Senin, 04 Maret 2013

MEMBUKA PINTU LANGIT


Suatu malam, Rasulullah Saw berbisik kepada Aisyah, “Apakah kamu rela pada malam (giliranmu) ini, Abu beribadah?” “Aku sungguh senang berada di sampingmu selalu, tetapi akupun rela dengan apa yang engkau sukai, sahut Siti Aisyah.
Rasul kemudian bangkit untuk berwudlu, lalu beliau shalat dengan membaca alqur’an, sambil menangis sampai membasahi (ikat pinggangnya). Selesai shalat, beliau duduk memuji Allah, air matanya masih bercucuran sehingga membasahi pula lantai tempat duduknya. Demikan cerita Aisyah Ra.
Seiring dengan itu, menjelang subuh, Rasulullah Saw terlambat ke masjid untuk shalat sebelum subuh (shalar sunat fajar). Hal itu membuat Bilal bertanya-tanya, ada apa gerangan yang terjadi? Maka kemudian Bilal menuju ke rumah Rasul dan ditemui beliau sedang menangis. Lalu Bilal bertanya, mengapa engkau menangis, wahai Rasul? Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosamu?
Betapa aku tidak menangis. Semalam telah turun kepadaku wahyu sebagai berikut:  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, peliharalah kami dari siksa neraka (QS 3: 190-191).
Rasul Saw. Kemudian berkata kepada Bilal, “rugilah yang membacanya tapi tidak menghayati kandungannya” (Shihab, 2007).
Dengan akal seorang Muslim menggunakan potensinya untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang tertulis di dalam mushaf atau terbentang di alam raya. Seorang Muslim tidak menempatkan diri di menara gading, tidak juga berfikir terlepas dari Allah Swt, juga tidak membatasi ingatan kepada-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu. Berdiri, duduk dan berbaring sekalipun, mereka tetap mengingat-Nya. Usahanya tidak hanya sampai pada pemahaman, tetapi pengakuan tentang “hak” yang mewarnai seluruh ciptaan Allah. Pengakuan ini kemudian menghasilkan amal dan karya-karya besar. Pemahaman tanpa pengakuan adalah kejahilan (kata Prof. Quraish Shihab) dan pengakuan tanpa pengamalan sama dengan kesesatan.
Dalam konteks sekarang ini, kita dihadapkan pada pelbagai permasalahan hidup dan kemanusiaan. Masih hangat dalam ingatan kita, seorang bayi yang tidak berdosa dibuang oleh ibunya di sekitar kampus Universitas Mataram, beberapa waktu yang lalu. Ada seorang ayah di Banten yang tega dan tanpa merasa bersalah telah memperkosa anak kandungnya sendiri, hingga akhirnya si anak meninggal dunia. Kemudian di Kediri Jawa Timur, seorang gadis belia akhirnya melahirkan anak hasil perbuatan bejat ayah tirinya. Dan pelbagai macam peristiwa memilukan yang merusak harkat dan martabat kemanusiaan kita.
Faktisitas tersebut di atas, seakan telah membawa kita kembali ke masa-masa ala Jahiliyah (sebelum Rasul Muhammad Saw di lahirkan). Dimana anak-anak perempuan yang dilahirkan pada masa itu dianggap sebagai aib keluarga dan harus dibinasakan. Sungguh perbuatan biadab yang dilakukan oleh orang yang tidak beradan kala itu. Dan kini, kita dihadapkan pada kondisi sosiologis yang hampir sama. Bedanya pada perlakuan terhadap anak perempuan. Kalau zaman jahiliyah (sebelum kelahiran Rasulullah Saw) si anak perempuan dibinasakan dan dikubur hidup-hidup, sementara di zaman jahiliyah modern si anak perempuan dinikmati dan dihamili oleh ayahnya sendiri. Sungguh kesemua perbuatan itu, dikatagorikan sebagai perbuatan biadab dan melanggar nilai-nilai dan hukum Islam yang kita anut.
Dalam kondisi patologi sosial semacam itu, kehadiran Rasulullah Saw kala itu sebagai penerang hati yang hitam pekat, pembimbing ke arah kebenaran ke-Ilahian, dan petunjuk ketauhidan.  Itulah misi-misi suci Rasulullah Saw diutus untuk membawa rahmat bagi segenap alam semesta (rahmatan lil alamien). Kehadiran Rasul Saw sebagai bukti kebenaran dan menuntun manusia kepada cahaya yang terang benderang. Firman Allah Swt. “Wahai seluruh manusia, telah datang kepadamu sekalian bukti bukti kebenaran dari Tuhanmu (yakni Muhammad), dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang” (QS 4:174).
Nah, peringatan maulid nabi Muhammad Saw (sebagai suatu tradisi masyarakat Islam) yang diadakan setiap Bulan Rabiul Awwal, sebagai suatu medium untuk terus memperbaharui atsar dan sunnah yang ditinggal Rasul Saw kepada seluruh ummat Islam. Tradisi maulid itu sebaiknya terus kita lanjutkan agar hikmah dan barokah dari peringatan itu kita dapatkan. Dengan hikmah maulid Nabi sebaiknya dihajatkan untuk mengikuti jejak langkahnya guna memperbaiki dekadensi moral dan perilaku menyimpang yang semakin menggila di zaman ini, sebagaimana tersebut di atas. Sabda Rasulullah Saw: “Sungguh, kami diutus untuk memperbaiki akhlak manusia”.
Pada masyarakat yang masih tradisional sekalipun, seperti masyarakat Islam Wetu Telu peringatan maulid nabi Muhammad Saw masih fungsional untuk menjaga soliditas dan solidaritas antar sesamanya. Maulid Adat (istilah yang dipakai Wetu Telu) walaupun dilaksanakan satu kali setahun terlihat bahwa antusiasme masyarakat sangat luar biasa. Mereka bersatu padu dan bekerja bersama menyiapkan pelbagai sajian (aneka masakan khas) untuk menyambut peringatan maulid adat dalam rangka perayaan kelahiran nabi Muhammad Saw. Melihat antusiasme masyarakat itu, saya bergumam, bagaimana kalau perayaan maulid nabi Saw itu dilaksanakan setiap hari, niscaya fungsionalisasi perayaan itu akan meminimalisir kerusakan akhlak manusia. Dengan demikian dengan akhlak mulia dapat fungsional untuk membuka pintu langit kemanusiaan manusia yang sudah semakin jauh dengan Tuhan.  
Ya, dari banyak kejadian sebagaimana telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan kejadian lain yang menyangkut perilaku anak-anak kita saat ini, yang telah membuat malu orang tuanya dan bahkan tidak sedikit pula sang anak berduel atau adu fisik dengan ayahnya sendiri sampai salah satu darinya menjadi korban meninggal. Apa yang ada di kepala mereka? Pertanyaannya kemudian, mengapa permasalahan dan pelanggaran akhlak semakin menggila, serta terkesan sudah merusak tatanan bangunan kehidupan keluarga yang seharusnya terpelihara harmonitasnya.
Salah satu penyebabnya adalah telah tercerabutnya peran dan fungsi orang tua dalam memberikan pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Maksudnya adalah pendidikan agama bagi anak-anaknya. Peran itu, saya lihat sudah beralih ke media elektronik, entah itu TV, playstation, dengan berbagai bentuk program yang ditawarkannya. Lucunya, anak-anak kita lebih hafal nama bintang film dibandingkan dengan nama-nama nabi dan rasul, serta ada anak-anak kita yang tidak tahu siapa nama guru agamanya sendiri. Sungguh memprihatinkan dan harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Memperbaiki dan menata kembali akhlak manusia atau generasi muda sekarang ini tidak parsial tetapi bersinergi atau menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, Guru (khususnya guru PAI) dan tokoh agama dalam kapasitasnya sebagai “al-‘ulama warasatul al-ambiya’i”.
Orang tua (Ayah dan Ibu), mesti kembali berperan dan menjalankan fungsinya sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Menjadikan anak-anak kita baik harus dimulai dari pendidikan keluarga yang baik. “Jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka”, Firman Allah dalam Alqur’an. Keluarga menjadi tempat kembali para anggota keluarga setelah bepergian lama. Kalau keluarga harmonis, maka kehidupan keluarga itu layaknya syurga dan dalam keluarga harmonis pasti punya dampak positif terhadap tatanan kehidupan sosialnya.
Menurut hemat saya, seharusnya di dalam tatanan kehidupan keluarga yang harmonis inilah seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter manusia. Baik buruknya tingkah polah manusia mempunyai keterkaitan dengan pendidikan dalam keluarga. Dengan demikian, memperbaharui niat untuk terus menjaga dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak kita harus dilakukan secara sistematis dan terukur.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan dekadensi moral dan pelanggaran akhlak itu.
1.      Saya mengajak untuk kembali mencermati dan menjalankan makna nash yang menyatakan “Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka”. Maksudnya, bahwa untuk memperbaiki akhlak yang rusak itu harus dimulai dari diri sendiri, dari sesuatu yang mikro baru kemudian ke makro (keluarga dan ummat). Terus terang, saat ini terlalu banyak orang yang pintar dan pandai mempermainkan ayat-ayat Tuhan. Cerdas menyuruh orang lain tetapi tidak cerdas mengurus diri dan keluarganya. Belum lagi, ayat-ayat Tuhan dan symbol-simbol agama dimanipulasi untuk kepentingan politik. Buktinya jelas, mendekati Pemilu, kuantitas pelaksanaan tablig politik semakin menggila, padahal peraturan Bawaslu melarang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan.
2.      Orang tua (ayah dan ibu) harus memberikan pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kualitas dan kuantitas pendidikan harus mulai dari keluarga. Peran dan fungsi pendidikan orang tua ini yang sudah hilang dari keluarga dan pendidikan lebih banyak diberikan kepada pihak lain (yang belum tentu sama kasih dan sayangnya kepada si anak) dibandingkan orang tuanya. Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat keburukan merupakan pendidikan akhlak yang paling dasar yang mesti dilakukan orang tua. Tidak usah-lah membiarkan anak-anak kita terlena dalam perbuatan dan tingkah laku yang melanggar norma-norma agama, kesusilaan, dan norma-norma adat istiadat. Jangan melepaskan anak-anak kita belajar dari playstation, Naruto, Dora Emon, Sincan, Ksatria Baja Hitam dan lainnya sebagai gurunya. Keberadaan orang tua di sisi si anak menjadi nilai yang tidak tergantikan. Cuek bebek orang tua terhadap perilaku anak-anak mereka harus diakhiri agar terlahir generasi yang berakhlak mulia dan hormat terhadapnya.
3.      Peran guru Pendidikan Agama Islam, juga menjadi penentu kebaikan perilaku anak-anak kita. Seharusnya bapak-bapak guru PAI dapat berperan sebagai panutan atau mauidzah hasanah bagi peserta didik dan lingkungan sekolah. Para Guru PAI seharusnya menjadi tokoh di lingkungan sekolahnya. Tokoh yang baik dan berbudi pekerti serta saying terhadap anak-anak didiknya di sekolah. Jangan cederai identitas guru PAI dengan tindakan yang tidak terpuji. Dan jika tidak bisa menjaga identitas keguruan itu, maka pasti si guru akan menjadi ejekan dan cemohan masyarakat pendidikan.
Dengan menyadari dan on the track pada fungsi masing-masing (Orang Tua, Guru, Pemerintah dan Tokoh Agama), saya berkeyakinan bahwa perbaikan akhlak manusia yang sudah jauh dari nilai-nilai ke-Tuhanan akan dapat segera terobati dan terbaiki. Sinerginitas diantara mereka menjadi kata kunci perbaikan akhlak dan dekadensi moral manusia dewasa ini. Generasi Rasulullah Saw dan para sahabat menjadi cita dan citra ummat manusia untuk membuka pintu langit. Suatu generasi yang ikhlas, taat beribadah, takut kepada Allah Swt, dan rela berkurban untuk meninggikan kalimat-kalimat atau agama Allah. Dengan fungsionalisasi perayaan-perayaan tradisi Islam akan menjadi penyadaran bagi ummat Islam untuk terus meneladani akhlakul karimah Rasulullah Saw dan yang terpenting mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Lembah Gebong, Tanak Beak, 04032013.5.30.

0 komentar: