabene dibiayai hidupnya dari Negara malah sibuk berkonflik mengadu otot dan kesatuannya.Bukankah keduanya abdi Negara yang seharusnya memberi rasa nyaman bagi rakyat?
Ngeri, kata Mustafa Nahrawardaya dari Crime Analyst Forum,  akibat yang akan ditimbulkan jika konflik antara Brimob dengan Kostrad di Gorontalo itu tidak segera tertangani. Konflik atau tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil, mungkin tidak separah akibat yang ditimbulkan oleh konflik antara kedua institusi Negara itu jika dibiarkan berlanjut.Kenapa, karena keduanya mempunyai kuasa untuk mengokang dan memuntahkan senjata kepada musuh-musuhnya. Juga, ego kesatuan dapat segera menyebar ke berbagai daerah, bagaikan api yang membakar kayu dan melalap daerah sekitarnya. Sehingga, ngeri kata pertama yang keluar dari mulut Mustafa dari FCA menjadi rasional pada dialog di TvOne, tanggal 23 April 2012.
Menanggapi konflik antara dua kesatuan itu, tentu tidak boleh dianggap sepele sebab keduanya menyangkut symbol keamanan dan kekuatan Negara. Kalau kedua symbol Negara tersebut terus dalam ketegangan seperti itu berarti ada indikasi bahwa kekerasan psikologis dipelihara dengan baik, tinggal menunggu ledakan dan memang tengah terjadi degradasi nilai kepemimpinan yang melanda para pemimpin Negara. Seandainya indikasi itu benar, maka Negara kita berada dalam kondisi chaos hanya belum menemukan bentuk.Tetapi mudah-mudahan semuanya tidak benar, lalu mencarikan solusi yang tepat terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang melanda Negara ini (termasuk konflik Brimob dengan Kostrad).
Keseriusan penanganan dan solusi konflik menjadi kebutuhan mendesak dilakukan oleh aparat keamanan. Atas peristiwa konflik Brimob dengan Kostrad (kejadian serupa jugaa terjadi pada tahun 2002 silam) itu, dan berdasarkan hasil pertemuan antara Panglima Kostrad dengan Kapolda Gorontalo telah dibentuk tim gabungan untuk mencari akar permasalahan konflik dua institusi Negara itu. Tentu, tindakan cepat dua panglima itu menunjukkan bahwa konflik tersebut telah mencoreng nama baik institusi Negara. Masyarakat berharap, siapapun dan apapun yang mendasari terjadi konflik itu hendaknya ada sanksi yang tegas bagi para actor atau oknum di dua kesatuan itu, apalagi sampai menimbulkan korban luka dan luka tembak.
Apapun hasil investigasi dari Tim Gabungan yang dibentuk oleh Panglima TNI dan Kepolisian, yang penting bagi kami (masyarakat awam) adalah ada sanksi yang tegas dari Pimpinan kepada para anggota yang melanggar aturan tetap. Kepada anggota Brimob yang terlalu cepat mengokang senjata lalu memuntahkannya (walau hanya peluru karet) menembus bahu para prajurit Kostrad merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan terlalu berlebihan.Solusi yang tepat untuk tidak terulangnya kasus serupa dengan memberikan sanksi, jika tidak, maka bukan tidak mungkin kejadian serupa terulang kembali bahkan mungkin dalam skala yang lebih besar.Siapapun yang bersalah, tindak tegas dan tidak perlu dilindungi kalau ingin penyelesaian konflik itu selesai.
Potensi Kekerasan dan Kegilaan
Tampaknya, tatanan moral bangsa tengah diuji oleh berbagai gelombang peristiwa kejahatan, kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran, dan penjarahan yang seakan-akan terus berproses tiada akhir.Drama kekerasan yang datang silih berganti tersebut membuat banyak orang curiga bahwa bangsa Indonesia sedang sakit jiwa. Kecurigaan itu semakin menguat ketika kekerasan di balas dengan kekerasan tanpa ada penyelesaian dan tanpa membangkitkan kesadaran moral apa pun. Pelenyapan nyawa manusia dan harta benda terus saja berlangsung tanpa ada sesuatu yang dapat menghentikannya. Ada ketidakberdayaan aparat Negara, kata Yasraf A. Piliang (2005), kemandulan hukum, dan apatisme masyarakat di hadapan eufhoria kekerasan yang seakan tanpa kendali.
Kegelisahan semakin menyeruak ke dalam lubuk hati masyarakat Indonesia. Kekerasan demi kekerasan datang silih berganti, baik yang dilakukan masyarakat sipil maupun aparat keamanan. Tidak adakah suatu  public sphere atau ruang publik yang bisa dimanfaatkan masyarakat agar terbebas dari rasa kegelisahan dan ketakutan akibat dari kekerasan yang semakin mengerikan dan menggelisahkan ini. Masyarakat membutuhkan suatu situasi kedamaian, kenyamanan dan kemakmuran yang diberikan Negara sebagai pemegang otoritas, sebagaimana teori kontrak social mensyaratkannya.Negara harus menjaminnya, agar Negara tidak dianggap telah gagal memberikan rasa aman kepada warga negaranya.
Berbagai definisi kekerasan telah diberikan para ahli ilmu sosial.Dougle dan Waksler mendeskripsikan kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan oleh actor atau kelompok actor yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan (Santoso, 2002:9). James Giligan memaparkan kekerasan  sebagai tragedy. Sementara Robert Gurr mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan actor atau kelompok actor yang menentang rezim yang berkuasa dan dalam hal ini kekerasan dikaitkan dengan deprivasi relative. Kekerasan akan berhasil apabila actor mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi politik, kata Charles Tilly (Santoso, 2002:89).
Sedang Johan Galtung (1975) lebih melihat kekerasan sebagai tindakan yang bertautan dengan struktur.Karena itu kekerasan bagi Galtung merupakan segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.Kekerasan structural yang dikemukakan Galtung menunjukkan bentuk kekerasan tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas tertentu.Dengan demikian, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh actor atau kelompok actor semata, tetapi juga oleh struktur seperti aparatur Negara.
Dalam kaitan itu, kiranya menarik apa yang dikemukakan Wolfgang Borchert sebagaimana dikutip Douglas dan Waksler (2002:10), diuraikan sebagai berikut:
Ketika perang usai, seorang tentara pun pulang
Tetapi ia tidak punya makanan.
Lalu ia melihat orang yang memilikinya.
Ia membunuh orang itu.
Kamu tidak boleh membunuh orang, kata sang hakim.
Mengapa tidak, Tanya si tentara.
Tentu, apa yang disampaikan oleh Wolfgang bukan cerita yang terjadi dalam konteks Keindonesiaan, tetapi sebuah ilustrasi semakin meluas bentuk kekerasan illegal di Amerika Serikat selama beberapa decade terakhir.Perubahan paling drastic adalah semakin besarnya tingkat ketidaksetujuan social terhadap kekerasan, terutama dalam bentuk illegal dan semakin besarnya reaksi social represif terhadap kekerasan.
Kekerasan dengan demikian, mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali saling bertentangan.Perbedaan antara kekerasan legal dengan kekerasan illegal dapat menjadi contoh betapa keduanya memang berbeda.Yang paling banyak mendapatkan stigma adalah segala bentuk kekerasan illegal. Sementara sangat sedikit sekali pembahasan tentang kekerasan yang menyangkut perang, aksi militer, dan aktivitas lain yang dilakukan petugas publikresmi, seperti polisi dan tentara.
Ada tiga asumsi dalam psikologi tentang sumber genetic agresi manusia.Pertama. Bahwa agresi merupakan respons innate  yang didorong oleh frustasi. Asumsi ini tersirat di sebagian besar pendekatan teoritis terhadap pertikaian dalam masyarakat yang tidak memiliki landasan motivasional yang eksplisit.Teori instink tentang agresi di tulis oleh Freud tentang dorongan bagi tindakan destruktif terhadap instink yang mati dan tulisan Lorenz tentang agresi sebagai instink yang meningkatkan ketahanan hidup.Semua manusia diasumsikan pada dirinya memiliki sumber dorongan agresif yang sifatnya otonomi, suatu dorongan untuk melakukan agresi.
Kedua. Perilaku agresif diperoleh karena proses belajar dan digunakan secara strategis untuk tujuan tertentu, misalnya agresi dilakukan oleh anak dan remaja untuk mendapatkan perhatian, dan agresi untuk mengungkapkan dominasi, agresi kelompok dalam persaingan nilai. Sebagaimana, juga Johnson memberikan contoh tentang kekerasan sipil sebagai tujuan perilaku. Perilaku tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengganggu perilaku orang lain sehingga mengakibatkan suatu kematian system sosial yang dibenci. Kekerasan politik yang dikaitkan dengan interaksi social dalam kerangka teoritis juga dibicarakan Parsons (Ritzer, 1975) dalam kaitannya dengan kekerasan. Kekerasan oleh Parson dianggap sebagai usaha untuk memaksa sebagai cara bertindak yang dipilih pelaku sebagai upaya pencegahan, memberi hukuman atau demonstrasi simbolis kapasitas melakukan tindakan.
Ketiga.Agresi terjadi sebagai respons terhadap frustasi.Frustassi merupakan gangguan dengan perilaku yang diarahkan oleh tujuan.Agresi adalah perilaku seseorang yang dirancang untuk melukai secara fisik atau lainnya.Secara biologis, frustasi merupakan bagian dari ciri biologis manusia dan secara inherenada kecendrungan untuk menyerang agen yang menyebabkan frustasi (kecendrungan tersebut berlaku juga pada hewan).
Dari ketiga asumsi tentang agresi atau kekerasan sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa agresi dengan tujuan untuk melukai merupakan respons manusia atau lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan diri atau kelompoknya. Oleh karena itu, konflik dan semua bentuk kekerasan yang terjadi sebagai akibat dan respons karena gangguan dari orang atau kelompok lain. Munculnya kasus-kasus kekerasan gang Motor dan konflik Brimob dengan Kostrad di Gorontalo, lebih disebabkan karena faktor-faktor psikologis dan dalam kerangka mempertahankan gengsi kesatuan atau kelompoknya.
Kalau demikian, lalu  apakah kekerasan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang alamiah atau tidak? Bagi Hobbes (1588-1679) kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia (state of nature) dan hanya suatu pemerintahan Negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memilik kekuatan (leviatan) yang dapat mengatasi keadaan ini.Pendapat Hobbes tersebut didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irrasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas dan pendek fikir. Inilah gambaran manusia sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (belum omnium contra omnes).
Sebaliknya Rousseau (1712-1778) beranggapan bahwa manusia dalam keadaan alamiahnya sebagai ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan, tidak egois dan tidak altruis. Hanya, kata Rousseau, rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang, seperti kekerasan yang dilakukan geng Motor, konflik Brimob dengan Kostrad, penikaman terhadap siswa SMP, dan bahkan sampai membunuh anaknya sendiri. Jadi, kemajuan dan peradabanlah yang membuat manusia melakukan tindakan kekerasan.
Baik pendapat Hobbes maupun Rousseau tampak saling melengkapi dengan tiga asumsi psikologis tersebut di atas. Dengan demikian faktor-faktor genetis manusia, potensi, proses belajar, kemajuan peradaban dan respons manusia sebagai penyebab segala bentuk tindakan kekerasan dan sudah mewarnai hidup manusia hingga saat ini.
Berbeda dengan Rousseau dan Hobbes, Erich Fromm di dalam bukunya The Anatomy of Human Destruction, menyatakan bahwa kekerasan dan agresivitas bukanlah merupakan satu sifat yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari sebuah sindrom. Artinya bahwa kekerasan dan agresivitas dapat ditemukan bersamaan dengan sifat-sifat lain dalam suatu system, seperti hirarki yang kaku, terlalu kuatnya dominasi, terbaginya masyarakat ke dalam kelas-kelas, kekuasaan yang hegemonic, dan sebagainya. Agresi dan kekerasan, dengan demikian dapat dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat, sehingga sesuai dengan teori konstruksi sosial dari Berger & Luckmann (1997), bahwa masyarakat kita tercetak oleh karakter sosial yang keras ini.
Dengan demikian, kecurigaan bangsa Indonesia sedang sakit jiwa tersebut dapat dipahami dan menemukan ruangnya, ketika sakit jiwa didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang terbawa hanyut oleh hasrat, emosi dan amarahnya (Filiang, 2005).Menyebarnya berbagai peristiwa agresi dan kekerasan akhir-akhir ini merupakan suatu manifestasi dari telah melembaganya kegilaan tersebut di dalam masyarakat kita.
Konsruksi Budaya Kekerasan
Ada satu pertanyaan mendasar Galtung ketika mengulas kekerasan dari dimensi budaya, mengapa orang membunuh? Jawabannya karena mereka di besarkan dengan cara dan di lingkungan itu. Boleh jadi orang itu tidak secara langsung membunuh tetapi melihat pembunuhan sebagai tindakan sah dalam kondisi-kondisi tertentu.Itu membawa kita kepada kebudayaan, pelegitimasi besar kekerasan, tapi juga pelegitimasi perdamaian.
Kekerasan budaya (cultural violence) lahir dari sumber tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan (Jeong, 2003: 21).Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas, agama dan ideology.Misalnya, satu etnis membenci etnis yang lain karena stereotyping tertentu dikonstruksikan secara social oleh etnis itu sendiri (masih ingatkah konflik etnis antara Dayak dan Madura di Kalimantan Barat tahun 1999 silam).
Kekerasan budaya ini sering hadir dalam banyak relasi social masyarakat (Susan, 2009: 116).Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM seringkali dicap kotor dengan ungkapan-ungkapan yang jelek.bahkan diantara etnis-etnis ada kecendrungan setiap etnis memandang negative terhadap etnis sebangsanya. Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus, orang Ambon keras kepala, orang Bima tidak tahu malu, orang Sasak sering dikibuli, dan berbagai pandangan lainnya yang sebenarnya merupakan bentuk kekerasan budaya. Pandangan ini berakibat bisa menciptakan tindakan diskriminatif  dan segregasi social.
Lalu masalahnya, apakah kekerasan budaya bisa menciptakan kekerasan structural dan kekerasan langsung? Robert F Litke dalam tulisan Violence and Power (1992) sebagaimana di kutip oleh Novri Susan membuat skema definisi kekerasan pada demensi fisik-psikologis dan personal-institusional.Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti pemerkosaan ala geng Motor dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi psikologis kekerasan personal muncul dalam bentuk paternalisme, ancaman personal dan pembunuhan karakter. Kekerasan institusional (terlembagakan) yang muncul dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme dan perang, sedangkan secara psikologis muncul dalam bentuk perbudakan dan rasisme.
Tampak bahwa kekerasan budaya bisa disebut sebagai motor dari kekerasan structural dan langsung, karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan itu (Susan, 2009: 114). Atas nama menegakkan keadilan, masyarakat kita seringkali terjebak ke dalam tindakan kekerasan structural dan langsung. Masih jelas dalam ingatan kita bahwa ada suatu gerakan yang disebut “anti santet”, seperti di daerah Donorojo, Demak Jawa Tengah, dimana sekelompok massa melakukan aksi kekerasan terhadap seorang Kiai yang dianggap suka menyantet orang-orang yang pernah bertengkar dengannya. Kekerasan kelompok anti santet tersebut menjadi bukti kekerasan langsung yang dilakukan oleh masyarakat.
Posisi menjadi hakim jalanan menjadi pertanda bahwa hukum tidak berfungsi maksimal dalam masyarakat. Bagaimana bisa, seorang kiai dihakimi massa gara-gara prasangka yang belum tentu kebenarannya. Tindakan main hakim sendiri dapat dicegah apabila hukum dijalankan secara maksimal dan berkeadilan.Pembiaran terhadap tindakan main hakim sendiri, secara tidak langsung menjadi celah membudayanya kekerasan di tengah masyarakat.
Apa yang dilakukan masyarakat, tidak lebih dari tindakan spontanitas untuk menyelesaikan persoalan secara cepat dan tuntas. Tindakan kekerasan spontan masyarakat itu, dapat juga dibaca sebagai bentuk otokritik masyarakat  terhadap pemerintah yang terkesan lamban dan tebang pilih dalam menangani pelbagai permasalahan.Namun, kemungkinan lainnya, tindakan kekerasan dapat juga dipicu dan diciptakan oleh kekuatan-kekuatan horor berdasarkan satu skenario tertentu.
Dalam kaitan itu, Erich Fromm (1917) menyebutkan dua jenis agresivitas di dalam masyarakat. Pertama, tindakan agresi defensive (benign aggression), yaitu tindakan kekerasan untuk mempertahankan diri (misalnya, para santri di Sitobondo yang mempertahankan diri dari serangan Ninja). Kedua, agresi  jahat  (malignant aggression), yaitu kejahatan demi kejahatan itu sendiri (misalnya pembakaran kantor polisi, pembakaran rumah ibadah dan pesantren Syi’ah, serta pengusiran terhadap penganut Ahmadiyah dari kampungnya sendiri).
Tindakan kejahatan dan kekerasan, kata Fromm, akan sangat dipengaruhi oleh karakter sosial suatu bangsa. Pelajaran yang dapat ditarik dari Fromm, sebagaimana dikutip oleh Yasraf A. Filiang, bahwa tingkat kemajuan dan kemoderenan suatu bangsa tidak berbanding terbalik dengan tingkat kejahatan di dalam masyarakat tersebut.Artinya semakin modern suatu bangsa tidak berarti semakin berkurang tindak kejahatan.Yang justru terjadi adalah sebaliknya, kata Filiang. Di Negara-negara yang tingkat  kemakmurannya tinggi, yang demokrasinya lebih stabil, yang distribusi kekayaan lebih merata, justru di sana lebih banyak berkembang sindrom sakit jiwa dan kejahatan sadis.
Mendamaikan Kekerasan
Dalam upaya mengantisipasi perkembangan tindak kejahatan dan kekerasan massa di masa mendatang, kiranya  perlu diupayakan pendekatan holistic terhadap budaya kekerasan. Sebuah peristiwa kekerasan harus dilihat dalam bingkai kekerasan yang lebih luas, seperti kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan kultural, kekerasan symbol, kekerasan media, dan sebagainya. Sebuah pemikiran bersama tentang system ekonomi, politik dan kultural masa depan yang di dalamnya peluang-peluang kekerasan dapat diminimalisir harus dibuat. System ekonomi kekerasan dan politik kekerasan tidak bisa lagi dipertahankan, sebab kalau tidak, niscaya kekerasan akan semakin merajalela seperti sekarang ini. Jangan-jangan, adu kekuatan antara Brimob dengan Kostrad sebagai akibat saja dari system ekonomi kekerasan yang sengaja dipertahankan.
Apapun alasannya, bentrok antara Brimob dengan Kostrad di Gorontalo tidak dapat dibenarkan (bahkan menurut logika orang awam sekalipun). Masyarakat berharap, siapapun yang terlibat harus di tindak dan di hukum sesuai hukum yang berlaku. Yang salah tetap di hukum dan yang benar harus dibina di kesatuannya agar tidak terulang kembali kasus serupa. Bukankah, bentrokan antar kesatuan di Negara ini bukan kali pertama, tetapi seringkali terjadi sebelumnya (seperti bentrokan yang terjadi di Maluku). 
Guna memperkuat upaya meminimalisir tindakan kekerasan, bentrokan dan kejahatan itu, kiranya peran lembaga-lembaga moral, kultural, dan spiritual harus diperkuat dalam menghadapi tumbuh berkembangnya tindak kejahatan berskala global (multinational crimes). Peran tokoh-tokoh karismatik, pimpinan antar kesatuan, agama, dan tokoh masyarakat (termasuk tokoh politik) dalam menuntun masyarakat tampaknya masih diperlukan di dalam kondisi psikis dan sosial bangsa yang sedang rapuh.
Masyarakat Indonesia sebenarnya mengenal istilah damai yang sering diartikan sebagai harmoni, ketenangan dan ketentraman. Namun yang pasti bahwa setiap daerah memiliki istilah yang berbeda tentang perdamaian, artinya perdamaian dan maknanya secara social merupakan hasil kosntruksi masyarakat, tetapi bermakna sama. Istilah “bedame” dikenal dalam masyarakat Sasak di Lombok, di Jawa mengenal istilah kerukunan (harmoni), Kalimantan Barat dengan basaru sumangat, orang Maluku mengenal dengan pela. Kesemuanya bermakna damai.
Konflik dan perdamaian menjadi kesatuan berpasangan dalam setiap masyarakat. Damai, kerukunan, dan bedame (istilah Sasak di Lombok) eksistensinya menjadi tiada kalau tiadanya konflik. Perspektif historis masyarakat suku Sasak, misalnya selalu berada dalam konflik sepanjang waktu, ketika berhadapan dengan suku Bali yang menjajahnya.Serangan demi serangan dilancarkan oleh kedatuan Sasak untuk mengurangi dominasi Anak Agung dari kerajaan Karangasem Bali, tetapi selalu gagal. Kegagalan demi kegagalan yang dialami kedatuan Sasak lebih disebabkan oleh minimnya kesadaran akan kebersamaan untuk mengusir Anak Agung dari bumi Sasak kala itu. Akibatnya, antara satu kedatuan Sasak dengan kedatuan yang lainnya saling curiga dan saling menikam dari belakang. Itulah salah satu kelemahan orang Sasak dan akhirnya dipakai oleh Anak Agung untuk mengalahkan orang Sasak.
Mendamaikan kekerasan, bentrokan dan kejahatan dengan memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang dikenal di setiap daerah, seharusnya dapat dimanfaatkan. Begitu juga dengan lembaga-lembaga agama dan adat diberdayagunakan untuk meredam segala bentuk agitasi, kekerasan, bentrokan dan kejahatan dalam masyarakat. Para pemimpin kharismatik, tokoh agama, tokoh adat dan pemimpin lainnya perlu menjalin kerjasama (silaturrahiem) secara berkala dan berkesinambungan untuk meminimalisir segala bentuk perbedaan diantara mereka. Salah persepsi seringkali menjadi pemicu tindak kekerasan dan kejahatan yang terjadi selama ini. Semoga saja kekerasan dan kejahatan  tidak disebabkan oleh kegilaan untuk menguasai sumber-sumber daya tertentu. Wallahul Musta’an ila Darissalam.

*********

0 komentar: