Suatu malam, Rasulullah Saw berbisik kepada Aisyah,
“Apakah kamu rela pada malam (giliranmu) ini, Abu beribadah?” “Aku sungguh
senang berada di sampingmu selalu, tetapi akupun rela dengan apa yang engkau
sukai,
sahut Siti Aisyah.
Rasul kemudian
bangkit untuk berwudlu, lalu beliau shalat dengan membaca alqur’an, sambil
menangis sampai membasahi (ikat pinggangnya). Selesai shalat, beliau duduk
memuji Allah, air matanya masih bercucuran sehingga membasahi pula lantai
tempat duduknya. Demikan cerita Aisyah Ra.
Seiring dengan
itu, menjelang subuh, Rasulullah Saw terlambat ke masjid untuk shalat sebelum
subuh (shalar sunat fajar). Hal itu membuat Bilal bertanya-tanya, ada apa
gerangan yang terjadi? Maka kemudian Bilal menuju ke rumah Rasul dan ditemui
beliau sedang menangis. Lalu Bilal bertanya, mengapa engkau menangis, wahai
Rasul? Bukankah Allah Swt telah mengampuni dosamu?
Betapa aku tidak
menangis. Semalam telah turun kepadaku wahyu sebagai berikut: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah,
sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, peliharalah kami dari siksa neraka (QS 3:
190-191).
Rasul Saw.
Kemudian berkata kepada Bilal, “rugilah yang membacanya tapi tidak menghayati
kandungannya” (Shihab, 2007).
Dengan akal
seorang Muslim menggunakan potensinya untuk memahami ayat-ayat Tuhan yang
tertulis di dalam mushaf atau terbentang di alam raya. Seorang Muslim tidak
menempatkan diri di menara gading, tidak juga berfikir terlepas dari Allah Swt,
juga tidak membatasi ingatan kepada-Nya hanya pada waktu-waktu tertentu.
Berdiri, duduk dan berbaring sekalipun, mereka tetap mengingat-Nya. Usahanya
tidak hanya sampai pada pemahaman, tetapi pengakuan tentang “hak” yang mewarnai
seluruh ciptaan Allah. Pengakuan ini kemudian menghasilkan amal dan karya-karya
besar. Pemahaman tanpa pengakuan adalah kejahilan (kata Prof. Quraish Shihab)
dan pengakuan tanpa pengamalan sama dengan kesesatan.
Dalam konteks
sekarang ini, kita dihadapkan pada pelbagai permasalahan hidup dan kemanusiaan.
Masih hangat dalam ingatan kita, seorang bayi yang tidak berdosa dibuang oleh
ibunya di sekitar kampus Universitas Mataram, beberapa waktu yang lalu. Ada
seorang ayah di Banten yang tega dan tanpa merasa bersalah telah memperkosa
anak kandungnya sendiri, hingga akhirnya si anak meninggal dunia. Kemudian di
Kediri Jawa Timur, seorang gadis belia akhirnya melahirkan anak hasil perbuatan
bejat ayah tirinya. Dan pelbagai macam peristiwa memilukan yang merusak harkat
dan martabat kemanusiaan kita.
Faktisitas
tersebut di atas, seakan telah membawa kita kembali ke masa-masa ala Jahiliyah (sebelum
Rasul Muhammad Saw di lahirkan). Dimana anak-anak perempuan yang dilahirkan
pada masa itu dianggap sebagai aib keluarga dan harus dibinasakan. Sungguh
perbuatan biadab yang dilakukan oleh orang yang tidak beradan kala itu. Dan
kini, kita dihadapkan pada kondisi sosiologis yang hampir sama. Bedanya pada
perlakuan terhadap anak perempuan. Kalau zaman jahiliyah (sebelum kelahiran
Rasulullah Saw) si anak perempuan dibinasakan dan dikubur hidup-hidup,
sementara di zaman jahiliyah modern si anak perempuan dinikmati dan dihamili
oleh ayahnya sendiri. Sungguh kesemua perbuatan itu, dikatagorikan sebagai
perbuatan biadab dan melanggar nilai-nilai dan hukum Islam yang kita anut.
Dalam kondisi
patologi sosial semacam itu, kehadiran Rasulullah Saw kala itu sebagai penerang
hati yang hitam pekat, pembimbing ke arah kebenaran ke-Ilahian, dan petunjuk
ketauhidan. Itulah misi-misi suci
Rasulullah Saw diutus untuk membawa rahmat bagi segenap alam semesta (rahmatan lil alamien). Kehadiran Rasul
Saw sebagai bukti kebenaran dan menuntun manusia kepada cahaya yang terang
benderang. Firman Allah Swt. “Wahai seluruh manusia, telah datang kepadamu
sekalian bukti bukti kebenaran dari Tuhanmu (yakni Muhammad), dan telah kami
turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang” (QS 4:174).
Nah, peringatan
maulid nabi Muhammad Saw (sebagai suatu tradisi masyarakat Islam) yang diadakan
setiap Bulan Rabiul Awwal, sebagai suatu medium untuk terus memperbaharui atsar
dan sunnah yang ditinggal Rasul Saw kepada seluruh ummat Islam. Tradisi maulid
itu sebaiknya terus kita lanjutkan agar hikmah dan barokah dari peringatan itu
kita dapatkan. Dengan hikmah maulid Nabi sebaiknya dihajatkan untuk mengikuti
jejak langkahnya guna memperbaiki dekadensi moral dan perilaku menyimpang yang
semakin menggila di zaman ini, sebagaimana tersebut di atas. Sabda Rasulullah
Saw: “Sungguh, kami diutus untuk
memperbaiki akhlak manusia”.
Pada masyarakat
yang masih tradisional sekalipun, seperti masyarakat Islam Wetu Telu peringatan maulid nabi Muhammad Saw masih fungsional
untuk menjaga soliditas dan solidaritas antar sesamanya. Maulid Adat (istilah
yang dipakai Wetu Telu) walaupun
dilaksanakan satu kali setahun terlihat bahwa antusiasme masyarakat sangat luar
biasa. Mereka bersatu padu dan bekerja bersama menyiapkan pelbagai sajian
(aneka masakan khas) untuk menyambut peringatan maulid adat dalam rangka
perayaan kelahiran nabi Muhammad Saw. Melihat antusiasme masyarakat itu, saya
bergumam, bagaimana kalau perayaan maulid nabi Saw itu dilaksanakan setiap
hari, niscaya fungsionalisasi perayaan itu akan meminimalisir kerusakan akhlak
manusia. Dengan demikian dengan akhlak mulia dapat fungsional untuk membuka
pintu langit kemanusiaan manusia yang sudah semakin jauh dengan Tuhan.
Ya, dari banyak
kejadian sebagaimana telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan kejadian
lain yang menyangkut perilaku anak-anak kita saat ini, yang telah membuat malu
orang tuanya dan bahkan tidak sedikit pula sang anak berduel atau adu fisik
dengan ayahnya sendiri sampai salah satu darinya menjadi korban meninggal. Apa
yang ada di kepala mereka? Pertanyaannya kemudian, mengapa permasalahan dan
pelanggaran akhlak semakin menggila, serta terkesan sudah merusak tatanan
bangunan kehidupan keluarga yang seharusnya terpelihara harmonitasnya.
Salah satu
penyebabnya adalah telah tercerabutnya peran dan fungsi orang tua dalam
memberikan pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Maksudnya adalah pendidikan
agama bagi anak-anaknya. Peran itu, saya lihat sudah beralih ke media
elektronik, entah itu TV, playstation, dengan berbagai bentuk program yang
ditawarkannya. Lucunya, anak-anak kita lebih hafal nama bintang film
dibandingkan dengan nama-nama nabi dan rasul, serta ada anak-anak kita yang
tidak tahu siapa nama guru agamanya sendiri. Sungguh memprihatinkan dan harus
segera dicarikan jalan keluarnya.
Memperbaiki dan
menata kembali akhlak manusia atau generasi muda sekarang ini tidak parsial
tetapi bersinergi atau menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, Guru (khususnya
guru PAI) dan tokoh agama dalam kapasitasnya sebagai “al-‘ulama warasatul al-ambiya’i”.
Orang tua (Ayah
dan Ibu), mesti kembali berperan dan menjalankan fungsinya sebagai pendidik
pertama dan utama dalam keluarga. Menjadikan anak-anak kita baik harus dimulai
dari pendidikan keluarga yang baik. “Jagalah
diri dan keluargamu dari siksa api neraka”, Firman Allah dalam Alqur’an.
Keluarga menjadi tempat kembali para anggota keluarga setelah bepergian lama.
Kalau keluarga harmonis, maka kehidupan keluarga itu layaknya syurga dan dalam
keluarga harmonis pasti punya dampak positif terhadap tatanan kehidupan
sosialnya.
Menurut hemat
saya, seharusnya di dalam tatanan kehidupan keluarga yang harmonis inilah
seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter manusia. Baik buruknya tingkah
polah manusia mempunyai keterkaitan dengan pendidikan dalam keluarga. Dengan
demikian, memperbaharui niat untuk terus menjaga dan memberikan pendidikan
terbaik bagi anak-anak kita harus dilakukan secara sistematis dan terukur.
Setidaknya ada
tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan dekadensi moral dan
pelanggaran akhlak itu.
1.
Saya
mengajak untuk kembali mencermati dan menjalankan makna nash yang menyatakan “Jagalah
diri dan keluargamu dari api neraka”. Maksudnya, bahwa untuk memperbaiki akhlak
yang rusak itu harus dimulai dari diri sendiri, dari sesuatu yang mikro baru kemudian
ke makro (keluarga dan ummat). Terus terang, saat ini terlalu banyak orang yang
pintar dan pandai mempermainkan ayat-ayat Tuhan. Cerdas menyuruh orang lain
tetapi tidak cerdas mengurus diri dan keluarganya. Belum lagi, ayat-ayat Tuhan
dan symbol-simbol agama dimanipulasi untuk kepentingan politik. Buktinya jelas,
mendekati Pemilu, kuantitas pelaksanaan tablig politik semakin menggila,
padahal peraturan Bawaslu melarang kampanye di luar jadwal yang telah
ditetapkan.
2.
Orang
tua (ayah dan ibu) harus memberikan pendidikan pertama dan utama bagi
anak-anaknya. Kualitas dan kuantitas pendidikan harus mulai dari keluarga. Peran
dan fungsi pendidikan orang tua ini yang sudah hilang dari keluarga dan
pendidikan lebih banyak diberikan kepada pihak lain (yang belum tentu sama
kasih dan sayangnya kepada si anak) dibandingkan orang tuanya. Menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat keburukan merupakan pendidikan akhlak yang paling
dasar yang mesti dilakukan orang tua. Tidak usah-lah membiarkan anak-anak kita
terlena dalam perbuatan dan tingkah laku yang melanggar norma-norma agama,
kesusilaan, dan norma-norma adat istiadat. Jangan melepaskan anak-anak kita
belajar dari playstation, Naruto, Dora Emon, Sincan, Ksatria Baja Hitam dan
lainnya sebagai gurunya. Keberadaan orang tua di sisi si anak menjadi nilai
yang tidak tergantikan. Cuek bebek orang tua terhadap perilaku anak-anak mereka
harus diakhiri agar terlahir generasi yang berakhlak mulia dan hormat
terhadapnya.
3.
Peran
guru Pendidikan Agama Islam, juga menjadi penentu kebaikan perilaku anak-anak
kita. Seharusnya bapak-bapak guru PAI dapat berperan sebagai panutan atau
mauidzah hasanah bagi peserta didik dan lingkungan sekolah. Para Guru PAI
seharusnya menjadi tokoh di lingkungan sekolahnya. Tokoh yang baik dan berbudi
pekerti serta saying terhadap anak-anak didiknya di sekolah. Jangan cederai
identitas guru PAI dengan tindakan yang tidak terpuji. Dan jika tidak bisa
menjaga identitas keguruan itu, maka pasti si guru akan menjadi ejekan dan cemohan
masyarakat pendidikan.
Dengan menyadari
dan on the track pada fungsi
masing-masing (Orang Tua, Guru, Pemerintah dan Tokoh Agama), saya berkeyakinan
bahwa perbaikan akhlak manusia yang sudah jauh dari nilai-nilai ke-Tuhanan akan
dapat segera terobati dan terbaiki. Sinerginitas diantara mereka menjadi kata
kunci perbaikan akhlak dan dekadensi moral manusia dewasa ini. Generasi
Rasulullah Saw dan para sahabat menjadi cita dan citra ummat manusia untuk
membuka pintu langit. Suatu generasi yang ikhlas, taat beribadah, takut kepada
Allah Swt, dan rela berkurban untuk meninggikan kalimat-kalimat atau agama
Allah. Dengan fungsionalisasi perayaan-perayaan tradisi Islam akan menjadi
penyadaran bagi ummat Islam untuk terus meneladani akhlakul karimah Rasulullah
Saw dan yang terpenting mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Lembah Gebong,
Tanak Beak, 04032013.5.30.
0 komentar:
Posting Komentar