Minggu, 16 Juni 2013

MENJUNJUNG SEKALIGUS MENGHEMPASKAN RAKYAT

Pada setiap akhir jabatan seorang pemimpin, terkadang perilakunya bisa berubah seribu persen dari biasanya. Mereka bisa merubah perangainya dari yang biasa menjadi luar biasa; tidak perhatian menjadi sangat peduli; tidak dermawan menjadi sangat dermawan; tidak santun menjadi sangat santun sebagaimana layaknya Ratu Adil yang dinantikan kehadirannya. Sebaiknya makna Ratu Adil dalam politik tidak perlu diperdebatkan, tetapi Ratu Adil dalam konteks politik lebih dimaknai sebagai pemimpin yang peduli, empati dan menyayangi rakyatnya.


Di lain pihak, rakyat sendiri mulai mengkritisi apa yang telah dilakukan oleh sang pemimpin selama memerintah. Pro kontra, positif negatif menjadi sesuatu hal biasa ketika rakyat mulai memberikan penilaian dan bahkan tidak sedikit rakyat yang tidak perduli dan masa bodoh atas apa yang dilakukan sang pemimpin. Dan faktanya mereka memang sebagian dari rakyat yang tidak faham politik dan tidak mau berpolitik serta keinginannya hanya bekerja untuk mensejahterakan sanak keluarganya; mereka ini rakyat yang mandiri, berdiri di atas kemampuannya sendiri, menyerahkan hidupnya hanya pada Tuhan, tidak pandai membuat profosal yang pada akhirnya akan menyakitinya.

Pemimpin bagi kelompok ini tidak lebih dari sekedar orang yang pandai mengurusi rakyat untuk kesejahteraan dirinya dan bukannya pandai mengurusi rakyatnya untuk mensejahterakannya. Seorang pemimpin dalam konteks ini adalah sosok orang yang mempunyai kemampuan menghipnotis rakyatnya dan memaksanya untuk percaya bahwa mereka pemimpin yang baik, peduli, berdiri di atas semua golongan dan adil. Dalam konteks politik, inilah mungkin yang disebut sebagai politik pencitraan.

Citra atau pencitraan boleh saja dilakukan oleh semua kita, tidak terkecuali seorang pemimpin. Politik pencitraan semakin marak dilakukan oleh para pasangan calon yang akan bertarung dalam pemilu kepala daerah, termasuk di Lombok Barat. Begitu juga dengan para calon anggota legislatif seolah tiada lelahnya untuk melakukan pencitraan di tengah masyarakat walaupun akhirnya setelah terpilih, mereka hilang tanpa diketahui rimbanya. Namun demikian, rakyat tetap saja berhusnu dzon terhadapnya tanpa pernah berfikir untuk memberikan sanksi politik apapun.

Aku adalah bagian dari rakyat, kata Zulkipli, seorang tukang Ojek. tetapi aku sudah mulai memikirkan tentang sanksi apa yang harus aku berikan kepada siapapun yang mau menjadi pemimpin (baik eksekutif maupun legislatif). Mungkin, aku tidak akan memilih pada pemilu mendatang karena siapapun yang menjadi pemimpin sama saja, katanya lebih lanjut. Tetapi tidak boleh mengajak orang lain sobat, selaku kepada Zulkipli, sebab bisa terkena sanksi tindak pidana pemilu. Kalaupun tidak mau menggunakan hak pilihmu sebaiknya diam-diam saja, tetapi kalau bisa memilih, saran saya kepada sahabat tukang Ojek.

Apa yang dapat dibaca dari sikap pesimisme itu? Saya sebagai peneliti sangat memahami sikap sebagian rakyat itu. Sikap itu tidak instan namun melalui proses yang sangat panjang pada setiap kali pemilihan umum. Mereka adalah kelompok orang yang selalu dikecewakan oleh para calon pemimpin yang mau bertarung pada setiap pemilihan umum (termasuk pilkada). Memilih merupakan haknya dan sebagai hak mereka berhak menggunakan dan atau tidak menggunakan haknya. Memilih untuk tidak memilih merupakan bagian dari ruang yang disediakan oleh demokrasi.

Memang, menjelang pemilihan umum rakyat selalu dimanjakan dengan berbagai bentuk bantuan, janji-janji politik yang selalu menina bobokkan dan menempatkannya pada menara gading yang tidak akan pernah salah. Para calon tahu betul bagaimana memperlakukan rakyat di saat-saat menjelang pemilu; mereka disanjung, dipuja dan untuk kemudian dihempaskannya ketika sudah terpilih. Inilah perilaku kontestator politik yang sampai saat ini tidak pernah berubah. Dengan alasan ini pula, maka wajar kalau rakyat pemilih mulai berfikir rasional untuk tidak mau menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang.

KPU Lombok Barat yang akan menyelenggarakan Pilkada harusnya mampu membaca fenomena tersebut di atas agar pilkada untuk memilih pemimpin di bumi patut patuh patcu lebih berkualitas dengan meningkatnya partisipasi pemilih. Jika melihat prosentase rata-rata partisipasi pemilih berada diangka 60%, maka jalan utama untuk meningkatkan partisipasi pemilih adalah dengan melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat, baik melalui media massa maupun lainnya. Dan yang perlu dipertimbangkan oleh KPU mencoba melibatkan lembaga-lembaga pendidikan untuk melakukan sosialisasi. Menurut hemat saya, mungkin akan lebih efektif. Juga, yang tidak boleh terlupakan adalah keikutsertaan partai politik untuk melakukan sosialisasi sejak dini kepada para konstituennya.

Rakyat adalah rakyat. Tanpa rakyat pemimpin tidak bermakna apa-apa dan inilah esensi dari demokrasi. Dengan demikian, seorang pemimpin seharusnya menempatkan dan berbuat untuk rakyat. Jangan heran, bila calon pemimpin yang hanya dekat dengan rakyat ketika pemilu dan ketika terpilih hilang tanpa jelas rimbanya. Nah, pemimpin seperti itu bila ingin maju kembali pasti akan diberikan hukuman berupa tidak akan memilihnya kembali. Saya fikir, itulah bentuk perlawanan rakyat terhadap pemimpin yang dengan sengaja memperlakukan rakyatnya dengan tidak sewajarnya. Jika ingin sukses menjadi pemimpin, maka hilangkan perilaku menjunjung tinggi rakyatnya dan dalam waktu yang bersamaan sekaligus menghempaskannya ke posisi penghambaan. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Kediri, 07062013.16.33.49


0 komentar: