Mantera menurut Heru Saputra adalah doa sakral
kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan gaib. Bagi orang Bayuwangi Jawa
Timur, mantera merupakan khazanah budaya kelisanan yang integral dengan khazanah budaya lainnya. Eksistensinya
masih tetap dibutuhkan hingga kini. Dengan demikian, mantera merupakan produk
atau hasil konstruksi budaya yang bersifat sinkretik antara kepercayaan local
dan tradisi agama. Dalam batas tertentu, mantra sangat fungsional bagi masyarakat
kesukuan ketika pranata formal tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan
mereka atau dengan kata lain, mantera menjadi potret pola kehidupan pragmatis
dan jalan pintas untuk mencapai tujuan.
Mungkin kita masih ingat dengan pameo yang
menyatakan bahwa “Cinta ditolak, Dukun bertindak”. Tentu dalam bayangan kita
setelah membaca pameo itu, pasti teringat istilah pelet (senggeger istilah
orang Sasak) sebagai obat mujarab bagi jalan pintas asmara. Pelet pada tulisan
ini tidak dipahami sebagai perbuatan jahat untuk mencelakai orang lain, tetapi
dipahami sebagai media untuk merukunkan orang, menyembuhkan, menjodohkan dan
menjadikan seseorang mencapai tujuan (misalnya menjadi pemimpin). Karena itu,
pengertian ini bersifat positif, yaitu ilmu pengasihan agar orang tertarik atau
mengasihi.
Memasuki perhelatan Pemilihan Umum (termasuk Pemilu
Kepala Daerah) banyak Calon yang berhasrat untuk mendatangi orang pintar (Dukun
atau Kiai). Kedatangan mereka ke rumah orang pintar dimaksudkan untuk meminta
doa-doa pengasih agar pemilih merasa kasihan dan iba sehingga dapat menjadi
penguasa atau menjadi anggota DPR dan atau mungkin menjadi Kepala Daerah. Dalam
konteks budaya tentu apa yang dilakukan para pemburu kekuasaan itu boleh dan
sah-sah saja dilakukan selama kedua pihak dapat saling menguntungkan.
Alkisah, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah di Lombok
Tengah semua calon berhasrat untuk menang dan berupaya dengan berbagai cara
untuk mewujudkan hasratnya. Salah satu cara yang ditempuh para calon adalah mendatangi orang pintar. Dalam konteks budaya,
orang pintar adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menerawang atau
meramal apa yang akan dialami seseorang yang meminta petuah (menang atau
kalah). Umumnya, perilaku orang pintar jarang-jarang mengecewakan pasiennya.
Katakana saja, dari lima pasangan calon yang datang, kesemuanya dipastikan
menang, namun yang terpilih hanya satu pasangan calon yakni yang memiliki suara
terbanyak.
Orang pintar memang harus cerdik dan cerdas dalam
memberikan terawangan akan nasib pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan
atau urusan terawangan politik. Orang pintar tidak boleh salah, kalaupun salah,
ia harus tetap yakin akan kesalahannya sehingga pasiennya tidak sangsi atas
ketahuannya. Maksudnya, dengan kecerdikan dan kepandaiannya orang pintar harus
tetap tampil bersahaya dan berwibawa atas keputusan yang disampaikannya kepada
si pasien. Coba telisik kalimat “Semua pasangan calon dipastikan akan menang,
namun yang terpilih hanya satu pasangan calon dengan suara terbanyak”. Tentu
tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut, yang salah adalah pasangan calon
yang terlalu percaya terhadap ramalan yang tidak perlu diramalkan. Secara
rasional pasti yang menjadi pemenang adalah pasangan yang mendapatkan suara
terbanyak (sesuai peraturan) dan tidak perlu ditafsirkan apalagi diramal.
Tetapi itulah dunia Mantera (dunia sophie), dunia
yang butuh keahlian, kelakuan dan kecerdasan khusus untuk dapat memasuki dunia itu.
Keberhasilan memasuki dunia itu dengan tanpa banyak bertanya tentang sesuatu
yang mengitari keberadaan orang pintar. Kelakuan orang pintar memang tidak
biasa dalam proses laku terhadap pasiennya. Pasien dapat disuruh melakukan apa
saja sebagai syarat untuk mencapai hasratnya. Mulai dari mandi di tempat khusus
(ditaburi bunga setaman) dengan berbagai ritualnya, memakan kertas yang
bertuliskan rajah, meminum minyak hasil olahan yang telah dibacakan mantera,
sampai memasukkan benda-benda berbentuk pelor ke dalam tubuh si pasien.
Sebagian proses lelaku tersebut sebagai media untuk mencapai hasrat si pasien
yang harus dijalaninya.
Dunia manetra adalah dunia magis yang butuh
keyakinan dan kepercayaan atas nilai yang dikandungnya. Mantera atau magis
tidak akan bermakna apapun kalau orang tidak mempercayainya. Masyarakat
Bayuwangi Jawa Timur mengenal empat macam magi yang terkandung dalam mantera,
yakni magi putih, kuning, merah dan hitam (Heru S.P. Saputra, 1997). Sementara,
sepengetahuan penulis, dalam masyarakat Sasak hanya mengenal dua macam magi
yakni magi putih dan hitam. Mantera bermagi putih dipakai untuk penyembuhan dan
tujuan positif lainnya, sedangkan mantera bermagi hitam untuk melakukan hal-hal
yang bersifat destruktif.
Magi dalam masyarakat tribal (juga masyarakat
modern) masih sangat fungsional untuk menguatkan kepercayaan kepada diri
sendiri dalam menghadapi situasi-situasi ketegangan, sebagaimana hasil
penelitian Malinowski pada penduduk Trobriand. Mantera-mantera dan jampi-jampi
membantu orang menyesuaikan diri kepada ketegangan-ketegangan dengan memberikan
kesempatan-kesempatan untuk mendramatisasi kecemasan psikologis mereka. Magi
dengan demikian, membangkitkan suatu kesadaran “berbuat sesuatu mengenai hal
tersebut” untuk menghadapi ketidakpastian dimana cara-cara praktis saja tidak
menjamin keberhasilan pekerjaan tersebut. Karena itu, menggunakan cara-cara
magi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang vital bagi masyarakat sulit
dihindari, dan fungsinya sebagai sarana untuk menghilangkan ketegangan dan
meningkatkan penyesuaian diri.
Memang, dunia Mantera sudah merasuk ke segala sendi
kehidupan masyarakat Indonesia, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat
modern. Para politisi dan pengejar kekuasaan di negeri ini, kelihatannya juga
sangat memanfaatkan magi sebagai media untuk mendapatkan jabatan dan
posisi-posisi yang menguntungkan atau yang dihasratkan. Kisah-kisah para
politisi dan para pemburu kekuasaan yang mendatangi dan meminta jasa orang
pintar sudah menjadi kisah yang jamak dalam masyarakat. Perilaku orang yang
ingin menjadi pemimpin atau pengejar kekuasaan itu mungkin berkeyakinan bahwa
meminta jasa orang pintar sebagai salah satu cara (bukan satu-satunya cara)
untuk mendapatkan jabatan secara cepat dan smart (tidak berarti mencelakai
orang lain).
Tulisan ini, tidak memaknai mantera sebagai media
mencelakai orang lain demi mendapatkan jabatan, tetapi mantera sebagai ilmu
pengasihan (termasuk magi putih). Ketika seseorang mencalonkan diri sebagai
Kepala Daerah, kepada Desa, atau jabatan lainnya, maka dengan memanfaatkan
mantera sebagai ilmu pengasihan, bisa jadi pemilih akan merasa kasihan dan
memperoleh suara terbanyak, akhirnya menjadi Kepala Daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota).
Masalahnya, dapatkah mantera (dalam makna ilmu
pengasihan) sebagai variabel utama menjadikan seseorang sebagai pemimpin? Saya
fikir, sangat sulit dan diperlukan variabel lain yang saling mendukung, seperti
mantera modal sosial dan modal material. Setidaknya itulah tiga modal utama
yang harus ada ketika orang berhasrat menjadi pemimpin dan penguasa. Kalau
digambarkan, tiga modal tersebut ibarat viramid yang saling menyokong pada tiga
sisinya. Dari ketiganya mantera modal sosial dan modal material sebagai
variabel utama penyokong variabel mantera (ilmu pengasihan). Variabel mantera
untuk kekuasaan tidak akan pernah menjadi penyokong utama dalam kerangka
viramida. Variabel mantera tetap berfungsi untuk menghilangkan ketegangan,
meningkatkan penyesuaian diri dan mendramatisasi kecemasan psikologis.
Menjadi pemimpin tanpa mantera rasanya sulit karena
mantera menjadi kebutuhan psiko-rohaniah manusia yang mendasar, tetapi bukankah
tanpa mantera banyak orang terpilih menjadi pemimpin dan penguasa? Jawabannya
ya dan memang banyak. Dan pertanyaan yang sama dapat diajukan, adakah orang
menjadi pemimpin dan penguasa dengan bermodal mantera? Mungkin jawabannya,
tidak ada. Mengapa? karena memilih pemimpin dan penguasa menjadi urusan politik
yang memerlukan modal sosial dan material yang tidak sedikit, karena itu
cendrung politik itu korup (kalau logikanya terbangun dari dua modal tersebut).
Pada aras ini, menjadi penting untuk menggagas
politik yang tidak korup. Bagaimana mungkin? Ya, mungkin saja kalau ada yang
berani mencoba. Menurut hemat saya, harus ada orang yang berani mendaftarkan
diri menjadi pemimpin dan penguasa yang hanya mengandalkan mantera semata,
dengan tidak terlalu pusing dengan modal sosial dan material yang terlalu
banyak. Masalahnya, dari akan memulainya? Mulailah dari kepemimpinan di tingkat
lokal, seperti menjadi ketua RT, Kepala Dusun, Kepala Desa, pemangku adat, kiai
atau penghulu dan jabatan lain yang setara.
Pada masyarakat tradisional tidak susah mencari
pemimpin dan tidak memerlukan modal material yang banyak. Dengan mengandalkan
garis keturunan dan restu dari tokoh adat, seseorang bisa menjadi pemangku
jabatan di tingkat lokal. Hal ini berarti menjadi pemimpin dan penguasa dengan
bermodalkan mantera bisa dan mungkin terjadi. Kemudian, bagaimana local value
dalam mengangkat pemimpin (pada masyarakat tradisional) itu bisa ditarik ke
level yang lebih makro? Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Pitung Bangsit, Kediri, 14032013.14.43.
0 komentar:
Posting Komentar