Malam
ini, saya sengaja duduk di halaman rumah sambil menatap bintang
gemintang di langit yang hitam pekat. Saya menatap langit yang tampak
hanya kegelapan dan satu dua bintang dengan sinarnya yang redup. Saya
tidak yakin kalau redupnya sinar bintang itu akibat dari keletihan
menatap politik bising yang dipertontonkan oleh para kandidat kepala
daerah di Gumi Patuh Karya Lombok Timur.
Gemintang memang tidak tampak di malam ini. Mungkin mereka takut atau
memang masih asik dalam dekapan ibundanya sehingga enggan untuk keluar
rumah, apalagi sampai terlepas dari kehangatan kasih sayang sang bunda.
Siapapun pasti akan merasa berat untuk melepas buah hatinya keluar rumah
di tengah situasi tidak menentu. Diam dan tetaplah berada dalam
dekapanku nak, bunda masih ingin memelukmu dengan penuh kasih. Aku harap
engkau dapat merasakan dan mampu membaca bisikan hati bundamu. Sungguh,
aku ingin tetap memelukmu sampai pagi menjelang dan tidurlah. Biarkan
langit ini tetap hitam pekat tanpa sinarmu. Siapa yang bisa
menyalahkanmu? Bunda rasa tidak ada.
Tiba-tiba aku tersentak
dari lamunanku, ketika anakku yang baru berumur satu setengah tahun
memanggilku dengan kemanjaan anak kecil. Aku memeluknya dengan penuh
kasih sambil mendengarkan kriakan burung puyuh milik anak lelakiku.
Sungguh saya berfikir serius tentang dua mahluk Tuhan yang tanpa beban
mengumandangkan nyanyian khasnya masing-masing. Keduanya berkicau dengan
tanpa saya tahu makna kicauannya. Bernyanyi dan berkicaulah dengan
keakuanmu, tidak usah hiraukan sekelilingmu. Apakah mereka tersinggung
atau tidak dengan nyanyian dan kicauanmu. Tetaplah menjadi dirimu. Usah
kau fikirkan apa yang ada di kepala mereka. Apa mereka peduli kepadamu.
Mungkin ya atau mungkin juga tidak.
Kini, para pasangan calon
kepala daerah sedang berpesta pora. Mereka asyik dengan permainan yang
diperankannya. Saking asiknya mereka sampai lupa diri dan mengobral
janji palsu yang selalu bermetamorposis padahal hakekatnya sama. Mereka
menjanjikam syurga tapi belum tentu syurga. Bisa jadi neraka bersepuhkan
syurga. Siapa tahu, tetapi semoga kesejatian yang hak. Sebagai rakyat
tentu kita hanya bisa mengiyakan tanpa tedeng aling-aling.
Rakyat sebagai salah satu pilar demoktasi punya beban moral yang cukup
berat untuk mengawal demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan, kata
Aristoteles. Hal itu berarti bahwa suara rakyat adalah suara emas yang
akan diperebutkan para politisi, termasuk kepala daerah. Sebagai suara
emas, maka rakyat bebas untuk memilih dimana mereka akan pentas dengan
suaranya. Siapapun tidak bisa mencegah dan mengarahkannya, itu adalah
hak berdasarkan pilihan rasional.
Sejatinya urusan memilih
merupakan urusan remeh temeh. Itu adalah urusan pemilih dengan
biliksuara. Siapapun yang mau dipilihnya menjadi pemimpin biarkan saja.
Rakyat sudah cerdas untuk memilih siapa? Apakah akan memilih pemimpin
yang pandai berorasi tetapi berfikiran sempit atau pemimpin seperti
apa terserah saja, tetapi jangan sampai tidak memilih.
Memang
tampak kejenuhan masyarakat dalam pesta demokrasi, hal itu dilihat dari
angka golput yang semakin meninggi hingga mencapai angka 51,50%
sebagaimana pilkada Sumatra Utara. Apa yang dapat dibaca dari angka
golput itu? Apakah masyarakat memang sudah jenuh atau masyarakat sudah
bukan lagi golongan awwamul awwam dalam berpolitik. Yang pasti bahwa
masyarakat semakin cerdas dan kritis sehingga paham betul posisinya
dalam berdemokrasi.
Demokrasi adalah urusan memilih dan dipilih
berdasarkan Luber dan Jurdil sebagaimana amanah undang-undang pemilu.
Saya kira tidak ada keterkaitan secara langsung dengan politik bising
yang diperagakan oleh para pasangan calon kepala daerah. Masyarakat
sudah bosan dengan politik huru hara, konfoi, dan melabrak aturan.
Dengan politik bising tersebut masyarakat semakin berprasangka dan
nyaman mengendong anaknya dalam kehangatan cinta dan kasih sayang bunda.
Mereka lebih senang melihat anaknya tidak keluar menghiasi politik
bising yang mungkin saja berujung bentrok antar massa kampanye. Politik
bising sama dengan politik kerlap kerlip, hura-hura, rusuh dan melabrak
aturan berlalu lintas.
Oleh karena itu, bintang gemintang
merasa enggan untuk keluar dari peraduannya. Apalah artinya suatu sinar
kalau pada akhirnya akan menuntunnya untuk bersitegang, saling fitnah
dan mengadu kekuatan untuk membunuh pesaingnya. Kesemuanya akibat dari
praktik politik bising yang miskin moral dan etika sosial. Endingnya,
tetap saja rakyat yang menjadi kurban atau sengaja dikurbankan demi
suatu ambisi kekuasaan. Berjayalah politik bising di dalam singgasana
keangkuhan dan keakuan.
Akhirnya, tanpa sadar anakku tertkdur
dalam pangkuan kasih sayangku. Waktu tidak mau berkompromi menghantarkan
datangnya sang fajar. Binatang malam pun sudah mulai memasuki ruang
peraduannya. Mereka tampaknya tidak terganggu dengan datangnya mahluk
lain untuk mengganti perannya mematai politik bising yang mungkin
kembali akan diperagakan oleh para pengejar tahta kekuasaan. Kita tidak
ada yang lulus menjadi muridnya Syekh Lemah Abang dalam memanfaatkan
harta dan tahta demi keharmonisan hidup warga masyarakat. Waalahul
Muwafiq ila Darissalam
Tanak Beak, 29042013. 23.49.59
Selasa, 30 April 2013
POLITIK BISING
19.42
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar