Dalam
bincang-bincang dengan beberapa sahabat yang berstatus sebagai PNS di Lesehan
TIFA kota Mataram terungkap kenyataan bahwa PNS susah untuk menempatkan dirinya
atau menjaga netralitas ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik Pemilu
Gubernur maupun Pemilu Bupati atau Walikota. Ada pameo dikalangan PNS yang
menyatakan bahwa dalam Pilkada “Mendukung
salah, tidak mendukung salah dan netral menjadi tambah salah”. Repot
menjadi abdi Negara pada situasi seperti ini, kata Sahabat Rezowan.
Tidak mendukung
dianggap tidak loyal kepada pimpinan. Bersikap netral dituduh sebagai Satria
Baja Hitam yang tidak jelas keberadaan remote controlnya. Mendukungpun menjadi
neraka jika calon yang didukungnya kalah. Kalau calonnya menang, sudah hampir
pasti kariernya bersinar terang. Promosi jabatan siap menanti dan karier sudah
pasti mulus. Terkadang karena jasa-jasanya dalam memenangkan Pemilu Kepala
Daerah PNS menjadi lebih nyaman hidupnya bila dibandingkan dengan PNS lain.
Parahnya lagi, pada promosi jabatan seakan Baperjakat bagaikan sapi ompong yang
siap digiring-garong tanpa bisa membantah kepada big Bos.
Memang Susah,
kalau loyalitas sudah diukur dari ketaatan terhadap pimpinan (bukan karena
prestasi kerja). Suatu bentuk ketaatan yang sesat dan menyesatkan bila
menggunakan logika birokrasi yang seharusnya. Menurut Max Weber (1864)
Birokrasi melambangkan suatu proses rasionalisasi yang menandai masyarakat
modern dan yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masyarakat yang tradisional.
Pada hakekatnya, kata Weber, birokrasi tergantung pada hubungan yang ada antara
seperangkat peraturan formal dengan seperangkat jabatan. Jabatan-jabatan
tersebut diorganisasikan sedemikian rupa untuk memaksimalkan efisiensi
pengawasan pelaksanaan peraturan.
Untuk lebih
memahami birokrasi dalam kaitannya dengan ketaatan atau loyalitas orang yang
berada di dalamnya, kiranya penting untuk mengetahui tentang ciri-ciri pokok
organisasi yang birokratis. (1). Birokrasi bercirikan suatu norma yang
ditetapkan melalui kesepakatan atau pemaksaan atas dasar alasan kepatutan atau
nilai-nilai rasional disertai dengan tuntutan ketaatan setidak-tidaknya pada
sebagian dari anggota kelompok
korporasi. (2). Dalam birokrasi, pelaksanaan hukum terletak pada
penerapan aturan terhadap kasus-kasus khusus. Proses administratif merupakan
upaya pemenuhan secara rasional kepentingan-kepentingan yang dispesifikasikan
dalam tatanan yang mengatur kelompok korporasi dengan batas-batas yang
ditetapkan oleh aturan-aturan hukum yang sah. (3). Dalam birokrasi, orang punya
otoritas menduduki suatu jabatan. Dalam tindakan yang berhubungan dengan
statusnya (termasuk perintah-perintah yang dikeluarkannya kepada orang lain),
dia tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakan. (4).
Orang yang mentaati otoritas (berbuat demikian) hanya dalam kapasitas sebagai
seorang anggota kelompok korporasi dan apa yang ditaatinya tak lain adalah
hukum. (5). Para anggota kelompok korporasi ketaatan atau loyalitas ditujukan
kepada tatanan yang impersonal bukan kepada pribadi perseorangan. (6). Tindakan,
keputusan dan aturan-aturan administrasi dirumuskan dan dicatat secara tertulis
(bahkan dalam kasus-kasus di mana pembicaraan lisan sudah menjadi aturan atau
perintah sekalipun) (Guzzort & King W.G Waseso, 1987).
Dalam suatu
birokrasi, kata Weber kesetiaan menjadi abstrak. Sebagai contoh, sebagian
rakyat yang menyatakan keinginan mereka untuk bekerja atau mati demi Negara
(Indonesia), tetapi mereka akan menganggap tidak masuk akal kalau harus bekerja
atau mati demi Presiden (A). Juga, dianggap tidak masuk akal kalau mantan Ketua
DPC Demokrat Cilacap Tridiyanto yang mau dan rela mengorbankan nyawanya demi
membela Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat). Begitu pula
halnya dengan simpatisan ormas atau partai tertentu yang membela mati-matian dan
siap berperang untuk membela calonnya, juga tidak masuk akal. Lalu bagaimana
dengan PNS yang siap berdarah-darah untuk membela calon Kepala Daerah agar
terpilih kembali?
Terus terang,
saya termasuk orang yang pesimis dan selalu mempertanyakan sikap netralitas PNS
dalam Pemilu Kepala Daerah. Saya yakin, sebagian besar PNS tidak netral pada
setiap Pemilu Kepala Daerah dan bahkan dengan terang-terangan menjadi Tim
Sukses pasangan calon. Saya menyaksikan sendiri bagaimana bangganya beberapa
orang PNS di lingkup Perguruan Tinggi Negeri di Mataram yang keluar masuk
kampus mengendarai mobil operasional satu pasangan calon Gubernur. Belum lagi
PNS yang bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk memenangkan jagoannya. Karena
itu, saya masih yakin bahwa PNS tidak ada yang netral dalam Pemilu Kepala
Daerah.
Hasil penelitian
LIPI Tahun 2005 menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
netralitas PNS terganggu sebagaimana perintah undang-undang, yakni kuatnya
ketokohan atau personality menanamkan pengaruh terhadap PNS, kuatnya
kepentingan PNS untuk mobilitas karier secara instan dan cepat, lemahnya
sosialisasi institusi, kuatnya hubungan patron-client dan peran shadow
bureaucracy. Penelitian LIPI itu dilakukan di tiga daerah yang melaksanakan
Pilkada yakni Malang, Gowa dan Kutai Kertanegara.
Secara normative
keharusan netralitas PNS sangat tegas dalam UU No. 43 Tahun 1999, PP No. 32
Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005. Hal ini dipertegas lagi dengan Surat Edaran
Mendagri Nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009 dan PP No. 53 Tahun 2010
tentang disiplin PNS pasal 4 dengan tegas menyebutkan larangan bagi PNS untuk terlibat dukung
mendukung.
Netralitas PNS
dengan demikian mutlak diwujudkan mengingat keputusan MK terhadap hasil
yudicial review Bawaslu terhadap UU No. 32 Tahun 2004 pasal 116 yang sudah
mengkatagorikan keberpihakan PNS sebagai tindak Pidana. Semua pihak harus
benar-benar mau mengawasi dan mendukung netralitas PNS untuk menghasilkan
Pilkada yang berkualitas dan bermartabat.
Tanggungjawab
menjaga netralitas PNS sebenarnya menjadi tanggungjawab kepala daerah sekalipun
yang bersangkutan ikut bertarung dalam pilkada. Paling-paling yang dapat
dilakukan oleh Kepala Daerah sebatas memberikana himbauan dan mengeluarkan
Surat Edaran tentang pentingnya netralitas PNS dan bentuk hukumannya bagi yang
melanggar. Namun, saya yakin pula bahwa Kepala Daerah yang menjadi calon sangat
sulit untuk mewujudkan dan menjaga netralitas itu,
Secara umum ada
beberapa larangan bagi PNS yakni: (1). Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk
mendukung Calon Kepala Daerah. (2). Menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatannya dalam kegiatan kampanye. (3). Membuat keputusan dan atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama kampanye.
Bagi yang
melanggar larangan itu akan mendapatkan hukuman disiplin seperti (1). Hukuman
disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama
satu Tahun bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan kampanye, PNS yang duduk dalam
Panitia Pengurus Pemilihan tanpa izin pejabat Pembina Kepegawaian atau atasan
langsung. (2). Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan
kampanye untuk mendukung kepala atau wakil kepala Daerah, PNS yang menggunakan
fasilitas terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye, PNS yang menjadi
anggota PPK, PPS, KPPS tanpa izin dari Pejabat Pembina Kepegawaian atau atasan
langsung. (3). Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan tidak
hormat dari PNS bagi PNS yang menggunakan anggaran Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah dalam proses pemilihan Kepala Daerah atau Wakil Kepala
Daerah, PNS yang menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dalam pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PNS yang membuat keputusan dan atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye.
Pada setiap
perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, tidak terkecuali di
NTB, keberpihakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selalu menjadi persoalan. Atau
dengan kata lain, netralitas PNS selalu disangsikan. Karena itu, dalam beberapa
kesempatan acara-acara resmi Gubernur NTB menghimbau kepada semua PNS di
lingkup pemprov untuk menjaga netralitasnya dan bahkan Wagub NTB Badrul Munir
akan membentuk Tim Pemantau untuk menghimpun data tentang keterlibatan PNS.
Aturannya jelas
dan sanksinyapun sudah pasti bagi PNS yang terlibat dalam politik praktis
sebagai Tim Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah. Hanya permasalahannya,
apakah ada PNS yang berani untuk tidak menjadi Tim Sukses bagi pasangan calon
(apalagi yang mau maju sebagai calon adalah incamben). Saya yakin pasti mereka
para PNS ikut bermain cantik di balik layar atau semacam dramaturgi. Memang
susah, sebagaimana pameo telah disinggung di atas bahwa mendukung salah, tidak
mendukung salah, dan netral malah tambah salah. Suatu posisi dilematis abdi
Negara dalam bingkai birokrasi.
Apa yang dapat
dilakukan kemudian? Sebaiknya PNS tetap netral dan meningkatkan
profesionalitasnya sebagai abdi Negara. Jika PNS mampu bersikap netral, maka
siapapun yang terpilih menjadi Kepala Daerah posisinya tetap aman, kecuali
kinerjanya memang tidak memenuhi standar. Sebagai abdi Negara seharusnya PNS
tetap menjaga netralitasnya sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Bisakah para
PNS kita bersikap netral? Inilah pertanyaan yang susah dijawab ketika ditautkan
dengan fakta di lapangan. Nyatanya PNS memang tidak ada yang netral, buktinya
dapat dilihat ketika terjadi mutasi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Pengangkatan
jabatan kebanyakan di dasarkan pada politik balas jasa dan tidak semata-mata berdasarkan
profesionalitas dan prestise Abdi Negara.
Tentunya,
menjelang pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah di NTB masyarakat masih tetap
berharap agar PNS menjaga netralitas, prefesionalitas dan semangat kerja untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat NTB. Siapapun Kepala Daerah yang
terpilih pada Pemilu Kepala Daerah di NTB, PNS tetap netral. Kepala Daerah pada
posisi ini punya kewajiban untuk menjaga netralitas para PNS sebagai Abdi
Negara (kecuali sebagai Abdi Jabatan). Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Lantai Dua IAI
Qamarul Huda, 07032013.15.59.
0 komentar:
Posting Komentar