Jumat, 15 Maret 2013

MEMBACA POTENSI KONFLIK POLITIK PADA PILKADA NTB


Ada pertanyaan yang selalu menggantung di setiap Pemilu Kepala Daerah, apakah setiap pasangan calon itu, selain bersiap untuk menang juga menyediakan memori untuk menerima kekalahan. Hal ini tampaknya masih agak sulit ketika selama puluhan tahun sebuah kemenangan selalu berarti “kecurangan”. Pemilu Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara semakin seakan menjadi pembenar bahwa suatu kemenangan selalu berarti kecurangan. Pasangan Rieke Diah Pitaloka melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar pada Pilgub Jawa Barat dan begitu pula Efendi Simbolon pada Pilgub Sumatra Utara.
Apa yang dilakukan oleh kedua pasangan yang kalah pada Pilkada Gubernur dibenarkan oleh perundang-undangan dan berada pada saluran yang tepat dengan mengajukan gugatan secara hukum. Dan tentunya, tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya untuk tidak melakukan gugatan hukum. Itulah saluran yang disediakan oleh system demokrasi, mau memanfaatkan saluran itu atau tidak, sangat bergantung pada data-data kecurangan yang dimiliki oleh pasangan yang kalah. Di samping itu, seharusnya pasangan calon yang kalah juga penting untuk menerima bahwa kekalahan itu adalah bagian dari kenyataan yang harus diterima. Tampaknya ini yang sulit diterima oleh pasangan calon yang kalah.
Sepanjang tahun 2012 lalu, di kabupaten Lombok Tengah, masyarakat dibuat tercengang oleh pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung calon Kepala Desa yang kalah. Setidaknya ada 7 (tujuh) kejadian tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya setelah pemilihan Kepala Desa, dan 5 (lima) kantor desa disegel oleh masyarakat sendiri. Perilaku pendukung calon Kepala Desa yang kalah itu menambah catatan panjang bahwa kemenangan masih identik dengan kecurangan. Kemudian ke depannya, saya berkeyakinan bahwa potensi kekerasan pada Pemilu Kepala Daerah di NTB masih menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun yang terpilih menjadi pimpinan Kepala Daerah. Karena itu, untuk menghindari tindakan kekerasan, sebaiknya para pasangan calon mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
Guna menghindari konflik pasca pelaksanaan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah menyediakan ruang dan memediasi semua pasangan calon Kepala Daerah untuk menandatangani kesepakatan bersama tentang “Siap menang, siap kalah”. Kenyataannya, walaupun para pasangan calon telah menandatangani kesepakatan “Siap menang, siap kalah”, tidak sedikit dari mereka yang siap menerima kekalahan. Selalu saja mengemuka bahwa kemenangan itu akibat adanya kecurangan yang dilakukan pemenang. Kemudian masalahnya, apakah kalau seandainya yang kalah berada pada posisi pemenang, secara otomatis sepi dari tuduhan kecurangan? Tentu saja, tidak. Sebab masih kental dalam memori para politisi bahwa kemenangan selalu identik dengan kecurangan.
Kalimat tersebut tidak lahir dari ruang hampa, yang datang dari dunia antah barantah, namun terlahir dari suatu proses panjang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, mulai dari penyelenggaraan Pemilu Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Transisi menuju Demokrasi sekarang ini. Perlu disadarai bahwa pergerakan perpolitikan di Indonesia bagaikan spiral, bergerak memutar untuk kemudian kembali lagi pada start awalnya. Lalu bergerak kembali sebagaimana gerakan sebelumnya, terkadang sedikit terjadi zig zag, tetapi ruh pergerakannya sama saja.
Jika demikian, merubah memori “kemenangan identik dengan kecurangan” membutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merubah isi memori itu menjadi “kemenangan identik dengan kejujuran dan taat aturan”. Saya fikir, hal itu tidak sulit, asalkan pemerintah bersama DPR bersikap jujur di dalam melakukan perbaikan system penyelenggaraan pemilu (termasuk partai politik peserta pemilu). Ada kesan bahwa revisi terhadap beberapa undang-undang politik (UU Partai Politik dan Pemilu) mengandung hasrat untuk penyederhanaan Partai Politik peserta Pemilu. Kini, kesan itu menjadi kenyataan dengan ditetapkannya 10 Partai Politik (semula 24 Parpol) peserta Pemilu pada tahun 2014 mendatang.
Apa yang dilakukan pemerintah itu tidak lain sebagai upaya untuk menjaga bayi mungil yang bernama partai Demokrat dalam percaturan politik mampu berteriak lantang dalam gema ganda (meminjam istilah Fahri Ali) sambil meninggalkan parpol-parpol dan kini Demokrat menang pemilu dan parpol lain kalah total. Kemenangan Demokrat memberikannya keleluasaan bergerak dalam menangani policy kenegaraan.
Analogi politik “kepala ganda” sedari awal sudah dilakukan oleh partai pemerintah (Demokrat dan Golkar).  Fungsi kepala pertama adalah meletakkan struktur dasar dedikasi di bumi katulistiwa. Dan fungsi kepala kedua, meletakkan batu pertama guna kebangunan kekuasaan yang permanen (ini yang sedang dilakukan oleh partai Demokrat). Wujud kepala ganda ini bekerja dalam program yang elastis. Dalam kurun waktu pemerintahan SBY, implementasi program Demokrat telah terlihat. Goresan perjalanannya dalam hampir sepuluh tahun membentuk suatu struktur spesifik kondisi nasional, baik itu kondisi sosial, ekonomi, politik serta rentetan kejadian yang lepas kontrol.
Mekanisme kerja kepala pertama bertumpu pada dedikasi terhadap bangsa dan rakyat Indonesia telah nyata. Di bidang politik upaya-upaya penyederhanaan multy party system telah terlaksana. Dan secara ideology terpetakan menjadi tiga yakni berhaluan ideologi Nasionalis, Nasionalis-Religius dan Religius. Kelompok berideologi Nasionalis, yakni Demokrat, Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, Nasdem. Kelompok Nasionalis-Religius yakni PKB, dan PAN. Dan kelompok berideologi Religius yakni PKS dan PPP.
Efek tetesan ke bawah kondisi nasional berpengaruh ke level daerah. Potensi konflik dan tindakan kekerasan di daerah dapat terjadi dan bisa lebih dahsyat terutama menjelang Pemilu Kepala Daerah. Di NTB yang akan menyelenggarakan Pemilu di tiga daerah pada  tanggal 13 Mei 2013 mendatang yakni pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati Lombok Timur dan Pemilihan Wali Kota Bima, juga berpotensi menjurus ke konflik dan tindakan kekerasan. Apakah rumus politik “Kemenangan selalu identik dengan kecurangan” juga akan mewarnai Pemilu Kepala Daerah di NTB, nantinya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi kondisi NTB setelah terjadinya pelbagai kekerasan, kerusuhan dan konflik antar kampung di beberapa daerah  masih menjadi ancaman. Momok tindak kekerasan masih menakutkan masyarakat, apalagi menjelang Pemilu Kepala Daerah.
Keresahan dan ketakutan masyarakat terhadap konflik sosial dan tindakan kekerasan itu, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tetapi suatu ketakutan dan keresahan yang beralasan sebab kondisi masyarakat NTB sekarang ini sangat mudah terprovokasi. Tentu, kita masih ingat issu penculikan anak  yang membuat 5 (lima) orang warga yang tidak bersalah menjadi kurban dan kerusuhan yang terjadi di Bima dan Dompu. Riak-riak potensi kekerasan pada pemilu Kepala Daerah semakin terasa dan tampak jelas terlihat pada pengrusakan beberapa atribut pasangan calon. Suasana dan tindakan pengrusakan atribut pasangan calon tersebut, semestinya segera ditanggapi oleh pihak kepolisian, Bawaslu dan KPU. Perlu dilakukan langkah antisipatif, sehingga tidak terkesan penyelenggara pemilu menerapkan politik pembiaran. Hal itu bisa berbahaya dan menjadi boomerang bagi penyelenggara Pemilu dan Kepolisian.
Pemilihan Umum, seharusnya tidak selalu dimaknai sebagai proses demokrasi untuk memperoleh kekuasaan, tetapi yang lebih penting adalah Pemilu merupakan pelembagaan untuk menyelesaikan konflik politik yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara damai, tidak melalui serangkaian kekerasan (Kacung Marijan, 2006). Ketika terjadi konflik politik, disalurkan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga politik yang tersedia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik politik Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Potensi dan munculnya konflik-konflik  politik pada Pemilu Kepala Daerah yang mengeras dan berujung pada lahirnya kekerasan politik, meskipun belum sampai pada munculnya aksi pembunuhan politik. Konflik itu, masih sebatas intimidasi, demonstrasi oleh pendukung calon tertentu yang tidak puas terhadap keputusan partai politik dan KPUD sampai kepada menduduki dan pembakaran gedung-gedung milik pemerintah dan milik calon.
Pembakaran terhadap pendopo kabupaten Bima, NTB dapat menjadi pelajaran tentang konflik politik. Kasus pembakaran pendopo itu, dapat menjadi acuan penyelenggara Pemilu dan kepolisian untuk bersikap antisipatip terhadap kemungkinan konflik politik selama dan pasca Pemilu Kepala Daerah di NTB. Tidak ada seorangpun yang menghendaki kasus pembakaran ala Pendopo Bima terulang kembali. Karena itu, semua pihak, pemerintah, penyelenggara Pemilu, aparat keamanan, partai Politik dan masyarakat harus bersinergi untuk menangkal kemungkinan terjadinya konflik politik yang mungkin akan terjadi.
Setiap tahapan Pemilu Kepala Daerah sangat rentan dengan konflik Politik, dimulai dari pendaftaran Pemilih (DP4), pencalonan pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. Itulah, tahapan-tahapan Pemilu yang rentan dengan konflik politik. Dengan dibukanya pintu bagi calon perseorangan sebagai bakal calon gubernur di NTB tentu membawa permasalahan sendiri, terutama dukungan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada aras ini, sering terjadi manipulasi data dukungan dalam bentuk foto copy KTP.
Dengan kemampuan membaca potensi konflik politik menjelang Pemilu Kepala Daerah di NTB, diharapkan penyelenggara pemilu dan aparat keamanan mampu mengantisipasi dan meminimalisir konflik politik yang mungkin bakal terjadi. Partai Politik sebagai pengusung Calon Kepala Daerah juga harus dapat menahan diri dan membudayakan politik damai dan santun dengan mencoba merubah memori bahwa “kemenangan adalah kedamaian dan kekalahan merupakan bagian dari realitas yang harus diterima”. Partai Politik seharusnya berada di garda terdepan untuk mensosialisasikan budaya politik damai di internal mereka.
Di dalam konteks ilmu politik, realitas munculnya Pemilu yang berlangsung secara damai itu sering dikaitkan dengan adanya budaya politik yang baik di dalam masyarakat. Larry Diamond (1994), sebagaimana dikutip Kacung Marijan, mengemukakan bahwa adanya nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat, seperti “moderation, cooperation, bargaining and accommodation” sangat penting di dalam demokrasi. Melalui nilai-nilai yang bercorak demokratis, proses perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dilakukan secara damai, tidak dilakukan melalui serangkaian tindak kekerasan dan kucurangan.
Mewujudkan budaya damai dalam alih kekuasaan di NTB menjadi tugas dan tantangan yang tidak ringan bagi Gubernur M. Zainul Majdi. Apalagi Tuan Guru Bajang sudah pasti akan ikut bertarung dalam pemilu Gubernur mendatang. Bila terjadi tindakan kekerasan dan konflik politik dalam Pemilu Kepala Daerah mendatang, bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap citranya sebagai gubernur yang tidak mampu menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Menang atau kalah pada Pemilu Kepala Daerah mendatang harus dianggap sebagai suatu realitas yang mesti diterima. Tidak perlu lagi dikembangkan bahwa “kemenangan selalu identik dengan kecurangan”. Gubernur M. Zainul Majdi, harus mampu mewujudkannya demi investasi politik damai. Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 15032013.15.16.    

0 komentar: