Pengantar
Ada
kecurigaan bahwa bangsa Indonesia sedang sakit jiwa yang banyak dilontarkan akhir-akhir ini. Silih
bergantinya tindakan kekerasan dan kejahatan massal di dalam masyarakat sebagai
pertanda pembenaran terhadap kecurigaan itu. Lihat saja, belum usai penyelesaian kasus kekerasan yang dilakukan
kelompok geng Motor, perampokan dengan
menggunakan senjata api dan penusukan terhadap beberapa siswa SMP di Jakarta,
kini polisi sudah dihadapkan dengan konflik antara Brimob dengan Kostrad di
Gorontalo. Siapapun kita, akan menyayangkan terjadinya peristiwa antara Brimob
dengan Kostrad tersebut. Memang tidak sepatutnya atau tidak etis kedua kelompok
tersebut yang notabene dibiayai hidupnya dari Negara malah sibuk berkonflik
mengadu otot dan kesatuannya.Bukankah keduanya abdi Negara yang seharusnya
memberi rasa nyaman bagi rakyat?
Ngeri,
kata Mustafa Nahrawardaya dari Crime Analyst Forum, akibat yang akan ditimbulkan jika konflik
antara Brimob dengan Kostrad di Gorontalo itu tidak segera tertangani. Konflik
atau tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil, mungkin tidak separah
akibat yang ditimbulkan oleh konflik antara kedua institusi Negara itu jika
dibiarkan berlanjut.Kenapa, karena keduanya mempunyai kuasa untuk mengokang dan
memuntahkan senjata kepada musuh-musuhnya. Juga, ego kesatuan dapat segera
menyebar ke berbagai daerah, bagaikan api yang membakar kayu dan melalap daerah
sekitarnya. Sehingga, ngeri kata pertama yang keluar dari mulut Mustafa dari
FCA menjadi rasional pada dialog di TvOne, tanggal 23 April 2012.
Menanggapi
konflik antara dua kesatuan itu, tentu tidak boleh dianggap sepele sebab keduanya
menyangkut symbol keamanan dan kekuatan Negara. Kalau kedua symbol Negara
tersebut terus dalam ketegangan seperti itu berarti ada indikasi bahwa
kekerasan psikologis dipelihara dengan baik, tinggal menunggu ledakan dan
memang tengah terjadi degradasi nilai kepemimpinan yang melanda para pemimpin
Negara. Seandainya indikasi itu benar, maka Negara kita berada dalam kondisi
chaos hanya belum menemukan bentuk.Tetapi mudah-mudahan semuanya tidak benar,
lalu mencarikan solusi yang tepat terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang
melanda Negara ini (termasuk konflik Brimob dengan Kostrad).
Keseriusan
penanganan dan solusi konflik menjadi kebutuhan mendesak dilakukan oleh aparat
keamanan. Atas peristiwa konflik Brimob dengan Kostrad (kejadian serupa jugaa
terjadi pada tahun 2002 silam) itu, dan berdasarkan hasil pertemuan antara
Panglima Kostrad dengan Kapolda Gorontalo telah dibentuk tim gabungan untuk
mencari akar permasalahan konflik dua institusi Negara itu. Tentu, tindakan
cepat dua panglima itu menunjukkan bahwa konflik tersebut telah mencoreng nama
baik institusi Negara. Masyarakat berharap, siapapun dan apapun yang mendasari
terjadi konflik itu hendaknya ada sanksi yang tegas bagi para actor atau oknum
di dua kesatuan itu, apalagi sampai menimbulkan korban luka dan luka tembak.
Apapun
hasil investigasi dari Tim Gabungan yang dibentuk oleh Panglima TNI dan
Kepolisian, yang penting bagi kami (masyarakat awam) adalah ada sanksi yang
tegas dari Pimpinan kepada para anggota yang melanggar aturan tetap. Kepada
anggota Brimob yang terlalu cepat mengokang senjata lalu memuntahkannya (walau
hanya peluru karet) menembus bahu para prajurit Kostrad merupakan tindakan yang
tidak dibenarkan dan terlalu berlebihan.Solusi yang tepat untuk tidak
terulangnya kasus serupa dengan memberikan sanksi, jika tidak, maka bukan tidak
mungkin kejadian serupa terulang kembali bahkan mungkin dalam skala yang lebih
besar.Siapapun yang bersalah, tindak tegas dan tidak perlu dilindungi kalau
ingin penyelesaian konflik itu selesai.
Potensi Kekerasan dan Kegilaan
Tampaknya,
tatanan moral bangsa tengah diuji oleh berbagai gelombang peristiwa kejahatan,
kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran, dan penjarahan yang seakan-akan
terus berproses tiada akhir.Drama kekerasan yang datang silih berganti tersebut
membuat banyak orang curiga bahwa bangsa Indonesia sedang sakit jiwa.
Kecurigaan itu semakin menguat ketika kekerasan di balas dengan kekerasan tanpa
ada penyelesaian dan tanpa membangkitkan kesadaran moral apa pun. Pelenyapan
nyawa manusia dan harta benda terus saja berlangsung tanpa ada sesuatu yang
dapat menghentikannya. Ada ketidakberdayaan aparat Negara, kata Yasraf A.
Piliang (2005), kemandulan hukum, dan apatisme masyarakat di hadapan eufhoria kekerasan yang seakan tanpa
kendali.
Kegelisahan
semakin menyeruak ke dalam lubuk hati masyarakat Indonesia. Kekerasan demi
kekerasan datang silih berganti, baik yang dilakukan masyarakat sipil maupun
aparat keamanan. Tidak adakah suatu public sphere atau ruang publik yang
bisa dimanfaatkan masyarakat agar terbebas dari rasa kegelisahan dan ketakutan
akibat dari kekerasan yang semakin mengerikan dan menggelisahkan ini.
Masyarakat membutuhkan suatu situasi kedamaian, kenyamanan dan kemakmuran yang
diberikan Negara sebagai pemegang otoritas, sebagaimana teori kontrak social
mensyaratkannya.Negara harus menjaminnya, agar Negara tidak dianggap telah
gagal memberikan rasa aman kepada warga negaranya.
Berbagai
definisi kekerasan telah diberikan para ahli ilmu sosial.Dougle dan Waksler
mendeskripsikan kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan oleh actor atau
kelompok actor yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan (Santoso, 2002:9).
James Giligan memaparkan kekerasan
sebagai tragedy. Sementara Robert Gurr mendefinisikan kekerasan sebagai
tindakan actor atau kelompok actor yang menentang rezim yang berkuasa dan dalam
hal ini kekerasan dikaitkan dengan deprivasi relative. Kekerasan akan berhasil
apabila actor mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi politik, kata
Charles Tilly (Santoso, 2002:89).
Sedang
Johan Galtung (1975) lebih melihat kekerasan sebagai tindakan yang bertautan
dengan struktur.Karena itu kekerasan bagi Galtung merupakan segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara
wajar.Kekerasan structural yang dikemukakan Galtung menunjukkan bentuk
kekerasan tidak langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas
tertentu.Dengan demikian, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh actor atau
kelompok actor semata, tetapi juga oleh struktur seperti aparatur Negara.
Dalam
kaitan itu, kiranya menarik apa yang dikemukakan Wolfgang Borchert sebagaimana
dikutip Douglas dan Waksler (2002:10), diuraikan sebagai berikut:
Ketika perang
usai, seorang tentara pun pulang
Tetapi ia tidak
punya makanan.
Lalu ia melihat
orang yang memilikinya.
Ia membunuh
orang itu.
Kamu tidak boleh
membunuh orang, kata sang hakim.
Mengapa tidak, Tanya si tentara.
Tentu,
apa yang disampaikan oleh Wolfgang bukan cerita yang terjadi dalam konteks
Keindonesiaan, tetapi sebuah ilustrasi semakin meluas bentuk kekerasan illegal
di Amerika Serikat selama beberapa decade terakhir.Perubahan paling drastic
adalah semakin besarnya tingkat ketidaksetujuan social terhadap kekerasan,
terutama dalam bentuk illegal dan semakin besarnya reaksi social represif
terhadap kekerasan.
Kekerasan
dengan demikian, mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan
reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali saling
bertentangan.Perbedaan antara kekerasan legal dengan kekerasan illegal dapat
menjadi contoh betapa keduanya memang berbeda.Yang paling banyak mendapatkan
stigma adalah segala bentuk kekerasan illegal. Sementara sangat sedikit sekali
pembahasan tentang kekerasan yang menyangkut perang, aksi militer, dan
aktivitas lain yang dilakukan petugas publikresmi, seperti polisi dan tentara.
Ada
tiga asumsi dalam psikologi tentang sumber genetic agresi manusia.Pertama. Bahwa agresi merupakan respons innate
yang didorong oleh frustasi. Asumsi ini tersirat di sebagian besar
pendekatan teoritis terhadap pertikaian dalam masyarakat yang tidak memiliki
landasan motivasional yang eksplisit.Teori instink tentang agresi di tulis oleh
Freud tentang dorongan bagi tindakan destruktif terhadap instink yang mati dan
tulisan Lorenz tentang agresi sebagai instink yang meningkatkan ketahanan
hidup.Semua manusia diasumsikan pada dirinya memiliki sumber dorongan agresif
yang sifatnya otonomi, suatu dorongan untuk melakukan agresi.
Kedua. Perilaku agresif diperoleh
karena proses belajar dan digunakan secara strategis untuk tujuan tertentu,
misalnya agresi dilakukan oleh anak dan remaja untuk mendapatkan perhatian, dan
agresi untuk mengungkapkan dominasi, agresi kelompok dalam persaingan nilai.
Sebagaimana, juga Johnson memberikan contoh tentang kekerasan sipil sebagai
tujuan perilaku. Perilaku tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengganggu
perilaku orang lain sehingga mengakibatkan suatu kematian system sosial yang
dibenci. Kekerasan politik yang dikaitkan dengan interaksi social dalam
kerangka teoritis juga dibicarakan Parsons (Ritzer, 1975) dalam kaitannya
dengan kekerasan. Kekerasan oleh Parson dianggap sebagai usaha untuk memaksa
sebagai cara bertindak yang dipilih pelaku sebagai upaya pencegahan, memberi
hukuman atau demonstrasi simbolis kapasitas melakukan tindakan.
Ketiga.Agresi terjadi sebagai respons
terhadap frustasi.Frustassi merupakan gangguan dengan perilaku yang diarahkan
oleh tujuan.Agresi adalah perilaku seseorang yang dirancang untuk melukai
secara fisik atau lainnya.Secara biologis, frustasi merupakan bagian dari ciri
biologis manusia dan secara inherenada kecendrungan untuk menyerang agen yang
menyebabkan frustasi (kecendrungan tersebut berlaku juga pada hewan).
Dari
ketiga asumsi tentang agresi atau kekerasan sebagaimana diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa agresi dengan tujuan untuk melukai merupakan respons manusia
atau lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan diri atau kelompoknya. Oleh
karena itu, konflik dan semua bentuk kekerasan yang terjadi sebagai akibat dan
respons karena gangguan dari orang atau kelompok lain. Munculnya kasus-kasus
kekerasan gang Motor dan konflik Brimob dengan Kostrad di Gorontalo, lebih
disebabkan karena faktor-faktor psikologis dan dalam kerangka mempertahankan
gengsi kesatuan atau kelompoknya.
Kalau
demikian, lalu apakah kekerasan pada
dirinya sendiri merupakan sesuatu yang alamiah atau tidak? Bagi Hobbes
(1588-1679) kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia (state of nature) dan hanya suatu pemerintahan Negara yang
menggunakan kekerasan terpusat dan memilik kekuatan (leviatan) yang dapat mengatasi keadaan ini.Pendapat Hobbes tersebut
didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh
dorongan-dorongan irrasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling
mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas dan pendek fikir.
Inilah gambaran manusia sebagai homo
homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang
semua lawan semua (belum omnium contra
omnes).
Sebaliknya
Rousseau (1712-1778) beranggapan bahwa manusia dalam keadaan alamiahnya sebagai
ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan, tidak egois dan tidak
altruis. Hanya, kata Rousseau, rantai peradabanlah yang telah membentuk manusia
menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang, seperti kekerasan yang
dilakukan geng Motor, konflik Brimob dengan Kostrad, penikaman terhadap siswa
SMP, dan bahkan sampai membunuh anaknya sendiri. Jadi, kemajuan dan
peradabanlah yang membuat manusia melakukan tindakan kekerasan.
Baik
pendapat Hobbes maupun Rousseau tampak saling melengkapi dengan tiga asumsi
psikologis tersebut di atas. Dengan demikian faktor-faktor genetis manusia,
potensi, proses belajar, kemajuan peradaban dan respons manusia sebagai
penyebab segala bentuk tindakan kekerasan dan sudah mewarnai hidup manusia
hingga saat ini.
Berbeda
dengan Rousseau dan Hobbes, Erich Fromm di dalam bukunya The Anatomy of Human Destruction, menyatakan bahwa kekerasan dan
agresivitas bukanlah merupakan satu sifat yang berdiri sendiri, akan tetapi
merupakan bagian dari sebuah sindrom. Artinya bahwa kekerasan dan agresivitas
dapat ditemukan bersamaan dengan sifat-sifat lain dalam suatu system, seperti
hirarki yang kaku, terlalu kuatnya dominasi, terbaginya masyarakat ke dalam
kelas-kelas, kekuasaan yang hegemonic, dan sebagainya. Agresi dan kekerasan,
dengan demikian dapat dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang
dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat,
sehingga sesuai dengan teori konstruksi sosial dari Berger & Luckmann
(1997), bahwa masyarakat kita tercetak oleh karakter sosial yang keras ini.
Dengan
demikian, kecurigaan bangsa Indonesia sedang sakit jiwa tersebut dapat dipahami
dan menemukan ruangnya, ketika sakit jiwa didefinisikan sebagai kondisi
seseorang yang terbawa hanyut oleh hasrat, emosi dan amarahnya (Filiang,
2005).Menyebarnya berbagai peristiwa agresi dan kekerasan akhir-akhir ini
merupakan suatu manifestasi dari telah melembaganya kegilaan tersebut di dalam
masyarakat kita.
Konsruksi Budaya Kekerasan
Ada
satu pertanyaan mendasar Galtung ketika mengulas kekerasan dari dimensi budaya,
mengapa orang membunuh? Jawabannya karena mereka di besarkan dengan cara dan di
lingkungan itu. Boleh jadi orang itu tidak secara langsung membunuh tetapi
melihat pembunuhan sebagai tindakan sah dalam kondisi-kondisi tertentu.Itu
membawa kita kepada kebudayaan, pelegitimasi besar kekerasan, tapi juga
pelegitimasi perdamaian.
Kekerasan
budaya (cultural violence) lahir dari
sumber tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian, ketakutan dan kecurigaan
(Jeong, 2003: 21).Sumber kekerasan budaya ini bisa berangkat dari etnisitas,
agama dan ideology.Misalnya, satu etnis membenci etnis yang lain karena stereotyping tertentu dikonstruksikan
secara social oleh etnis itu sendiri (masih ingatkah konflik etnis antara Dayak
dan Madura di Kalimantan Barat tahun 1999 silam).
Kekerasan
budaya ini sering hadir dalam banyak relasi social masyarakat (Susan, 2009:
116).Pada masyarakat Ambon misalnya, bagaimana etnis BBM seringkali dicap kotor
dengan ungkapan-ungkapan yang jelek.bahkan diantara etnis-etnis ada
kecendrungan setiap etnis memandang negative terhadap etnis sebangsanya.
Seperti orang Jawa munafik, orang Batak tidak tahu aturan, orang Padang rakus,
orang Ambon keras kepala, orang Bima tidak tahu malu, orang Sasak sering
dikibuli, dan berbagai pandangan lainnya yang sebenarnya merupakan bentuk
kekerasan budaya. Pandangan ini berakibat bisa menciptakan tindakan
diskriminatif dan segregasi social.
Lalu
masalahnya, apakah kekerasan budaya bisa menciptakan kekerasan structural dan
kekerasan langsung? Robert F Litke dalam tulisan Violence and Power (1992) sebagaimana di kutip oleh Novri Susan
membuat skema definisi kekerasan pada demensi fisik-psikologis dan
personal-institusional.Kekerasan yang dilakukan secara personal bisa berwujud
dalam dimensi fisik dan psikologis. Kekerasan personal seperti pemerkosaan ala
geng Motor dan pembunuhan merupakan aksi fisik, sedangkan pada dimensi
psikologis kekerasan personal muncul dalam bentuk paternalisme, ancaman personal
dan pembunuhan karakter. Kekerasan institusional (terlembagakan) yang muncul
dalam bentuk aksi fisik bisa berupa kerusuhan, terorisme dan perang, sedangkan
secara psikologis muncul dalam bentuk perbudakan dan rasisme.
Tampak
bahwa kekerasan budaya bisa disebut sebagai motor dari kekerasan structural dan
langsung, karena sifat budaya bisa muncul pada dua tipe kekerasan itu (Susan,
2009: 114). Atas nama menegakkan keadilan, masyarakat kita seringkali terjebak
ke dalam tindakan kekerasan structural dan langsung. Masih jelas dalam ingatan
kita bahwa ada suatu gerakan yang disebut “anti santet”, seperti di daerah
Donorojo, Demak Jawa Tengah, dimana sekelompok massa melakukan aksi kekerasan
terhadap seorang Kiai yang dianggap suka menyantet orang-orang yang pernah
bertengkar dengannya. Kekerasan kelompok anti santet tersebut menjadi bukti
kekerasan langsung yang dilakukan oleh masyarakat.
Posisi
menjadi hakim jalanan menjadi pertanda bahwa hukum tidak berfungsi maksimal
dalam masyarakat. Bagaimana bisa, seorang kiai dihakimi massa gara-gara
prasangka yang belum tentu kebenarannya. Tindakan main hakim sendiri dapat
dicegah apabila hukum dijalankan secara maksimal dan berkeadilan.Pembiaran
terhadap tindakan main hakim sendiri, secara tidak langsung menjadi celah
membudayanya kekerasan di tengah masyarakat.
Apa
yang dilakukan masyarakat, tidak lebih dari tindakan spontanitas untuk
menyelesaikan persoalan secara cepat dan tuntas. Tindakan kekerasan spontan
masyarakat itu, dapat juga dibaca sebagai bentuk otokritik masyarakat terhadap pemerintah yang terkesan lamban dan
tebang pilih dalam menangani pelbagai permasalahan.Namun, kemungkinan lainnya,
tindakan kekerasan dapat juga dipicu dan diciptakan oleh kekuatan-kekuatan
horor berdasarkan satu skenario tertentu.
Dalam
kaitan itu, Erich Fromm (1917) menyebutkan dua jenis agresivitas di dalam
masyarakat. Pertama, tindakan agresi
defensive (benign aggression), yaitu
tindakan kekerasan untuk mempertahankan diri (misalnya, para santri di
Sitobondo yang mempertahankan diri dari serangan Ninja). Kedua, agresi jahat (malignant
aggression), yaitu kejahatan demi kejahatan itu sendiri (misalnya
pembakaran kantor polisi, pembakaran rumah ibadah dan pesantren Syi’ah, serta
pengusiran terhadap penganut Ahmadiyah dari kampungnya sendiri).
Tindakan
kejahatan dan kekerasan, kata Fromm, akan sangat dipengaruhi oleh karakter sosial
suatu bangsa. Pelajaran yang dapat ditarik dari Fromm, sebagaimana dikutip oleh
Yasraf A. Filiang, bahwa tingkat kemajuan dan kemoderenan suatu bangsa tidak
berbanding terbalik dengan tingkat kejahatan di dalam masyarakat
tersebut.Artinya semakin modern suatu bangsa tidak berarti semakin berkurang
tindak kejahatan.Yang justru terjadi adalah sebaliknya, kata Filiang. Di
Negara-negara yang tingkat kemakmurannya
tinggi, yang demokrasinya lebih stabil, yang distribusi kekayaan lebih merata,
justru di sana lebih banyak berkembang sindrom sakit jiwa dan kejahatan sadis.
Mendamaikan Kekerasan
Dalam
upaya mengantisipasi perkembangan tindak kejahatan dan kekerasan massa di masa
mendatang, kiranya perlu diupayakan
pendekatan holistic terhadap budaya kekerasan. Sebuah peristiwa kekerasan harus
dilihat dalam bingkai kekerasan yang lebih luas, seperti kekerasan politik,
kekerasan ekonomi, kekerasan kultural, kekerasan symbol, kekerasan media, dan
sebagainya. Sebuah pemikiran bersama tentang system ekonomi, politik dan
kultural masa depan yang di dalamnya peluang-peluang kekerasan dapat diminimalisir
harus dibuat. System ekonomi kekerasan dan politik kekerasan tidak bisa lagi
dipertahankan, sebab kalau tidak, niscaya kekerasan akan semakin merajalela
seperti sekarang ini. Jangan-jangan, adu kekuatan antara Brimob dengan Kostrad
sebagai akibat saja dari system ekonomi kekerasan yang sengaja dipertahankan.
Apapun
alasannya, bentrok antara Brimob dengan Kostrad di Gorontalo tidak dapat
dibenarkan (bahkan menurut logika orang awam sekalipun). Masyarakat berharap,
siapapun yang terlibat harus di tindak dan di hukum sesuai hukum yang berlaku.
Yang salah tetap di hukum dan yang benar harus dibina di kesatuannya agar tidak
terulang kembali kasus serupa. Bukankah, bentrokan antar kesatuan di Negara ini
bukan kali pertama, tetapi seringkali terjadi sebelumnya (seperti bentrokan
yang terjadi di Maluku).
Guna
memperkuat upaya meminimalisir tindakan kekerasan, bentrokan dan kejahatan itu,
kiranya peran lembaga-lembaga moral, kultural, dan spiritual harus diperkuat
dalam menghadapi tumbuh berkembangnya tindak kejahatan berskala global (multinational crimes). Peran tokoh-tokoh
karismatik, pimpinan antar kesatuan, agama, dan tokoh masyarakat (termasuk
tokoh politik) dalam menuntun masyarakat tampaknya masih diperlukan di dalam
kondisi psikis dan sosial bangsa yang sedang rapuh.
Masyarakat
Indonesia sebenarnya mengenal istilah damai yang sering diartikan sebagai
harmoni, ketenangan dan ketentraman. Namun yang pasti bahwa setiap daerah
memiliki istilah yang berbeda tentang perdamaian, artinya perdamaian dan
maknanya secara social merupakan hasil kosntruksi masyarakat, tetapi bermakna
sama. Istilah “bedame” dikenal dalam
masyarakat Sasak di Lombok, di Jawa mengenal istilah kerukunan (harmoni), Kalimantan Barat dengan basaru sumangat, orang Maluku mengenal dengan pela. Kesemuanya bermakna damai.
Konflik
dan perdamaian menjadi kesatuan berpasangan dalam setiap masyarakat. Damai,
kerukunan, dan bedame (istilah Sasak di Lombok) eksistensinya
menjadi tiada kalau tiadanya konflik. Perspektif historis masyarakat suku Sasak,
misalnya selalu berada dalam konflik sepanjang waktu, ketika berhadapan dengan
suku Bali yang menjajahnya.Serangan demi serangan dilancarkan oleh kedatuan
Sasak untuk mengurangi dominasi Anak Agung dari kerajaan Karangasem Bali,
tetapi selalu gagal. Kegagalan demi kegagalan yang dialami kedatuan Sasak lebih
disebabkan oleh minimnya kesadaran akan kebersamaan untuk mengusir Anak Agung
dari bumi Sasak kala itu. Akibatnya, antara satu kedatuan Sasak dengan kedatuan
yang lainnya saling curiga dan saling menikam dari belakang. Itulah salah satu
kelemahan orang Sasak dan akhirnya dipakai oleh Anak Agung untuk mengalahkan
orang Sasak.
Mendamaikan
kekerasan, bentrokan dan kejahatan dengan memanfaatkan nilai-nilai kearifan
lokal yang dikenal di setiap daerah, seharusnya dapat dimanfaatkan. Begitu juga
dengan lembaga-lembaga agama dan adat diberdayagunakan untuk meredam segala
bentuk agitasi, kekerasan, bentrokan dan kejahatan dalam masyarakat. Para
pemimpin kharismatik, tokoh agama, tokoh adat dan pemimpin lainnya perlu
menjalin kerjasama (silaturrahiem) secara berkala dan berkesinambungan untuk
meminimalisir segala bentuk perbedaan diantara mereka. Salah persepsi
seringkali menjadi pemicu tindak kekerasan dan kejahatan yang terjadi selama
ini. Semoga saja kekerasan dan kejahatan
tidak disebabkan oleh kegilaan untuk menguasai sumber-sumber daya
tertentu. Wallahul Musta’an ila
Darissalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar