Rabu, 06 Maret 2013

MENYOAL NETRALITAS PNS MENJELANG PILGUB NTB


Dalam bincang-bincang dengan beberapa sahabat yang berstatus sebagai PNS di Lesehan TIFA kota Mataram terungkap kenyataan bahwa PNS susah untuk menempatkan dirinya atau menjaga netralitas ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik Pemilu Gubernur maupun Pemilu Bupati atau Walikota. Ada pameo dikalangan PNS yang menyatakan bahwa dalam Pilkada “Mendukung salah, tidak mendukung salah dan netral menjadi tambah salah”. Repot menjadi abdi Negara pada situasi seperti ini, kata Sahabat Rezowan.
Tidak mendukung dianggap tidak loyal kepada pimpinan. Bersikap netral dituduh sebagai Satria Baja Hitam yang tidak jelas keberadaan remote controlnya. Mendukungpun menjadi neraka jika calon yang didukungnya kalah. Kalau calonnya menang, sudah hampir pasti kariernya bersinar terang. Promosi jabatan siap menanti dan karier sudah pasti mulus. Terkadang karena jasa-jasanya dalam memenangkan Pemilu Kepala Daerah PNS menjadi lebih nyaman hidupnya bila dibandingkan dengan PNS lain. Parahnya lagi, pada promosi jabatan seakan Baperjakat bagaikan sapi ompong yang siap digiring-garong tanpa bisa membantah kepada big Bos.
Memang Susah, kalau loyalitas sudah diukur dari ketaatan terhadap pimpinan (bukan karena prestasi kerja). Suatu bentuk ketaatan yang sesat dan menyesatkan bila menggunakan logika birokrasi yang seharusnya. Menurut Max Weber (1864) Birokrasi melambangkan suatu proses rasionalisasi yang menandai masyarakat modern dan yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masyarakat yang tradisional. Pada hakekatnya, kata Weber, birokrasi tergantung pada hubungan yang ada antara seperangkat peraturan formal dengan seperangkat jabatan. Jabatan-jabatan tersebut diorganisasikan sedemikian rupa untuk memaksimalkan efisiensi pengawasan pelaksanaan peraturan.
Untuk lebih memahami birokrasi dalam kaitannya dengan ketaatan atau loyalitas orang yang berada di dalamnya, kiranya penting untuk mengetahui tentang ciri-ciri pokok organisasi yang birokratis. (1). Birokrasi bercirikan suatu norma yang ditetapkan melalui kesepakatan atau pemaksaan atas dasar alasan kepatutan atau nilai-nilai rasional disertai dengan tuntutan ketaatan setidak-tidaknya pada sebagian dari anggota kelompok  korporasi. (2). Dalam birokrasi, pelaksanaan hukum terletak pada penerapan aturan terhadap kasus-kasus khusus. Proses administratif merupakan upaya pemenuhan secara rasional kepentingan-kepentingan yang dispesifikasikan dalam tatanan yang mengatur kelompok korporasi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh aturan-aturan hukum yang sah. (3). Dalam birokrasi, orang punya otoritas menduduki suatu jabatan. Dalam tindakan yang berhubungan dengan statusnya (termasuk perintah-perintah yang dikeluarkannya kepada orang lain), dia tunduk kepada suatu tatanan yang menjadi kiblat bagi segala tindakan. (4). Orang yang mentaati otoritas (berbuat demikian) hanya dalam kapasitas sebagai seorang anggota kelompok korporasi dan apa yang ditaatinya tak lain adalah hukum. (5). Para anggota kelompok korporasi ketaatan atau loyalitas ditujukan kepada tatanan yang impersonal bukan kepada pribadi perseorangan. (6). Tindakan, keputusan dan aturan-aturan administrasi dirumuskan dan dicatat secara tertulis (bahkan dalam kasus-kasus di mana pembicaraan lisan sudah menjadi aturan atau perintah sekalipun) (Guzzort & King W.G Waseso, 1987).
Dalam suatu birokrasi, kata Weber kesetiaan menjadi abstrak. Sebagai contoh, sebagian rakyat yang menyatakan keinginan mereka untuk bekerja atau mati demi Negara (Indonesia), tetapi mereka akan menganggap tidak masuk akal kalau harus bekerja atau mati demi Presiden (A). Juga, dianggap tidak masuk akal kalau mantan Ketua DPC Demokrat Cilacap Tridiyanto yang mau dan rela mengorbankan nyawanya demi membela Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat). Begitu pula halnya dengan simpatisan ormas atau partai tertentu yang membela mati-matian dan siap berperang untuk membela calonnya, juga tidak masuk akal. Lalu bagaimana dengan PNS yang siap berdarah-darah untuk membela calon Kepala Daerah agar terpilih kembali?
Terus terang, saya termasuk orang yang pesimis dan selalu mempertanyakan sikap netralitas PNS dalam Pemilu Kepala Daerah. Saya yakin, sebagian besar PNS tidak netral pada setiap Pemilu Kepala Daerah dan bahkan dengan terang-terangan menjadi Tim Sukses pasangan calon. Saya menyaksikan sendiri bagaimana bangganya beberapa orang PNS di lingkup Perguruan Tinggi Negeri di Mataram yang keluar masuk kampus mengendarai mobil operasional satu pasangan calon Gubernur. Belum lagi PNS yang bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk memenangkan jagoannya. Karena itu, saya masih yakin bahwa PNS tidak ada yang netral dalam Pemilu Kepala Daerah.
Hasil penelitian LIPI Tahun 2005 menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan netralitas PNS terganggu sebagaimana perintah undang-undang, yakni kuatnya ketokohan atau personality menanamkan pengaruh terhadap PNS, kuatnya kepentingan PNS untuk mobilitas karier secara instan dan cepat, lemahnya sosialisasi institusi, kuatnya hubungan patron-client dan peran shadow bureaucracy. Penelitian LIPI itu dilakukan di tiga daerah yang melaksanakan Pilkada yakni Malang, Gowa dan Kutai Kertanegara.
Secara normative keharusan netralitas PNS sangat tegas dalam UU No. 43 Tahun 1999, PP No. 32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005. Hal ini dipertegas lagi dengan Surat Edaran Mendagri Nomor 270/4627/sj tertanggal 21 Desember 2009 dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS pasal 4 dengan tegas menyebutkan  larangan bagi PNS untuk terlibat dukung mendukung.
Netralitas PNS dengan demikian mutlak diwujudkan mengingat keputusan MK terhadap hasil yudicial review Bawaslu terhadap UU No. 32 Tahun 2004 pasal 116 yang sudah mengkatagorikan keberpihakan PNS sebagai tindak Pidana. Semua pihak harus benar-benar mau mengawasi dan mendukung netralitas PNS untuk menghasilkan Pilkada yang berkualitas dan bermartabat.
Tanggungjawab menjaga netralitas PNS sebenarnya menjadi tanggungjawab kepala daerah sekalipun yang bersangkutan ikut bertarung dalam pilkada. Paling-paling yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah sebatas memberikana himbauan dan mengeluarkan Surat Edaran tentang pentingnya netralitas PNS dan bentuk hukumannya bagi yang melanggar. Namun, saya yakin pula bahwa Kepala Daerah yang menjadi calon sangat sulit untuk mewujudkan dan menjaga netralitas itu,
Secara umum ada beberapa larangan bagi PNS yakni: (1). Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung Calon Kepala Daerah. (2). Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye. (3). Membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama kampanye.
Bagi yang melanggar larangan itu akan mendapatkan hukuman disiplin seperti (1). Hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu Tahun bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan kampanye, PNS yang duduk dalam Panitia Pengurus Pemilihan tanpa izin pejabat Pembina Kepegawaian atau atasan langsung. (2). Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi PNS yang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung kepala atau wakil kepala Daerah, PNS yang menggunakan fasilitas terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye, PNS yang menjadi anggota PPK, PPS, KPPS tanpa izin dari Pejabat Pembina Kepegawaian atau atasan langsung. (3). Hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari PNS bagi PNS yang menggunakan anggaran Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dalam proses pemilihan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, PNS yang menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PNS yang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.  
Pada setiap perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, tidak terkecuali di NTB, keberpihakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selalu menjadi persoalan. Atau dengan kata lain, netralitas PNS selalu disangsikan. Karena itu, dalam beberapa kesempatan acara-acara resmi Gubernur NTB menghimbau kepada semua PNS di lingkup pemprov untuk menjaga netralitasnya dan bahkan Wagub NTB Badrul Munir akan membentuk Tim Pemantau untuk menghimpun data tentang keterlibatan PNS.
Aturannya jelas dan sanksinyapun sudah pasti bagi PNS yang terlibat dalam politik praktis sebagai Tim Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah. Hanya permasalahannya, apakah ada PNS yang berani untuk tidak menjadi Tim Sukses bagi pasangan calon (apalagi yang mau maju sebagai calon adalah incamben). Saya yakin pasti mereka para PNS ikut bermain cantik di balik layar atau semacam dramaturgi. Memang susah, sebagaimana pameo telah disinggung di atas bahwa mendukung salah, tidak mendukung salah, dan netral malah tambah salah. Suatu posisi dilematis abdi Negara dalam bingkai birokrasi.
Apa yang dapat dilakukan kemudian? Sebaiknya PNS tetap netral dan meningkatkan profesionalitasnya sebagai abdi Negara. Jika PNS mampu bersikap netral, maka siapapun yang terpilih menjadi Kepala Daerah posisinya tetap aman, kecuali kinerjanya memang tidak memenuhi standar. Sebagai abdi Negara seharusnya PNS tetap menjaga netralitasnya sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Bisakah para PNS kita bersikap netral? Inilah pertanyaan yang susah dijawab ketika ditautkan dengan fakta di lapangan. Nyatanya PNS memang tidak ada yang netral, buktinya dapat dilihat ketika terjadi mutasi yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Pengangkatan jabatan kebanyakan di dasarkan pada politik balas jasa dan tidak semata-mata berdasarkan profesionalitas dan prestise Abdi Negara.
Tentunya, menjelang pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah di NTB masyarakat masih tetap berharap agar PNS menjaga netralitas, prefesionalitas dan semangat kerja untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat NTB. Siapapun Kepala Daerah yang terpilih pada Pemilu Kepala Daerah di NTB, PNS tetap netral. Kepala Daerah pada posisi ini punya kewajiban untuk menjaga netralitas para PNS sebagai Abdi Negara (kecuali sebagai Abdi Jabatan). Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Lantai Dua IAI Qamarul Huda, 07032013.15.59.

0 komentar: