Merupakan suatu akibat dari pelaksanaan sistem demokrasi yang kian
kabur atau kalau tidak mau dikatakan kebablasan. Demokrasi telah disalah
tafsirkan menjadi semua boleh tanpa mempertimbangkan asas kepatutan dan
kesempatan rakyat untuk berkompetisi dengan fair. Dalam proses
pencalegan dan atau menjadi pemimpin apapun di negeri ini tampaknya
kemaslahatan keluarga, perkawanan dan
keormasan menjadi dominan dalam penentuan caleg. Memang semua boleh dan
selama belum ada aturan mengapa harus pusing, kata salah satu politisi.
Maka yang terjadi kemudian adalah lahirnya kerajaan baru bernama
demokrasi. Jamaknya dalam sistem kerajaan, istri, anak, menantu dan
keluarga menjadi lingkaran kekuasaan utama. Orang luar mustahil
menduduki jabatan tinggi kalau tidak punya kualifikasi yang memadai
seperti kesaktian atau kelebihan dalam olah kanuragan. Dalam sinetron
Raden Kian Santang yang ditayangkan MNC TV yang mengisahkan tentang
Prabu Siliwangi raja Pasundan tergambarkan bahwa seseorang sangat mudah
menjadi senopati kerajaan Siliwangi jika punya kemampuan kanuragan.
Tentu dalam sistem kerajaan hal itu boleh saja dilakukan karena raja
merupakan wakil Tuhan di dunia. Namun bagaimana dengan sistem demokrasi?
Dalam demokrasi ada aturan main yang harus dijalankan untuk menduduki
jabatan-jabatan tertentu. Untuk bisa menjadi pemimpin di dalam sistem
demokrasi harus memenuhi persyaratan sesuai amanah perundang-undangan
yang berlaku. Mau menjadi presiden harus memenuhi persyaratan sesuai
amanah perundangan yang mengatur presiden dan begitu juga dengan
jabatan-jabatan di bawahnya, seperti gubernur, bupati, walikota, camat
sampai kepada ketua RT, termasuk menjadi anggota legislatif.
Tata aturan perundangan yang berlaku tentang jabatan terkadang menjadi
masalah yang harus terus dibenahi atau disempurnakan, terutama yang
berkaitan dengan etika atau asas kepatutan. Di tataran praksis sering
terjadi pelanggaran asas kepatutan ini. Terkadang gerbong keluarga
menjadi sesuatu yang dominan dalam penentuan jabatan dan atau orang yang
berjasa dalam merebut pucuk pimpinan di suatu daerah.
Fenomena
sejenis juga, kini merambah ke dunia politik. Di partai politik
sepertinya bukan menjadi rahasia umum bahwa gerbong keluarga sangat
dominan dalam kepengurusan intinya, dan begitu pula sampai level yang
lebih rendah terlihat lebih amburadul. Kalau dipertanyakan mengapa
gerbong keluarga sangat dominan dalam kepengurusan partainya? Jawabannya
pasti belum ada aturan yang melarang atau mengaturnya. Tentu jawaban
standar ini akan berakibat pada pengusulan caleg dari partai politik.
Kondisi perpolitikan itu yang saya sebut sebagai kerajaan demokrasi
gaya baru. Atau dengan kata lain sebuah praktik perpolitikan demokrasi
beraroma kerajaan. Praktik demokrasi ini sebenarnya bukan cerita baru
tetapi sudah berlangsung sangat lama dan belum akan berakhir di era
transisi menuju demokrasi saat ini. Malahan terkesan lebih parah, lihat
saja misalnya tidak sedikit kepala daerah yang ternyata istrinya menjadi
elit partai dan menjadi anggota legislatif. Atau setelah suaminya tidak
lagi menjabat sebagai kepala daerah karena aturan masa jabatan, lalu
mendorong sang istri menjadi calon kepala daerah. Fenomena serupa akan
terus berlanjut entah sampai kepan.
Dengan dominasi gerbong
keluarga dalam suatu tatanan pemerintahan akan membuat sistem demokrasi
terciderai terutama pelanggaran asas kepatutan. Sekali lagi aturan tidak
melarang istri, anak, menantu dan saudara menjadi apapun. Sah-sah saja,
tetapi tidak patut. Bayangkan saja misalnya, ketika legislatif mau
menjalankan tugasnya untuk melakukan fungsi kontrol, membahas politik
anggaran dan membuat peraturan cukup diselesaikan di tempat tidur dan
lingkungan keluarga.
Terus terang nepotisme merupakan
menciderai demokrasi. Namun, tampaknya kita melupakannya karena
terhipnotis oleh pemberitaan tentang korupsil, padahal nepotisme tidak
kalah mematikannya. Menguatnya nepotisme di semua lini kehidupan
berbangsa dan bernegara telah mematikan hak asasi dalam sistem
demokrasi. Bukankah demokrasi yang kita pahami sebagai dari, oleh dan
untuk rakyat berada pada posisi di ujung jurang dan cendrung dimandulkan
oleh negara.
Karena itu, rakyat harus segera bangun dari tidur
panjangnya seraya memperkuat potensi dan kualitas dirinya sehingga
terlahir suatu masyarakat yang kuat atau civil society. Dengan demikian
negara tidak lagi menjadikan masyarakatnya sebagai obyek penderita dan
selalu dirugikan. Kita harus segera mengakhiri duka dan deraan krisis
yang berkepanjangan dengan tidak lagi menyaksikan perseteruan elit
politik dalam suatu gerbong besar suatu dinasty. Dengan kesadaran dan
kemampuan mengontrol masyarakat atas segala proses kenegaraan
diharapkan mampu menangkal proses tumbuh kembangnya suatu kerajaan
demokrasi yang akan merugikan masyarakat. Mari kita kritisi embrio
tumbuhnya kerajaan demokrasi dengan tidak bersimpati terhadap gerbong
politik keluarga. Hanya rakyat yang kritis dan sadar akan haknya yang
bisa melakukannya. Wallahul Muwafiq ila Darissalam
Selasa, 28 Mei 2013
DINASTY DEMOKRASI
00.50
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar