Sabtu, 02 Februari 2013

KEMANA SUARA PEMILIH NW?



Kemana suara pemilih  NW akan disalurkan? Satu pertanyaan yang sulit untuk dijawab oleh siapapun, termasuk oleh pengurus NW sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan kejernihan fikir, cermat dan tepat agar tidak memunculkan gesekan-gesekan politik lebih lanjut. Pertanyaan itu disampaikan ketika saya menghadiri suatu acara peringatan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Saw (Sasak disebut muludan) di rumah sahabat saya di kecamatan Lingsar (31/1/2013). Terus terang saya agak terkejut atas pertanyaan itu, karena memori otak saya tidak banyak menyimpan materi yang berkaitan dengan keormasan terbesar di Lombok itu.
Faktisitas menunjukan bahwa Nahdlatul Wathon memang terbelah menjadi dua poros besar yakni poros Pancor dengan Dr. TGB. M. Zainul Majdi sebagai symbol dan poros Anjani dengan TGB. Zainudin as-Sani, M.Pdi sebagai symbol. Secara Sosiologis kedua poros NW itu, sudah menjadi ormas besar dengan pengikut fanatiknya masing-masing. Begitu juga, secara politis sudah tidak bisa terdamaikan lagi. Artinya kedua poros NW itu selalu berafiliasi dengan partai politik yang tidak pernah sama dan cendrung akan terus bersaing.
Munculnya Dr. Abdul Muhyi Abidin sebagai balon wakil Gubernur mendampingi Drs. H. Harun al-Rasyid sebagai balon Gubernur NTB menjadi bukti rivalitas persaingan dua poros NW itu. Keinginan Dr. TGB. M. Zainul Majdi untuk kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur NTB (untuk periode kedua) dari Partai Demokrat yang dipimpinnya akan menjadikan persaingan lebih panas menuju orang nomor satu di daerah Gumi Gora.
Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan, kenapa persaingan itu akan menjadi lebih panas. Pertama. Kedua pasangan itu berasal dari trah dan generasi ketiga dari Maulana Syeikh TGKH. Zainuddin Abdul Madjid. Kedua. Kedua pasangan itu sama-sama ingin memenangkan pertarungan dengan basis massa yang sama yakni massa NW.  Ketiga. Berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas, maka siapapun yang akan keluar menjadi jawara atau menjadi Gubernur NTB mendatang agar mampu menjaga harmonisasi hubungan terutama pada level akar rumput (grassroot).
Pada level elite NW, persaingan menuju NTB satu sudah terlihat dengan terang benderang. Tergodanya Dr. Abdul Muhyi Abidin (poros Anjani) untuk maju bersaing sebagai penantang gubernur incamben Dr. M. Zainul Majdi (poros Pancor) menjadi bukti bahwa persaingan itu memang ada. Masalahnya kemudian, kemana suara pemilih atau massa NW akan berlabuh? Akankah massa NW akan terbelah sesuai dua poros besar NW itu?
Mencoba memahami, mengapa dan bagaimana pemilih menyuarakan pendapatnya adalah sesuatu yang penting, baik dalam teori maupun praktik (Quist dan Crano, 2003). Salah satu model psikologis yang bisa digunakan untuk menganalisis perilaku pemilih atau massa NW dalam menentukan pilihannya pada pemilihan gubernur mendatang adalah model similarity dan attraction (Newcomb, 1978).  Menurut model ini, setiap individu akan tertarik pada suatu hal atau seseorang yang memiliki system nilai dan keyakinan yang sama dengan dirinya sendiri. Dalam bahasa lain, semakin dua pihak berbagi karakteristik yang sama (similarity) akan semakin meningkat pula rasa saling tertarik (attraction) satu sama lain. Menurut perspektif ini, sebagaimana diungkapkan oleh Firmanzah (2007) kelompok-kelompok yang tercipta dalam masyarakat lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa masing-masing individu dalam suatu kelompok memiliki kesamaan, sehingga kemudian mereka mengikatkan diri dengan yang lain untuk membuat kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam dunia politik, menggunakan perspektif itu berarti ketertarikan pemilih kepada kontestan pemilu merupakan fungsi dari seberapa besar derajat kesamaan ideology dan tujuan yang ingin dicapai kedua pihak. Semakin besar kesamaan ideology dan program kerja antara individu dengan kontestan, semakin tertarik juga, si individu kepada kontestan pemilu. Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh kontestan untuk menarik pemilih menurut perspektif ini. Pertama. Kontestan pemilu berusaha memetakan dan kemudian mencoba memahami karakteristik di setiap kelompok masyarakat. Kemudian setiap kentestan berusaha menciptakan karakteristik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Kedua. Kesamaan karakteristik ini dapat digunakan sebagai instrument untuk mencari pendukung. Tema kampanye dan slogan politik harus memiliki derajat kesamaan yang tinggi dengan apa yang dialami oleh masyarakat agar masyarakat tertarik kepada kandidat tersebut. Semakin isu politik mencerminkan apa yang dialami masyarakat, semakin besar pula kemungkinan kontestan bersangkutan memenangkan pemilu.
Menurut Downs (1957), sebagaimana dikutif oleh Firmanzah dalam bukunya Marketing Politik, bahwa ketertarikan pemilih kepada kontestan dapat dijelaskan dengan menggunakan model kedekatan (proximity) atau model spatial. Dalam model ini, pemilih akan cendrung memberikan suaranya kepada partai politik atau seorang kontestan yang dianggap memiliki kesamaan serta kedekatan system nilai dan keyakinan. Oleh karena itu, ada dua ukuran mengenai cara memilih dalam menilai kedekatannya dengan partai politik atau seorang kontestan, yakni (1). Kesamaan mengenai cara pemecahan masalah (policy problem solving), dan (2) kesamaan dalam faham serta nilai dasar ideology dengan salah satu partai politik atau seorang kontestan.
Kesamaan mengenai cara memecahkan permasalahan yang dihadapi merupakan manifestasi dari rasionalitas pemilih. Sementara kesamaan faham atau ideology mencerminkan aspek non-rasional pemilih. Dalam konteks kepemiluan, saya berfikir bahwa pemilih adalah mahluk rasional yang menggunakan logika, sekaligus mahluk non-rasional yang menggunakan alasan-alasan non-logis dalam mengambil keputusan politik. Artinya, manusia tidak lagi diperdebatkan pada apakah individu rasional atau tidak rasional, namun lebih pada derajat atau kualitas rasionalitasnya.
STRATEGI POLITIK
Strategi dan komunikasi politik perlu dilakukan oleh kontestan untuk memenangkan pemilu. Para kontestan perlu melakukan kajian untuk mengidentifikasi besaran pendukungnya, massa mengambang dan pendukung kontestan lainnya. Identifikasi ini perlu dilakukan untuk menganalisis kekuatan dan potensi suara yang akan diperoleh pada saat pencoblosan, juga untuk mengidentifikasi strategi pendekatan yang diperlukan  terhadap masing-masing kelompok pemilih. Strategi ini penting dipikirkan oleh setiap individu kontestan karena pesaing juga, secara intens  melakukan ikhtiar politik untuk memenangkan persaingan politik.
Oleh karena itu, para balon gubernur yang ingin memenangkan persaingan politik pada pemilu gubernur mendatang, maka diperlukan racikan dan strategi politik yang jitu dan tepat sasaran. Mengapa? sebab pemilih di Nusa Tenggara Barat (termasuk pemilih dari Massa NW) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni pemilih tradisional, pemilih rasional dan pemilih kritis. Pemetaan pemilih menjadi tiga kelompok itu akan memudahkan para balon gubernur untuk meracik strategi politik yang tepat dan jitu, agar pemilih tertarik (attraction) dan jatuh hati pada pasangannya.
Jika diadakan pemetaan, maka saya mengasumsikan bahwa 60 persen pemilih di NTB (termasuk massa NW) masih tergolong pemilih tradisional sekaligus irrasional. Pemilih rasional tidak lebih dari 25 persen, sedangkan pemilih kritis hanya 15 persen saja. Kelompok pemilih kritis umumnya terdiri dari kelompok menengah ke atas, sudah mapan secara ekonomi dan tidak mempunyai kepentingan politik. Mereka biasanya tidak mementingkan pigur calon, siapapun calonnya, selama mampu memberikan perubahan dan punya program yang bagus pasti akan didukung. Artinya, kelompok pemilih kritis ini akan memilih calon pemimpin yang punya visi, program kerja yang baik dan berorientasi policy problems solving. Terpilih pasangan Joko Widodo dan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dapat dijadikan contoh pada konteks ini.
Walaupun prosentase kelompok pemilih kritis ini hanya 15 persen, tapi bisa menjadi penentu pemenang pada perhelatan pemilu gubernur NTB (13 Mei 2013). Orientasi pemilih jenis ini pada kemampuan seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa dapat menjadi issu politik yang cukup tinggi, sehingga diperlukan suatu strategi khusus dari pasangan calon gubernur untuk mendekati dan mengajaknya. Secara teoritis, proses untuk menjadi pemilih kritis terjadi melalui dua mekanisme, yakni mekanisme ideologis dapat menjadi pijakan untuk menentukan kepada kontestan mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Dan bisa terjadi sebaliknya, kelompok ini tertarik dengan program kerja yang ditawarkan para kontestan politik, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Kelompok pemilih rasional (rational voter) tidak lebih dari 25 persen. Pemilih rasional lebih mengutamakan kemampuan kontestan politik atau calon gubernur dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1). Kinerja partai atau kontestan di masa lampau (backward looking), dan (2). Tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada (forward looking). Kedua hal itu sangat mempengaruhi pemilih rasional, kata Firmanzah (2007). Ciri-ciri dari pemilih rasional ini, tidak terlalu mementingkan ikatan ideology kepada seorang kontestan. Factor-faktor seperti faham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis bukan hal yang signifikan, walaupun masih dipertimbangkan. Analisis kognitif dan pertimbangan logis sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, para kontestan politik yang ingin menarik perhatian pemilih rasional ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan sosial, budaya, dan lainnya. Pemilih rasional tidak akan segan-segan beralih atau pindah ke lain hati, dengan beralih partai politik dan kontestan politik ke yang lainnya, ketika mereka anggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan nasional. Pada aras ini, pemilih rasional berbeda dengan pemilih kritis. Artinya, pemilih kritis tidak hanya pindah ke lain hati, tetapi juga keluar dari partai politik dan membuat partai baru yang mirip dengan platform partai yang tinggalkannya.
Lalu, pemilih tradisional pada pemilu gubernur mendatang mencapai 60 persen. Pemilih tradisional memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal usul, faham (organisasi sosial keagamaan) dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik atau kontestan politik. Karakteristik pemilih tradisional biasanya, (1) tidak terlalu pusing dengan apa yang telah dilakukan kontestan politik yang mereka dukung, (2) lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos serta nilai historis dari kontestan politik, (3) tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut, dan (4) loyalitas tinggi (Surbakti, 2011).
Pemilih jenis ini masih merupakan mayoritas dalam pemilihan gubernur mendatang. Hanya, saya melihat suatu fenomena terjadi pergeseran yang cukup signifikan bahwa semakin berkurangnya antusiasme para pendukung yang fanatic terhadap suatu partai politik atau kontestan politik. Dahulu mereka sangat mudah sekali dimobilisasi oleh para pemimpin, tetapi sekarang agak sulit, namun harus dengan imbalan uang. Dan juga, pemilih tradisional terlihat semakin kritis, karena banyaknya para pemimpin yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Nah, gambaran tersebut bisa dijadikan strategi politik untuk mendekati pemilih tradisional ini. Apa tidak terjebak dengan money politic, entahlah. Namun, yang pasti bahwa pemilih tradisional memang membutuhkan imbalan berupa uang sebagai konpensasi atas pekerjaan yang ditinggalkannya.
PEMILIH NW HARUS MEMILIH
Memang dilematis, posisi pemilih NW menjelang pemilu gubernur 2013 mendatang dan mungkin lebih rumit posisinya dibandingkan dengan pemilu gubernur lima tahun lalu. Bagaimana tidak. Dua diantara balon pasangan gubernur merupakan kader terbaik dari organisasi social keagamaan (NW) terbesar di gumi Gora. Satu pihak, mereka sangat mengidolakan dan menginginkan gubernur incamben (Dr. M. Zainul Majdi) terpilih lagi untuk periode keduanya. Tetapi, pihak yang lain, mereka juga tidak ingin mengecewakan kader NW lainnya yang menjadi balon Wakil gubernur NTB yakni Dr. Abdul Muhyi Abidin. Sangat dilematis, bukan.
Memilih kedua-duanya tidak mungkin, apalagi mengharapkan keduanya menjadi pemenang ssangat tidak mungkin. Artinya, diantara balon gubernur NTB yang terdaftar, satu diantaranya harus menjadi pemenang atau menjadi gubernur. Pemilih NW memang harus memilih satu diantara dua kader terbaiknya untuk menjadi gubernur. Siapa? Ya, mereka sendiri yang akan menentukannya.
Untuk menarik hati para pemilih NW, kedua balon gubernur dari kader NW itu harus mampu memetakan mana pemilih tradisional, mana pemilih rasional dan mana pemilih kritis. Sebab pada umumnya, massa NW sudah mulai dewasa dan kritis dalam menentukan pemimpinnya, baik pada level lokal, level kabupaten dan provinsi atau mungkin nasional. Terbelahnya NW menjadi dua poros besar itu, dimungkinkan menjadi penyebab semakin rasional dan kritisnya massa NW. Fenomena ini, sebenarnya menjadi fenomena yang umum terjadi di banyak ormas keagamaan, baik itu di ormas NU, Muhamadiyah, Tarbiyah, Syarikat Islam, Persis dan lainnya.
Siapa yang akan di pilih oleh pemilih NW menjadi gubernur pada pemilu gubernur, Tanggal 13 Mei 2013 mendatang? Pemilih NW sendiri yang akan memberikan jawabannya. Apakah mereka masih jatuh hati pada gubernur incamben (Dr. M. Zainul Majdi) ataukah akan beralih ke pasangan Dr. Abdul Muhyi Abidin. Dan atau akan menjatuhkan pilihan pada pasangan balon gubernur yang lainnya. Masyarakat pemilihlah yang akan menentukan pemimpinnya untuk lima Tahun kemudian. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Tepian Pitung Bangsit, Kediri, 03022013. Jam 10.59 wita.


0 komentar: