Jakarta
tidak pernah tidur. Siang malam tampak warga Jakarta lalu lalang
memenuhi jalanan. Semakin malam jalanan semakin sesak dipenuhi oleh
kendaraan dengan beraneka jenisnya. Entah apa yang mau mereka cari,
hanya mereka yang mengetahuinya. Dua puluh empat jam waktu yang tersedia
seolah tidak cukup baginya.
Malam, ketika saya menulis tulisan ini, saya berada di lantai tiga
Hotel Rota di jalan Wahid Hasyim Jakarta. Sungguh pemandangan yang
tidak bisa disaksikan ketika berada di daerah dan wajar karena Jakarta
menjadi pusat ibu kota negara Indonesia. Namun apa yang mereka cari?
Tidak cukupkah waktu yang disediakan Tuhan selama 12 jam untuk bekerja
dan 12 jam berikutnya untuk beristirahat serta bercengkrama dengan
keluarga tercintanya.
Tampaknya, manusia sadar betul bahwa
waktu selalu berjalan lurus dan tidak pernah akan kembali lagi. Al waktu
kassaif atau waktu laksana pedang kata pepatah Arab. Salah memanfaatkan
waktu dapat membuat hidup manusia sengsara seumur hidupnya dan begitu
pula sebaliknya. Manusia dengan demikian harus bisa menyesuaikan diri
dengan waktu atau dengan kata lain manusia harus mampu bersahabat dengan
waktu, jika tidak maka waktu yang akan menggilasnya. Penyesalan datang
diakhir perjalanan atau puncak ketidaksadaran manusia.
Sudah
tidak terbilang banyaknya, manusia mati dengan kesia-kesiaan. Waktu
sehatnya telah diabaikan manusia dengan perbuatan melanggar titah Allah
dan ketika Tuhan menegurnya dengan penyakit baru tersadar bahwa betapa
bermaknanya kesehatan. Namun, tidak sedikit orang yang sadar bahwa sakit
merupakan bentuk peringatan Tuhan terhadap tindak tanduk manusia.
Malahan lebih banyak yang mengeluh dan mengiba dengan menyatakan bahwa
Tuhan telah membiarkannya dalam kedukaan. Tetapi bukankah, ada sebuah
hadits yang menyatakan bahwa sakit yang diderita manusia merupakan
ujian, bentuk kasih Tuhan kepada manusia, tetapi banyak yang tidak mampu
menangkapnya. Ya itulah karakter manusia yang selalu saja berkeluh
kesah dengan apa yang diberikan Tuhan.
Masalahnya, bagaimana
dan apa yang harus dilakukan manusia agar waktu yang given itu
bermanfaat bagi manusia? Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa hal
yang harus dilakukan manusia ketika telah mampu bersahabat dengan
waktu. Pertama. Manusia harus pandai memanfaatkan waktu sehatnya untuk
berfikir positif dan menyudahi keluh kesahnya. Kedua. Manusia harus
mampu menghasilkan karya dalam setiap waktu yang telah dihabiskannya.
Berkarya menjadi tuntutan dan bukti persahabatannya dengan waktu.
Ketiga. Manusia harus mampu membantu dan menolong sesamanya dengan penuh
optimisme dan rasa tanggungjawabnya sebagai abdun. Dan selebihnya masih
bisa dikonstruksi oleh manusia untuk kebaikan dan pertanggungjawabannya
kepada sang pembuat waktu.
Kerja keras dan memanfaatkan waktu
yang dua puluh empat jam sehari semalam seakan menjadi medium untuk
menghasilkan tiga hal tersebut di atas. Berlalunya detik menuju menit
semestinya harus diisi dengan berbuat kebajikan agar tidak berujung
penyesalan. Munculnya kasus demi kasus yang melanggar nilai-nilai
kemanusiaan pasti akan berujung kesengsaraan dan dendam kesumat.
Bersahabat dengan waktu bisa menjadi kata kunci untuk mengisi waktu
detik demi detik untuk ketaatan kepada Tuhan.
Detak nafas
warga Jakarta yang tidak pernah tidur bisa menjadi tolak ukur bahwa
manusia memang kekurangan waktu (walau waktu tidak berkurang apa lagi
lebih). Waktu tetap saja dua puluh empat sehari semalam, serta satu jam
hanya enam puluh menit. Tidak ada yang berubah dan semua berjalan sesuai
dengan hukum alam atau sunnatullah. Jika sampai berubah berarti
pertanda akan menyebabkan musibah besar bagi kehidupan manusia.
Berfikir positif, berkarya dan berbuat baik bagi sesama menjadi suatu
keharusan demi terciptanya suatu tatanan kualitas kehidupan, khususnya
bagi manusia yang sudah mampu bersahabat dengan waktu. Wallahul Muwafiq
ila Darissalam.
Jakarta, hotel Rota, 06062013.0039.
Kamis, 06 Juni 2013
BERSAHABAT DENGAN WAKTU
23.43
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar