Tahun
2013 adalah tahun politik kata Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Masyarakat politik Indonesia mengamini apa yang disampaikan oleh sang presiden,
karena sepanjang tahun 2013 sampai April 2014 kita sebagai warga Negara akan
mengikuti tahapan Pemilihan Umum (baik pemilukada, legislative maupun pemilihan
presiden). Siapapun kita, pastinya akan menyambut dengan gembira, suka cita dan
antusiasme perhelatan demokrasi lima tahunan itu. Pemilihan Umum dilaksanakan
sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara Luber dan
jurdil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Masalahnya,
barang dagangan apa yang paling laris dalam pasar bursa efek politik? Tentu
jawabannya adalah rakyat. Para politisi tentu sangat paham eksistensi dan
posisi rakyat dalam system politik yang dianutnya. Setiap kali rapat, para
politisi di Senayan dan para pengamat bertasbih dengan bunyi-bunyi wiridan
seragam, rakyat…rakyat…rakyat sampai banjir liurnya berfatamorgana. Walaupun
demikian, posisi rakyat hanya sebatas obyek penderita yang selalu dijual pada
bursa efek politik demi keuntungan para politisi.
Pada
setiap gerakan, apakah itu gerakan politik, demonstrasi Paguyuban Kepala Desa
di bawah yang membludak ke Jakarta, MKRI pimpinan Ratna Sarumpaet dan Adi
Massardi dan atau gerakan yang sejenis, juga merasa jadi wakil rakyat. Amboi,
rakyat telah menjadi dogma dan alibi. Di zaman Orde Baru, kemiskinan rakyat
menjadi komoditas mahal untuk menjual Indonesia ke rezim Moneter Internasional
dan saat ini pun, rakyat masih tetap menjadi komoditas politik yang siap dibeli
politisi dengan harga murah, terutama menjelang pemilihan umum.
Nasib
rakyat memang sedang terpuruk, dan karena itu janganlah mereka dibela dengan
cara berjudi di kasino politik, karena ratusan juta rakyat ini meteskan
keringatnya setiap hari hanya untuk menyambung hidupnya. Masalahnya, apakah
tetesan keringat rakyat itu menjadi penyemangat para wakil rakyat untuk
membelanya ataukah menjadi minuman segar dan ataukah menjadi minuman arak yang
memabukkan wakil rakyat kita yang pada akhirnya lupa pada rakyatnya sendiri?
Entahlah. Tetapi yang jelas kata Wak Camet, dalam ketidaksadaran itu, mereka
masih tetap mengingat dan melafalkan, rakyat…rakyat…rakyat.
Suara
rakyat adalah suara Tuhan, jelas Aristoteles (Filosof Yunani). Suara rakyat
adalah inti dari demokrasi. Mengapa suara rakyat identic dengan suara Tuhan?
Sebab rakyat dimana pun di dunia ini, tidak mau diseret oleh gelombang
kekuasaan, ungkap Lukman Hakiem (2001). Rakyat selalu mendendangkan syair
kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, kesahabatan, kebersamaan, keadilan, cinta
dan kasih sayang. Suatu dendang lagu yang bisa menusuk jantung langit ketuhanan
(barangkali tidak jantung wakil rakyat) yang bersembunyi di balik seragam mewah
dan tumpukan map-map itu. Lagu-lagu rakyat adalah tentang keprihatinan terhadap
wakil rakyat yang atas nama aturan dan anggaran bisa meniadakan suara-suara
rakyatnya. Jadinya, mereka tetap saja melakukan pelesiran ke Eropa sekedar
untuk tahu tentang santet dan atau perdukunan. Namun demikian, mereka tetap
beralasan demi kebaikan rakyat.
Demokrasi
memang menempatkan rakyat sebagai komponen penting dalam proses dan
praktik-praktiknya. Rakyat lah yang memiliki hak dan kewajiban untuk melibatkan
dan tidak melibatkan diri dalam semua urusan politik, termasuk dalam menilai kebijakan
Negara. Karena itu, Negara yang menganut system demokrasi adalah Negara yang
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat (Affan Gaffar, 2002).
Negara dan pemerintahan di tangan rakyat mengandung bahwa “government of the people; government by the people; government for the
people”.
Pemerintahan
dari rakyat (government of the people) bermakna bahwa suatu pemerintahan yang
sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas
rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Legitimasi rakyat menjadi
modal pemerintah dalam menjalankan roda birokrasi dan program-programnya
sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Termakzulkannya
Aceng M. Fikri sebagai bupati Garut Jawa Barat oleh masyarakat melalui rapat
paripurna DPRD menjadi bukti bahwa rakyat berdaulat dan rakyat menginginkannya
berhenti. Kalau dikonraskan dengan hasil Pemilihan Umum Gubernur Sumatera Utara
yang angka golputnya mencapai angka 51,50%, bisakah pemerintahannya
dikatagorikan legitimate? Biarkan sejarah dan masyarakat sendiri yang akan
menjawabnya.
Pemerintahan
oleh rakyat (government by the people)
bermakna suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan
atas dorongan pribadi dan golongan. Kursi pemerintahan itu “amanah
kekhalifahan, amanah kebangsaan dan amanah keummatan” karena itu raihlah
kekuasaan itu bukan karena anda ingin meraihnya tetapi karena sangat takut
dengan amanah Allah itu, kata KH Mustofa Bisri. Raihlah kekuasaan itu dengan
hati yang penuh gemetar, dengan air mata Abu Bakar, dan dengan panggilan
sejarah bangsa Mesir terhadap Yusuf Alaihissalam. Siapa pemimpin yang mampu
mengemban amanah rakyat = amanah katuhanan.
Pemerintahan
untuk rakyat (government for the people)
bermakna bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah Presiden,
Gubernur, Bupati dan Walikota) harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan rakyat umum (bukan golongan) harus dijadikan landasan utama
kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis. Jika tidak, maka rakyat berhak
memberikan hukuman dengan tidak memilihnya kembali pada pemilihan umum
mendatang. Sebenarnya, rakyat sudah memberikan hukuman dengan tidak menyalurkan
hak pilihnya (golput) pada beberapa Pemilukada yang telah berlangsung, seperti
di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Gesture
atau fenomena politik apa yang dapat dibaca dari beberapa hasil pemilukada
tersebut? Satu diantaranya adalah suara masyarakat semakin mahal dalam pasar
bursa efek politik kita. Rakyat sudah semakin kritis dan rasional akan hak-hak
politiknya, karena itu dapat mengancam proses dan pelaksanaan pemilihan umum
mendatang. Bayangkan saja, kalau rakyat tidak mau datang ke TPS yang sudah
disediakan, bisa jadi pemilu akan gagal. Sekarang ini, rakyat sudah menganggap
legislative maupun eksekutif sudah tidak mau lagi memperjuangkan rakyat yang
memilihnya, karenanya untuk apa memilihnya dan biarkan mereka memilih dirinya
sendiri. Golput menjadi bentuk apatisme rakyat terhadap pemilu, maka bersiaplah
mengantisipasi segala kemungkinan reaksi rakyat yang masih tetap bersabar.
Suara
rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat sampai saat ini hanya bisa berdendang
lagu-lagu bertemakan kesejahteraan, kebersamaan, keadilan, kasih sayang dan
cinta kasih. Siapa pun (apakah politisi, LSM, Ormas) yang mengamini dendangan
lahu-lagu rakyat itu pastilah itu suara rakyat. Dan siapa pun saat ini, dapat
dan boleh mengatas namakan rakyat, apakah dengan maksud memanipulasi rakyat
atau untuk kepentingan golongannya biasa saja dan rakyat tidak marah. Tetapi
tidak bisa selamanya karena rakyat akhirnya akan sadar sendiri dan dengan
rasional dan kritis mereka sedang menuju puncak kedaulatan rakyat yang hakiki (peoples power). Pada aras ini, Tuhan pasti
akan berpihak pada rakyat yang hakiki. Kedaulatan rakyat dan keberpihakan Tuhan
bisa menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengguncang kekuatan elit (elite power) yang tidak berpihak pada
rakyat dan korup.
Dalam
suasana batin rakyat seperti itu, rakyat hanya butuh pada Tuhan. Suara rakyat
sudah melebur menjadi suara Tuhan. Tuhan bersama rakyat. Tuhan tidak bersama
pecundang, kata Lukman Hakiem. Tuhan tidak bersama pialang keringat rakyat dan
tidak bersama mereka yang menjual agama demi sekantong uang dari sumber yang
tidak jelas. Tuhan bersama rakyat bukan karena rakyat kehilangan kesabarannya,
tetapi kesabaran rakyat itulah yang ditopang Tuhan. Suara rakyat adalah suara
Tuhan dan kini suara-suara itu telah menyatu dalam people power yang akan mengguncang langit perpolitikan yang
terhijab nafsu kekuasaan.
Di tahun politik
sekarang ini, sewajarnya elite politik mulai mawas diri dan mulai berdialog
dengan suara lirih rakyat yang selalu ditiadakannya. Siapa yang butuh suara
rakyat, tanya Wak Camet. Rakyatkah atau para budak kekuasaan yang masih belum
sadarkan diri karena meminum keringat rakyat, atau siapa? Kita sebagai rakyat
sudah cerdas untuk menilainya dan yang pasti bahwa perbaikan menuju tata
kehidupan bangsa dan Negara yang baik menjadi impian bersama.
Karena
itu, tidak ada salahnya kita (elit politik dan rakyat) berguru ilmu kuasa pada
Anbiya Allah, Khulafa ar-Rasyidien dan pada pemimpin yang adil. Jika demikian,
maka people power bisa menjadi pemicu untuk mendorong kepada kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik di bawah naungan kasih sayang Tuhan. Inilah
suara rakyat adalah suara Tuhan yang sejati. People power tidak dimaksudkan
untuk merusak tatanan yang sudah mapan. Semoga Tuhan meridhoinya.
Wallahul
Muwafiq ila Darissalam. 16042013.10.59.
0 komentar:
Posting Komentar