Kamis, 06 Juni 2013

BERSAHABAT DENGAN WAKTU

Jakarta tidak pernah tidur. Siang malam tampak warga Jakarta lalu lalang memenuhi jalanan. Semakin malam jalanan semakin sesak dipenuhi oleh kendaraan dengan beraneka jenisnya. Entah apa yang mau mereka cari, hanya mereka yang mengetahuinya. Dua puluh empat jam waktu yang tersedia seolah tidak cukup baginya.

Malam, ketika saya menulis tulisan ini, saya berada di lantai tiga Hotel Rota di jalan Wahid Hasyim Jakarta. Sungguh pemandangan yang tidak bisa disaksikan ketika berada di daerah dan wajar karena Jakarta menjadi pusat ibu kota negara Indonesia. Namun apa yang mereka cari? Tidak cukupkah waktu yang disediakan Tuhan selama 12 jam untuk bekerja dan 12 jam berikutnya untuk beristirahat serta bercengkrama dengan keluarga tercintanya.


Tampaknya, manusia sadar betul bahwa waktu selalu berjalan lurus dan tidak pernah akan kembali lagi. Al waktu kassaif atau waktu laksana pedang kata pepatah Arab. Salah memanfaatkan waktu dapat membuat hidup manusia sengsara seumur hidupnya dan begitu pula sebaliknya. Manusia dengan demikian harus bisa menyesuaikan diri dengan waktu atau dengan kata lain manusia harus mampu bersahabat dengan waktu, jika tidak maka waktu yang akan menggilasnya. Penyesalan datang diakhir perjalanan atau puncak ketidaksadaran manusia.

Sudah tidak terbilang banyaknya, manusia mati dengan kesia-kesiaan. Waktu sehatnya telah diabaikan manusia dengan perbuatan melanggar titah Allah dan ketika Tuhan menegurnya dengan penyakit baru tersadar bahwa betapa bermaknanya kesehatan. Namun, tidak sedikit orang yang sadar bahwa sakit merupakan bentuk peringatan Tuhan terhadap tindak tanduk manusia. Malahan lebih banyak yang mengeluh dan mengiba dengan menyatakan bahwa Tuhan telah membiarkannya dalam kedukaan. Tetapi bukankah, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa sakit yang diderita manusia merupakan ujian, bentuk kasih Tuhan kepada manusia, tetapi banyak yang tidak mampu menangkapnya. Ya itulah karakter manusia yang selalu saja berkeluh kesah dengan apa yang diberikan Tuhan.

Masalahnya, bagaimana dan apa yang harus dilakukan manusia agar waktu yang given itu bermanfaat bagi manusia? Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan manusia ketika telah mampu bersahabat dengan waktu. Pertama. Manusia harus pandai memanfaatkan waktu sehatnya untuk berfikir positif dan menyudahi keluh kesahnya. Kedua. Manusia harus mampu menghasilkan karya dalam setiap waktu yang telah dihabiskannya. Berkarya menjadi tuntutan dan bukti persahabatannya dengan waktu. Ketiga. Manusia harus mampu membantu dan menolong sesamanya dengan penuh optimisme dan rasa tanggungjawabnya sebagai abdun. Dan selebihnya masih bisa dikonstruksi oleh manusia untuk kebaikan dan pertanggungjawabannya kepada sang pembuat waktu.

Kerja keras dan memanfaatkan waktu yang dua puluh empat jam sehari semalam seakan menjadi medium untuk menghasilkan tiga hal tersebut di atas. Berlalunya detik menuju menit semestinya harus diisi dengan berbuat kebajikan agar tidak berujung penyesalan. Munculnya kasus demi kasus yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan pasti akan berujung kesengsaraan dan dendam kesumat. Bersahabat dengan waktu bisa menjadi kata kunci untuk mengisi waktu detik demi detik untuk ketaatan kepada Tuhan.

Detak nafas warga Jakarta yang tidak pernah tidur bisa menjadi tolak ukur bahwa manusia memang kekurangan waktu (walau waktu tidak berkurang apa lagi lebih). Waktu tetap saja dua puluh empat sehari semalam, serta satu jam hanya enam puluh menit. Tidak ada yang berubah dan semua berjalan sesuai dengan hukum alam atau sunnatullah. Jika sampai berubah berarti pertanda akan menyebabkan musibah besar bagi kehidupan manusia. Berfikir positif, berkarya dan berbuat baik bagi sesama menjadi suatu keharusan demi terciptanya suatu tatanan kualitas kehidupan, khususnya bagi manusia yang sudah mampu bersahabat dengan waktu. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Jakarta, hotel Rota, 06062013.0039.


0 komentar: