Minggu, 03 Maret 2013

MENGINTIP SUARA PEREMPUAN PADA PILGUB NTB


Sekali waktu, Saya  jalan-jalan di suatu perkampungan yang semua masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Kampung itu berada di wilayah kecamatan Narmada Selatan. Saya menyapa dan ngobrol dengan beberapa petani perempuan yang hendak pergi ke sawah. Saya tidak bertanya tentang kapan pemilu gubernur akan dilaksanakan, karena pasti jawabannya tidak tahu. Saya hanya bertanya, siapa yang akan dipilih menjadi gubernur NTB mendatang? Tanpa berfikir panjang, mereka menjawab TGB. Kenapa Ibu pilih TGB, Tanya Saya? Karena hanya TGB yang Saya tahu, jawab si Ibu petani dengan polosnya. Apa Ibu sudah bertemu TGB, “tidak” jawab si Ibu. Lo, kalau tidak pernah ketemu, megapa ibu memilih TGB, tanya saya? Si Ibu terdiam sambil tersenyum kecut.
Dari obrolan itu, dengan membatin saya berucap, “Memang TGB sudah dikenal masyarakat, walaupun sekedar namanya tetapi tidak orangnya”. Maksudnya TGB selama lima tahun memimpin NTB selalu berada di Menara Gading kekuasaan dan secara kuantitas TGB amat jarang berada di tengah-tengah masyarakat. Ini menjadi kelemahan pemimpin pada umumnya, tidak hanya di Nusa Tenggara Barat.
Menjelang pemilihan Gubernur Tanggal 13 Mei 2013 mendatang, akan menjadi penentuan apakah TGB masih dipercaya masyarakat atau tidak untuk memimpin NTB Lima Tahun ke depan. Ataukah masyarakat akan mempercayai kepemimpinan NTB untuk Lima Tahun ke depan kepada Calon Gubernur yang lain. Entahlah, kata Sahabat Rizkon. Hanya masyarakat pemilih (terutama pemilih Perempuan) sebagai penentunya.
Pemilih perempuan selama pelaksanaan pemilu (termasuk Pilkada) cendrung dilupakan oleh kompetitor politik. Mereka lebih kurang selalu dianggap sebagai pelengkap penderita pada perhelatan demokrasi, padahal dalam system demokrasi yang kita anut tidak mendasarkan pada kualitas pemilih tetapi pada satu pemilih satu suara. Maksudnya suara seorang preman sama nilainya dengan suara seorang bangsawan atau one man one vote. Suara pemilih perempuan sama nilainya dengan satu suara pemilih laki-laki.
Dari hasil pendataan pemilih pada setiap pemilu (termasuk Pemilu Kepala Daerah), ternyata pemilih perempuan selalu lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki. Namun, tidak banyak partai politik dan pasangan calon gubernur yang memfokuskan perempuan sebagai pangsa pasar yang harus digarap secara serius. Kemampuan merangkul mayoritas pemilih perempuan bisa dikatakan bahwa pekerjaan besar sebagai bakal calon gubernur sudah hampir dianggap selesai. Selanjutnya, tinggal menyelesaikan permasalahan kecil yang mungkin dapat mengganggu kelancaran pesta demokrasi.
Mendekati pemilih perempuan tidak semudah yang dibayangkan, diperlukan suatu strategi khusus untuk mengambil hati pemilih perempuan. Kendala umum yang dihadapi perempuan menyangkut structural maupun kultural. Misalnya dalam banyak kasus, pemilih perempuan seringkali menggunakan pertimbangan preferensi politik suami untuk menentukan pilihan politiknya. Bagi yang belum menikah, kaum perempuan menggunakan preferensi orang tua sebagai dasar untuk menentukan pilihan politiknya. Karena itu, dalam pemilu gubernur mendatang terlihat kecendrungan pasangan calon lebih memfokuskan sasaran kampanyenya ke laki-laki dan tidak ke perempuan.
Seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi dan kebebasan informasi, pemilih perempuan lebih independen dalam menentukan pilihan politiknya. Artinya, sebagian dari pemilih perempuan sudah bisa keluar dari kendala structural maupun kultural yang mengekangnya selama ini. Tidak sedikit pemilih perempuan yang berani menunjukan perbedaan pilihan politik dengan suami dan orang tuanya. Pemilih perempuan dalam menentukan pilihan politiknya, dengan demikian tidak hanya berdasar pada emosional dan sosiologis semata, tetapi juga pertimbangan rasional dan politis. Karakteristik pemilih perempuan seperti ini dapat dijadikan dasar bagi pasangan gubernur untuk lebih mempertimbangkan sasaran kampanyenya pada pemilih perempuan di samping laki-laki.
Setidaknya ada 10 keluarga di beberapa lokasi yang berbeda yang saya temui punya pilihan yang tidak sama dalam pemilihan Kepala Desa. Si Suami memilih si “A” sebagai Calon Kepala Desa, si Istri memilih si “B”, sedangkan anak-anaknya juga punya calon yang berbeda dengan kedua orang tuanya. Berbeda pilihan politik dalam suatu keluarga tidak lagi menjadi tabu dan menjadi hambatan kultural. Perempuan dan anak-anaknya bisa saja berbeda dengan pilihan ayahnya, selama tidak berpengaruh terhadap harmonitas kehidupan keluarganya. Ayah atau suami dalam hal ini, juga harus maklum dan menghargai pilihan anggota keluarganya.
Menurut Profesor Quraish Shihab berdiskusi dan berbeda pendapat dengan lelaki (termasuk suami atau ayah) sama sekali tidak terlarang. Dengan merujuk kitab suci al-Quran, Profesor Shihab menyatakan bahwa qur’an telah mengabadikan peristiwa diskusi seorang perempuan dengan Rasul Muhammad Saw, yang ketika itu terkesan bahwa Nabi Saw masih hendak memberlakukan adat yang mengurangi hak-hak perempuan. Dalam Surat al-Mujadalah (58) 1-3 Allah Swt membenarkan pendapat perempuan itu. Sejarah juga mencatat, seorang perempuan yang membantah pandangan Umar Ibnu Khattab ra. Menyangkut hak perolehan maskawin (tanpa pembatasan) yang tadinya hendak ditetapkan oleh kepala Negara dan khalifah yang kedua itu.
PEREMPUAN DI DUNIA LELAKI
Kuantitas perempuan yang sudah melek politik semakin meningkat. Hal itu berangkat dari kesadaran perempuan dan peluang konstitusi yang memberikan peluang untuk perempuan berkarir di dunia politik. Undang-undang Partai Politik dan Pemilu misalnya telah mensyarat bahwa kuota 30% bagi perempuan untuk menjadi pengurus dan calon legislatif di semua tingkatan. Penerapan kuota perempuan 30% bagi perempuan itu sangat serius dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga tidak lolosnya partai politik menjadi peserta pemilu 2014 mendatang disebabkan oleh kuota perempaun tidak terpenuhi.
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat tidak lagi menjadi persoalan yang substantive untuk diperdebatkan. Dalam konteks keindonesiaan, hak perempuan tersebut sudah tidak ada persoalan. Perempuan Indonesia sudah tidak terbelenggu secara structural untuk memilih dan dipilih serta terlibat dalam lembaga-lembaga kenegaraan eksekutif, legislatif atau yudikatif. Sejarah juga mencatat bahwa perempuan sudah menjadi presiden di Indonesia yakni Megawati Soekarno Putri, serta masih banyak lagi perempuan yang bertebaran menjadi Gubernur, Bupati/wali Kota, Camat dan atau pimpinan di lembaga legislatif.
Turun gunungnya perempuan ke dunia politik didasarkan pada dalil-dalil keagamaan, salah satunya termaktub dalam QS at-Taubah (9): 71  yakni: “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. 
Kondisi sekarang ini memungkinkan perempuan untuk berpolitik, sesuai dengan situasi dan kondisi. Memang para ulama dan pemikir masa lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan sebagai Kepala Negara karena kondisi perempuan sendiri yang belum berdaya dan siap untuk menduduki jabatan. Dengan alasan situasi dan kondisi pula, pastinya fatwa dan pandangan harus berubah dan tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin Negara. Bukankah, dari segi kauntitas dan kualitas perempuan sekarang ini tidak kalah dengan lelaki. Dengan demikian, keberadaan perempuan di dunia politik dapat merubah citra politik yang selama ini sudah given. Seolah-olah politik itu menjadi dunia lelaki yang keras dan kejam. Kehadiran perempuan yang lembut dan santun dalam dunia politik menjadi harapan perubahan citra politik tersebut menjadi politik yang santun dan beretika.
Dengan kemampuan teknologi dan kemauan kuat perempuan untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, sehingga perempuan bisa mempengaruhi lelaki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah, maka perempuan dapat keluar dari belenggu structural dan kultural yang selama ini membelenggunya di dunia politik. Dan kalau hal tersebut dapat diraihnya, maka ketika itu perempuan memiliki dua senjata yang sangat ampuh yakni perasaan halus yang dapat menyentuh kalbu dan argumentasi kuat yang menyentuh nalar (Shihab,2005). Kemampuan menggabungkan kedua kekuatan tersebut dapat mewujudkan kepemimpinan yang sehat dan langgeng. Ibarat kehidupan rumah tangga, suami adalah kepala, istri harus menjadi leher. Keduanya satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kepala tidak dapat bergerak kalau leher tidak bergerak, dan leher tidak akan bergerak kecuali diisyaratkan oleh kepala.
Keseimbangan dua senjata ampuh perempuan sebagai bekal terjun ke politik tersebut di atas mampu mendekonstruksi politik kejam dan sadis menjadi politik yang santun dan nir-kekerasan. Karena itu ruang politik bagi perempuan berasaskan kebebasan politik dan kesamaan harus terjamin, sehingga budaya politik yang baik adalah bila politik mampu menjamin prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, keadilan dan solidaritas (Haryatmoko, 2003). Dalam politik santun ini dimungkinkan adanya pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku dalam mengkonstruksi budaya politik santun.
Dalam konteks ini, kiranya benar apa yang dinyatakan oleh Hannah Arendt (Filosof Politik Inggris), bahwa politik adalah seni untuk mengabadikan diri manusia. Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang oleh sesame warga Negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama. Jasa dan pretasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama yang memberi bobot identitas politikus yang dapat mengkonstruksi politik santun dan nir-kekerasan.
PEREMPUAN SEBAGAI PENENTU
Perempuan di dunia lelaki harus dapat fungsional melahirkan politik santun, beretika dan nir-kekerasan. Wajah politik yang sadis, kejam dan tidak adil menjadi identitas politik Indonesia sudah saatnya berubah dan tidak patut dipertahankan. Menurut Haryatmoko struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan. Praktik kekuasaan dijalalankan bukan atas dasar etika politik, namun untuk mempertahankan kekuasaan. Akibatnya banyak kohesi diberikan yang mengorbankan tujuan utama politik (kesejahteraan bersama) dan mengabaikan upaya mengatasi korupsi, sadisme politik dan ketidakadilan.
Dalam konteks pilgub NTB, siapapun yang mau manarik hati pemilih perempuan, sebaiknya menampilkan wajah politik yang santun, berempati terhadap nasib perempuan, beretika, serius mengatasi dan menindak penyimpangan anggaran (Bansos, SPPD fiktip) dan berlaku adil terhadap semua elemen masyarakat NTB. Tidak ada jalan lain Untuk bisa menarik pemilih perempuan, para balon gubernur sebaiknya menunjukkan kepedulian dan empati terhadap isu-isu gender dan persoalan perempuan. Mereka juga, harus menunjukan komitmen untuk memberikan tempat kepada perempuan di jabatan-jabatan birokrasi (karena memang tidak ada cagub dan cawagub dari perempuan).
Hal penting lainnya, para pasangan calon gubernur bisa mengandalkan daya tariknya dengan memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang dialami kaum perempuan, seperti kekerasan terhadap perempuan, KDRT, nasib TKW dan keluarganya, serta isu-isu gender lainnya. Komitmen dan kebijakan politik untuk memperbaiki masa depan perempuan dapat menjadi jaminan bahwa pasangan mereka layak dipilih oleh pemilih perempuan. Ingat bahwa perempuan sudah tidak banyak bergantung pada keputusan politik lelaki, sebagaimana nano-nano pilihan politik pada pemilihan Kepala Desa tersebut di atas.
Dan yang utama, jika mau dipilih pemilih perempuan maka competitor politik harus menjaga harkat dan martabat perempuan, jangan sampai menyayat dan menyakiti hati perempuan, seperti dengan melakukan nikah siri ala Mantan Bupati Garut Jawa Barat Aceng M. Fikri. Mayoritas perempuan di NTB masih menganggap poligami sebagai pantangan walaupun boleh menurut agama, tetapi tidak bagi perempuan. Dalam konteks politik, poligami dengan nikah sirri menjadi dosa politik yang harus diberikan sanksi berat, setidaknya itu yang terbaca dari SK pemakzulan  Aceng M. Fikri sebagai Bupati Garut.
Atas nama keadilan, semestinya Presiden SBY dapat juga memberikan sanksi serupa kepada semua pejabat pemerintah yang melakukan nikah sirri sesuai perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tidak terkesan pemakzulan Aceng M. Fikri sebagai tebar pesona politik setengah hati. Lalu, bagaimana dengan pejabat pemerintah yang beristri lebih dari satu tetapi secara hukum tidak mempunyai akte nikah, misalnya. Secara agama sah, tetapi hukum Negara belum dicatatkan. Sama artinya dengan melanggar etika dan sumpah jabatan yang harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sangat menyakiti hati perempuan yang ingin dikasihi, disayangi dan ayomi dengan cinta.
Berkaitan dengan permasalahan potensi yang mungkin dapat menyakiti hati perempuan, maka Balon Gubernur yang akan bertarung pada Pilgub Tanggal 13 Mei 2013 mendatang, sebaiknya menyusun strategi dan program politik yang berorientasi policy problem solving terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan atau masyarakat NTB. Program dan tindakan yang terukur dapat menjadi pelipur lara dan obat kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini. Sepertinya, janji-janji syurgawi sebagai janji-janji politik (pendidikan gratis, kesehatan gratis, dll) sampai sekarang tidak pernah terwujud. Janji tinggal janji dan janji ditaruh dalam peti emas untuk dimunculkan kembali saat kampanye berikutnya. Tetapi masyarakat tidak lupa akan janji itu dan bukan hal yang mustahil kalau masyarakat melupakan janji itu sekaligus dengan orang yang pernah berjanji.
Nah, perempuan biasanya punya ingatan yang sangat kuat akan janji-janji yang pernah diucapkan (apalagi) oleh lelaki yang dikaguminya. Melanggar janji terhadap perempuan berarti malapetaka bagi lelaki. janji-janji politik masuk dalam katagori janji yang sulit dilupakan masyarakat, dan biasanya menjadi bumerang bagi calon yang akan maju kembali. Artinya janji-janji politik lima tahun lalu pasti akan ditagih oleh masyarakat. Rumusnya sangat sederhana, tepati janji lima tahun yang lalu, baru kemudian berfikir ulang untuk dipilih kembali. Jika tidak, maka pasti masyarakat akan memberikan sanksi politik dengan cara tidak memilihnya pada pencalonan berikutnya. Sanksi politik tersebut bukan pepesan kosong masyarakat, tetapi sudah banyak bukti, terutama bagi calon legislative.
TGB tentu masih punya peluang untuk menang pada pimilu gubernur NTB mendatang asalkan dia mampu membayar dan menutupi semua kekurangannya selama lima tahun memimpin NTB. Dan yang terpenting bagaimana mendekati perempuan dengan program-program pemberdayaan untuk kesejahteraan perempuan NTB serta mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang membelenggunya selama ini, seperti kekerasan terhadap para TKW dan KDRT. Mengangkat harkat dan martabat perempuan NTB menjadi tugas berat Gubernur NTB mendatang (Siapapun yang akan terpilih). Dengan demikian, jika mau menjadi pemenang pada pemilu Gubernur mendatang, maka dekati dengan hati dan program yang mensejahterakan kaum perempuan NTB. Mengapa? karena perempuan NTB sudah banyak yang melek politik dan sudah terbebas dari belenggu structural dan kultural dominasi lelaki dalam pilihan politik. Jadi, perempuan dapat menjadi penentu dalam pemilihan gubernur mendatang. Tinggal bagaimana balon gubernur mendekatinya. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
IAI Qamarul Hudha, 04032013.09.59.      

0 komentar: