Kemana suara pemilih
NW akan disalurkan? Satu pertanyaan yang
sulit untuk dijawab oleh siapapun, termasuk oleh pengurus NW sendiri. Untuk
menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan kejernihan fikir, cermat dan tepat agar
tidak memunculkan gesekan-gesekan politik lebih lanjut. Pertanyaan itu
disampaikan ketika saya menghadiri suatu acara peringatan kelahiran Kanjeng
Nabi Muhammad Saw (Sasak disebut muludan) di rumah sahabat saya di kecamatan
Lingsar (31/1/2013). Terus terang saya agak terkejut atas pertanyaan itu,
karena memori otak saya tidak banyak menyimpan materi yang berkaitan dengan
keormasan terbesar di Lombok itu.
Faktisitas
menunjukan bahwa Nahdlatul Wathon memang terbelah menjadi dua poros besar yakni
poros Pancor dengan Dr. TGB. M. Zainul Majdi sebagai symbol dan poros Anjani
dengan TGB. Zainudin as-Sani, M.Pdi sebagai symbol. Secara Sosiologis kedua
poros NW itu, sudah menjadi ormas besar dengan pengikut fanatiknya
masing-masing. Begitu juga, secara politis sudah tidak bisa terdamaikan lagi.
Artinya kedua poros NW itu selalu berafiliasi dengan partai politik yang tidak
pernah sama dan cendrung akan terus bersaing.
Munculnya Dr.
Abdul Muhyi Abidin sebagai balon wakil Gubernur mendampingi Drs. H. Harun
al-Rasyid sebagai balon Gubernur NTB menjadi bukti rivalitas persaingan dua
poros NW itu. Keinginan Dr. TGB. M. Zainul Majdi untuk kembali mencalonkan diri
sebagai Gubernur NTB (untuk periode kedua) dari Partai Demokrat yang
dipimpinnya akan menjadikan persaingan lebih panas menuju orang nomor satu di
daerah Gumi Gora.
Setidaknya, ada
tiga alasan yang dapat dikemukakan, kenapa persaingan itu akan menjadi lebih
panas. Pertama. Kedua pasangan itu
berasal dari trah dan generasi ketiga dari Maulana Syeikh TGKH. Zainuddin Abdul
Madjid. Kedua. Kedua pasangan itu
sama-sama ingin memenangkan pertarungan dengan basis massa yang sama yakni
massa NW. Ketiga. Berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas, maka siapapun
yang akan keluar menjadi jawara atau menjadi Gubernur NTB mendatang agar mampu
menjaga harmonisasi hubungan terutama pada level akar rumput (grassroot).
Pada level elite
NW, persaingan menuju NTB satu sudah terlihat dengan terang benderang. Tergodanya
Dr. Abdul Muhyi Abidin (poros Anjani) untuk maju bersaing sebagai penantang
gubernur incamben Dr. M. Zainul Majdi (poros Pancor) menjadi bukti bahwa
persaingan itu memang ada. Masalahnya kemudian, kemana suara pemilih atau massa
NW akan berlabuh? Akankah massa NW akan terbelah sesuai dua poros besar NW itu?
Mencoba
memahami, mengapa dan bagaimana pemilih menyuarakan pendapatnya adalah sesuatu
yang penting, baik dalam teori maupun praktik (Quist dan Crano, 2003). Salah
satu model psikologis yang bisa digunakan untuk menganalisis perilaku pemilih atau
massa NW dalam menentukan pilihannya pada pemilihan gubernur mendatang adalah
model similarity dan attraction (Newcomb, 1978). Menurut model ini, setiap individu akan
tertarik pada suatu hal atau seseorang yang memiliki system nilai dan keyakinan
yang sama dengan dirinya sendiri. Dalam bahasa lain, semakin dua pihak berbagi
karakteristik yang sama (similarity)
akan semakin meningkat pula rasa saling tertarik (attraction) satu sama lain. Menurut perspektif ini, sebagaimana
diungkapkan oleh Firmanzah (2007) kelompok-kelompok yang tercipta dalam
masyarakat lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa masing-masing individu dalam
suatu kelompok memiliki kesamaan, sehingga kemudian mereka mengikatkan diri
dengan yang lain untuk membuat kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam dunia
politik, menggunakan perspektif itu berarti ketertarikan pemilih kepada
kontestan pemilu merupakan fungsi dari seberapa besar derajat kesamaan ideology
dan tujuan yang ingin dicapai kedua pihak. Semakin besar kesamaan ideology dan
program kerja antara individu dengan kontestan, semakin tertarik juga, si
individu kepada kontestan pemilu. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan
oleh kontestan untuk menarik pemilih menurut perspektif ini. Pertama. Kontestan pemilu berusaha
memetakan dan kemudian mencoba memahami karakteristik di setiap kelompok
masyarakat. Kemudian setiap kentestan berusaha menciptakan karakteristik yang
sesuai dengan harapan masyarakat. Kedua.
Kesamaan karakteristik ini dapat digunakan sebagai instrument untuk mencari
pendukung. Tema kampanye dan slogan politik harus memiliki derajat kesamaan
yang tinggi dengan apa yang dialami oleh masyarakat agar masyarakat tertarik
kepada kandidat tersebut. Semakin isu politik mencerminkan apa yang dialami
masyarakat, semakin besar pula kemungkinan kontestan bersangkutan memenangkan
pemilu.
Menurut Downs
(1957), sebagaimana dikutif oleh Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik,
bahwa ketertarikan pemilih kepada kontestan dapat dijelaskan dengan menggunakan
model kedekatan (proximity) atau
model spatial. Dalam model ini,
pemilih akan cendrung memberikan suaranya kepada partai politik atau seorang
kontestan yang dianggap memiliki kesamaan serta kedekatan system nilai dan keyakinan.
Oleh karena itu, ada dua ukuran mengenai cara memilih dalam menilai
kedekatannya dengan partai politik atau seorang kontestan, yakni (1). Kesamaan
mengenai cara pemecahan masalah (policy
problem solving), dan (2) kesamaan dalam faham serta nilai dasar ideology
dengan salah satu partai politik atau seorang kontestan.
Kesamaan
mengenai cara memecahkan permasalahan yang dihadapi merupakan manifestasi dari
rasionalitas pemilih. Sementara kesamaan faham atau ideology mencerminkan aspek
non-rasional pemilih. Dalam konteks kepemiluan, saya berfikir bahwa pemilih
adalah mahluk rasional yang menggunakan logika, sekaligus mahluk non-rasional
yang menggunakan alasan-alasan non-logis dalam mengambil keputusan politik.
Artinya, manusia tidak lagi diperdebatkan pada apakah individu rasional atau
tidak rasional, namun lebih pada derajat atau kualitas rasionalitasnya.
STRATEGI POLITIK
Strategi dan
komunikasi politik perlu dilakukan oleh kontestan untuk memenangkan pemilu.
Para kontestan perlu melakukan kajian untuk mengidentifikasi besaran
pendukungnya, massa mengambang dan pendukung kontestan lainnya. Identifikasi
ini perlu dilakukan untuk menganalisis kekuatan dan potensi suara yang akan
diperoleh pada saat pencoblosan, juga untuk mengidentifikasi strategi pendekatan
yang diperlukan terhadap masing-masing
kelompok pemilih. Strategi ini penting dipikirkan oleh setiap individu
kontestan karena pesaing juga, secara intens
melakukan ikhtiar politik untuk memenangkan persaingan politik.
Oleh karena itu,
para balon gubernur yang ingin memenangkan persaingan politik pada pemilu
gubernur mendatang, maka diperlukan racikan dan strategi politik yang jitu dan
tepat sasaran. Mengapa? sebab pemilih di Nusa Tenggara Barat (termasuk pemilih
dari Massa NW) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni pemilih tradisional,
pemilih rasional dan pemilih kritis. Pemetaan pemilih menjadi tiga kelompok itu
akan memudahkan para balon gubernur untuk meracik strategi politik yang tepat
dan jitu, agar pemilih tertarik (attraction)
dan jatuh hati pada pasangannya.
Jika diadakan
pemetaan, maka saya mengasumsikan bahwa 60 persen pemilih di NTB (termasuk
massa NW) masih tergolong pemilih tradisional sekaligus irrasional. Pemilih
rasional tidak lebih dari 25 persen, sedangkan pemilih kritis hanya 15 persen
saja. Kelompok pemilih kritis umumnya terdiri dari kelompok menengah ke atas,
sudah mapan secara ekonomi dan tidak mempunyai kepentingan politik. Mereka
biasanya tidak mementingkan pigur calon, siapapun calonnya, selama mampu
memberikan perubahan dan punya program yang bagus pasti akan didukung. Artinya,
kelompok pemilih kritis ini akan memilih calon pemimpin yang punya visi,
program kerja yang baik dan berorientasi policy
problems solving. Terpilih pasangan Joko Widodo dan Ahok sebagai gubernur
DKI Jakarta dapat dijadikan contoh pada konteks ini.
Walaupun
prosentase kelompok pemilih kritis ini hanya 15 persen, tapi bisa menjadi
penentu pemenang pada perhelatan pemilu gubernur NTB (13 Mei 2013). Orientasi
pemilih jenis ini pada kemampuan seorang kontestan dalam menuntaskan
permasalahan bangsa dapat menjadi issu politik yang cukup tinggi, sehingga
diperlukan suatu strategi khusus dari pasangan calon gubernur untuk mendekati
dan mengajaknya. Secara teoritis, proses untuk menjadi pemilih kritis terjadi melalui
dua mekanisme, yakni mekanisme ideologis dapat menjadi pijakan untuk menentukan
kepada kontestan mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan
mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Dan bisa terjadi
sebaliknya, kelompok ini tertarik dengan program kerja yang ditawarkan para
kontestan politik, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang
melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Kelompok pemilih
rasional (rational voter) tidak lebih
dari 25 persen. Pemilih rasional lebih mengutamakan kemampuan kontestan politik
atau calon gubernur dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam
dua hal: (1). Kinerja partai atau kontestan di masa lampau (backward looking),
dan (2). Tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada
(forward looking). Kedua hal itu sangat mempengaruhi pemilih rasional, kata
Firmanzah (2007). Ciri-ciri dari pemilih rasional ini, tidak terlalu
mementingkan ikatan ideology kepada seorang kontestan. Factor-faktor seperti
faham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis bukan hal
yang signifikan, walaupun masih dipertimbangkan. Analisis kognitif dan
pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu,
para kontestan politik yang ingin menarik perhatian pemilih rasional ini,
mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan,
kesejahteraan sosial, budaya, dan lainnya. Pemilih rasional tidak akan
segan-segan beralih atau pindah ke lain hati, dengan beralih partai politik dan
kontestan politik ke yang lainnya, ketika mereka anggap tidak mampu
menyelesaikan permasalahan nasional. Pada aras ini, pemilih rasional berbeda
dengan pemilih kritis. Artinya, pemilih kritis tidak hanya pindah ke lain hati,
tetapi juga keluar dari partai politik dan membuat partai baru yang mirip
dengan platform partai yang
tinggalkannya.
Lalu, pemilih
tradisional pada pemilu gubernur mendatang mencapai 60 persen. Pemilih
tradisional memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu
melihat kebijakan partai politik atau kontestan sebagai sesuatu yang penting
dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan
sosial budaya, nilai, asal usul, faham (organisasi sosial keagamaan) dan agama
sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik atau kontestan politik. Karakteristik
pemilih tradisional biasanya, (1) tidak terlalu pusing dengan apa yang telah
dilakukan kontestan politik yang mereka dukung, (2) lebih mengutamakan figure
dan kepribadian pemimpin, mitos serta nilai historis dari kontestan politik,
(3) tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai
serta faham yang dianut, dan (4) loyalitas tinggi (Surbakti, 2011).
Pemilih jenis
ini masih merupakan mayoritas dalam pemilihan gubernur mendatang. Hanya, saya
melihat suatu fenomena terjadi pergeseran yang cukup signifikan bahwa semakin
berkurangnya antusiasme para pendukung yang fanatic terhadap suatu partai
politik atau kontestan politik. Dahulu mereka sangat mudah sekali dimobilisasi
oleh para pemimpin, tetapi sekarang agak sulit, namun harus dengan imbalan
uang. Dan juga, pemilih tradisional terlihat semakin kritis, karena banyaknya
para pemimpin yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Nah, gambaran tersebut
bisa dijadikan strategi politik untuk mendekati pemilih tradisional ini. Apa
tidak terjebak dengan money politic,
entahlah. Namun, yang pasti bahwa pemilih tradisional memang membutuhkan
imbalan berupa uang sebagai konpensasi atas pekerjaan yang ditinggalkannya.
PEMILIH NW HARUS
MEMILIH
Memang dilematis,
posisi pemilih NW menjelang pemilu gubernur 2013 mendatang dan mungkin lebih
rumit posisinya dibandingkan dengan pemilu gubernur lima tahun lalu. Bagaimana tidak.
Dua diantara balon pasangan gubernur merupakan kader terbaik dari organisasi social
keagamaan (NW) terbesar di gumi Gora. Satu pihak, mereka sangat mengidolakan
dan menginginkan gubernur incamben (Dr. M. Zainul Majdi) terpilih lagi untuk
periode keduanya. Tetapi, pihak yang lain, mereka juga tidak ingin mengecewakan
kader NW lainnya yang menjadi balon Wakil gubernur NTB yakni Dr. Abdul Muhyi
Abidin. Sangat dilematis, bukan.
Memilih kedua-duanya
tidak mungkin, apalagi mengharapkan keduanya menjadi pemenang ssangat tidak
mungkin. Artinya, diantara balon gubernur NTB yang terdaftar, satu diantaranya
harus menjadi pemenang atau menjadi gubernur. Pemilih NW memang harus memilih
satu diantara dua kader terbaiknya untuk menjadi gubernur. Siapa? Ya, mereka
sendiri yang akan menentukannya.
Untuk menarik
hati para pemilih NW, kedua balon gubernur dari kader NW itu harus mampu
memetakan mana pemilih tradisional, mana pemilih rasional dan mana pemilih kritis.
Sebab pada umumnya, massa NW sudah mulai dewasa dan kritis dalam menentukan
pemimpinnya, baik pada level lokal, level kabupaten dan provinsi atau mungkin
nasional. Terbelahnya NW menjadi dua poros besar itu, dimungkinkan menjadi penyebab
semakin rasional dan kritisnya massa NW. Fenomena ini, sebenarnya menjadi
fenomena yang umum terjadi di banyak ormas keagamaan, baik itu di ormas NU,
Muhamadiyah, Tarbiyah, Syarikat Islam, Persis dan lainnya.
Siapa yang akan
di pilih oleh pemilih NW menjadi gubernur pada pemilu gubernur, Tanggal 13 Mei
2013 mendatang? Pemilih NW sendiri yang akan memberikan jawabannya. Apakah mereka
masih jatuh hati pada gubernur incamben (Dr. M. Zainul Majdi) ataukah akan
beralih ke pasangan Dr. Abdul Muhyi Abidin. Dan atau akan menjatuhkan pilihan
pada pasangan balon gubernur yang lainnya. Masyarakat pemilihlah yang akan
menentukan pemimpinnya untuk lima Tahun kemudian. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Tepian Pitung
Bangsit, Kediri, 03022013. Jam 10.59 wita.
0 komentar:
Posting Komentar