Kamu
arak-arak bae Wak Camet, kritik Wak Emet kepada sahabatnya di sebuah
rumah kontrakan di bilangan desa Bagu, Lombok Tengah.. Maksudnya apa kok
melibatkan Tuhan segala, dalam urusan politik. Tidak hanya terlibat
Emet tapi posisi Tuhan sudah tergantikan dengan new God yakni politik.
Apa bisa begitu? Tanya Wak Emet. Kenapa tidak. Faktanya demi tahta dan
kekuasaan para kontestan politik dapat
melakukan apapun asal bisa memenangkan pertarungan dan membuat lawan
terkapar tanpa daya. Walaupun dengan black campaign. Perkara kecil itu
sobat wong mengadu masyarakat saja tidak jadi masalah.
Wah
kalau sudah posisi Tuhan saja bisa tergantikan bagaimana dengan urusan
strategi politik antah baratah. Berarti politik dalam konteks Pilkada di
Bumi Gora bisa lebih runyam karena Tuhan di tempatkan di Menara Gading
alias dikeluarkan dari lingkaran politik. Kenapa? Karena tidak mungkin
ada dua Tuhan dalam satu medan magnet politik. Bisa saling serang dan
saling bekam akibatnya akan muncul kisruh politik yang maha dahsyat.
Ketika Tuhan Kesejatian telah disingkirkan, maka kontestan politik
menjadi lebih hangat, keras, beringas dan bebas. Siapapun bisa
melakukan apa saja tanpa keterlibatan Tuhan. Dan tragisnya, Tuhan telah
kita keluarkan dari urat-urat nadi para politisi. Black and negative
campaign menjadi jurus jitu untuk membuat lawan belepotan, selebaran
gelap disebar di tempat-tempat warga berkumpul, saling menjatuhkan dan
menjelekkan lawan politik seakan menjadi misiu yang melalu lantahkan
musuhnya. Tidak ada lagi etika dan moral politik yang disisakan. Semua
menyatu dalam sahwat politik untuk menggapai kemenangan.
Dramaturgi politik Bumi Gora sedang di pentaskan. Semua rakyat sudah
bisa menonton dengan seksama dan mengambil makna dari tanda, perilaku
dan gerak mimik para kontestan politik. Inilah yang saya sebut sebagai
gestur politik (Ahyar, 2013). Tentu sebagai suatu gestur, masyarakat
diharapkan mampu menangkap makna dari dramaturgi yang lagi di pentaskan.
Mulai dari debat kandidat para pasangan calon, masa kampanye dan
akhirnya menjelang hari pemungutan suara.
Intrik dan strategi
politik untuk menghipnotis rakyat gencar dilakukan. Rakyat dipaksa untuk
percaya dan atau diajak bermimpi untuk memasuki dunia impian, dunia
kesejahteraan dan sepi ing pamrih. Namun, faktanya tidak sedikit rakyat
yang kaget sebab belum sempat bermimpi sesuatu sudah melingkarinya.
Tiba-tiba datang banyak bantuan dengan pelbagai bentuknya dan membuat
dua sahabat Wak Camet dan Wak Emet semakin heran. Gestur macam apa lagi
ini, kata dua sahabat karib itu.
Saya sendiri, sangat heran,
permainan apa yang mau dipertontonkan dalam pilkada di Bumi Gora. Memang
sih tahun 2013 ditasbihkan sebagai tahun politik, tetapi bukan politik
tanpa hati nurani. Tentu, saya tidak terlalu heran pula, melihat dan
membaca selebaran yang berserakan di banyak tempat. Dan kita tidak perlu
bertanya, apa motif dari selebaran yang diedarkan oleh para siluman
politik itu. Mengapa? Karena motifnya sudah terang benderang ingin
menjatuhkan lawan dengan menyerang psikologis masyarakat pemilih,
menggugah rasa etnisitas, kedaerahan dan ideologi. Berhasilkah?
Tentu kita tidak bisa terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan. Namun,
asumsi saya bahwa tidak akan efektif black campaign via selebaran itu.
Emet apa kamu sudah membaca selebaran itu, tanya Wak Camet. Sudah sobat,
kok kayak gak ada kerjaan yang lebih baik ketimbang membuat selebaran
fitnah macam itu. Lo, kok bilang fitnah, ta Wak Emet. Ya, wak, saya
sudah konfirmasi langsung ke terfitnah dan dia hanya tersenyum.
Maksudnya, benar fitnah itu. Perbuatan fitnah itu benar tetapi materi
atau isinya tidak benar. Owalah...itu katagori black campaign dan tidak
benar.
Berarti hal itu mirip dengan strategi politik yang
dimainkan oleh Arya Banjar Getas ketika hendak membangkang terhadap
kerajaan Pejanggik Pemban Mraja Kusuma dahulu. Dia melakukan
penghasutan terhadap rakyat Pejanggik dengan pelbagai macam tuduhan agar
tujuannya menggulingkan raja Pejanggik sukses. Dan nyatanya rakyat
banyak yang mendukung termasuk kerajaan Karang Asem Bali. Persekongkolan
itu sukses dan Arya Banjar Getas senang atas usaha adu domba yang
dilakukannya sehingga Pejanggik bertekuk lutut di bawah keakuannya.
Politik persekongkolan adalah politik tanpa nurani. Begitu pula dengan
black and negative campaign via selebaran juga politik tanpa nurani.
Kalaupun menjadi pemenang akibat perilaku politik itu pasti menjadi
pemenang yang minus nurani mirip jerangkong atau kerangka manusia yang
hidup. Dan tentu, mereka akan merasa tidak bahagia dan akan selalu
dihantui oleh perasaan waswasangka dan selalu akan merasa di kejar oleh
siluman yang dimanfaatkan jasanya.
Man Robbuka? Politik, Robbi.
Jawaban yang bisa diberikan ketika diminta pertangungjawaban adalah
politik Robbi. Maka malaikat pun akan sangat marah mendengar jawaban itu
dan dengan gada kebesarannya akan menghantam si manusia yang menuhankan
politik. Wah, kata Wak Emet kalau sudah nasi menjadi bubur tiada ada
upaya yang bisa dilakukan kecuali menjalani proses penghakiman dari
siluman yang telah berjasa memenangkannya. Hal itu sebagai akibat
perilaku menurutkan hawa nafsu sampai Tuhan pun berhasil disingkirkan
dari lingkar perpolitikan manusia.
Taubat politik yang bisa
dilakukan untuk menebus perilaku culas dan keteledoran manusia.
Menghadirkan Tuhan dalam urat nadi perpolitikan menjadikan politisi
lebih bijak dalam mengkonstruksi program dan aksi politik demi
kesejahteraan rakyat. Tinggalkan politik memelas dan menghalalkan
segala cara demi keakuan dan kekuasaan tanpa nurani. Innallaha Ma'ana.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Lantai II IAIQ Bagu, 30042013.17.39.19.
Selasa, 30 April 2013
MAN RABBUKA? POLITIK, ROBBI
19.46
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar