Jumat, 03 Mei 2013

SERANGAN FAJAR SAMA DENGAN MONEY POLITIK


Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, serangan fajar diartikan sebagai serangan mendadak dan tiba-tiba kejantung pertahanan lawan yang sedang terlelap dan terbuai mimpi. Serangan fajar  kala itu cukup jitu untuk memporak porandakan kekuatan musuh (kolonialisme Belanda dan Jepang). Sebagai siasat perang melawan kolonialisme maka serangan fajar sah-sah saja dilakukan demi tercapainya suatu kebebasan anak bangsa. Tidak ada yang haram dalam peperangan yang penting negerinya segera terbebas dari keserakahan colonialism.

Pernyataan di atas sering kali diungkapkan dan diceritakan oleh para pejuang kemerdekaan di Daerah Istimewa Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satunya adalah bapak Subagyo. Selama menuntut ilmu di kota Pelajar dan Budaya, saya banyak bergaul dan berteman dengan mereka. Tentu dari mereka, saya banyak belajar tentang semangat juang dan pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan hidup serta strategi mensiasati kehidupan yang lebih baik.
Dalam politik, serangan fajar dimaknai sebagai siasat untuk mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang atau material. Praktik politik uang berupa serangan fajar dilakukan dengan gerilya dari rumah kerumah untuk memberikan material, bahan pangan atau semacamnya pada waktu fajar di hari pemungutan suara. Pada konteks sejarah kepemiluan, kata Muhammad Qodari serangan fajar datang dari partai penguasa. Apakah serangan fajar akan terjadi atau tidak pada pilgub NTB, bergantung pada ketersediaan sejumlah dana pasangan calon gubernur.
Tentu tidak ada yang mengharapkan serangan pajar pada pilkada di NTB terjadi, karena perbuatan itu telah menciderai hak demokrasi warga masyarakat. Serangan fajar merupakan salah bentuk dari money politic atau politik uang. Money Politic harus dihindari, kata Dr. Kadri, pengamat politik dari IAIN Mataram pada acara Obrolan Warung Kopi (OWK) di TV9 (9/4/2013). Lebih lanjut diungkapkan Kadri bahwa maraknya politik uang (money politic) pertanda pasangan calon tidak percaya diri untuk memasuki arena pertarungan. Money Politic juga menjadi indikator bahwa pasangan calon miskin program yang akan ditawarkan kepada masyarakat.
Kita dan siapa pun juga, sebaiknya tidak sepakat terhadap praktik politik serangan fajar atau money politik untuk mempengaruhi pemilih. Biasanya, sasaran tembak politik serangan fajar adalah massa mengambang (ploating mass). Umumnya, mereka adalah pemilih yang belum berafiliasi ideologis dan emosional dengan partai politik tertentu dan atau pasangan calon gubernur. Walaupun sosialisasi pasangan calon gubernur marak dilakukan di sudut-sudut kota dan lewat media masa, namun banyak masyarakat yang belum jatuh hati pada salah satu pasangan calon. Wak Camet misalnya, sampai saat ini belum menentukan pilihan. Menurutnya, nanti saja di bilik suara karena calon pemimpin sama saja; memilih atau tidak memilih tidak berpengaruh terhadap kehidupan.
Sekarang, tanya saya kepada Wak Camet, kalau dikasih uang atau bahan makanan pokok oleh pasangan calon, bagaimana? Apakah wak akan mencoblos pasangan yang mengasih uang itu? Tanpa saya duga-duga, wak Camet menjawab bahwa saya akan ambil uangnya; mengenai siapa yang saya coblos tentu rahasia, itu hak saya. Kelihatannya wak Camet lugu dan tampak bodoh, ternyata sudah paham politik serangan fajar. Masalahnya, apakah serangan fajar atau politik uang masih akan terjadi? Saya agak menyangsikan praktik politik uang atau serangan fajar masih terjadi, sebab masyarakat pemilih sudah kritis dan rasional, serta massa mengambang sudah semakin sedikit.
Masyarakat kita sudah dapat membangun afiliasi ideologis dan identifikasi emosional pada partai politik. Peserta politik pemilu 2014 mendatang hanya diikuti oleh 12 partai politik, sehingga membangun afiliasi ideologis dan politik sangat terbuka, baik partai politik berideologi nasionalis, agamis dan atau campuran keduanya. Dengan alasan-alasan tersebut ruang gerak praktik politik uang atau serangan fajar mestinya tidak terjadi. Itu artinya, massa mengambang (ploating mass) semakin sedikit.
Tentu kondisi tersebut akan semakin mempersempit ruang gerak praktik serangan fajar, tetapi juga tidak menutup kemungkinan masih akan terjadi dengan kemasan atau brand yang lain. Nah pada aras ini, kalaupun seseorang mendapatkan serangan fajar, boleh jadi pemilih akan menerima uang atau bingkisan yang diberikan sembari tetap mencoblos partai atau pasangan calon yang menjadi pilihannya (Qodari, 2004). Dan bisa terjadi sebaliknya, seseorang menerima uang atau bingkisan tetapi tidak mencobolosnya karena bukan pilihannya.
ANTARA COST DAN MONEY POLITIK
Secara praksis kita sulit membedakan antara cost dan money politik, tetapi secara teoritis keduanya berbeda dan sangat mudah membedakannya. Cost politic merupakan biaya yang dikeluarkan seseorang atau kelompok untuk mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan administrative partai politik. Baik yang berkaitan dengan proses pencalegan maupun yang berkaitan dengan legalitas suatu partai politik. Sedangkan money politic merupakan material (uang dan barang) yang dikeluarkan seseorang atau komunitas politik untuk mempengaruhi pemilih dalam suatu kontestasi politik.
Namun demikian, Politik uang atau money politic secara normative telah merusak tatanan dan system demokrasi yang sudah terbangun serta mencabik hak warga masyarakat sebagai manusia bebas untuk menentukan pilihannya. Dengan berlandaskan undang-undang pemilu Nomor 15 Tahun 2012, pelaku money politic terang-terangan telah melanggar asas pemilu yang Luber dan Jurdil. Bagi mereka yang melakukan money politic dan terbukti dapat disangkakan dengan pasal tindak pidana pemilu dengan hukuman penjara.
Politik uang via serangan fajar termasuk permainan kotor yang harus dihindari oleh peserta pemilu, termasuk pemilu kepala daerah. Karena itu peran Bawaslu sangat diharapkan untuk mengamputasi praktik politik uang. Kini struktur Bawaslu yang bersifat tetap dan mandiri sudah sampai kota provinsi, karena itu cukup kuat untuk mengawasi praktik-praktik politik kotor yang merusak demokrasi. Kemudian, layak ditunggu aksi akrobatik Bawaslu untuk menangkal dan menangkap praktik politik serangan fajar yang mungkin akan terjadi menjelang pemilihan umum kepala daerah di NTB.
Kamu tak usah galau dan pusing memikirkan akan terjadinya serangan fajar, Wak Camet. Biarkan saja, itu pertanda bahwa para kontestan politik sudah terbebas dari uang alias sudah kaya sehingga wajar kalau menebarkan uangnya kepada masyarakat, ujar Wak Emet kepada sahabat karibnya yang tampak gelisah. Coba kamu fikirkan Wak Emet, pinta Wak Camet, bagaimana mungkin, yang kamu katakan mereka sudah terbebas dari uang, faktanya dana kampanye yang dilaporkan para pasangan Calon Gubernur yang sudah dipublish KPU sangat tidak masuk akal. Maksudnya, apa Wak Camet. Begini, dari empat pasangan Calon Gubernur dana kampanyenya sangat sedikit dan tidak sebanding dengan sosialisasi yang telah dilakukannya selama berbulan-bulan.
Dari Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilakukan KPK bekerjasama dengan KPU NTB, calon terkaya H. Harun Al-Rasyid dengan jumlah kekayaan mencapai 17 Miliar; diurutan berikut TGB dengan kekayaan 11 Miliar; KH. Zulkipli Muhadly total kekayaan 7 Miliar; Surjadi Jaya Purnama (SJP) total kekayaan 2 Miliar; sementara Cawagub rata-rata memiliki kekayaan di angka 2 Miliar.
Memang jumlah kekayaan para pasangan Cagub tidak berbanding lurus dengan biaya sosialisasi dan kampanye yang dilakukan. Coba saja diperhatikan, biaya kampanye cagub terkaya lebih sedikit dari cagub lainnya. Dari data di KPU NTB dapat dilihat bahwa pasangan TGB-AMIN melaporkan penerimaan dana kampanye sekitar Rp 4.220.000.000,- pasangan SJP-Johan Rp 405.957.766,-; pasangan HARUM sekitar Rp 2.750.000.000,- dan pasangan Zul-Ihsan sekitar Rp 500.000.000,-. (sebagaimana dilansir harian Suara NTB, tanggal 30 April 2013).
Itulah faktanya Wak Emet. Saya sangat hawatir dengan penerimaan dana kampanye tersebut, para pasangan calon gubernur tidak bisa berbuat banyak untuk mensosialisasikan visi, misi dan program kerjanya, terang Wak Camet. Dana kampanye tersebut hanya bisa dipakai untuk membayar iklan via media cetak dan elektronik. Masalahnya, dari mana mereka memperoleh dana-dana bantuan untuk masyarakat, setiap kali blusukan ke masyarakat? Ow, kamu ini kayak penyelenggara pemilu saja Wak, biarkan saja, yang penting masyarakat senang diberi bantuan; tidak usah repot, kata Wak Emet menasehati sahabatnya itu.
Pada aras ini, Bawaslu sangat diharapkan perannya untuk menangkal atau setidaknya meminimalisir praktik money politik. Guna menjalankan tugasnya seharusnya Bawaslu serta jajarannya di semua tingkatan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, kepolisian dan kejaksaan untuk menangkal segala bentuk money politik yang mungkin terjadi. Hal itu perlu dilakukan agar Bawaslu sampai ketingkatan pengawas lapangan nyaman dan aman menjalankan tugasnya. Kasus pidana anggota panwas kota Bima cukup menjadi pelajaran bagi Panwas agar berhati-hati dan selalu berkordinasi dengan pemda, kepolisian dan kejaksaan.
Namun demikian, masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi kemungkinan praktik money politik, karena Panwas tidak mungkin mampu memberikan pengawasan maksimal. Karena itu, perlu ada Panwas partikelir alias lembaga pemantau pemilu dari unsur masyarakat. Kuantitas Panwas Partikelir terus bertambah, sebab lembaga panwaslu masih belum mencukupi untuk melakukan kepengawasan  tempat pemungutan suara (TPS) di NTB.
Dengan keberadaan Panwas dan Panwas Partikelir diharapkan mampu meminimalisir money politik atau serangan fajar pada Pilkada di NTB. Money politik jelas menciderai tata demokrasi yang sudah terbangun dan mencabik harkat pemilih yang bebas, serta menodai asas pemilu yang Luber dan Jurdil. Sehingga darinya terlahir suatu kondisi persaingan yang sehat “menang terhormat, kalah tersanjung” dan tidak ada yang tersakiti. Wallahul Muwafiq Ila Darissalam.
Gedung SMK Darussalam, Tanak Beak. 2052013.15.39.49.

0 komentar: