Kamis, 14 Maret 2013

MENGGAGAS PEMIMPIN BERMODAL MANTERA


Mantera menurut Heru Saputra adalah doa sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan gaib. Bagi orang Bayuwangi Jawa Timur, mantera merupakan khazanah budaya kelisanan yang integral  dengan khazanah budaya lainnya. Eksistensinya masih tetap dibutuhkan hingga kini. Dengan demikian, mantera merupakan produk atau hasil konstruksi budaya yang bersifat sinkretik antara kepercayaan local dan tradisi agama. Dalam batas tertentu, mantra sangat fungsional bagi masyarakat kesukuan ketika pranata formal tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan mereka atau dengan kata lain, mantera menjadi potret pola kehidupan pragmatis dan jalan pintas untuk mencapai tujuan.

Mungkin kita masih ingat dengan pameo yang menyatakan bahwa “Cinta ditolak, Dukun bertindak”. Tentu dalam bayangan kita setelah membaca pameo itu, pasti teringat istilah pelet (senggeger istilah orang Sasak) sebagai obat mujarab bagi jalan pintas asmara. Pelet pada tulisan ini tidak dipahami sebagai perbuatan jahat untuk mencelakai orang lain, tetapi dipahami sebagai media untuk merukunkan orang, menyembuhkan, menjodohkan dan menjadikan seseorang mencapai tujuan (misalnya menjadi pemimpin). Karena itu, pengertian ini bersifat positif, yaitu ilmu pengasihan agar orang tertarik atau mengasihi.

Memasuki perhelatan Pemilihan Umum (termasuk Pemilu Kepala Daerah) banyak Calon yang berhasrat untuk mendatangi orang pintar (Dukun atau Kiai). Kedatangan mereka ke rumah orang pintar dimaksudkan untuk meminta doa-doa pengasih agar pemilih merasa kasihan dan iba sehingga dapat menjadi penguasa atau menjadi anggota DPR dan atau mungkin menjadi Kepala Daerah. Dalam konteks budaya tentu apa yang dilakukan para pemburu kekuasaan itu boleh dan sah-sah saja dilakukan selama kedua pihak dapat saling menguntungkan.

Alkisah, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah di Lombok Tengah semua calon berhasrat untuk menang dan berupaya dengan berbagai cara untuk mewujudkan hasratnya. Salah satu cara yang ditempuh para calon adalah  mendatangi orang pintar. Dalam konteks budaya, orang pintar adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menerawang atau meramal apa yang akan dialami seseorang yang meminta petuah (menang atau kalah). Umumnya, perilaku orang pintar jarang-jarang mengecewakan pasiennya. Katakana saja, dari lima pasangan calon yang datang, kesemuanya dipastikan menang, namun yang terpilih hanya satu pasangan calon yakni yang memiliki suara terbanyak.

Orang pintar memang harus cerdik dan cerdas dalam memberikan terawangan akan nasib pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan atau urusan terawangan politik. Orang pintar tidak boleh salah, kalaupun salah, ia harus tetap yakin akan kesalahannya sehingga pasiennya tidak sangsi atas ketahuannya. Maksudnya, dengan kecerdikan dan kepandaiannya orang pintar harus tetap tampil bersahaya dan berwibawa atas keputusan yang disampaikannya kepada si pasien. Coba telisik kalimat “Semua pasangan calon dipastikan akan menang, namun yang terpilih hanya satu pasangan calon dengan suara terbanyak”. Tentu tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut, yang salah adalah pasangan calon yang terlalu percaya terhadap ramalan yang tidak perlu diramalkan. Secara rasional pasti yang menjadi pemenang adalah pasangan yang mendapatkan suara terbanyak (sesuai peraturan) dan tidak perlu ditafsirkan apalagi diramal.

Tetapi itulah dunia Mantera (dunia sophie), dunia yang butuh keahlian, kelakuan dan kecerdasan khusus untuk dapat memasuki dunia itu. Keberhasilan memasuki dunia itu dengan tanpa banyak bertanya tentang sesuatu yang mengitari keberadaan orang pintar. Kelakuan orang pintar memang tidak biasa dalam proses laku terhadap pasiennya. Pasien dapat disuruh melakukan apa saja sebagai syarat untuk mencapai hasratnya. Mulai dari mandi di tempat khusus (ditaburi bunga setaman) dengan berbagai ritualnya, memakan kertas yang bertuliskan rajah, meminum minyak hasil olahan yang telah dibacakan mantera, sampai memasukkan benda-benda berbentuk pelor ke dalam tubuh si pasien. Sebagian proses lelaku tersebut sebagai media untuk mencapai hasrat si pasien yang harus dijalaninya.

Dunia manetra adalah dunia magis yang butuh keyakinan dan kepercayaan atas nilai yang dikandungnya. Mantera atau magis tidak akan bermakna apapun kalau orang tidak mempercayainya. Masyarakat Bayuwangi Jawa Timur mengenal empat macam magi yang terkandung dalam mantera, yakni magi putih, kuning, merah dan hitam (Heru S.P. Saputra, 1997). Sementara, sepengetahuan penulis, dalam masyarakat Sasak hanya mengenal dua macam magi yakni magi putih dan hitam. Mantera bermagi putih dipakai untuk penyembuhan dan tujuan positif lainnya, sedangkan mantera bermagi hitam untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif.

Magi dalam masyarakat tribal (juga masyarakat modern) masih sangat fungsional untuk menguatkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam menghadapi situasi-situasi ketegangan, sebagaimana hasil penelitian Malinowski pada penduduk Trobriand. Mantera-mantera dan jampi-jampi membantu orang menyesuaikan diri kepada ketegangan-ketegangan dengan memberikan kesempatan-kesempatan untuk mendramatisasi kecemasan psikologis mereka. Magi dengan demikian, membangkitkan suatu kesadaran “berbuat sesuatu mengenai hal tersebut” untuk menghadapi ketidakpastian dimana cara-cara praktis saja tidak menjamin keberhasilan pekerjaan tersebut. Karena itu, menggunakan cara-cara magi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang vital bagi masyarakat sulit dihindari, dan fungsinya sebagai sarana untuk menghilangkan ketegangan dan meningkatkan penyesuaian diri.

Memang, dunia Mantera sudah merasuk ke segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Para politisi dan pengejar kekuasaan di negeri ini, kelihatannya juga sangat memanfaatkan magi sebagai media untuk mendapatkan jabatan dan posisi-posisi yang menguntungkan atau yang dihasratkan. Kisah-kisah para politisi dan para pemburu kekuasaan yang mendatangi dan meminta jasa orang pintar sudah menjadi kisah yang jamak dalam masyarakat. Perilaku orang yang ingin menjadi pemimpin atau pengejar kekuasaan itu mungkin berkeyakinan bahwa meminta jasa orang pintar sebagai salah satu cara (bukan satu-satunya cara) untuk mendapatkan jabatan secara cepat dan smart (tidak berarti mencelakai orang lain). 

Tulisan ini, tidak memaknai mantera sebagai media mencelakai orang lain demi mendapatkan jabatan, tetapi mantera sebagai ilmu pengasihan (termasuk magi putih). Ketika seseorang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, kepada Desa, atau jabatan lainnya, maka dengan memanfaatkan mantera sebagai ilmu pengasihan, bisa jadi pemilih akan merasa kasihan dan memperoleh suara terbanyak, akhirnya menjadi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).

Masalahnya, dapatkah mantera (dalam makna ilmu pengasihan) sebagai variabel utama menjadikan seseorang sebagai pemimpin? Saya fikir, sangat sulit dan diperlukan variabel lain yang saling mendukung, seperti mantera modal sosial dan modal material. Setidaknya itulah tiga modal utama yang harus ada ketika orang berhasrat menjadi pemimpin dan penguasa. Kalau digambarkan, tiga modal tersebut ibarat viramid yang saling menyokong pada tiga sisinya. Dari ketiganya mantera modal sosial dan modal material sebagai variabel utama penyokong variabel mantera (ilmu pengasihan). Variabel mantera untuk kekuasaan tidak akan pernah menjadi penyokong utama dalam kerangka viramida. Variabel mantera tetap berfungsi untuk menghilangkan ketegangan, meningkatkan penyesuaian diri dan mendramatisasi kecemasan psikologis.

Menjadi pemimpin tanpa mantera rasanya sulit karena mantera menjadi kebutuhan psiko-rohaniah manusia yang mendasar, tetapi bukankah tanpa mantera banyak orang terpilih menjadi pemimpin dan penguasa? Jawabannya ya dan memang banyak. Dan pertanyaan yang sama dapat diajukan, adakah orang menjadi pemimpin dan penguasa dengan bermodal mantera? Mungkin jawabannya, tidak ada. Mengapa? karena memilih pemimpin dan penguasa menjadi urusan politik yang memerlukan modal sosial dan material yang tidak sedikit, karena itu cendrung politik itu korup (kalau logikanya terbangun dari dua modal tersebut).

Pada aras ini, menjadi penting untuk menggagas politik yang tidak korup. Bagaimana mungkin? Ya, mungkin saja kalau ada yang berani mencoba. Menurut hemat saya, harus ada orang yang berani mendaftarkan diri menjadi pemimpin dan penguasa yang hanya mengandalkan mantera semata, dengan tidak terlalu pusing dengan modal sosial dan material yang terlalu banyak. Masalahnya, dari akan memulainya? Mulailah dari kepemimpinan di tingkat lokal, seperti menjadi ketua RT, Kepala Dusun, Kepala Desa, pemangku adat, kiai atau penghulu dan jabatan lain yang setara.

Pada masyarakat tradisional tidak susah mencari pemimpin dan tidak memerlukan modal material yang banyak. Dengan mengandalkan garis keturunan dan restu dari tokoh adat, seseorang bisa menjadi pemangku jabatan di tingkat lokal. Hal ini berarti menjadi pemimpin dan penguasa dengan bermodalkan mantera bisa dan mungkin terjadi. Kemudian, bagaimana local value dalam mengangkat pemimpin (pada masyarakat tradisional) itu bisa ditarik ke level yang lebih makro? Wallahul Musta’an ila Darissalam.

Pitung Bangsit, Kediri, 14032013.14.43.

0 komentar: