Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang-bincang dengan beberapa orang yang tidak memilih (golput) pada pemil.ihan Kepala Desa, baik di Lombok Barat maupun di Lombok Tengah. Kami berbincang dengan santai di teras rumah salah seorang warga sambil meminum kopi khas Sasak (Lombok) dan Ubi Goreng. Perbincangan kami hanya untuk mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa mereka tidak memilih pada Pilkades. Apa yang kami hasratkan memang tercapai, tetapi kami agak kaget, ternyata beberapa orang dari mereka memang tidak pernah memilih. Alasannya sangat sederhana, bahwa memilih atau tidak memilih, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan pribadinya. Apakah dengan saya memilih, kemudian hidup saya bisa menjadi lebih baik, ternyata tidak, katanya menjawab pertanyaanya sendiri. Kehidupan saya, ya, kehidupan saya dan tidak ada kaitannya dengan memilih atau tidak memilih.
Perbincangan di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa masyarakat sudah jenuh dengan Pemilu (termasuk Pemilu Kepala Daerah). Dengan demikian, golput sejatinya harus dianggap sebagai suatu proses normal dalam setiap pemilu yang diadakan di semua Negara, termasuk Indonesia. Dan juga, kehadiran golput senantiasa menjadi pernik-pernik penghias pelaksanaan Pemilu dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap pemenang Pemilu, sebagaimana yang terjadi pada Pemilukada di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Hitadup golput, hidup gollput, hidup golput. Itulah kalimat yang patut diteriakkan, ketika melihat hasil pemilihan gubernupr Jawa Barat dan Sumatera Utara. Bagaimana tidak berteriak gembira, ternyata suara golput lebih tinggi dibandingkan perolehan suara yang didapatkan oleh pasangan calon gubernur di dua daerah yang berbeda itu. Melihat prosentase perolehan suara Ahmad Heryawan dengan Dedi Mizwar mendapatkan angka 33,20 persen, sementara angka golput 34,10 persen pada pemilu di Jawa Barat. Dan angka golput pada pemilu gubernur Sumatera Utara mencapai angka 51,50 persen, sementara pasangan Pujo-Erry hanya mencapai angka 33,51 persen. Keduanya tetap ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pemilu Kepala Daerah walaupun angka golputnya tinggi.
Permasalahannya kemudian, apa yang harus dilakukan kalau seandainya pada setiap Pemilu angka golputnya mencapai angka 50+1 persen? Dari perspektif hukum, mungkinkah Pemilu diulang atau dikatagorikan sebagai cacat hukum? Kiranya pemerintah perlu memikirkan dan sebaiknya diatur sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang pemilu. Sementara dari perspektif politik, meningginya angka golput paling dianggap sebagai pemerintahan yang tidak legitimate dan rawan di makzulkan.
Sebuah pemerintahan akan semakin legitimate jika didukung oleh suara rakyat yang berdaulat. Artinya semakin besar dukungan itu akan semakin legitimate sebuah pemerintahan. Partai politik sebagai peramu menu kebangsaan, hidangannya sedang tidak diminati oleh masyarakat dan ditambah lagi gizi politik yang dikandungnya pun tidak memenuhi standar minimal asupan yang harus tersedia (Musa, 2003). Rakyat bukan semakin sehat, tetapi semakin kurus dan ringkih secara politik. Akibatnya kepercayaan rakyat berangsur-angsur memudar. Titik inilah yang memberikan celah bagi munculnya golongan putih (golput). Sebagai data empiris, tingginya angka golput pada Pemilu Kepala Daerah Jawa Barat dan Sumatera Utara menembus angka 34,10 – 51,50 persen.
Angka golput yang sangat pantastik .ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak (Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu). Masalahnya, apa makna dibalik tingginya angka golput di atas? Faktor-faktor apa yang menyebabkannya? Dan bagaimana antisipasi ke depannya? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Namun demikian, perlu kiranya memberikan pemahaman tentang makna golput.
Secara koseptual, golput mempunyai dua makna yakni psikologis dan politis. Makna psikologis bisa menyangkut kepribadian dan orientasi pemilih. Perilaku golput disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tidak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi (Aspar, 2006). Para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cendrung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena menganggap issu-issu kampanye dan program yang ditawarkan partai politik tidak berhubungan dengan kepemimpinannya. Ketidakhadiran pemilih ke TPS karena partai tidak mampu menawarkan program sesuai dengan preferensi politik mereka.
Orientasi kepribadian tampak pada sikap apatis, anomi dan alienasi. Apatisme merupakan inkarnasi atau perkembangan lebih lanjut dari kepribadian otoriter yang ditandai dengan tiadanya hasrat terhadap persoalan politik. Anomi menunjuk pada perasaan tidak berguna. Pemilih memandang bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempunyai pengaruh yang berarti, karena keputusan-keputusan politik berada di luar kontrol pemilih. Anggota Dewan setelah terpilih sibuk dengan logika-logikanya sendiri dalam mengambil setiap keputusan politik dan dalam banyak hal berada di luar jangkauan pemilih atau konstituennya. Artinya, konstituen oleh politisi masih tetap dianggap sebagai objek penderita.
Alienasi berada di luar apatis dan anomi (Asfar, 2006). Menurut Karl Marx alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan ekonomi (termasuk politik). Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh untuk mengatasi keterasingan (alienasi) pemilih. Jika perasaan keterasingan (alienasi) ini memuncak, kemungkinannya akan mengambil bentuk alternative aksi politik, seperti kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan tindakan kekerasan politik.
Apa yang dapat dibaca dari meningginya angka golput pada setiap pemilu? Ada dua hal yang dapat dibaca dari ketidakhadiran pemilih ke TPS yakni (1). Bisa dianggap sebagai ketidakpercayaan pemilih terhadap pemerintah yang sedang berkuasa rendah. (2). Dianggap sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Karenanya, ketidakhadiran pemilih menandakan bahwa mereka puas terhadap kinerja pemerintah yang berkuasa, karena itu tidak perlu hadir ke TPS. Mereka akan berpartisipasi ketika pemerintah tidak becus dalam mengelola Negara atau dengan perkataan lain seseorang akan berpartisipasi ketika kecewa terhadap pemerintah dengan hasrat untuk mencari pemimpin yang baru.
Faktisitas dan kondisi politik saat ini, dapat menjadi pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Umumnya, para pemilih yang berpendidikan memadai dan pemilih rasional mempunyai kecendrungan golput. Dalam studi voting behavior, menurut Muhammad Asfar (2006) pemilih rasional mempunyai kalkulasi untung rugi dalam menentukan pilihan politiknya. Biasanya berkaitan dengan program-program yang ditawarkan sesuai dengan preferensi politiknya dan siapa kandidat yang bisa memperjuangkan aspirasi tersebut.
Pada aras ini, pemilih rasional tidak mempunyai kedekatan dengan suatu partai politik dan biasanya pemilih memiliki beberapa preferensi pilihan politik, mulai dari yang paling disukai sampai paling dibenci. Ketika berada di bilik suara, mereka tidak harus memilih partai yang paling disukai, tetapi juga memperhitungkan program dan kualitas orang-orang yang akan memperjuangkan program tersebut. Maksudnya, terawangan terhadap para caleg menjadi faktor penting untuk dipilih walaupun partainya tidak sama.
Hanya saja, kalkulasi untung rugi terhadap kandidat tidak selamanya bersifat rasional. Tetapi juga pada latarbelakang sosial ekonomi dan ketokohannya. Bagi pemilih semacam ini, tidak penting melihat kemampuan intelektual, wawasan, penguasaan dan pengalaman, tetapi cukup melihat dari orang tuanya (keturunan), latarbelakang organisasi (NU, Muhamadiyah, NW) dan lainnya. Bahkan tidak sedikit pemilih kandidat berdasarkan tampilan fisiknya.
Untuk menekan angka golput pada pemilu Kepala Daerah pada tanggal 13 Mei 2013 mendatang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan kinerja parpol (Musa, 2003) dan program penyelenggara Pemilu yaitu:
(1). Perlu ada upaya dari setiap partai politik agar dapat menampilkan kader-kader partai dengan tingkat kualitas sumber daya manusia yang handal, dilihat dari segi pendidikan formal ataupun kemampuan serta wawasan para kader. Kualitas kader ini menjadi sangat penting sebab mereka yang akan menjadi legislator mewakili partai politik. Makanya jangan heran kalau kualitas para legislator diragukan kompetensinya oleh masyarakat.
(2). Perlu ada ruang atau space umur kader muda. Maksudnya, dengan memberikan kesempatan kepada kader muda parpol untuk berkiprah di ranah perpolitikan nasional selain menunjukan keberhasilan kaderisasi partai, juga menunjukan sikap kenegarwanan pimpinan parpol dalam memberikan tongkat estafet kepemimpinan. Secara kasat mata tampak bahwa tokoh-tokoh partai tidak rela memberikan ruang dan kesempatan bagi kader muda partai untuk menunjukkan potensinya, sehingga terkesan partai tertentu miskin kader.
(3).Perbaikan parpol harus diupayan sedemikian rupa sehingga parpol benar-benar akan menjadi alat perjuangan rakyat yang mewujud dalam gerakan kerakyatan yang bersifat advokatif dan futuristic. Maksudnya, pembelaan parpol kepada kepentingan rakyat harus benar-benar terealisasikan dan tidak hanya mencakup problema kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
(4). Perbaikan parpol harus menyentuh wilayah sistemik internal kepartaian, baik menyangkut paradigm, visi dan misi, pola rekrutmen, pengkaderan, kredibilitas dan integritas pimpinan. Logikanya, bagaimana mungkin parpol mau mengurus rumah tangga rakyat secara sehat, jika rumah tangga sendiri berantakan dan mengandung virus penyakit yang mematikan.
(5). Parpol memberikan program dan pendidikan politik yang berkesinambungan terhadap masyarakat, sehingga keberadaan parpol tetap dirasakan adanya. Yang tergambar di benak masyarakat bahwa parpol itu ada ketika menjelang pemilihan umum dan setelah jadi hilang bagaikan lenyap ditelan bumi, ada tetapi tidak ada (wujuduhu ka adamihi).
Partai politik harus berbenah agar kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Saya khawatir, bila kondisi dan perilaku para politisi tidak segera berubah, bisa jadi masyarakat akan semakin apatis dan semakin terdorong untuk tidak memilih (golput) pada pemilu kepala daerah mendatang. Mengapa Fraksi PDI Perjuangan memilih walkout ketika sidang paripurna pada tanggal 18 Maret 2013 dengan agenda mendengarkan LKPJ gubernur NTB. Dalam kondisi masyarakat yang cendrung apatis sekarang ini, sebaiknya parpol tidak memainkan logika yang tidak rasional seperti itu. Apa mereka mengira bahwa masyarakat tidak memantau? Bukan sanjungan atau pujian masyarakat yang didapatkan malah cemoohan. Kalaupun terjadi pelanggaran (sebagaimana disinyalir pelaku walkout), bukankah sudah ada salurannya, seperti Badan Kehormatan Dewan. Saatnya melakukan pembenahan dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk kembali berpolitik.
Penyelenggara Pemilu (Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum) secara berkesinambungan juga harus melakukan sosialisasi tentang program dan tahapan kepemiluan. Sangat lucu, masyarakat yang punya hak memilih sampai tidak mengetahui waktu pelaksanaan pemilu kepala daerah. Sebagai masyarakat sangat berharap agar penyelenggara pemilu terus melakukan sosialisasi agar partisipasi masyarakat pada pemilu kepala daerah mendatang meningkat. Partisipasi masyarakat akan menjadi penentu kualitas dan kesuksesan penyelenggaraan pemilu. Angka golput sebagaimana pada pemilu Sumatera Utara yang mencapai angka 51, 50% pertanda bahwa kualitas pemilu diragukan., sehingga wajar jika pasangan calon lain melakukan gugatan. Kesalahan yang sering terulang adalah sosialisasi hanya dilakukan menjelang pelaksanaan Pemilihan umum. Menjelang pemilu kepala daerah di NTB, idealnya, penyelenggara Pemilu harus mempunyai program pendidikan politik bagi masyarakat untuk melahirkan pemilih yang sadar, cerdas, rasional dan kritis agar angka golput di NTB bisa di tekan dalam menyongsong Pemilu yang akan datang. Wallahul Musta'an ila Darissalam.
0 komentar:
Posting Komentar