Ada pertanyaan
yang selalu menggantung di setiap Pemilu Kepala Daerah, apakah setiap pasangan
calon itu, selain bersiap untuk menang juga menyediakan memori untuk menerima
kekalahan. Hal ini tampaknya masih agak sulit ketika selama puluhan tahun
sebuah kemenangan selalu berarti “kecurangan”. Pemilu Gubernur Jawa Barat dan
Sumatra Utara semakin seakan menjadi pembenar bahwa suatu kemenangan selalu berarti
kecurangan. Pasangan Rieke Diah Pitaloka melakukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi atas kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh pasangan Ahmad
Heryawan dan Dedi Mizwar pada Pilgub Jawa Barat dan begitu pula Efendi Simbolon
pada Pilgub Sumatra Utara.
Apa yang
dilakukan oleh kedua pasangan yang kalah pada Pilkada Gubernur dibenarkan oleh
perundang-undangan dan berada pada saluran yang tepat dengan mengajukan gugatan
secara hukum. Dan tentunya, tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya untuk
tidak melakukan gugatan hukum. Itulah saluran yang disediakan oleh system
demokrasi, mau memanfaatkan saluran itu atau tidak, sangat bergantung pada
data-data kecurangan yang dimiliki oleh pasangan yang kalah. Di samping itu,
seharusnya pasangan calon yang kalah juga penting untuk menerima bahwa kekalahan
itu adalah bagian dari kenyataan yang harus diterima. Tampaknya ini yang sulit
diterima oleh pasangan calon yang kalah.
Sepanjang tahun
2012 lalu, di kabupaten Lombok Tengah, masyarakat dibuat tercengang oleh
pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung calon Kepala Desa
yang kalah. Setidaknya ada 7 (tujuh) kejadian tindakan kekerasan dalam berbagai
bentuknya setelah pemilihan Kepala Desa, dan 5 (lima) kantor desa disegel oleh
masyarakat sendiri. Perilaku pendukung calon Kepala Desa yang kalah itu
menambah catatan panjang bahwa kemenangan masih identik dengan kecurangan.
Kemudian ke depannya, saya berkeyakinan bahwa potensi kekerasan pada Pemilu
Kepala Daerah di NTB masih menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun yang
terpilih menjadi pimpinan Kepala Daerah. Karena itu, untuk menghindari tindakan
kekerasan, sebaiknya para pasangan calon mematuhi peraturan yang telah
ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
Guna menghindari
konflik pasca pelaksanaan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah
menyediakan ruang dan memediasi semua pasangan calon Kepala Daerah untuk
menandatangani kesepakatan bersama tentang “Siap menang, siap kalah”.
Kenyataannya, walaupun para pasangan calon telah menandatangani kesepakatan
“Siap menang, siap kalah”, tidak sedikit dari mereka yang siap menerima
kekalahan. Selalu saja mengemuka bahwa kemenangan itu akibat adanya kecurangan
yang dilakukan pemenang. Kemudian masalahnya, apakah kalau seandainya yang
kalah berada pada posisi pemenang, secara otomatis sepi dari tuduhan
kecurangan? Tentu saja, tidak. Sebab masih kental dalam memori para politisi
bahwa kemenangan selalu identik dengan kecurangan.
Kalimat tersebut
tidak lahir dari ruang hampa, yang datang dari dunia antah barantah, namun
terlahir dari suatu proses panjang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, mulai
dari penyelenggaraan Pemilu Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Transisi
menuju Demokrasi sekarang ini. Perlu disadarai bahwa pergerakan perpolitikan di
Indonesia bagaikan spiral, bergerak memutar untuk kemudian kembali lagi pada
start awalnya. Lalu bergerak kembali sebagaimana gerakan sebelumnya, terkadang
sedikit terjadi zig zag, tetapi ruh pergerakannya sama saja.
Jika demikian, merubah
memori “kemenangan identik dengan kecurangan” membutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merubah
isi memori itu menjadi “kemenangan identik dengan kejujuran dan taat aturan”.
Saya fikir, hal itu tidak sulit, asalkan pemerintah bersama DPR bersikap jujur
di dalam melakukan perbaikan system penyelenggaraan pemilu (termasuk partai
politik peserta pemilu). Ada kesan bahwa revisi terhadap beberapa undang-undang
politik (UU Partai Politik dan Pemilu) mengandung hasrat untuk penyederhanaan
Partai Politik peserta Pemilu. Kini, kesan itu menjadi kenyataan dengan
ditetapkannya 10 Partai Politik (semula 24 Parpol) peserta Pemilu pada tahun
2014 mendatang.
Apa yang
dilakukan pemerintah itu tidak lain sebagai upaya untuk menjaga bayi mungil
yang bernama partai Demokrat dalam percaturan politik mampu berteriak lantang
dalam gema ganda (meminjam istilah Fahri Ali) sambil meninggalkan parpol-parpol
dan kini Demokrat menang pemilu dan parpol lain kalah total. Kemenangan
Demokrat memberikannya keleluasaan bergerak dalam menangani policy kenegaraan.
Analogi politik “kepala
ganda” sedari awal sudah dilakukan oleh partai pemerintah (Demokrat dan
Golkar). Fungsi kepala pertama adalah
meletakkan struktur dasar dedikasi di bumi katulistiwa. Dan fungsi kepala
kedua, meletakkan batu pertama guna kebangunan kekuasaan yang permanen (ini
yang sedang dilakukan oleh partai Demokrat). Wujud kepala ganda ini bekerja
dalam program yang elastis. Dalam kurun waktu pemerintahan SBY, implementasi
program Demokrat telah terlihat. Goresan perjalanannya dalam hampir sepuluh
tahun membentuk suatu struktur spesifik kondisi nasional, baik itu kondisi sosial,
ekonomi, politik serta rentetan kejadian yang lepas kontrol.
Mekanisme kerja
kepala pertama bertumpu pada dedikasi terhadap bangsa dan rakyat Indonesia
telah nyata. Di bidang politik upaya-upaya penyederhanaan multy party system telah terlaksana. Dan secara ideology terpetakan
menjadi tiga yakni berhaluan ideologi Nasionalis, Nasionalis-Religius dan
Religius. Kelompok berideologi Nasionalis, yakni Demokrat, Golkar, PDIP,
Gerindra, Hanura, Nasdem. Kelompok Nasionalis-Religius yakni PKB, dan PAN. Dan
kelompok berideologi Religius yakni PKS dan PPP.
Efek tetesan ke
bawah kondisi nasional berpengaruh ke level daerah. Potensi konflik dan
tindakan kekerasan di daerah dapat terjadi dan bisa lebih dahsyat terutama
menjelang Pemilu Kepala Daerah. Di NTB yang akan menyelenggarakan Pemilu di
tiga daerah pada tanggal 13 Mei 2013
mendatang yakni pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati Lombok Timur dan Pemilihan
Wali Kota Bima, juga berpotensi menjurus ke konflik dan tindakan kekerasan.
Apakah rumus politik “Kemenangan selalu identik dengan kecurangan” juga akan
mewarnai Pemilu Kepala Daerah di NTB, nantinya. Kemungkinan itu bisa saja
terjadi, apalagi kondisi NTB setelah terjadinya pelbagai kekerasan, kerusuhan
dan konflik antar kampung di beberapa daerah
masih menjadi ancaman. Momok tindak kekerasan masih menakutkan
masyarakat, apalagi menjelang Pemilu Kepala Daerah.
Keresahan dan
ketakutan masyarakat terhadap konflik sosial dan tindakan kekerasan itu,
bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tetapi suatu ketakutan dan keresahan yang
beralasan sebab kondisi masyarakat NTB sekarang ini sangat mudah terprovokasi.
Tentu, kita masih ingat issu penculikan anak
yang membuat 5 (lima) orang warga yang tidak bersalah menjadi kurban dan
kerusuhan yang terjadi di Bima dan Dompu. Riak-riak potensi kekerasan pada
pemilu Kepala Daerah semakin terasa dan tampak jelas terlihat pada pengrusakan
beberapa atribut pasangan calon. Suasana dan tindakan pengrusakan atribut
pasangan calon tersebut, semestinya segera ditanggapi oleh pihak kepolisian,
Bawaslu dan KPU. Perlu dilakukan langkah antisipatif, sehingga tidak terkesan
penyelenggara pemilu menerapkan politik pembiaran. Hal itu bisa berbahaya dan
menjadi boomerang bagi penyelenggara Pemilu dan Kepolisian.
Pemilihan Umum,
seharusnya tidak selalu dimaknai sebagai proses demokrasi untuk memperoleh
kekuasaan, tetapi yang lebih penting adalah Pemilu merupakan pelembagaan untuk
menyelesaikan konflik politik yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan secara damai, tidak melalui serangkaian kekerasan
(Kacung Marijan, 2006). Ketika terjadi konflik politik, disalurkan dan
diselesaikan melalui lembaga-lembaga politik yang tersedia. Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan untuk menyelesaikan
konflik politik Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Potensi dan
munculnya konflik-konflik politik pada
Pemilu Kepala Daerah yang mengeras dan berujung pada lahirnya kekerasan
politik, meskipun belum sampai pada munculnya aksi pembunuhan politik. Konflik
itu, masih sebatas intimidasi, demonstrasi oleh pendukung calon tertentu yang
tidak puas terhadap keputusan partai politik dan KPUD sampai kepada menduduki
dan pembakaran gedung-gedung milik pemerintah dan milik calon.
Pembakaran terhadap
pendopo kabupaten Bima, NTB dapat menjadi pelajaran tentang konflik politik.
Kasus pembakaran pendopo itu, dapat menjadi acuan penyelenggara Pemilu dan
kepolisian untuk bersikap antisipatip terhadap kemungkinan konflik politik
selama dan pasca Pemilu Kepala Daerah di NTB. Tidak ada seorangpun yang
menghendaki kasus pembakaran ala Pendopo Bima terulang kembali. Karena itu,
semua pihak, pemerintah, penyelenggara Pemilu, aparat keamanan, partai Politik
dan masyarakat harus bersinergi untuk menangkal kemungkinan terjadinya konflik
politik yang mungkin akan terjadi.
Setiap tahapan
Pemilu Kepala Daerah sangat rentan dengan konflik Politik, dimulai dari
pendaftaran Pemilih (DP4), pencalonan pasangan calon, penetapan pasangan calon
terpilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. Itulah, tahapan-tahapan
Pemilu yang rentan dengan konflik politik. Dengan dibukanya pintu bagi calon
perseorangan sebagai bakal calon gubernur di NTB tentu membawa permasalahan
sendiri, terutama dukungan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada
aras ini, sering terjadi manipulasi data dukungan dalam bentuk foto copy KTP.
Dengan kemampuan
membaca potensi konflik politik menjelang Pemilu Kepala Daerah di NTB,
diharapkan penyelenggara pemilu dan aparat keamanan mampu mengantisipasi dan
meminimalisir konflik politik yang mungkin bakal terjadi. Partai Politik
sebagai pengusung Calon Kepala Daerah juga harus dapat menahan diri dan
membudayakan politik damai dan santun dengan mencoba merubah memori bahwa “kemenangan
adalah kedamaian dan kekalahan merupakan bagian dari realitas yang harus
diterima”. Partai Politik seharusnya berada di garda terdepan untuk
mensosialisasikan budaya politik damai di internal mereka.
Di dalam konteks
ilmu politik, realitas munculnya Pemilu yang berlangsung secara damai itu
sering dikaitkan dengan adanya budaya politik yang baik di dalam masyarakat. Larry
Diamond (1994), sebagaimana dikutip Kacung Marijan, mengemukakan bahwa adanya
nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat, seperti “moderation, cooperation, bargaining and accommodation” sangat
penting di dalam demokrasi. Melalui nilai-nilai yang bercorak demokratis,
proses perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dilakukan
secara damai, tidak dilakukan melalui serangkaian tindak kekerasan dan
kucurangan.
Mewujudkan budaya
damai dalam alih kekuasaan di NTB menjadi tugas dan tantangan yang tidak ringan
bagi Gubernur M. Zainul Majdi. Apalagi Tuan Guru Bajang sudah pasti akan ikut
bertarung dalam pemilu Gubernur mendatang. Bila terjadi tindakan kekerasan dan
konflik politik dalam Pemilu Kepala Daerah mendatang, bisa dipastikan akan
berpengaruh terhadap citranya sebagai gubernur yang tidak mampu menjaga
keamanan dan ketentraman masyarakat. Menang atau kalah pada Pemilu Kepala
Daerah mendatang harus dianggap sebagai suatu realitas yang mesti diterima. Tidak
perlu lagi dikembangkan bahwa “kemenangan selalu identik dengan kecurangan”.
Gubernur M. Zainul Majdi, harus mampu mewujudkannya demi investasi politik
damai. Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 15032013.15.16.
0 komentar:
Posting Komentar