Pada
setiap akhir jabatan seorang pemimpin, terkadang perilakunya bisa
berubah seribu persen dari biasanya. Mereka bisa merubah perangainya
dari yang biasa menjadi luar biasa; tidak perhatian menjadi sangat
peduli; tidak dermawan menjadi sangat dermawan; tidak santun menjadi
sangat santun sebagaimana layaknya Ratu Adil yang dinantikan
kehadirannya. Sebaiknya makna Ratu Adil
dalam politik tidak perlu diperdebatkan, tetapi Ratu Adil dalam konteks
politik lebih dimaknai sebagai pemimpin yang peduli, empati dan
menyayangi rakyatnya.
Di lain pihak, rakyat sendiri mulai
mengkritisi apa yang telah dilakukan oleh sang pemimpin selama
memerintah. Pro kontra, positif negatif menjadi sesuatu hal biasa ketika
rakyat mulai memberikan penilaian dan bahkan tidak sedikit rakyat yang
tidak perduli dan masa bodoh atas apa yang dilakukan sang pemimpin. Dan
faktanya mereka memang sebagian dari rakyat yang tidak faham politik dan
tidak mau berpolitik serta keinginannya hanya bekerja untuk
mensejahterakan sanak keluarganya; mereka ini rakyat yang mandiri,
berdiri di atas kemampuannya sendiri, menyerahkan hidupnya hanya pada
Tuhan, tidak pandai membuat profosal yang pada akhirnya akan
menyakitinya.
Pemimpin bagi kelompok ini tidak lebih dari
sekedar orang yang pandai mengurusi rakyat untuk kesejahteraan dirinya
dan bukannya pandai mengurusi rakyatnya untuk mensejahterakannya.
Seorang pemimpin dalam konteks ini adalah sosok orang yang mempunyai
kemampuan menghipnotis rakyatnya dan memaksanya untuk percaya bahwa
mereka pemimpin yang baik, peduli, berdiri di atas semua golongan dan
adil. Dalam konteks politik, inilah mungkin yang disebut sebagai politik
pencitraan.
Citra atau pencitraan boleh saja dilakukan oleh
semua kita, tidak terkecuali seorang pemimpin. Politik pencitraan
semakin marak dilakukan oleh para pasangan calon yang akan bertarung
dalam pemilu kepala daerah, termasuk di Lombok Barat. Begitu juga dengan
para calon anggota legislatif seolah tiada lelahnya untuk melakukan
pencitraan di tengah masyarakat walaupun akhirnya setelah terpilih,
mereka hilang tanpa diketahui rimbanya. Namun demikian, rakyat tetap
saja berhusnu dzon terhadapnya tanpa pernah berfikir untuk memberikan
sanksi politik apapun.
Aku adalah bagian dari rakyat, kata
Zulkipli, seorang tukang Ojek. tetapi aku sudah mulai memikirkan tentang
sanksi apa yang harus aku berikan kepada siapapun yang mau menjadi
pemimpin (baik eksekutif maupun legislatif). Mungkin, aku tidak akan
memilih pada pemilu mendatang karena siapapun yang menjadi pemimpin sama
saja, katanya lebih lanjut. Tetapi tidak boleh mengajak orang lain
sobat, selaku kepada Zulkipli, sebab bisa terkena sanksi tindak pidana
pemilu. Kalaupun tidak mau menggunakan hak pilihmu sebaiknya diam-diam
saja, tetapi kalau bisa memilih, saran saya kepada sahabat tukang Ojek.
Apa yang dapat dibaca dari sikap pesimisme itu? Saya sebagai peneliti
sangat memahami sikap sebagian rakyat itu. Sikap itu tidak instan namun
melalui proses yang sangat panjang pada setiap kali pemilihan umum.
Mereka adalah kelompok orang yang selalu dikecewakan oleh para calon
pemimpin yang mau bertarung pada setiap pemilihan umum (termasuk
pilkada). Memilih merupakan haknya dan sebagai hak mereka berhak
menggunakan dan atau tidak menggunakan haknya. Memilih untuk tidak
memilih merupakan bagian dari ruang yang disediakan oleh demokrasi.
Memang, menjelang pemilihan umum rakyat selalu dimanjakan dengan
berbagai bentuk bantuan, janji-janji politik yang selalu menina bobokkan
dan menempatkannya pada menara gading yang tidak akan pernah salah.
Para calon tahu betul bagaimana memperlakukan rakyat di saat-saat
menjelang pemilu; mereka disanjung, dipuja dan untuk kemudian
dihempaskannya ketika sudah terpilih. Inilah perilaku kontestator
politik yang sampai saat ini tidak pernah berubah. Dengan alasan ini
pula, maka wajar kalau rakyat pemilih mulai berfikir rasional untuk
tidak mau menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang.
KPU
Lombok Barat yang akan menyelenggarakan Pilkada harusnya mampu membaca
fenomena tersebut di atas agar pilkada untuk memilih pemimpin di bumi
patut patuh patcu lebih berkualitas dengan meningkatnya partisipasi
pemilih. Jika melihat prosentase rata-rata partisipasi pemilih berada
diangka 60%, maka jalan utama untuk meningkatkan partisipasi pemilih
adalah dengan melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat, baik melalui
media massa maupun lainnya. Dan yang perlu dipertimbangkan oleh KPU
mencoba melibatkan lembaga-lembaga pendidikan untuk melakukan
sosialisasi. Menurut hemat saya, mungkin akan lebih efektif. Juga, yang
tidak boleh terlupakan adalah keikutsertaan partai politik untuk
melakukan sosialisasi sejak dini kepada para konstituennya.
Rakyat adalah rakyat. Tanpa rakyat pemimpin tidak bermakna apa-apa dan
inilah esensi dari demokrasi. Dengan demikian, seorang pemimpin
seharusnya menempatkan dan berbuat untuk rakyat. Jangan heran, bila
calon pemimpin yang hanya dekat dengan rakyat ketika pemilu dan ketika
terpilih hilang tanpa jelas rimbanya. Nah, pemimpin seperti itu bila
ingin maju kembali pasti akan diberikan hukuman berupa tidak akan
memilihnya kembali. Saya fikir, itulah bentuk perlawanan rakyat terhadap
pemimpin yang dengan sengaja memperlakukan rakyatnya dengan tidak
sewajarnya. Jika ingin sukses menjadi pemimpin, maka hilangkan perilaku
menjunjung tinggi rakyatnya dan dalam waktu yang bersamaan sekaligus
menghempaskannya ke posisi penghambaan. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Kediri, 07062013.16.33.49
Minggu, 16 Juni 2013
MENJUNJUNG SEKALIGUS MENGHEMPASKAN RAKYAT
23.50
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar