Minggu, 21 April 2013

KENIKMATAN YANG MEMATIKAN

Pastinya, kita pernah mendengar nama suku Eskimo. Suku ini mendiami kutub Utara yang dikelilingi oleh Es. Keunikan dari suku Eskimo adalah memiliki strategi berburu yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Mereka biasanya berburu serigala sebagai santapan hariannya.
Dalam berburu mereka menggunakan pisau yang sangat tajam, lalu merendamnya di dalam darah hewan lain. Darah yang menyelimuti pisau itu mereka biarkan membeku. Selanjutnya pisau yang sudah dilumuri darah beku tersebut di tanam di dataran tinggi tempat serigala sering bermain. Pisau itu sendiri ditanam dengan posisi bagian ujung (mata pisau) mencuat ke atas.

Dengan trik seperti itu, acapkali serigala datang dan mengendus-endus bau darah yang menyelimuti pisau tersebut. Tentu saja, mata pisau yang tajam dengan sendirinya melukai lidah si serigala. Namun demikian, udara yang dingin membuat si serigala tidak merasa sakit, meski ia menjilati pisau yang tajam dan darahnya sendiri. Lama kelamaan serigala mati lemas karena kehabisan darah. Selanjutnya dapat ditebak, suku Eskimo dapat dengan mudah membawa serigala itu untuk dijadikan santapan.

Apa yang bisa didapatkan dari strategi berburu suku Eskimo dan kelakuan serigala itu? Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar susila, moral atau hukum pada awalnya sering mendatangkan kenikmatan. Akan tetapi, karena terlalu menimati tanpa disadari hal ini telah mematikan nilai kehidupan seseorang. Sebagai suatu hipotesis memang perlu diuji kesahihannya dengan fakta di lapangan.

Perilaku amoral, asusila dan melanggar hukum telah melingkupi kehidupan masyarakat. Parahnya lagi, sebagian dari kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana perbuatan dan perilaku yang melanggar moral, etika, susila dan hukum, serta hukum adat. Ibaratnya, masyarakat sudah berada di ujung sendikala kebangkrutan norma-norma hukum. Terkadang kita teramat sedih menyaksikan anak-anak remaja yang susah diberikan pengajaran, tidak saja oleh guru-gurunya, tetapi juga oleh orang tuanya sendiri.

Diberikan nasehat, mereka cuek bebek. Diberikan penjelasan, mereka ngelawan seraya kabur entah kemana. Diberikan pengajaran, mereka menganggap kita (orang tuanya) sebagai pahlawan kesiangan. Dan bahkan ada diantara mereka yang sampai bertarung dengan ayahnya sendiri. Dilaporkan ke polisi, mereka menganggap orang tuanya tidak sayang padanya. Kalau sudah seperti ini, posisi orang tua menjadi serba salah dan tetap salah, karena tidak mampu mengarahkan dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.

Kondisi seperti tersebut di atas, diperparah lagi dengan keputusan mengambil jalan pintas dan mencari kenikmatan sendiri di luar rumah. Akibatnya tidak sedikit diantaranya berurusan dengan narkoba. Atas nama kenikmatan, mereka melakukan tindak pidana korupsi; atas nama kenikmatan, mereka bermain-main dengan api cinta. Dan atas nama kenikmatan, mereka telah mengkoyak-koyak hak-hak kaum miskin dengan penyelewengan dana raskin.

Namun, justru kenikmatan semu yang diberikan membuat seseorang semakin terjerumus sehingga lupa diri dan lingkungannya. Ketika semua terbongkar dan dunia melihatnya, barulah tersadar. Semua sudah terjadi, reputasinya hancur, karir yang telah dirintisnya di ujung tanduk dan pastinya merusak nama baik keluarga besarnya hanya karena kenikmatan semu yang dirasakan pada awalnya.

Kematian menjadi akhir kehidupan manusia. Kenikmatan berlebih, mengambil hak orang dengan bathil (seperti korupsi, menjual raskin, mencuri, dan menjambret), mengakhiri nyawa orang lain dengan kekejian, menghamili anak kandungnya dengan syahwat kebinatangan, dilegalkannya perkawinan dengan sesama jenis, dan membiarkannya anak keturunannya tanpa pendidikan serta pengajaran yang memadai, akan menghantarkan manusia ke gerbang kiamat kecil atau kematian.
Untuk tersadar dari pelbagai kejadian tersebut, perlu melakukan muhasabah atas kelalaian, kehilafan dan kekeliruan yang pernah di lakukan, baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai masyarakat. Lingkungan yang tidak mendukung akan membuat kita mati perlahan dalam kenikmatan sebagaimana serigala yang menghisap darahnya sendiri tanpa sadar.

Pertanyaan klasik tentang eksistensi manusia, dari mana, untuk apa, dan kemana akhirnya manusia, kiranya bisa menjadi pengajaran bersama. Tentu jawaban dari ketiga pertanyaan klasik itu adalah “Allah Swt”.

Jika saja, kita tetap sadar tentang diri kita sebagai manusia, maka sudah pasti kita berada dalam jalan lurus (sirat al-mustaqiem), jalan yang telah ditetapkan Allah Swt untuk kembali kepada-Nya dengan selamat dan di depan pintu syurga Rasulullah Saw telah menanti kita semua. Untuk apa? Guna menuntun kita sebagai ummatnya memasuki Syurga yang telah dijanjikan-Nya bagi orang muttaqien.

Sebagai Musafir di dunia ini, kita harus tetap mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah Swt. Agar tidak tersesat dan kena tilang. Kalau hanya kena tilang di dunia ini, paling-paling kita hanya didenda oleh hakim dengan sejumlah uang tertentu. Namun, kalau sampai kita di tilang oleh Allah swt karena melanggar rambu-rambu, maka urusannya menjadi lebih rumit dan balasannya kita akan rasakan saat masih hidup, ketika berada dalam alam barzah dan saat kebangkitan setelah melalui proses pengadilan di mahsar kelak.

Alqur’an dan hadits menjadi dua pusaka yang menjadi penuntun kita menjalani kehidupan di dunia ini. Selama kita berjalan sesuai arahan kedua pusaka suci itu, pasti kita akan berbahagia hidupnya dan tidak tersesat, karena memang sebagai petunjuk dan obat bagi kita.

Kenikmatan dari kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak baik (seperti korupsi dan menipu hak orang lain) dapat dipastikan hidupnya menjadi tidak berkah, hidupnya tidak tenang dan terkadang diperingati langsung melalui bencana, penyakit, dan mungkin mimpi di siang bolong.

Kecerdikan suku Eskimo dalam meracik tipuan terhadap serigala (yang membuatnya mati lemas) akibat menghisap darahnya sendiri sebagai analogi bahwa betapa kita berada pada situasi yang sedang dimanfaatkan dan atau saling memanfaatkan antar sesama. Hubungan persaudaraan, hanya sebatas hubungan darah semata, selebihnya tidak. Perikatan dalam keluarga, hanya sebatas hubungan seksual semata, selebihnya tidak. Hubungan guru dan anak didiknya, sebatas hubungan transfer ilmu semata, selebihnya tidak. Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin, hanya sebatas memanfaatkan jabatan, selebihnya tidak. Dan hubungan ihkwatun dalam keimanan, hanya sebatas hubungan lipstik, selebihnya tidak.

Akibatnya apa? Banyak saudara yang memakan saudaranya sendiri. Bayak keluarga yang berantakan, karena istri menggugat cerai suaminya. Banyak orang tua yang tidak bertegur sapa dengan anaknya sendiri. Banyak guru yang melakukan tindakan asusila terhadap anak didiknya. Dan banyak pemimpin yang menipu dan mengakali rakyatnya sendiri.

Menurut hemat penulis, Jalan lurus yang harus dilakukan untuk bisa keluar dari situasi di atas yakni:
1. Kembali memerankan institusi keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anak dan anggota keluarga.
2. Institusi pendidikan formal harus mampu berperan ganda, di samping transfer ilmu pengetahuan, menjadikan anak cerdas secara intelektual, juga menjadikan anak didiknya cerdas secara emosional. Sehingga terlahir anak yang cerdas, cerdik dan berakhlak mulia.
3. Lingkungan sosial harus mendukung kedua institusi di atas guna melahirkan anak-anak yang pintar secara intelektual dan sholeh secara emosional. Institusi keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial harus bersinergi guna melahirkan generasi sahabat dan salafus shalih.
4. Untuk mewujudkan semua itu, kita wajib berpegang pada dua pusaka suci yang diperuntukkan kepada kita ummat Islam yakni alqur’an dan hadits Rasulullah Saw. Berpegang dengan keduanya pasti kita tidak akan tersesat dan kena tilang.

Pemberian pengajaran dan pendidikan menuju generasi impian yakni generasi emas 2025 sangat mungkin tercapai, sebagaimana yang telah diprogramkan oleh pemerintah. Suatu generasi yang pintar dalam kecerdasan, adil dalam keadilan dan makmur dalam kemakmuran di suatu negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafur. Suatu negeri impian yang akan dituju oleh generasi emas dalam pengertian yang sejati. Keluar dari kenikmatan semu menjadi kata kunci untuk menggapai negeri impian atau suatu negeri yang mengandung kenikmatan sejati. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

0 komentar: