Minggu, 10 Februari 2013

ADAKAH RATU ADIL DI DUNIA POLITIK


Ratu Adil adalah Ratu Adil. Istilah itu dipergunakan tidak dalam kerangka diperdebatkan dan apalagi dipertentangkan karena tidak akan memberikan makna apapun bagi kebaikan bersama (sebagaimana salah satu tujuan suatu Negara dibentuk). Namun, yang terpenting adalah bagaimana memberikan makna baru sesuai dengan konteks kekuasaan atau fenomena politik kerakyatan. Sebenarnya istilah Ratu Adil sudah lama dipergunakan oleh sejarawan, seperti Sartono Kartodirdjo (Sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), untuk menggambarkan tentang kondisi masyarakat Jawa yang terus bergejolak.
Kemunculan Ratu Adil dalam konteks perpolitikan Indonesia merupakan suatu  keniscayaan. Fenomena perilaku  elite yang  “lempar  batu sembunyi tangan”  semakin menguatkan harapan masyarakat akan kemunculannya.  Bayangkan saja, antara satu  elite dengan elite partai lainnya dalam satu partai saling jegal dan saling hasut  mencari pembenaran. Apalagi antar elite partai dengan elite partai lainnya, pasti perseteruannya lebih panas. Wis edan, iki zaman edan, kata Sastrawan Ronggowarsito.
Kehadiran Ratu Adil dalam konteks perpolitikan “lempar batu sembunyi tangan” seperti sekarang ini, seakan menjadi oase penghapus dahaga bagi para pencari demokrasi yang sejati. Mereka itu adalah rakyat yang terus mencari kesejatian demokrasi di tengah hiruk pikuknya politik bising yang diperankan oleh para elite di negeri zamrut katulistiwa ini. Rakyat masih tetap peduli akan nasib bangsa dan negaranya di tengah perseteruan politik kaum elite. Namun, apakah, kaum eliet juga memikirkan hal yang sama dengan rakyat yang tergolong awwamul awwam meminjam terminologi Syekh Muhammad Abduh (seorang pembaharu berkebangsaan Mesir).
Rasanya, kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan para kaum elite itu, biarkan dia bermain di dunianya sendiri. Toh, siapa yang tahu peran yang dimainkannya itu, apakah kesejatian atau  hanya dramaturgi semata, sekedar untuk menghipnotis kaum awwamul awwam. Tidak ada yang tahu dan yang tampak hanya politik bising semata. Politik bising merupakan politik yang hanya membangun citra dan berwacana melalui pelbagai media untuk suatu kekuasaan. Tidak peduli melanggar etika atau tidak. Yang terpenting adalah cita kekuasaannya tercapai. Perilaku elit dan anggota partai politik itu mengarah kepada terjadinya kisruh politik yang tidak berkesudahan.
KISRUH POLITIK
Menjadi benar kalau Tahun 2013 ditasbihkan menjadi Tahun politik. Huru hara, intrik politik dan berpindahnya politisi dari satu partai ke partai lain, seakan menjadi pembiasaan politik kekuasaan di Indonesia. Kelihatannya, tidak ada aturan atau etika politik yang mengatur politisi untuk lompat pagar ke partai lain, seperti kasus pindahnya Akbar Faisal dari partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) ke partai Nasdem. Dan juga, bergerombolnya pengurus dan anggota partai Nasdem mundur menjadi pengurus dan anggota dengan pelbagai alasan. Belum lagi politisi lain yang memang partainya tidak lolos menjadi peserta pemilu 2014 mendatang.
System kepartaian memang belum mengatur secara tegas tentang masa penantian (iddah politik) anggota partai politik bila terjadi pindah partai. Atau memang partai politik tidak menganggap fenomena bajing loncat itu sebagai permasalahan yang serius, sehingga terkesan cuek bebek (padahal butuh). Agar tertib politik di Indonesia lebih baik, seharusnya semua partai politik mengatur secara kaku permasalahan pindah partai itu. Karena saya melihat salah satu penyebab kisruh politik adalah mudahnya anggota partai politik berpindah ke partai lain.
Kisruh politik yang melanda partai Demokrat menjadi pembelajaran partai politik untuk mencoba menata dan menyusun tata aturan atau etika politik. Adagium yang dikonstruksi mantan Presiden Soeharto dengan merujuk budaya Jawa “Mikul Duwur Mendem Jero” dap at dijadikan referensi untuk membangun etika politik Indonesia. Nilai yang termaktub dalam adagium Jawa itu mungkin menjadi wangsit untuk saling menghargai dalam melakukan komunikasi politik kepartaian. Saling hujat, saling menjatuhkan, merasa benar sendiri dan saling serang antar politisi menjadi tampilan atau wajah buram politik tanpa etika.
Turun gunungnya SBY selaku  ketua Majelis Tinggi partai Demokrat untuk menyelesaikan kisruh partai demokrat diyakini dapat meredam sunami politik yang melanda partai ini. Tidak hanya SBY yang galau, melihat elektabilitas partai yang turun tetapi juga semua kader partai Demokrat di daerah. Hal itu terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh SMPC yang menunjukan bahwa elektabilitas partai Demokrat turun menjadi 8,3% di Tahun 2013 ini. Awal Tahun 2012 elektabilitas masih berkisar 20% dan akhir Tahun 2012 menurun menjadi 14%. Turunnya elektabilitas partai Demokrat itu disebabkan oleh banyak kader partai yang terlibat tindak pidana korupsi dan kebijakan pemerintah yang tidak populis.
Setelah SBY mengambil alih kepemimpinan partai Demokrat, pada hari Jumat (8/2/2013) di Puri Cikeas Bogor dalam rapat Majelis Tinggi partai, SBY meminta kepada ketua Umum partai Demokrat untuk fokus kepada dugaan hukum yang sedang ditangani KPK. Di lain pihak, Ia meminta kepada semua pengurus mulai Fraksi Demokrat di DPR, DPP, DPD dan DPC supaya bertanggungjawab langsung kepada ketua Majlis Tinggi partai Demokrat. Bagi siapa saja yang tidak mendukung bersih-bersih partai ini, kata SBY silahkan minggir.
Tegas, seirus dan bersahaja, terlihat dari wajah SBY ketika memberikan keterangan seusai rapat Majelis Tinggi partai Demokrat di Puri Cikeas Bogor. Beban berat juga terpancar dari wajah presiden SBY yang melanda partai Demokrat, yakni partai yang mengantarkannya menjadi Presiden selama dua periode. Bersih-bersih politik menjadi keniscayaan ketika citra partai politik mulai redup dan pilihan itu yang tengah diambil SBY. Berhasilkah SBY menjalankan tugasnya di partai, di tengah-tengah tugas kenegaraan yang demikian padat.
Di tengah upaya SBY  menyelamatkan partainya dari terjangan Sunami  dengan melakukan bersih-bersih di intern Demokrat. Saya teringat sebuah novel Julian Barnes yang diterjemahkan oleh Agus Bagus Prasetyo dengan judul “Sejarah Manusia dalam 10 ½ Bab”. Dalam novel itu dikisahkan tentang bagaimana usaha Nabi Nuh As menyelamatkan sanak keluarga dan mahluk Tuhan dari dahsyatnya Sunami pertama di dunia. Dari sekian penumpang yang menaiki perahu nabi Nuh As. Ada saja diantara penumpang perahu itu yang usil dan mencari gara-gara, misalnya binatang yang kerjanya merusak perahu itu dengan mengeluarkan isi dalamnya, binatang ini disebut Rayap, dan begitu pula dengan penumpang lainnya yang punya watak tidak sama. Hal itu membuat nabi Nuh As. Menjadi pusing dan seraya terus berdoa meminta perlindungan kepada Tuhan.
Nah, tindakan SBY menyelamatkan partai Demokrat memang sudah dikehendaki oleh sebagian kader partai Demokrat, tidak hanya di DPP tetapi juga DPD dan DPC. Kini, tindakan nyata telah diambil SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai, akankah bersih-bersih partai Demokrat itu berjalan mulus? Bukankah mengamputasi kekuasaan ketua umum partai Demokrat itu dapat dikatagorikan melanggar aturan partai? Lalu bagaimana dengan kelompok Anas Urbaningrum? Padahal, aturan partai mensyaratkan bahwa pengurus (termasuk ketua umum) dapat diberhentikan jika sudah menjadi tersangka kasus hukum. Posisi Anas Urbaningrum tidak berada dalam posisi tersangka.
Memang dilematis posisi SBY. Satu sisi ingin menyelamatkan partai dengan cara reposisi atau mungkin mengganti pengurus yang tidak bersih (terindikasi punya kasus hukum). Pada sisi yang lain mengambil tindakan menonaktifkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai Demokrat bertentangan dengan aturan partai sendiri. Apapun pilihannya, SBY tetap akan mendapat tantangan dari kader partainya sendiri, apalagi Anas Urbaningrum tidak akan pernah dijadikan tersangka oleh KPK (minimal menurut keyakinan Anas sendiri). Hal itu persis dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Nuh As ketika mau menyelamatkan kaumnya dari terjangan sunami atau banjir bandang. Tantangan utama nabi Nuh As datang dari anaknya sendiri yang tidak mau ikut naik perahu dan akhirnya anaknya tidak mampu diselamatkan. SBY memang bukan nabi Nuh As dan Anas Urbaningrum bukan anak durhaka yang tidak mau patuh terhadap aturan partai. Masalahnya, bagaimana menemukan jalan tengah agar si anak nyaman dengan jeweran sang Ayah.
Partai Demokrat bukan satu-satunya partai yang sedang dilanda kisruh politik, namun partai lainpun mengalami hal yang sama, sebut saja PKS dengan kasus presidennya yang ditahan KPK, partai Nasdem dengan segerombolan kadernya yang mengundurkan diri dari kepengurusan dan keanggotaan partai, partai Hanura, Gerindra, dengan beberapa kadernya pindah ke partai lain. Semua model kisruh politik itu, tentu akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat pada pemilu 2014 mendatang kalau tidak cepat terselesaikan. Inilah Tahun politik yang diwarnai oleh dinamika pertarungan kepentingan antar kadernya sendiri.
Badai pasti berlalu kata Franki Sahilatua. Harapan yang sama juga menjadi keinginan semua partai politik yang sedang mengalami faksi di intern partainya. Partai politik harus segera berbenah setelah melakukan bersih-bersih. Konsolidasi partai adalah kata kunci untuk menyatukan visi, misi dan gerakan partai guna menyongsong pemilu 2014 mendatang. Konsolidasi partai merupakan lanjutan dari bersih-bersih partai dari orang-orang yang tidak bersih (tersangka tindak pidana). Sepertinya tidak mudah untuk melakukan bersih-bersih politik. Dibutuhkan orang yang punya integritas moral yang tinggi yang bisa menyelamatkan partai agar tidak memunculkan gejolak berkelanjutan. Siapakah orang itu?
ADAKAH RATU ADIL?
Sepertinya, orang yang dinantikan sebagai ratu Adil belum akan muncul dalam waktu singkat. Karena kisruh politik yang terjadi sekarang ini masih dalam batas-batas toleransi yang dapat diselesaikan, tanpa hadirnya sang Ratu Adil. Dengan demikian, Ratu Adil itu bukan sosok manusia, tetapi tata aturan kepartaian yang harus dijunjung tinggi oleh politisi dalam menjalankan program partai. Tata aturan partai itu yang selama ini tidak dijalankan dengan baik oleh pengurus partai politik, sehingga memunculkan kekisruhan dalam partai politik.
Ratu Adil memang belum terlahir. Tetapi Ratu Adil itu bisa ada di dalam diri pengurus partai politik yang memiliki jiwa bersih, tanpa pamrih, mengabdi dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Setidaknya itu beberapa ciri dari eksistensi Ratu Adil. Tanpaknya juga sulit untuk menisbatkan ciri-ciri Ratu Adil itu kepada para politisi di negeri ini, sebab hampir pasti politisi kita tidak lepas dari pamrih dan memperjuangkan kepentingannya sendiri. Kalau begitu, ciri Ratu Adil bisa disederhanakan menjadi orang yang taat pada tata aturan dan perundangan yang ada di Indonesia.
Dalam konteks kepartaian, Ratu Adil adalah orang atau politisi yang mau menjalankan dan mengindahkan etika politik. Etika politik tidak hanya melulu masalah perilaku politikus, tetapi juga berhubungan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik dan ekonomi (Haryatmoko, 2003). Perilaku politikus hanya salah satu dimensi etika politik. Kehendak bak perlu ditopang institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggungjawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan , lembaga sosial) berperan mengorganisir tanggungjawab.
Bernhard Sutor (1991), etika politik ini memiliki tiga dimensi yakni tujuan politik, pilihan sarana dan aksi politik. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dalam Negara demokratis, pemerintah mempunyai komitmen terhadap penyelenggaraan Negara dan bertanggungjawab terhadap atas komitmen kesejahteraan masyarakat dan hidup damai.
Penyelesaian terhadap kisruh politik bisa menjadi komitmen untuk mensejahterakan masyarakat dan hidup damai. Mengapa? karena partai politik salah satu pilar dalam system demokrasi yang menganut system Trias Politika (Rousseau). Institusi partai politik menjadi medium suara rakyat ditautkan secara formal untuk memilih pemimpinnya. Kegalauan SBY melihat partai yang diarsitekinya dan kecepatan PKS dalam menyelesaikan masalah presidennya tanpa gejolak menjadi penguat bahwa etika politik harus dikedepankan untuk menyelesaikan kisruh politik yang terjadi. Ratu Adil dengan demikian berinkarnasi ke dalam Etika Politik dan bukan dalam wujud perorangan. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Lantai Dua STAI Nurul Hakim. 110203. Jam 10.49 wita.
 

0 komentar: