Ratu Adil adalah
Ratu Adil. Istilah itu dipergunakan tidak dalam kerangka diperdebatkan dan
apalagi dipertentangkan karena tidak akan memberikan makna apapun bagi kebaikan
bersama (sebagaimana salah satu tujuan suatu Negara dibentuk). Namun, yang
terpenting adalah bagaimana memberikan makna baru sesuai dengan konteks
kekuasaan atau fenomena politik kerakyatan. Sebenarnya istilah Ratu Adil sudah
lama dipergunakan oleh sejarawan, seperti Sartono Kartodirdjo (Sejarawan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta), untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat Jawa
yang terus bergejolak.
Kemunculan Ratu
Adil dalam konteks perpolitikan Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Fenomena perilaku elite yang
“lempar batu sembunyi tangan” semakin menguatkan harapan masyarakat akan
kemunculannya. Bayangkan saja, antara
satu elite dengan elite partai lainnya
dalam satu partai saling jegal dan saling hasut
mencari pembenaran. Apalagi antar elite partai dengan elite partai
lainnya, pasti perseteruannya lebih panas. Wis edan, iki zaman edan, kata
Sastrawan Ronggowarsito.
Kehadiran Ratu
Adil dalam konteks perpolitikan “lempar batu sembunyi tangan” seperti sekarang
ini, seakan menjadi oase penghapus dahaga bagi para pencari demokrasi yang
sejati. Mereka itu adalah rakyat yang terus mencari kesejatian demokrasi di
tengah hiruk pikuknya politik bising yang diperankan oleh para elite di negeri zamrut
katulistiwa ini. Rakyat masih tetap peduli akan nasib bangsa dan negaranya di
tengah perseteruan politik kaum elite. Namun, apakah, kaum eliet juga
memikirkan hal yang sama dengan rakyat yang tergolong awwamul awwam meminjam
terminologi Syekh Muhammad Abduh (seorang pembaharu berkebangsaan Mesir).
Rasanya, kita
tidak perlu terlalu pusing memikirkan para kaum elite itu, biarkan dia bermain
di dunianya sendiri. Toh, siapa yang tahu peran yang dimainkannya itu, apakah
kesejatian atau hanya dramaturgi semata,
sekedar untuk menghipnotis kaum awwamul awwam. Tidak ada yang tahu dan yang
tampak hanya politik bising semata. Politik bising merupakan politik yang hanya
membangun citra dan berwacana melalui pelbagai media untuk suatu kekuasaan.
Tidak peduli melanggar etika atau tidak. Yang terpenting adalah cita
kekuasaannya tercapai. Perilaku elit dan anggota partai politik itu mengarah
kepada terjadinya kisruh politik yang tidak berkesudahan.
KISRUH POLITIK
Menjadi benar
kalau Tahun 2013 ditasbihkan menjadi Tahun politik. Huru hara, intrik politik
dan berpindahnya politisi dari satu partai ke partai lain, seakan menjadi
pembiasaan politik kekuasaan di Indonesia. Kelihatannya, tidak ada aturan atau
etika politik yang mengatur politisi untuk lompat pagar ke partai lain, seperti
kasus pindahnya Akbar Faisal dari partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) ke partai
Nasdem. Dan juga, bergerombolnya pengurus dan anggota partai Nasdem mundur
menjadi pengurus dan anggota dengan pelbagai alasan. Belum lagi politisi lain
yang memang partainya tidak lolos menjadi peserta pemilu 2014 mendatang.
System
kepartaian memang belum mengatur secara tegas tentang masa penantian (iddah politik) anggota partai politik
bila terjadi pindah partai. Atau memang partai politik tidak menganggap
fenomena bajing loncat itu sebagai permasalahan yang serius, sehingga terkesan
cuek bebek (padahal butuh). Agar tertib politik di Indonesia lebih baik,
seharusnya semua partai politik mengatur secara kaku permasalahan pindah partai
itu. Karena saya melihat salah satu penyebab kisruh politik adalah mudahnya
anggota partai politik berpindah ke partai lain.
Kisruh politik
yang melanda partai Demokrat menjadi pembelajaran partai politik untuk mencoba
menata dan menyusun tata aturan atau etika politik. Adagium yang dikonstruksi
mantan Presiden Soeharto dengan merujuk budaya Jawa “Mikul Duwur Mendem Jero” dap at dijadikan referensi untuk membangun
etika politik Indonesia. Nilai yang termaktub dalam adagium Jawa itu mungkin
menjadi wangsit untuk saling menghargai dalam melakukan komunikasi politik
kepartaian. Saling hujat, saling menjatuhkan, merasa benar sendiri dan saling
serang antar politisi menjadi tampilan atau wajah buram politik tanpa etika.
Turun gunungnya
SBY selaku ketua Majelis Tinggi partai
Demokrat untuk menyelesaikan kisruh partai demokrat diyakini dapat meredam sunami
politik yang melanda partai ini. Tidak hanya SBY yang galau, melihat
elektabilitas partai yang turun tetapi juga semua kader partai Demokrat di
daerah. Hal itu terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh SMPC yang
menunjukan bahwa elektabilitas partai Demokrat turun menjadi 8,3% di Tahun 2013
ini. Awal Tahun 2012 elektabilitas masih berkisar 20% dan akhir Tahun 2012
menurun menjadi 14%. Turunnya elektabilitas partai Demokrat itu disebabkan oleh
banyak kader partai yang terlibat tindak pidana korupsi dan kebijakan
pemerintah yang tidak populis.
Setelah SBY
mengambil alih kepemimpinan partai Demokrat, pada hari Jumat (8/2/2013) di Puri
Cikeas Bogor dalam rapat Majelis Tinggi partai, SBY meminta kepada ketua Umum
partai Demokrat untuk fokus kepada dugaan hukum yang sedang ditangani KPK. Di
lain pihak, Ia meminta kepada semua pengurus mulai Fraksi Demokrat di DPR, DPP,
DPD dan DPC supaya bertanggungjawab langsung kepada ketua Majlis Tinggi partai
Demokrat. Bagi siapa saja yang tidak mendukung bersih-bersih partai ini, kata
SBY silahkan minggir.
Tegas, seirus
dan bersahaja, terlihat dari wajah SBY ketika memberikan keterangan seusai
rapat Majelis Tinggi partai Demokrat di Puri Cikeas Bogor. Beban berat juga
terpancar dari wajah presiden SBY yang melanda partai Demokrat, yakni partai
yang mengantarkannya menjadi Presiden selama dua periode. Bersih-bersih politik
menjadi keniscayaan ketika citra partai politik mulai redup dan pilihan itu
yang tengah diambil SBY. Berhasilkah SBY menjalankan tugasnya di partai, di
tengah-tengah tugas kenegaraan yang demikian padat.
Di tengah upaya SBY
menyelamatkan partainya dari terjangan
Sunami dengan melakukan bersih-bersih di
intern Demokrat. Saya teringat sebuah novel Julian Barnes yang diterjemahkan
oleh Agus Bagus Prasetyo dengan judul “Sejarah Manusia dalam 10 ½ Bab”. Dalam
novel itu dikisahkan tentang bagaimana usaha Nabi Nuh As menyelamatkan sanak
keluarga dan mahluk Tuhan dari dahsyatnya Sunami pertama di dunia. Dari sekian
penumpang yang menaiki perahu nabi Nuh As. Ada saja diantara penumpang perahu
itu yang usil dan mencari gara-gara, misalnya binatang yang kerjanya merusak
perahu itu dengan mengeluarkan isi dalamnya, binatang ini disebut Rayap, dan
begitu pula dengan penumpang lainnya yang punya watak tidak sama. Hal itu
membuat nabi Nuh As. Menjadi pusing dan seraya terus berdoa meminta
perlindungan kepada Tuhan.
Nah, tindakan
SBY menyelamatkan partai Demokrat memang sudah dikehendaki oleh sebagian kader
partai Demokrat, tidak hanya di DPP tetapi juga DPD dan DPC. Kini, tindakan
nyata telah diambil SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai, akankah
bersih-bersih partai Demokrat itu berjalan mulus? Bukankah mengamputasi
kekuasaan ketua umum partai Demokrat itu dapat dikatagorikan melanggar aturan
partai? Lalu bagaimana dengan kelompok Anas Urbaningrum? Padahal, aturan partai
mensyaratkan bahwa pengurus (termasuk ketua umum) dapat diberhentikan jika
sudah menjadi tersangka kasus hukum. Posisi Anas Urbaningrum tidak berada dalam
posisi tersangka.
Memang dilematis
posisi SBY. Satu sisi ingin menyelamatkan partai dengan cara reposisi atau
mungkin mengganti pengurus yang tidak bersih (terindikasi punya kasus hukum).
Pada sisi yang lain mengambil tindakan menonaktifkan Anas Urbaningrum sebagai
ketua umum partai Demokrat bertentangan dengan aturan partai sendiri. Apapun
pilihannya, SBY tetap akan mendapat tantangan dari kader partainya sendiri,
apalagi Anas Urbaningrum tidak akan pernah dijadikan tersangka oleh KPK
(minimal menurut keyakinan Anas sendiri). Hal itu persis dengan apa yang
dilakukan oleh Nabi Nuh As ketika mau menyelamatkan kaumnya dari terjangan
sunami atau banjir bandang. Tantangan utama nabi Nuh As datang dari anaknya
sendiri yang tidak mau ikut naik perahu dan akhirnya anaknya tidak mampu
diselamatkan. SBY memang bukan nabi Nuh As dan Anas Urbaningrum bukan anak
durhaka yang tidak mau patuh terhadap aturan partai. Masalahnya, bagaimana
menemukan jalan tengah agar si anak nyaman dengan jeweran sang Ayah.
Partai Demokrat
bukan satu-satunya partai yang sedang dilanda kisruh politik, namun partai
lainpun mengalami hal yang sama, sebut saja PKS dengan kasus presidennya yang
ditahan KPK, partai Nasdem dengan segerombolan kadernya yang mengundurkan diri
dari kepengurusan dan keanggotaan partai, partai Hanura, Gerindra, dengan
beberapa kadernya pindah ke partai lain. Semua model kisruh politik itu, tentu
akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat pada pemilu 2014 mendatang
kalau tidak cepat terselesaikan. Inilah Tahun politik yang diwarnai oleh
dinamika pertarungan kepentingan antar kadernya sendiri.
Badai pasti
berlalu kata Franki Sahilatua. Harapan yang sama juga menjadi keinginan semua
partai politik yang sedang mengalami faksi di intern partainya. Partai politik
harus segera berbenah setelah melakukan bersih-bersih. Konsolidasi partai
adalah kata kunci untuk menyatukan visi, misi dan gerakan partai guna
menyongsong pemilu 2014 mendatang. Konsolidasi partai merupakan lanjutan dari
bersih-bersih partai dari orang-orang yang tidak bersih (tersangka tindak
pidana). Sepertinya tidak mudah untuk melakukan bersih-bersih politik.
Dibutuhkan orang yang punya integritas moral yang tinggi yang bisa
menyelamatkan partai agar tidak memunculkan gejolak berkelanjutan. Siapakah
orang itu?
ADAKAH RATU
ADIL?
Sepertinya,
orang yang dinantikan sebagai ratu Adil belum akan muncul dalam waktu singkat.
Karena kisruh politik yang terjadi sekarang ini masih dalam batas-batas
toleransi yang dapat diselesaikan, tanpa hadirnya sang Ratu Adil. Dengan
demikian, Ratu Adil itu bukan sosok manusia, tetapi tata aturan kepartaian yang
harus dijunjung tinggi oleh politisi dalam menjalankan program partai. Tata
aturan partai itu yang selama ini tidak dijalankan dengan baik oleh pengurus
partai politik, sehingga memunculkan kekisruhan dalam partai politik.
Ratu Adil memang
belum terlahir. Tetapi Ratu Adil itu bisa ada di dalam diri pengurus partai
politik yang memiliki jiwa bersih, tanpa pamrih, mengabdi dan bekerja untuk
kesejahteraan rakyat. Setidaknya itu beberapa ciri dari eksistensi Ratu Adil.
Tanpaknya juga sulit untuk menisbatkan ciri-ciri Ratu Adil itu kepada para
politisi di negeri ini, sebab hampir pasti politisi kita tidak lepas dari
pamrih dan memperjuangkan kepentingannya sendiri. Kalau begitu, ciri Ratu Adil
bisa disederhanakan menjadi orang yang taat pada tata aturan dan perundangan
yang ada di Indonesia.
Dalam konteks
kepartaian, Ratu Adil adalah orang atau politisi yang mau menjalankan dan
mengindahkan etika politik. Etika politik tidak hanya melulu masalah perilaku
politikus, tetapi juga berhubungan dengan praktik institusi sosial, hukum,
komunitas, struktur-struktur sosial, politik dan ekonomi (Haryatmoko, 2003).
Perilaku politikus hanya salah satu dimensi etika politik. Kehendak bak perlu
ditopang institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna
tanggungjawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan , lembaga sosial)
berperan mengorganisir tanggungjawab.
Bernhard Sutor
(1991), etika politik ini memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, pilihan
sarana dan aksi politik. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan
keadilan. Dalam Negara demokratis, pemerintah mempunyai komitmen terhadap
penyelenggaraan Negara dan bertanggungjawab terhadap atas komitmen
kesejahteraan masyarakat dan hidup damai.
Penyelesaian
terhadap kisruh politik bisa menjadi komitmen untuk mensejahterakan masyarakat
dan hidup damai. Mengapa? karena partai politik salah satu pilar dalam system
demokrasi yang menganut system Trias Politika (Rousseau). Institusi partai
politik menjadi medium suara rakyat ditautkan secara formal untuk memilih
pemimpinnya. Kegalauan SBY melihat partai yang diarsitekinya dan kecepatan PKS
dalam menyelesaikan masalah presidennya tanpa gejolak menjadi penguat bahwa
etika politik harus dikedepankan untuk menyelesaikan kisruh politik yang
terjadi. Ratu Adil dengan demikian berinkarnasi ke dalam Etika Politik dan
bukan dalam wujud perorangan. Wallahul
Musta’an ila Darissalam.
Lantai
Dua STAI Nurul Hakim. 110203. Jam 10.49 wita.
0 komentar:
Posting Komentar