Sekali waktu,
Saya jalan-jalan di suatu perkampungan
yang semua masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Kampung itu berada di
wilayah kecamatan Narmada Selatan. Saya menyapa dan ngobrol dengan beberapa
petani perempuan yang hendak pergi ke sawah. Saya tidak bertanya tentang kapan
pemilu gubernur akan dilaksanakan, karena pasti jawabannya tidak tahu. Saya
hanya bertanya, siapa yang akan dipilih menjadi gubernur NTB mendatang? Tanpa
berfikir panjang, mereka menjawab TGB. Kenapa Ibu pilih TGB, Tanya Saya? Karena
hanya TGB yang Saya tahu, jawab si Ibu petani dengan polosnya. Apa Ibu sudah
bertemu TGB, “tidak” jawab si Ibu. Lo, kalau tidak pernah ketemu, megapa ibu
memilih TGB, tanya saya? Si Ibu terdiam sambil tersenyum kecut.
Dari obrolan itu,
dengan membatin saya berucap, “Memang TGB sudah dikenal masyarakat, walaupun
sekedar namanya tetapi tidak orangnya”. Maksudnya TGB selama lima tahun
memimpin NTB selalu berada di Menara Gading kekuasaan dan secara kuantitas TGB
amat jarang berada di tengah-tengah masyarakat. Ini menjadi kelemahan pemimpin
pada umumnya, tidak hanya di Nusa Tenggara Barat.
Menjelang
pemilihan Gubernur Tanggal 13 Mei 2013 mendatang, akan menjadi penentuan apakah
TGB masih dipercaya masyarakat atau tidak untuk memimpin NTB Lima Tahun ke
depan. Ataukah masyarakat akan mempercayai kepemimpinan NTB untuk Lima Tahun ke
depan kepada Calon Gubernur yang lain. Entahlah, kata Sahabat Rizkon. Hanya
masyarakat pemilih (terutama pemilih Perempuan) sebagai penentunya.
Pemilih
perempuan selama pelaksanaan pemilu (termasuk Pilkada) cendrung dilupakan oleh
kompetitor politik. Mereka lebih kurang selalu dianggap sebagai pelengkap
penderita pada perhelatan demokrasi, padahal dalam system demokrasi yang kita
anut tidak mendasarkan pada kualitas pemilih tetapi pada satu pemilih satu
suara. Maksudnya suara seorang preman sama nilainya dengan suara seorang
bangsawan atau one man one vote.
Suara pemilih perempuan sama nilainya dengan satu suara pemilih laki-laki.
Dari hasil
pendataan pemilih pada setiap pemilu (termasuk Pemilu Kepala Daerah), ternyata
pemilih perempuan selalu lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki. Namun,
tidak banyak partai politik dan pasangan calon gubernur yang memfokuskan perempuan
sebagai pangsa pasar yang harus digarap secara serius. Kemampuan merangkul
mayoritas pemilih perempuan bisa dikatakan bahwa pekerjaan besar sebagai bakal
calon gubernur sudah hampir dianggap selesai. Selanjutnya, tinggal
menyelesaikan permasalahan kecil yang mungkin dapat mengganggu kelancaran pesta
demokrasi.
Mendekati
pemilih perempuan tidak semudah yang dibayangkan, diperlukan suatu strategi
khusus untuk mengambil hati pemilih perempuan. Kendala umum yang dihadapi
perempuan menyangkut structural maupun kultural. Misalnya dalam banyak kasus,
pemilih perempuan seringkali menggunakan pertimbangan preferensi politik suami
untuk menentukan pilihan politiknya. Bagi yang belum menikah, kaum perempuan
menggunakan preferensi orang tua sebagai dasar untuk menentukan pilihan
politiknya. Karena itu, dalam pemilu gubernur mendatang terlihat kecendrungan pasangan
calon lebih memfokuskan sasaran kampanyenya ke laki-laki dan tidak ke perempuan.
Seiring dengan
meningkatnya kemajuan teknologi dan kebebasan informasi, pemilih perempuan
lebih independen dalam menentukan pilihan politiknya. Artinya, sebagian dari
pemilih perempuan sudah bisa keluar dari kendala structural maupun kultural
yang mengekangnya selama ini. Tidak sedikit pemilih perempuan yang berani
menunjukan perbedaan pilihan politik dengan suami dan orang tuanya. Pemilih
perempuan dalam menentukan pilihan politiknya, dengan demikian tidak hanya
berdasar pada emosional dan sosiologis semata, tetapi juga pertimbangan
rasional dan politis. Karakteristik pemilih perempuan seperti ini dapat dijadikan
dasar bagi pasangan gubernur untuk lebih mempertimbangkan sasaran kampanyenya
pada pemilih perempuan di samping laki-laki.
Setidaknya ada
10 keluarga di beberapa lokasi yang berbeda yang saya temui punya pilihan yang
tidak sama dalam pemilihan Kepala Desa. Si Suami memilih si “A” sebagai Calon
Kepala Desa, si Istri memilih si “B”, sedangkan anak-anaknya juga punya calon
yang berbeda dengan kedua orang tuanya. Berbeda pilihan politik dalam suatu
keluarga tidak lagi menjadi tabu dan menjadi hambatan kultural. Perempuan dan
anak-anaknya bisa saja berbeda dengan pilihan ayahnya, selama tidak berpengaruh
terhadap harmonitas kehidupan keluarganya. Ayah atau suami dalam hal ini, juga
harus maklum dan menghargai pilihan anggota keluarganya.
Menurut Profesor
Quraish Shihab berdiskusi dan berbeda pendapat dengan lelaki (termasuk suami
atau ayah) sama sekali tidak terlarang. Dengan merujuk kitab suci al-Quran,
Profesor Shihab menyatakan bahwa qur’an telah mengabadikan peristiwa diskusi
seorang perempuan dengan Rasul Muhammad Saw, yang ketika itu terkesan bahwa
Nabi Saw masih hendak memberlakukan adat yang mengurangi hak-hak perempuan.
Dalam Surat al-Mujadalah (58) 1-3 Allah Swt membenarkan pendapat perempuan itu.
Sejarah juga mencatat, seorang perempuan yang membantah pandangan Umar Ibnu
Khattab ra. Menyangkut hak perolehan maskawin (tanpa pembatasan) yang tadinya
hendak ditetapkan oleh kepala Negara dan khalifah yang kedua itu.
PEREMPUAN DI
DUNIA LELAKI
Kuantitas
perempuan yang sudah melek politik semakin meningkat. Hal itu berangkat dari
kesadaran perempuan dan peluang konstitusi yang memberikan peluang untuk
perempuan berkarir di dunia politik. Undang-undang Partai Politik dan Pemilu
misalnya telah mensyarat bahwa kuota 30% bagi perempuan untuk menjadi pengurus
dan calon legislatif di semua tingkatan. Penerapan kuota perempuan 30% bagi
perempuan itu sangat serius dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga
tidak lolosnya partai politik menjadi peserta pemilu 2014 mendatang disebabkan
oleh kuota perempaun tidak terpenuhi.
Hak perempuan
untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat tidak lagi menjadi persoalan
yang substantive untuk diperdebatkan. Dalam konteks keindonesiaan, hak
perempuan tersebut sudah tidak ada persoalan. Perempuan Indonesia sudah tidak
terbelenggu secara structural untuk memilih dan dipilih serta terlibat dalam
lembaga-lembaga kenegaraan eksekutif, legislatif atau yudikatif. Sejarah juga
mencatat bahwa perempuan sudah menjadi presiden di Indonesia yakni Megawati
Soekarno Putri, serta masih banyak lagi perempuan yang bertebaran menjadi
Gubernur, Bupati/wali Kota, Camat dan atau pimpinan di lembaga legislatif.
Turun gunungnya
perempuan ke dunia politik didasarkan pada dalil-dalil keagamaan, salah satunya
termaktub dalam QS at-Taubah (9): 71
yakni: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah auliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah
yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Kondisi sekarang
ini memungkinkan perempuan untuk berpolitik, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Memang para ulama dan pemikir masa lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan
sebagai Kepala Negara karena kondisi perempuan sendiri yang belum berdaya dan
siap untuk menduduki jabatan. Dengan alasan situasi dan kondisi pula, pastinya
fatwa dan pandangan harus berubah dan tidak relevan lagi melarang perempuan
terlibat dalam politik praktis atau memimpin Negara. Bukankah, dari segi
kauntitas dan kualitas perempuan sekarang ini tidak kalah dengan lelaki. Dengan
demikian, keberadaan perempuan di dunia politik dapat merubah citra politik
yang selama ini sudah given. Seolah-olah politik itu menjadi dunia lelaki yang
keras dan kejam. Kehadiran perempuan yang lembut dan santun dalam dunia politik
menjadi harapan perubahan citra politik tersebut menjadi politik yang santun
dan beretika.
Dengan kemampuan
teknologi dan kemauan kuat perempuan untuk terus belajar dan meningkatkan
kualitas diri, sehingga perempuan bisa mempengaruhi lelaki dengan argumentasi
yang logis dan ilmiah, maka perempuan dapat keluar dari belenggu structural dan
kultural yang selama ini membelenggunya di dunia politik. Dan kalau hal
tersebut dapat diraihnya, maka ketika itu perempuan memiliki dua senjata yang
sangat ampuh yakni perasaan halus yang dapat menyentuh kalbu dan argumentasi
kuat yang menyentuh nalar (Shihab,2005). Kemampuan menggabungkan kedua kekuatan
tersebut dapat mewujudkan kepemimpinan yang sehat dan langgeng. Ibarat
kehidupan rumah tangga, suami adalah kepala, istri harus menjadi leher.
Keduanya satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kepala tidak dapat bergerak
kalau leher tidak bergerak, dan leher tidak akan bergerak kecuali diisyaratkan
oleh kepala.
Keseimbangan dua
senjata ampuh perempuan sebagai bekal terjun ke politik tersebut di atas mampu
mendekonstruksi politik kejam dan sadis menjadi politik yang santun dan
nir-kekerasan. Karena itu ruang politik bagi perempuan berasaskan kebebasan
politik dan kesamaan harus terjamin, sehingga budaya politik yang baik adalah
bila politik mampu menjamin prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan dan
solidaritas (Haryatmoko, 2003). Dalam politik santun ini dimungkinkan adanya
pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku dalam
mengkonstruksi budaya politik santun.
Dalam konteks
ini, kiranya benar apa yang dinyatakan oleh Hannah Arendt (Filosof Politik
Inggris), bahwa politik adalah seni untuk mengabadikan diri manusia.
Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang oleh sesame warga Negara dan
dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan
bersama. Jasa dan pretasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama
yang memberi bobot identitas politikus yang dapat mengkonstruksi politik santun
dan nir-kekerasan.
PEREMPUAN
SEBAGAI PENENTU
Perempuan di
dunia lelaki harus dapat fungsional melahirkan politik santun, beretika dan
nir-kekerasan. Wajah politik yang sadis, kejam dan tidak adil menjadi identitas
politik Indonesia sudah saatnya berubah dan tidak patut dipertahankan. Menurut
Haryatmoko struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan. Praktik
kekuasaan dijalalankan bukan atas dasar etika politik, namun untuk
mempertahankan kekuasaan. Akibatnya banyak kohesi diberikan yang mengorbankan
tujuan utama politik (kesejahteraan bersama) dan mengabaikan upaya mengatasi
korupsi, sadisme politik dan ketidakadilan.
Dalam konteks
pilgub NTB, siapapun yang mau manarik hati pemilih perempuan, sebaiknya
menampilkan wajah politik yang santun, berempati terhadap nasib perempuan, beretika,
serius mengatasi dan menindak penyimpangan anggaran (Bansos, SPPD fiktip) dan
berlaku adil terhadap semua elemen masyarakat NTB. Tidak ada jalan lain Untuk
bisa menarik pemilih perempuan, para balon gubernur sebaiknya menunjukkan
kepedulian dan empati terhadap isu-isu gender dan persoalan perempuan. Mereka
juga, harus menunjukan komitmen untuk memberikan tempat kepada perempuan di
jabatan-jabatan birokrasi (karena memang tidak ada cagub dan cawagub dari
perempuan).
Hal penting
lainnya, para pasangan calon gubernur bisa mengandalkan daya tariknya dengan
memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dialami kaum perempuan,
seperti kekerasan terhadap perempuan, KDRT, nasib TKW dan keluarganya, serta
isu-isu gender lainnya. Komitmen dan kebijakan politik untuk memperbaiki masa
depan perempuan dapat menjadi jaminan bahwa pasangan mereka layak dipilih oleh
pemilih perempuan. Ingat bahwa perempuan sudah tidak banyak bergantung pada
keputusan politik lelaki, sebagaimana nano-nano pilihan politik pada pemilihan
Kepala Desa tersebut di atas.
Dan yang utama,
jika mau dipilih pemilih perempuan maka competitor politik harus menjaga harkat
dan martabat perempuan, jangan sampai menyayat dan menyakiti hati perempuan,
seperti dengan melakukan nikah siri ala Mantan Bupati Garut Jawa Barat Aceng M.
Fikri. Mayoritas perempuan di NTB masih menganggap poligami sebagai pantangan
walaupun boleh menurut agama, tetapi tidak bagi perempuan. Dalam konteks
politik, poligami dengan nikah sirri menjadi dosa politik yang harus diberikan
sanksi berat, setidaknya itu yang terbaca dari SK pemakzulan Aceng M. Fikri sebagai Bupati Garut.
Atas nama
keadilan, semestinya Presiden SBY dapat juga memberikan sanksi serupa kepada
semua pejabat pemerintah yang melakukan nikah sirri sesuai perundang-undangan
yang berlaku. Sehingga tidak terkesan pemakzulan Aceng M. Fikri sebagai tebar
pesona politik setengah hati. Lalu, bagaimana dengan pejabat pemerintah yang
beristri lebih dari satu tetapi secara hukum tidak mempunyai akte nikah,
misalnya. Secara agama sah, tetapi hukum Negara belum dicatatkan. Sama artinya
dengan melanggar etika dan sumpah jabatan yang harus taat terhadap hukum dan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sangat menyakiti hati perempuan yang
ingin dikasihi, disayangi dan ayomi dengan cinta.
Berkaitan dengan
permasalahan potensi yang mungkin dapat menyakiti hati perempuan, maka Balon
Gubernur yang akan bertarung pada Pilgub Tanggal 13 Mei 2013 mendatang,
sebaiknya menyusun strategi dan program politik yang berorientasi policy problem solving terhadap
permasalahan yang dihadapi perempuan atau masyarakat NTB. Program dan tindakan
yang terukur dapat menjadi pelipur lara dan obat kekecewaan dan ketidakadilan
yang dirasakan masyarakat selama ini. Sepertinya, janji-janji syurgawi sebagai
janji-janji politik (pendidikan gratis, kesehatan gratis, dll) sampai sekarang
tidak pernah terwujud. Janji tinggal janji dan janji ditaruh dalam peti emas
untuk dimunculkan kembali saat kampanye berikutnya. Tetapi masyarakat tidak
lupa akan janji itu dan bukan hal yang mustahil kalau masyarakat melupakan
janji itu sekaligus dengan orang yang pernah berjanji.
Nah, perempuan
biasanya punya ingatan yang sangat kuat akan janji-janji yang pernah diucapkan
(apalagi) oleh lelaki yang dikaguminya. Melanggar janji terhadap perempuan
berarti malapetaka bagi lelaki. janji-janji politik masuk dalam katagori janji
yang sulit dilupakan masyarakat, dan biasanya menjadi bumerang bagi calon yang
akan maju kembali. Artinya janji-janji politik lima tahun lalu pasti akan
ditagih oleh masyarakat. Rumusnya sangat sederhana, tepati janji lima tahun
yang lalu, baru kemudian berfikir ulang untuk dipilih kembali. Jika tidak, maka
pasti masyarakat akan memberikan sanksi politik dengan cara tidak memilihnya
pada pencalonan berikutnya. Sanksi politik tersebut bukan pepesan kosong
masyarakat, tetapi sudah banyak bukti, terutama bagi calon legislative.
TGB tentu masih
punya peluang untuk menang pada pimilu gubernur NTB mendatang asalkan dia mampu
membayar dan menutupi semua kekurangannya selama lima tahun memimpin NTB. Dan
yang terpenting bagaimana mendekati perempuan dengan program-program pemberdayaan
untuk kesejahteraan perempuan NTB serta mampu menyelesaikan permasalahan
kemiskinan yang membelenggunya selama ini, seperti kekerasan terhadap para TKW
dan KDRT. Mengangkat harkat dan martabat perempuan NTB menjadi tugas berat
Gubernur NTB mendatang (Siapapun yang akan terpilih). Dengan demikian, jika mau
menjadi pemenang pada pemilu Gubernur mendatang, maka dekati dengan hati dan
program yang mensejahterakan kaum perempuan NTB. Mengapa? karena perempuan NTB
sudah banyak yang melek politik dan sudah terbebas dari belenggu structural dan
kultural dominasi lelaki dalam pilihan politik. Jadi, perempuan dapat menjadi
penentu dalam pemilihan gubernur mendatang. Tinggal bagaimana balon gubernur
mendekatinya. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
IAI Qamarul
Hudha, 04032013.09.59.
0 komentar:
Posting Komentar