Selasa, 30 April 2013

POLITIK BISING

Malam ini, saya sengaja duduk di halaman rumah sambil menatap bintang gemintang di langit yang hitam pekat. Saya menatap langit yang tampak hanya kegelapan dan satu dua bintang dengan sinarnya yang redup. Saya tidak yakin kalau redupnya sinar bintang itu akibat dari keletihan menatap politik bising yang dipertontonkan oleh para kandidat kepala daerah di Gumi Patuh Karya Lombok Timur.

Gemintang memang tidak tampak di malam ini. Mungkin mereka takut atau memang masih asik dalam dekapan ibundanya sehingga enggan untuk keluar rumah, apalagi sampai terlepas dari kehangatan kasih sayang sang bunda. Siapapun pasti akan merasa berat untuk melepas buah hatinya keluar rumah di tengah situasi tidak menentu. Diam dan tetaplah berada dalam dekapanku nak, bunda masih ingin memelukmu dengan penuh kasih. Aku harap engkau dapat merasakan dan mampu membaca bisikan hati bundamu. Sungguh, aku ingin tetap memelukmu sampai pagi menjelang dan tidurlah. Biarkan langit ini tetap hitam pekat tanpa sinarmu. Siapa yang bisa menyalahkanmu? Bunda rasa tidak ada.

Tiba-tiba aku tersentak dari lamunanku, ketika anakku yang baru berumur satu setengah tahun memanggilku dengan kemanjaan anak kecil. Aku memeluknya dengan penuh kasih sambil mendengarkan kriakan burung puyuh milik anak lelakiku. Sungguh saya berfikir serius tentang dua mahluk Tuhan yang tanpa beban mengumandangkan nyanyian khasnya masing-masing. Keduanya berkicau dengan tanpa saya tahu makna kicauannya. Bernyanyi dan berkicaulah dengan keakuanmu, tidak usah hiraukan sekelilingmu. Apakah mereka tersinggung atau tidak dengan nyanyian dan kicauanmu. Tetaplah menjadi dirimu. Usah kau fikirkan apa yang ada di kepala mereka. Apa mereka peduli kepadamu. Mungkin ya atau mungkin juga tidak.

Kini, para pasangan calon kepala daerah sedang berpesta pora. Mereka asyik dengan permainan yang diperankannya. Saking asiknya mereka sampai lupa diri dan mengobral janji palsu yang selalu bermetamorposis padahal hakekatnya sama. Mereka menjanjikam syurga tapi belum tentu syurga. Bisa jadi neraka bersepuhkan syurga. Siapa tahu, tetapi semoga kesejatian yang hak. Sebagai rakyat tentu kita hanya bisa mengiyakan tanpa tedeng aling-aling.

Rakyat sebagai salah satu pilar demoktasi punya beban moral yang cukup berat untuk mengawal demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan, kata Aristoteles. Hal itu berarti bahwa suara rakyat adalah suara emas yang akan diperebutkan para politisi, termasuk kepala daerah. Sebagai suara emas, maka rakyat bebas untuk memilih dimana mereka akan pentas dengan suaranya. Siapapun tidak bisa mencegah dan mengarahkannya, itu adalah hak berdasarkan pilihan rasional.

Sejatinya urusan memilih merupakan urusan remeh temeh. Itu adalah urusan pemilih dengan biliksuara. Siapapun yang mau dipilihnya menjadi pemimpin biarkan saja. Rakyat sudah cerdas untuk memilih siapa? Apakah akan memilih pemimpin yang pandai berorasi tetapi berfikiran sempit atau pemimpin seperti apa terserah saja, tetapi jangan sampai tidak memilih.

Memang tampak kejenuhan masyarakat dalam pesta demokrasi, hal itu dilihat dari angka golput yang semakin meninggi hingga mencapai angka 51,50% sebagaimana pilkada Sumatra Utara. Apa yang dapat dibaca dari angka golput itu? Apakah masyarakat memang sudah jenuh atau masyarakat sudah bukan lagi golongan awwamul awwam dalam berpolitik. Yang pasti bahwa masyarakat semakin cerdas dan kritis sehingga paham betul posisinya dalam berdemokrasi.

Demokrasi adalah urusan memilih dan dipilih berdasarkan Luber dan Jurdil sebagaimana amanah undang-undang pemilu. Saya kira tidak ada keterkaitan secara langsung dengan politik bising yang diperagakan oleh para pasangan calon kepala daerah. Masyarakat sudah bosan dengan politik huru hara, konfoi, dan melabrak aturan. Dengan politik bising tersebut masyarakat semakin berprasangka dan nyaman mengendong anaknya dalam kehangatan cinta dan kasih sayang bunda. Mereka lebih senang melihat anaknya tidak keluar menghiasi politik bising yang mungkin saja berujung bentrok antar massa kampanye. Politik bising sama dengan politik kerlap kerlip, hura-hura, rusuh dan melabrak aturan berlalu lintas.

Oleh karena itu, bintang gemintang merasa enggan untuk keluar dari peraduannya. Apalah artinya suatu sinar kalau pada akhirnya akan menuntunnya untuk bersitegang, saling fitnah dan mengadu kekuatan untuk membunuh pesaingnya. Kesemuanya akibat dari praktik politik bising yang miskin moral dan etika sosial. Endingnya, tetap saja rakyat yang menjadi kurban atau sengaja dikurbankan demi suatu ambisi kekuasaan. Berjayalah politik bising di dalam singgasana keangkuhan dan keakuan.

Akhirnya, tanpa sadar anakku tertkdur dalam pangkuan kasih sayangku. Waktu tidak mau berkompromi menghantarkan datangnya sang fajar. Binatang malam pun sudah mulai memasuki ruang peraduannya. Mereka tampaknya tidak terganggu dengan datangnya mahluk lain untuk mengganti perannya mematai politik bising yang mungkin kembali akan diperagakan oleh para pengejar tahta kekuasaan. Kita tidak ada yang lulus menjadi muridnya Syekh Lemah Abang dalam memanfaatkan harta dan tahta demi keharmonisan hidup warga masyarakat. Waalahul Muwafiq ila Darissalam

Tanak Beak, 29042013. 23.49.59


0 komentar: