Jumat, 17 Mei 2013

SAATNYA RAKYAT BERUBAH

Desas desus, cerita dari mulut kemulut dan penampakan yang nyata diperlihatkan oleh oknum parpol pengusung cagub NTB tentang pembagian sembako dan kerudung atau muknah. Cerita itu beredar di tengah masyarakat, terutama dalam kelompok majlis taklim di beberapa tempat di Narmada. Berita ini saya dapatkan dari seorang ustadz dan SMS yang masuk ke handphone sekitar jam 10.00 wita.


Cerita semacam itu tidak terlalu mengejutkan apalagi menghawatirkan karena memang sudah biasa terjadi setiap menjelang pemilihan umum dan tidak terkecuali pemilukada. Hanya masalahnya, apakah pemberian yang bernuansa keagamaan seperti itu termasuk dalam katagori pelanggaran atau tidak? Kata sebagian orang itu bukan pelanggaran tetapi sebagian yang lain menyatakan termasuk pelanggaran pemilu. Mengapa? Karena pemberian itu bermotip politis dan dengan akad yang jelas yakni mencoblos pasangan calon tertentu. Namun biarkan Bawaslu yang akan memutuskan apakah pemberian kerudung atau muknah termasuk pelanggaran atau tidak.

Saya sangat terkagum dengan salah satu ibu yang menolak pemberian itu dengan alasan pilihan saya berbeda dan tidak mau berbeda dengan pilihan gurunya. Saya masuk dalam kelompok pengajian ini, kata si Ibu semata-mata karena ingin ikut berdoa dan kebersamaan. Kalau akadnya seperti itu, lebih baik saya tidak menerimanya dari pada menjadi beban ketika barang itu saya pakai nantinya.

Apa yang bisa diambil dari kisah nyata itu? Pelajaran yang bisa diambil bahwa ternyata masyarakat sudah kritis dalam menyeleksi dan menerima pemberian dari orang lain atau parpol dan walau demikian ternyata masyarakat juga masih memilih pemimpin berdasarkan ideologi, baik agama maupun ormas keagamaan. Nah, dari fakta tersebut hendaknya parpol harus berfikir ulang dan mengkonstruksi konsep baru untuk mempengaruhi masyarakat.

Keputusan si Ibu tersebut bukan keputusan yang instan atau tiba-tiba, tetapi berdasarkan kesadaran dan pengalaman yang cukup panjang. Dengan semakin kritisnya masyarakat itu, bukan hal yang mustahil kalau sebagian masyarakat akan menerima semua bentuk pemberian tetapi tidak memilih orang atau si calon. Atau mungkin juga dia menerima dan sekaligus memilih si calon karena memang sudah terpingsut sejak awal. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya bisa terjadi.

Perilaku pemilih itu bisa jadi sebagai akibat dari perilaku elit politik yang tetap mempertahankan politik kartel. Masih teringat kuat dalam memori otak masyarakat tentang ketololan yang dilakukan oleh calon legislatif yang tidak terpilih. Ceritanya seorang calon anggota DPR yang mengambil semua jenis bantuan yang telah diberikannya kepada masyarakat karena di daerah itu si calon kurang mendapatkan suara. Fakta serupa bisa juga terjadi pada pilkada di NTB walaupun motifnya berbeda. Maksudnya ada pasangan calon yang telah memberikan bantuan dengan jumlah tertentu, namun hanya memberikan setengahnya sisanya akan diberikan saat si calon terpilih tetapi kalau tidak terpilih? Ya tebak sendiri.

Dalam konteks ini, hemat saya masyarakat tidak bisa di salahkan sepenuhnya karena apa yang dilakukan masyarakat sebagai suatu bentuk reaksi dari apa yang pernah dijanjikan oleh pasangan calon kepala daerah. Mengambil semua pemberian atau bantuan dari pasangan calon (incamben) merupakan pelunasan dari apa yang pernah dijanjikannya lima tahun lalu. Nah, pemilihan yang sekarang belum terhitung dam harus ada perjanjian ulang. Kalau tidak, kami tidak akan memilih atau memilih calon lain.

Kondisi masyarakat yang sudah rasional dan kritis tersebut menjadi tantangan berat bagi politisi ke depan. Di aras ini, menjual program menjadi suatu strategi yang bagus untuk meyakinkan pemilih atau masyarakat. Sepertinya budaya politik kartel sudah out of date bagi pemilih rasional dan kritis, kecuali pemilih tradisional. Politisi kalau mau terpilih, maka harus mampu memetakan pemilih yang menjadi segmen garapannya. Kalau tidak pasti akan mati kutu dan menyesali kebodohannya.

Kini masyarakat telah berubah dan saatnya berubah dalam mensikapi perilaku para politisi. Kita sebagai pemilih harus kritis untuk memilih pemimpin, siapa oangnya, siapa keluarganya dan rekam jejaknya seperti apa. Hal ini penting menjadi pertimbangan agar tidak terjebak ke dalam lingkaran setan politik kartel atau tepatnya memilih kucing dalam karung. Kita berkeinginan wakil rakyat ke depan punya integritas untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Mengapa integritas itu menjadi penting? Karena biasanya setelah terpilih mereka lupa akan konstituennya dan terlena dengan fasilitas yang telah diberikan negara tapi lupa habitatnya. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistem demokrasi yang kita anut tidak memberikan space bagi rakyat untuk mencabut mandatnya ketika wakil atau pemimpin melupakan janji-janji politiknya. Kini saatnya rakyat berubah untuk lebih cermat dan kritis memilih pemimpin ke depan dan saatnya memberikan hukuman bagi calon atau pemimpin yang tidak punya integritas membawa kesejahteraan bagi rakyat dengan cara tidak memilihnya. Hanya ini jenis hukuman yang bisa diberikan masyarakat menjelang pemilihan umum mendatang. Wallhul Muwafia ila Darissalam.

Tanak Beak, 12052013.21.24.19.


0 komentar: