Sabtu, 06 April 2013

PEMIMPIN BUMI GORA


Alkisah, pada suatu acara seorang pemuka agama atau Tuan Guru didatangi oleh seorang pemimpin atau tepatnya calon pemimpin yang akan mendaftar menjadi gubernur Bumi Gora, NTB. Bagaikan seorang anak yang mengharap kasih sayang yang tulus dan doa restu dari orang tuanya, dengan lirih ia berbisik, Abah, tolong pilih orang Sasak menjadi gubernur mendatang. Mendapat permintaan yang tampak tulus, Tuan Guru berkata berikan saya waktu untuk berfikir dan beristiharah.
Hiruk pikuk pemilihan gubernur NTB 13 Mei 2013 menyuguhkan sebuah pertanyaan besar, orang seperti apa yang pantas memimpin Bumi Gora? Semua orang tahu jawabannya orang tersebut hendaklah berbuat untuk Bumi Gora. Ia harus berbuat untuk Bumi Gora. Siang malam, sepanjang waktu, yang ada di kepalanya Cuma Bumi Gora, tidak boleh ada hal lain. Ia harus hidup 100% buat Bumi Gora.
Saya berkeyakinan, tidak terlalu sulit mencari seseorang yang bersedia total untuk yang ia pimpin. Orang Jawa pasti bersedia sepenuhnya berbakti demi manusia Jawa. Pemimpin Bima akan bersungguh-sungguh bertindak untuk Bima. Pemimpin Sumbawa akan berbuat total untuk orang Sumbawa. Begitu juga dengan orang Lombok pasti bersedia sepenuhnya berbakti dan berbuat demi manusia Sasak. Bumi Gora NTB yang dahulunya bernama Sunda Kecil berhimpun tiga etnis besar Sasambo singkatan dari Sasak, Samawa dan Mbojo Bima. Siapapun pemimpin Bumi Gora mendatang rasanya tidak bisa lepas dari tiga etnis besar itu.
Pemimpin Bumi Gora tidak bisa setengah-setengah berfikir dan berbuat, ia harus 100% untuk Bumi Gora NTB. Ia, tidak boleh dikuasai dan dikendalikan oleh seseorang atau kelompok yang berkepentingan mengeruk isi perut Bumi Gora demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemimpin Bumi Gora harus mandiri, adil dan setara dalam memikirkan tiga etnis besar penghuninya (dan juga etnis lainnya). Kekayaan alam permata hijau di Sumbawa Barat dan emas yang ada di Sekotong harus diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat dan bukan untuk dibagi-bagi untuk kelompoknya.
Orang Sasak jika ditanya, seperti apa pemimpin yang mereka hayalkan? Tentu akan mengisyaratkan calon pemimpin dari etnisnya sebagaimana keinginan etnis lain ketika ditanyakan hal yang sama. Ketika seorang budayawan Sasak di tanya, calon pemimpin seperti apa yang diidamkan, pasti menyodorkan ciri-ciri pemimpin sesuai jati diri orang Sasak. Dan begitupun, ketika seorang Tuan Guru ditanya hal yang sama, hampir dipastikan jawabannya calon pemimpin yang memiliki ciri-ciri pemimpin Islam seperti Rasulullah Muhammad Saw. Yakni Siddiq, Amanah, Tablig dan Fatonah.
Usman Paradiso, sebagaimana dikutip Saharudi, MA dalam tesisnya menyebutkan bahwa jati diri pemimpin Sasak setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1). Tan laba artinya pemimpin tidak mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongannya sendiri; (2). Tan kena hiwah, seorang pemimpin harus punya pendirian yang kukuh, ampuh dan kuat, tidak terpengaruh serta cepat berubah dengan orang yang mengelilinginya; (3). Tan kasamar, seorang pemimpin harus bersifat transparan, terbuka, tidak remang-remang dan berat sebelah dalam mengambil keputusan; (4). Sun ya hadi pelamar hulubung, seorang pemimpin harus menunjukkan atau mengedepankan sifat-sifat terpuji seperti adil, arif dan bijaksana dalam menempatkan kebijaksanaannya; (5). Lateh hing bumi, seorang pemimpin harus mengutamakan rasa tanggung jawab dan pengabdian atas kepemimpinannya di muka bumi; (6). Dadi waja wong senegari, yakni seorang pemimpin harus mampu menjadi tumpuan dan harapan serta kekuatan seluruh rakyat yang dipimpin; (7). Wani hing pati, seorang pemimpin harus berani karena benar dan takut karena salah; (8). Minangka damar ring wulan, seorang pemimpin harus dapat menjadi pelita yang terang benderang bagi rakyat dalam kegelapan yang gelap gulita; dan (9).  Minanghan sifat, maksudnya seorang pemimpin harus bersifat lurus, mulus, tulus dan tidak berbelit-belit seperti ular.
Dari uraian ciri-ciri pemimpin di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin pada masyarakat Sasak harus ahli di bidang pemerintahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang ada. Hal ini tergambar dalam ungkapan filosofis orang Sasak, yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Kalau dicermati dari perjalanan sejarah (terutama pemimpin Sasak), saya yakin betul para pemimpin itu pasti tahu betul filosofis dan ciri-ciri pemimpin Sasak yang ideal, tetapi nyatanya sampai saat ini tidak pernah lahir pemimpin yang ideal yang diminta dan diidamkan masyarakat karena pemimpin di Bumi Gora tak bisa lepas dari pengaruh kehendak politik. Siapapun yang memimpin Bumi Gora harus tunduk dan mengikuti irama dan permainan politik agar bisa tetap memimpin dan berkuasa. Rakyat pun terpaksa atau dipaksa untuk bermain politik ketika hendak mengganti pemimpinnya.
Atas nama demokrasi, rakyat dipaksa untuk menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin yang terkadang tak jelas track recordnya. Rakyat hanya disuguhkan beberapa pasangan calon pemimpin oleh partai politik untuk di pilih sementara rakyat tidak faham betul siapa sebenarnya mereka itu. Di dunia politik baik-buruk; benar-salah bedanya sangat tipis, sehingga tidak heran perilaku politik pemimpin juga sering merugikan rakyat yang dipimpinnya, seperti melakukan korupsi, mementingkan keluarga atau nepotisme, dan mementingkan kelompok golongannya. Selama tidak menjadi persoalan, perilaku politik itu jalan terus layaknya perjalanan di jalan tol, tetapi mungkin berakhir di rumah derita.
Memilih pemimpin saat ini, ibarat orang empat orang buta yang ditanya bagaimana wujud gajah. Masing-masing dari mereka mempersepsikan gajah dari apa yang dipegangnya. ketika memegang telinga, jelas persepsinya bahwa gajah itu luas dan lebar. Saat memegang gadingnya, ia mempersepsikan gajah itu panjang dan kurus. Saat orang buta ketiga memegang paha gajah, maka ia mempersepsikan gajah itu besar dan tinggi. Orang buta keempat hanya memegang ekor gajah, maka jelas ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sapu. Apa mereka salah? Tentu mereka tidak salah, mereka benar semua berdasarkan apa yang dipegangnya pertama kali.
Tentu memilih pemimpin tidak seperti empat orang buta itu. Memilih pemimpin seharusnya berdasarkan ciri-ciri dan persyaratan tertentu. Partai politik seharusnya membuat kriteria calon pemimpin berdasarkan kriteria yang ideal, sebagaimana kriteria tersebut di atas.

BERHARAP PADA ORANG SASAK
Acap kali terjadi orang Bumi Gora menggantungkan hidup dan peruntungan mereka tidak pada orang Bumi Gora. Sebelum Harun Al Rasyid menjabat gubernur NTB, digantikan H Lalu Serinate dan Dr. TGB. M. Zainul Majdi, orang nomor satu di Bumi Gora NTB pernah di jabat Gatot Suherman dan Warsito (gubernur yang berasal dari Jawa Tengah), ternyata mereka sukses mengurus NTB beserta masyarakatnya. Dan di era gubernur Gatot Suherman NTB berhasil dalam swasembada pangan dan penopang lumbung nasional dengan Gogor Ancahnya, sehingga sampai saat ini NTB dikenal dengan sebutan Bumi Gora. Senyatanya, saya lebih senang menyebut NTB dengan daerah Bumi Gora, karena di dalam istilah itu terkandung makna kebanggaan menjadi orang NTB ketika duduk bersama dengan daerah lain.
Namun logika itu tidak bisa di bolak balik dengan menyatakan bahwa orang Bumi Gora dapat mengurus kehidupan mereka tanpa peran orang luar, karena sejarah membuktikan bahwa Bumi Gora pernah diurus oleh gubernur dari tanah jawa dan berhasil. Jangan-jangan di hati kecil rakyat masih mengidolakan atau menginginkan Bumi Gora ini diurus oleh orang Jawa. Namun, cepat-cepat wak Emet menjawab enggak ah. Kita bisa memimpin Bumi Gora dengan tetap melibatkan peran dari orang luar (etnis lainnya).
Saat ini, jika orang Sasak ditanya, pilih mana, diurus oleh sesama manusia Sasak atau orang luar, dan pasti jawabannya memilih pilihan pertama. Mengapa? bukankah yang membuat NTB ini terkenal karena diurus oleh gubernur dari tanah Jawa? Ya, iyalah, kata wak Emet, tetapi tidak sebatas itu khan. Yang jelas orang Sasak tentu lebih mengerti sesamanya. Maksudnya, apa wak Emet? Maksudnya kalau pemimpinnya manusia Sasak kita lebih mudah minta ijin tidak masuk kantor ketika acara-acara keagamaan, seperti maulid nabi, kegiatan masyarakat dan pelaksanaan adat istiadat. Welah wak Emet, ada-ada saja. Kalau hanya itu mengapa harus manusia Sasak menjadi pemimpin, siapapun bisa. Dasar manusia kampungan yang tidak bisa lepas dari mitos Doyan Nade.
Tetapi, okelah wak Emet. Nyatanya orang Sasak sering benci sesama orang Sasak ketika berkuasa. Kebencian mereka ditunjukkan dengan berbasa-basi, bikin lelucon, mentertawakan pada setiap kesempatan, sambil minum kopi dan ubi goreng di warung Inak Ipuk dan di tempat lainnya. Terkadang sok berkuasa, segala sesuatunya harus terkoneksi dengan label-label tertentu. Bantuan, hibah, ijin dan segala tetek bengeknya harus terkoneksi, jika tidak, maka cukup hanya gigit jari. Memangnya, jabatan itu abadi tanya wak Camet sahabatnya wak Emet dengan nada keheranan. Kita berhusnu Zhon saja, pinta wak Emet sambil menarik napas.
Sebentar lagi, kita akan memilih gubernur Bumi Gora. Dari empat pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi NTB, kelihatannya komposisi dan perpaduan etnik Sasambo cukup berimbang. Ada pasangan Sasak – Sumbawa; Sasak – Dompu; Bima – Sasak dan Sumbawa – Sasak. Kalau pilihannya seperti ini, kira-kira siapa yang kita pilih wak Emet, tanya wak Camet dengan sedikit nada berkelakar. Wak Emet hanya terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selang beberapa saat, wak Emet sambil menarik napas panjang berucap “pokoknya orang Sasak, siapapun dia”. Wah kalau begini kata wak Camet, kamu bikin kami tambah pusing, tetapi ciri-cirinya seperti apa calon pemimpin manusia Sasak, kejar wak Camet. Pemimpin yang bisa dan sesuai dengan filosofi hidup orang sasak yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Pituturan dua sahabat yang berbeda latar belakang itu menarik untuk dicermati tentang pemimpin manusia Sasak. Menariknya, dari empat calon pemimpin manusia Sasak itu ternyata keempatnya berasal dari Lombok Timur. Masalahnya, apa ini kesalahan politik atau gestur superioritas dari orang Sasak yang memang tidak pernah harmonis. Atau semacam pertarungan kuasa antara Agamawan, Bangsawan dan Jajar Karang, kata Dr. Salman Fariz (budayawan Sasak). Faktanya, babad Sakra telah memberikan gambaran terang benderang tentang manusia Sasak yang tidak pernah menyatu dalam melakukan peperangan dengan Karang Asem ketika itu, sehingga manusia Sasak tidak pernah mampu mengalahkannya. Manusia Sakra bergerak sendiri; begitu pula dengan manusia Praya, Pujut, Puyung dan Mantang. Memang beberapa kali terjadi pertempuran sengit tapi tetap saja kalah. Welah, aku jadi pineng, kata wak Camet.
Itu sejarah wak Camet. Biarkan sejarah berjalan dengan alurnya sendiri, kita berbeda dengan manusia Sasak yang dahulu, sergah wak Emet. Pokoknya, pilih manusia Sasak jadi pemimpin, titik. Welah, wak Emet, kamu kayak pahlawan kesiangan, masih saja ngotot mengharuskan memilih manusia Sasak, bukankah masih ada yang lebih baik, berwawasan, santun, adil dan berempati terhadap permasalahan yang kita alami, kata wak Camet. Begini saja, tugas kita hanya memilih di antara empat, memilih calon gubernur manusia Sasak atau memilih wakil gubernurnya manusia Sasak. Begitu saja repot.
Biarkan dua sahabat itu terus berdebat. Tapi yang pasti bahwa memikirkan Bumi Gora bukan hanya Sasak, Samawa, Mbojo, masih banyak etnis lain yang berperan dalam membangun Bumi Gora. Semua itu tidak bisa dinafikan. Dari pada terus-terusan berdebat tentang siapa yang paling layak memimpin Bumi Gora, lebih baik mencoba mengidentifikasi tentang siapa diantara calon gubernur yang memiliki visi, misi dan program kerja untuk kemajuan Bumi Gora dan kesejahteraan rakyatnya. Tidak penting lagi berdebat tentang dari etnis mana gubernur mendatang. Pokoknya gubernur yang diidam-idamkan masyarakat Bumi Gora adalah yang mampu membawa daerah ini melompat jauh ke depan guna mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain di Indonesia.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 05042013.

0 komentar: