Walaupun
belum dilantik, masyarakat sudah mengetahui bahwa TGB Amin adalah
gubernur dan wakil gubernur NTB dalam masa jabatan lima tahun ke depan.
banyak pekerjaan rumah dan janji-janji politik yang wajib dikerjakannya
di periode keduanya. Saya berkeyakinan bahwa janji-janji politik itu
sudah dicatat oleh 44 persen masyarakat yang memilih pasangan ini.
Selebihnya adalah masyarakat yang akan memantau dan mengkritisi kinerja kepemimpinan dynasti TGB Amin.
Lima tahun menjadi pemimpin, bukan waktu yang lama. Karena itu, tidak
ada salahnya kalau dynasti TGB Amin disarankan untuk lebih fokus pada
memperbaiki kondisi masyarakat Bumi Gora. Kondisi yang saya maksudkan
adalah perilaku masyarakat yang kawin-cerai. Perilaku kawin cerai
(terutama pernikahan sirri atau nikah yang tidak dicatatkan secara sah)
semakin meningkat.
Siapa yang tidak marah, bila anak gadisnya
yang baru saja tamat SDN dinikahi oleh seorang laki-laki lalu dalam
waktu yang tidak terlalu lama diceraikan dengan tanpa pesangon yang
layak (harta gono gini). Realitas ini seakan menjadi budaya laki-laki
yang masih dipertahankan. Siapa yang bisa merubah kondisi itu? Tentu,
kalau mau dijawab sudah pasti jawabannya adalah pemerintah.
Kita sebagai warga Bumi Gora sudah familiar dengan program ABSANO, ADONO
DAN AKINO yang telah dicetuskan oleh pasangan BARU (TGB Badrul Munir).
Program tersebut tampak bagus namun belum tentu bagus. Mengapa? sebab
sampai saat ini belum pernah ada hasil evaluasi paripurna tentang
keberhasilan tiga program tersebut. Namun secara umum, saya berpendapat
bahwa TGB sangat berhasil dalam membangun citra atau lebelling dari
sesuatu yang sudah ada.
Namun tidak pada memperbaiki kondisi
masyarakat yang terkoyak-koyak. Salah satu contohnya, seperti kuantitas
perceraian di lombok sangat tinggi. Kita pasti prihatin atas kawin-cerai
yang seolah sudah menjadi budaya. Apakah kondisi itu ada kaitannya
dengan sesenggak orang Sasak yang menyatakan bahwa "waktu panen
merupakan waktu untuk menikah sedangkan musim jeleng merupakan waktu
bercerai". Ada tidaknya keterkaitan sesenggak orang Sasak itu dengan
perilaku kawin cerai yang terjadi, tentu belum bisa disimpulkan sebelum
dilakukan penelitian lapangan oleh para peneliti sosial dan budaya
Sasak.
Karena itu, berangkat dari kondisi masyarakat yang
terkoyak itu, maka perlu diusulkan kepada TGB Amin untuk melakukan
tindakan nyata dengan program Angka Perceraian Nol yang saya singkat
menjadi (APENO). Usulan program ini akan sangat bermakna atau mungkin
akan membuat kepemimpinannya berhasil kalau saja mampu merubah perilaku
masyarakat Sasak tersebut. Menurut saya Dinasty politik TGB Amin harus
mampu menurunkan angka perceraian khususnya di Lombok.
Selaku
putra Sasak, saya amat prihatin terhadap kuantitas dan kualitas
perceraian yang terus menggurita. Di Aras ini, terlihat betapa wanita
sangat tidak dihargai oleh laki-laki. Perempuaan seolah seperti barang
dagangan yang sudah terbeli dan di waktu yang bersamaan bisa
dikembalikan atau diceraikan. Sadarkah para lelaki yang telah membuat
para perempuan semakin kehilangan jati dirinya. Tentu, sebagai lelaki
Sasak, tidak ingin dicap sebagai lelaki yang tidak menghargai perempuan
akibat dari kesukaan kawin cerai.
Perceraian dalam konteks
agama adalah perbuatan boleh tetapi yang paling dibenci oleh Tuhan.
Untuk merubah perilaku gemar kawin cerai itu, maka diperlukan
sinerginitas pemerintah dan tokoh agama (Tuan Guru) untuk terus
melakukan sosialisasi demi menekan kuantitas perceraian di Bumi Gora.
Kementrian agama dan MUI mestinya berada di garda terdepan untuk merubah
perilaku masyarakat Sasak yang gemar kawin cerai.
Hotel Sofyan, Jakarta, 21 Juni 2013. 14.49.51
Jumat, 21 Juni 2013
MENGKONSTRUKSI PROGRAM APENO
01.16
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar