Saat
tiba di Bandar Internasional Ngurah Rai Bali, saya melihat ibu-ibu yang
lalu lalang sambil menggendong bayinya yang masih belum bisa jalan.
Sementara di saat yang sama, tampak pula para ibu yang menggandeng dan
menuntun anaknya sambil berlari-lari kecil. Sang ibu tampak kerepotan
menuntun anaknya yang lagi nakal-nakalnya berlari ke sana kemari
mengikuti gerak langkah si anak yang
tidak jelas arah tujuannya. Si anak tidak peduli akan nasib ibunya yang
terengah-engah nafasnya kelelahan.
Si ibu walau tampak lelah
mengikuti langkah kaki sang buah hati, namun ia tetap saja sabar sambil
terus menguatkan diri dan mungkin menggunakan tenaga cadangannya.
Itulah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kaum hawa dalam melindungi
keselamatan buah hatinya. Sehingga dalam konteks ini wajar kalau Tuhan
memuliakan dan mendudukan para ibu di aras yang lebih istimewa
dibandingkan dengan sang ayah.
Nabi Muhammad Saw juga memberi
penghormatan dan kedudukan mulia bagi para ibu, sebagaimana terkandung
dalam salah satu haditsnya. Salah seorang sahabat bertanya, ya
Rasulullah, kepada siapa saya harus berbakti? Nabi menjawab, kepada
ibumu. Lalu kepada siapa, ibumu, lalu ibumu. Setelah itu baru kepada
bapakmu. Tiga kali sebutan kebaktian kepada ibu. Tiga kali nabi
menyebutkan berbakti kepada ibu dan baru keempatnya kepada ayah. Ini
berarti betapa kedudukan para ibu demikian diistimewakan oleh Tuhan dan
para utusannya. Sehingga dalam hadits lain disebutkan bahwa syurga itu
berada di bawah kaki ibu.
Melihat hubungan sang ibu dengan
anak-anaknya sangat dekat, maka wajar kalau si anak akan masuk syurga
harus melalui rekomendasi ibunya. Anak-anak akan sengsara dalam hidupnya
maupun menjelang ajalnya tanpa restu dan belaian ibunya sebagaimana si
anak berada 9 bulan dalam perut ibundanya. Kasih sayang ibu tidak pernah
hilang termakan waktu sampai akhir hayatnya. Namun, tidak demikian
dengan sang anak yang sangat cepat berubah dan mungkin melupakan ibunya.
Gambar dan iktibar tentang perubahan sikap anak terhadap ibunya semakin
banyak terjadi. Masih ingat dengan kisah legenda Malin Kundang yang
melupakan bundonya setelah ia menjadi saudagar sukses karena menikahi
putri pengusaha besar? Itulah contoh anak yang durhaka kepada ibunya
yang pada akhirnya si Malin Kundang dikutuk oleh ibunya menjadi batu.
Apa yang dilakukan si ibu merupakan reaksi ketidakberdayaan menghadapi
anaknya yang cepat melupakan belaian dan kasih sayangnya.
Kita
dan siapapun tidak akan melihat legenda Malin Kundang secara hitam
putih, tetapi lebih di lihat dari perspektif nilai yang terkandung dalam
legenda itu. Sadar atau tidak, kini telah menjamur Malin Kundang versi
terbaru dengan pelbagai motipnya. Entah itu, harta, tahta dan syahwat
kerakusan si anak.
Ya, kini kuantitas dan kualitas kedurhakaan
kapada ibu semakin menjadi. Apa yang bisa dikatakan ada anak yang
membunuh dan memutilasi ibu kandungnya sendiri gara-gara si anak tidak
diberikan uang belanja oleh ibunya. Ada juga anak yang dengan tega dan
kehilangan cintanya kepada ibunya, karenanya ia membawa ibunya ke
pengadilan lalu oleh hakim di vonis bersalah kemudian mendekam
dipenjara. Gerangan apa yang menyebabkan si anak berbuat durjana kepada
ibu kandungnya sendiri? Ternyata penyebabnya si ibu mengambil potongan
kayu milik anaknya tanpa sepengatahuan si anak. Astagfirullah. Serendah
itukah moralitas si anak sampai setega itu, padahal si ibu masih hak
juga terhadap kepemilikan si anak.
Hukum adalah hukum. Hukum
akhirnya menjatuhkan vonis bersalah terhadap si ibu. Terus terang yang
membuat kita tidak habis fikir bahwa si anak yang menuntut ibunya tidak
terlihat menyesali perbuatannya dan tampak si anak senyum bahagia. Si
ibu terlihat shock dan hanya bisa terdiam di dalam penjara. Matanya
terlihat kosong sambil menatap dinding penjara yang diam membisu. Dia
hanya sebatang kara kini di penjara. Ia pasrahkan hidupnya hanya kepada
Tuhan. Dari raut wajahnya terlihat kekecewaan yang tidak terukur
dalamnya atas apa yang menimpanya. Hanya Tuhan yang kini dimilikinya,
suaminya telah lama wafat sementara anaknya telah dianggapnya tidak ada
lagi. Rasanya, si ibu ingin mengakhiri saja hidupnya dan menjadikan
penjara sebagai kuburannya.
Kalau sudah begini, masihkah syurga
itu berada di bawah telapak kaki ibu? Entahlah. Para ibu sangat tahu
persis apa yang harus dilakukannya lepada para anak yang durhaka.
Haruskah ia akan mengutuk anaknya yang durhaka sebagaimana Malin Kundang
dikutuk ibunya. Kalau ya, lalu bagaimana nasib cucuku yang terlahir
dari rahim anak-anakku, fikir para ibu yang masih mencintai darah
keturunan anaknya. Sungguh wajar kalau ibu memang diberikan kedudukan
istimewa oleh Tuhan sebagai pemegang rekomendasi untuk memasuki syurga
yang dijanjikan Tuhan bagi ibu. Kasih ibu kepada beta tak terhingga
sepanjang zaman. Hanya memberi, tak harap kembali bagaikan syurya yang
menyinari dunia kata lagu yang diajarkan bapak ibu guru ketika duduk di
Taman Kanak-kanak. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Ngurai Rai, Bali, 11062013.13.40.29.
Senin, 17 Juni 2013
SYURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU
00.00
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar