Selasa, 30 April 2013

MAN RABBUKA? POLITIK, ROBBI

Kamu arak-arak bae Wak Camet, kritik Wak Emet kepada sahabatnya di sebuah rumah kontrakan di bilangan desa Bagu, Lombok Tengah.. Maksudnya apa kok melibatkan Tuhan segala, dalam urusan politik. Tidak hanya terlibat Emet tapi posisi Tuhan sudah tergantikan dengan new God yakni politik. Apa bisa begitu? Tanya Wak Emet. Kenapa tidak. Faktanya demi tahta dan kekuasaan para kontestan politik dapat melakukan apapun asal bisa memenangkan pertarungan dan membuat lawan terkapar tanpa daya. Walaupun dengan black campaign. Perkara kecil itu sobat wong mengadu masyarakat saja tidak jadi masalah.
Wah kalau sudah posisi Tuhan saja bisa tergantikan bagaimana dengan urusan strategi politik antah baratah. Berarti politik dalam konteks Pilkada di Bumi Gora bisa lebih runyam karena Tuhan di tempatkan di Menara Gading alias dikeluarkan dari lingkaran politik. Kenapa? Karena tidak mungkin ada dua Tuhan dalam satu medan magnet politik. Bisa saling serang dan saling bekam akibatnya akan muncul kisruh politik yang maha dahsyat.

Ketika Tuhan Kesejatian telah disingkirkan, maka kontestan politik menjadi lebih hangat, keras, beringas dan bebas. Siapapun bisa melakukan apa saja tanpa keterlibatan Tuhan. Dan tragisnya, Tuhan telah kita keluarkan dari urat-urat nadi para politisi. Black and negative campaign menjadi jurus jitu untuk membuat lawan belepotan, selebaran gelap disebar di tempat-tempat warga berkumpul, saling menjatuhkan dan menjelekkan lawan politik seakan menjadi misiu yang melalu lantahkan musuhnya. Tidak ada lagi etika dan moral politik yang disisakan. Semua menyatu dalam sahwat politik untuk menggapai kemenangan.

Dramaturgi politik Bumi Gora sedang di pentaskan. Semua rakyat sudah bisa menonton dengan seksama dan mengambil makna dari tanda, perilaku dan gerak mimik para kontestan politik. Inilah yang saya sebut sebagai gestur politik (Ahyar, 2013). Tentu sebagai suatu gestur, masyarakat diharapkan mampu menangkap makna dari dramaturgi yang lagi di pentaskan. Mulai dari debat kandidat para pasangan calon, masa kampanye dan akhirnya menjelang hari pemungutan suara.

Intrik dan strategi politik untuk menghipnotis rakyat gencar dilakukan. Rakyat dipaksa untuk percaya dan atau diajak bermimpi untuk memasuki dunia impian, dunia kesejahteraan dan sepi ing pamrih. Namun, faktanya tidak sedikit rakyat yang kaget sebab belum sempat bermimpi sesuatu sudah melingkarinya. Tiba-tiba datang banyak bantuan dengan pelbagai bentuknya dan membuat dua sahabat Wak Camet dan Wak Emet semakin heran. Gestur macam apa lagi ini, kata dua sahabat karib itu.

Saya sendiri, sangat heran, permainan apa yang mau dipertontonkan dalam pilkada di Bumi Gora. Memang sih tahun 2013 ditasbihkan sebagai tahun politik, tetapi bukan politik tanpa hati nurani. Tentu, saya tidak terlalu heran pula, melihat dan membaca selebaran yang berserakan di banyak tempat. Dan kita tidak perlu bertanya, apa motif dari selebaran yang diedarkan oleh para siluman politik itu. Mengapa? Karena motifnya sudah terang benderang ingin menjatuhkan lawan dengan menyerang psikologis masyarakat pemilih, menggugah rasa etnisitas, kedaerahan dan ideologi. Berhasilkah?

Tentu kita tidak bisa terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan. Namun, asumsi saya bahwa tidak akan efektif black campaign via selebaran itu. Emet apa kamu sudah membaca selebaran itu, tanya Wak Camet. Sudah sobat, kok kayak gak ada kerjaan yang lebih baik ketimbang membuat selebaran fitnah macam itu. Lo, kok bilang fitnah, ta Wak Emet. Ya, wak, saya sudah konfirmasi langsung ke terfitnah dan dia hanya tersenyum. Maksudnya, benar fitnah itu. Perbuatan fitnah itu benar tetapi materi atau isinya tidak benar. Owalah...itu katagori black campaign dan tidak benar.

Berarti hal itu mirip dengan strategi politik yang dimainkan oleh Arya Banjar Getas ketika hendak membangkang terhadap kerajaan Pejanggik Pemban Mraja Kusuma dahulu. Dia melakukan penghasutan terhadap rakyat Pejanggik dengan pelbagai macam tuduhan agar tujuannya menggulingkan raja Pejanggik sukses. Dan nyatanya rakyat banyak yang mendukung termasuk kerajaan Karang Asem Bali. Persekongkolan itu sukses dan Arya Banjar Getas senang atas usaha adu domba yang dilakukannya sehingga Pejanggik bertekuk lutut di bawah keakuannya.

Politik persekongkolan adalah politik tanpa nurani. Begitu pula dengan black and negative campaign via selebaran juga politik tanpa nurani. Kalaupun menjadi pemenang akibat perilaku politik itu pasti menjadi pemenang yang minus nurani mirip jerangkong atau kerangka manusia yang hidup. Dan tentu, mereka akan merasa tidak bahagia dan akan selalu dihantui oleh perasaan waswasangka dan selalu akan merasa di kejar oleh siluman yang dimanfaatkan jasanya.

Man Robbuka? Politik, Robbi. Jawaban yang bisa diberikan ketika diminta pertangungjawaban adalah politik Robbi. Maka malaikat pun akan sangat marah mendengar jawaban itu dan dengan gada kebesarannya akan menghantam si manusia yang menuhankan politik. Wah, kata Wak Emet kalau sudah nasi menjadi bubur tiada ada upaya yang bisa dilakukan kecuali menjalani proses penghakiman dari siluman yang telah berjasa memenangkannya. Hal itu sebagai akibat perilaku menurutkan hawa nafsu sampai Tuhan pun berhasil disingkirkan dari lingkar perpolitikan manusia.

Taubat politik yang bisa dilakukan untuk menebus perilaku culas dan keteledoran manusia. Menghadirkan Tuhan dalam urat nadi perpolitikan menjadikan politisi lebih bijak dalam mengkonstruksi program dan aksi politik demi kesejahteraan rakyat. Tinggalkan politik memelas dan menghalalkan segala cara demi keakuan dan kekuasaan tanpa nurani. Innallaha Ma'ana. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Lantai II IAIQ Bagu, 30042013.17.39.19.


0 komentar: