Pastinya,
kita pernah mendengar nama suku Eskimo. Suku ini mendiami kutub Utara
yang dikelilingi oleh Es. Keunikan dari suku Eskimo adalah memiliki
strategi berburu yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Mereka biasanya
berburu serigala sebagai santapan hariannya.
Dalam berburu mereka menggunakan pisau yang sangat tajam, lalu merendamnya di dalam darah hewan lain. Darah
yang menyelimuti pisau itu mereka biarkan membeku. Selanjutnya pisau
yang sudah dilumuri darah beku tersebut di tanam di dataran tinggi
tempat serigala sering bermain. Pisau itu sendiri ditanam dengan posisi
bagian ujung (mata pisau) mencuat ke atas.
Dengan trik seperti
itu, acapkali serigala datang dan mengendus-endus bau darah yang
menyelimuti pisau tersebut. Tentu saja, mata pisau yang tajam dengan
sendirinya melukai lidah si serigala. Namun demikian, udara yang dingin
membuat si serigala tidak merasa sakit, meski ia menjilati pisau yang
tajam dan darahnya sendiri. Lama kelamaan serigala mati lemas karena
kehabisan darah. Selanjutnya dapat ditebak, suku Eskimo dapat dengan
mudah membawa serigala itu untuk dijadikan santapan.
Apa yang
bisa didapatkan dari strategi berburu suku Eskimo dan kelakuan serigala
itu? Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar
susila, moral atau hukum pada awalnya sering mendatangkan kenikmatan.
Akan tetapi, karena terlalu menimati tanpa disadari hal ini telah
mematikan nilai kehidupan seseorang. Sebagai suatu hipotesis memang
perlu diuji kesahihannya dengan fakta di lapangan.
Perilaku
amoral, asusila dan melanggar hukum telah melingkupi kehidupan
masyarakat. Parahnya lagi, sebagian dari kita sudah tidak bisa lagi
membedakan mana perbuatan dan perilaku yang melanggar moral, etika,
susila dan hukum, serta hukum adat. Ibaratnya, masyarakat sudah berada
di ujung sendikala kebangkrutan norma-norma hukum. Terkadang kita
teramat sedih menyaksikan anak-anak remaja yang susah diberikan
pengajaran, tidak saja oleh guru-gurunya, tetapi juga oleh orang tuanya
sendiri.
Diberikan nasehat, mereka cuek bebek. Diberikan
penjelasan, mereka ngelawan seraya kabur entah kemana. Diberikan
pengajaran, mereka menganggap kita (orang tuanya) sebagai pahlawan
kesiangan. Dan bahkan ada diantara mereka yang sampai bertarung dengan
ayahnya sendiri. Dilaporkan ke polisi, mereka menganggap orang tuanya
tidak sayang padanya. Kalau sudah seperti ini, posisi orang tua menjadi
serba salah dan tetap salah, karena tidak mampu mengarahkan dan mendidik
anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kondisi seperti
tersebut di atas, diperparah lagi dengan keputusan mengambil jalan
pintas dan mencari kenikmatan sendiri di luar rumah. Akibatnya tidak
sedikit diantaranya berurusan dengan narkoba. Atas nama kenikmatan,
mereka melakukan tindak pidana korupsi; atas nama kenikmatan, mereka
bermain-main dengan api cinta. Dan atas nama kenikmatan, mereka telah
mengkoyak-koyak hak-hak kaum miskin dengan penyelewengan dana raskin.
Namun, justru kenikmatan semu yang diberikan membuat seseorang semakin
terjerumus sehingga lupa diri dan lingkungannya. Ketika semua terbongkar
dan dunia melihatnya, barulah tersadar. Semua sudah terjadi,
reputasinya hancur, karir yang telah dirintisnya di ujung tanduk dan
pastinya merusak nama baik keluarga besarnya hanya karena kenikmatan
semu yang dirasakan pada awalnya.
Kematian menjadi akhir
kehidupan manusia. Kenikmatan berlebih, mengambil hak orang dengan
bathil (seperti korupsi, menjual raskin, mencuri, dan menjambret),
mengakhiri nyawa orang lain dengan kekejian, menghamili anak kandungnya
dengan syahwat kebinatangan, dilegalkannya perkawinan dengan sesama
jenis, dan membiarkannya anak keturunannya tanpa pendidikan serta
pengajaran yang memadai, akan menghantarkan manusia ke gerbang kiamat
kecil atau kematian.
Untuk tersadar dari pelbagai kejadian tersebut,
perlu melakukan muhasabah atas kelalaian, kehilafan dan kekeliruan yang
pernah di lakukan, baik sebagai kepala keluarga maupun sebagai
masyarakat. Lingkungan yang tidak mendukung akan membuat kita mati
perlahan dalam kenikmatan sebagaimana serigala yang menghisap darahnya
sendiri tanpa sadar.
Pertanyaan klasik tentang eksistensi
manusia, dari mana, untuk apa, dan kemana akhirnya manusia, kiranya bisa
menjadi pengajaran bersama. Tentu jawaban dari ketiga pertanyaan klasik
itu adalah “Allah Swt”.
Jika saja, kita tetap sadar tentang
diri kita sebagai manusia, maka sudah pasti kita berada dalam jalan
lurus (sirat al-mustaqiem), jalan yang telah ditetapkan Allah Swt untuk
kembali kepada-Nya dengan selamat dan di depan pintu syurga Rasulullah
Saw telah menanti kita semua. Untuk apa? Guna menuntun kita sebagai
ummatnya memasuki Syurga yang telah dijanjikan-Nya bagi orang muttaqien.
Sebagai Musafir di dunia ini, kita harus tetap mematuhi rambu-rambu
yang telah ditetapkan Allah Swt. Agar tidak tersesat dan kena tilang.
Kalau hanya kena tilang di dunia ini, paling-paling kita hanya didenda
oleh hakim dengan sejumlah uang tertentu. Namun, kalau sampai kita di
tilang oleh Allah swt karena melanggar rambu-rambu, maka urusannya
menjadi lebih rumit dan balasannya kita akan rasakan saat masih hidup,
ketika berada dalam alam barzah dan saat kebangkitan setelah melalui
proses pengadilan di mahsar kelak.
Alqur’an dan hadits menjadi
dua pusaka yang menjadi penuntun kita menjalani kehidupan di dunia ini.
Selama kita berjalan sesuai arahan kedua pusaka suci itu, pasti kita
akan berbahagia hidupnya dan tidak tersesat, karena memang sebagai
petunjuk dan obat bagi kita.
Kenikmatan dari kekayaan yang
diperoleh dengan cara-cara yang tidak baik (seperti korupsi dan menipu
hak orang lain) dapat dipastikan hidupnya menjadi tidak berkah, hidupnya
tidak tenang dan terkadang diperingati langsung melalui bencana,
penyakit, dan mungkin mimpi di siang bolong.
Kecerdikan suku
Eskimo dalam meracik tipuan terhadap serigala (yang membuatnya mati
lemas) akibat menghisap darahnya sendiri sebagai analogi bahwa betapa
kita berada pada situasi yang sedang dimanfaatkan dan atau saling
memanfaatkan antar sesama. Hubungan persaudaraan, hanya sebatas hubungan
darah semata, selebihnya tidak. Perikatan dalam keluarga, hanya sebatas
hubungan seksual semata, selebihnya tidak. Hubungan guru dan anak
didiknya, sebatas hubungan transfer ilmu semata, selebihnya tidak.
Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin, hanya sebatas memanfaatkan
jabatan, selebihnya tidak. Dan hubungan ihkwatun dalam keimanan, hanya
sebatas hubungan lipstik, selebihnya tidak.
Akibatnya apa?
Banyak saudara yang memakan saudaranya sendiri. Bayak keluarga yang
berantakan, karena istri menggugat cerai suaminya. Banyak orang tua yang
tidak bertegur sapa dengan anaknya sendiri. Banyak guru yang melakukan
tindakan asusila terhadap anak didiknya. Dan banyak pemimpin yang menipu
dan mengakali rakyatnya sendiri.
Menurut hemat penulis, Jalan lurus yang harus dilakukan untuk bisa keluar dari situasi di atas yakni:
1. Kembali memerankan institusi keluarga sebagai lembaga pertama dan
utama dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak-anak dan
anggota keluarga.
2. Institusi pendidikan formal harus mampu
berperan ganda, di samping transfer ilmu pengetahuan, menjadikan anak
cerdas secara intelektual, juga menjadikan anak didiknya cerdas secara
emosional. Sehingga terlahir anak yang cerdas, cerdik dan berakhlak
mulia.
3. Lingkungan sosial harus mendukung kedua institusi di atas
guna melahirkan anak-anak yang pintar secara intelektual dan sholeh
secara emosional. Institusi keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan
sosial harus bersinergi guna melahirkan generasi sahabat dan salafus
shalih.
4. Untuk mewujudkan semua itu, kita wajib berpegang pada dua
pusaka suci yang diperuntukkan kepada kita ummat Islam yakni alqur’an
dan hadits Rasulullah Saw. Berpegang dengan keduanya pasti kita tidak
akan tersesat dan kena tilang.
Pemberian pengajaran dan
pendidikan menuju generasi impian yakni generasi emas 2025 sangat
mungkin tercapai, sebagaimana yang telah diprogramkan oleh pemerintah.
Suatu generasi yang pintar dalam kecerdasan, adil dalam keadilan dan
makmur dalam kemakmuran di suatu negeri yang baldatun tayyibatun wa
rabbun gafur. Suatu negeri impian yang akan dituju oleh generasi emas
dalam pengertian yang sejati. Keluar dari kenikmatan semu menjadi kata
kunci untuk menggapai negeri impian atau suatu negeri yang mengandung
kenikmatan sejati. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Minggu, 21 April 2013
KENIKMATAN YANG MEMATIKAN
23.53
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar