Desas
desus, cerita dari mulut kemulut dan penampakan yang nyata
diperlihatkan oleh oknum parpol pengusung cagub NTB tentang pembagian
sembako dan kerudung atau muknah. Cerita itu beredar di tengah
masyarakat, terutama dalam kelompok majlis taklim di beberapa tempat di
Narmada. Berita ini saya dapatkan dari seorang ustadz dan SMS yang
masuk ke handphone sekitar jam 10.00 wita.
Cerita semacam itu tidak terlalu mengejutkan apalagi menghawatirkan
karena memang sudah biasa terjadi setiap menjelang pemilihan umum dan
tidak terkecuali pemilukada. Hanya masalahnya, apakah pemberian yang
bernuansa keagamaan seperti itu termasuk dalam katagori pelanggaran atau
tidak? Kata sebagian orang itu bukan pelanggaran tetapi sebagian yang
lain menyatakan termasuk pelanggaran pemilu. Mengapa? Karena pemberian
itu bermotip politis dan dengan akad yang jelas yakni mencoblos pasangan
calon tertentu. Namun biarkan Bawaslu yang akan memutuskan apakah
pemberian kerudung atau muknah termasuk pelanggaran atau tidak.
Saya sangat terkagum dengan salah satu ibu yang menolak pemberian itu
dengan alasan pilihan saya berbeda dan tidak mau berbeda dengan pilihan
gurunya. Saya masuk dalam kelompok pengajian ini, kata si Ibu
semata-mata karena ingin ikut berdoa dan kebersamaan. Kalau akadnya
seperti itu, lebih baik saya tidak menerimanya dari pada menjadi beban
ketika barang itu saya pakai nantinya.
Apa yang bisa diambil
dari kisah nyata itu? Pelajaran yang bisa diambil bahwa ternyata
masyarakat sudah kritis dalam menyeleksi dan menerima pemberian dari
orang lain atau parpol dan walau demikian ternyata masyarakat juga masih
memilih pemimpin berdasarkan ideologi, baik agama maupun ormas
keagamaan. Nah, dari fakta tersebut hendaknya parpol harus berfikir
ulang dan mengkonstruksi konsep baru untuk mempengaruhi masyarakat.
Keputusan si Ibu tersebut bukan keputusan yang instan atau tiba-tiba,
tetapi berdasarkan kesadaran dan pengalaman yang cukup panjang. Dengan
semakin kritisnya masyarakat itu, bukan hal yang mustahil kalau sebagian
masyarakat akan menerima semua bentuk pemberian tetapi tidak memilih
orang atau si calon. Atau mungkin juga dia menerima dan sekaligus
memilih si calon karena memang sudah terpingsut sejak awal. Dan
kemungkinan-kemungkinan lainnya bisa terjadi.
Perilaku pemilih
itu bisa jadi sebagai akibat dari perilaku elit politik yang tetap
mempertahankan politik kartel. Masih teringat kuat dalam memori otak
masyarakat tentang ketololan yang dilakukan oleh calon legislatif yang
tidak terpilih. Ceritanya seorang calon anggota DPR yang mengambil semua
jenis bantuan yang telah diberikannya kepada masyarakat karena di
daerah itu si calon kurang mendapatkan suara. Fakta serupa bisa juga
terjadi pada pilkada di NTB walaupun motifnya berbeda. Maksudnya ada
pasangan calon yang telah memberikan bantuan dengan jumlah tertentu,
namun hanya memberikan setengahnya sisanya akan diberikan saat si calon
terpilih tetapi kalau tidak terpilih? Ya tebak sendiri.
Dalam
konteks ini, hemat saya masyarakat tidak bisa di salahkan sepenuhnya
karena apa yang dilakukan masyarakat sebagai suatu bentuk reaksi dari
apa yang pernah dijanjikan oleh pasangan calon kepala daerah. Mengambil
semua pemberian atau bantuan dari pasangan calon (incamben) merupakan
pelunasan dari apa yang pernah dijanjikannya lima tahun lalu. Nah,
pemilihan yang sekarang belum terhitung dam harus ada perjanjian ulang.
Kalau tidak, kami tidak akan memilih atau memilih calon lain.
Kondisi masyarakat yang sudah rasional dan kritis tersebut menjadi
tantangan berat bagi politisi ke depan. Di aras ini, menjual program
menjadi suatu strategi yang bagus untuk meyakinkan pemilih atau
masyarakat. Sepertinya budaya politik kartel sudah out of date bagi
pemilih rasional dan kritis, kecuali pemilih tradisional. Politisi kalau
mau terpilih, maka harus mampu memetakan pemilih yang menjadi segmen
garapannya. Kalau tidak pasti akan mati kutu dan menyesali kebodohannya.
Kini masyarakat telah berubah dan saatnya berubah dalam mensikapi
perilaku para politisi. Kita sebagai pemilih harus kritis untuk memilih
pemimpin, siapa oangnya, siapa keluarganya dan rekam jejaknya seperti
apa. Hal ini penting menjadi pertimbangan agar tidak terjebak ke dalam
lingkaran setan politik kartel atau tepatnya memilih kucing dalam
karung. Kita berkeinginan wakil rakyat ke depan punya integritas untuk
memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Mengapa integritas itu
menjadi penting? Karena biasanya setelah terpilih mereka lupa akan
konstituennya dan terlena dengan fasilitas yang telah diberikan negara
tapi lupa habitatnya. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistem demokrasi yang
kita anut tidak memberikan space bagi rakyat untuk mencabut mandatnya
ketika wakil atau pemimpin melupakan janji-janji politiknya. Kini
saatnya rakyat berubah untuk lebih cermat dan kritis memilih pemimpin ke
depan dan saatnya memberikan hukuman bagi calon atau pemimpin yang
tidak punya integritas membawa kesejahteraan bagi rakyat dengan cara
tidak memilihnya. Hanya ini jenis hukuman yang bisa diberikan masyarakat
menjelang pemilihan umum mendatang. Wallhul Muwafia ila Darissalam.
Tanak Beak, 12052013.21.24.19.
Jumat, 17 Mei 2013
SAATNYA RAKYAT BERUBAH
22.58
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar