Intelektual Muslim merespon tudingan tentang posisi ummat Islam yang tidak menggembirakan dibandingkan dengan ummat beragama lain. Beberapa orientalis menilai bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang terbelakang dan tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan budaya sains modern. Mereka beranggapan bahwa Islam lebih menekankan faham fatalisme berorientasi pada masa lalu ketimbang masa depan serta tidak membangkitkan gairah untuk eksplorasi dan inovasi. Daniel Lerner (Sosiolog Barat) menyatakan bahwa "Islam is absolutely defenseless against modernization".
Terhadap anggapan tersebut ada tiga respons dan solusi dari kalangan intelektual Muslim terhadap kenyataan keterbelakangan ummat Islam masa kini. Secara garis besar dapat dikatagorikan sebagai berikut:
Pertama, kelompok restorasionis yang berusaha untuk mengembalikan versi ideal masa lalu Islam. Mereka menilai kegagalan dan keterbelakangan ummat Islam adalah akibat penyimpangan dari ajaran yang telah digariskan Islam. Sains Barat adalah racun yang menggerogoti nilai-nilai spiritual Islam. Untuk itu perang harus dilancarkan terhadap dasar-dasar metode pemikiran saintifik modern yang sekular.
Maryam Jameelah, seorang Yahudi Amerika yang kemudian memeluk Islam, menggambarkan alur pemikiran kelompok ini. Ia menegaskan "Modern science is guided by no moral value but naked materialism and arrogance. The whole branch of knowledge and its applicatiln is contaminated by the same evil".
Abul A'la Al-Maududi (guru Maryam Jameelah) bisa dikatagorikan dalam kelompok ini yang mengajak ummat Islam untuk mentransformasikan pendidikan sekular kepada pendidikan Islami. Pada tahun 1991 kelompok ini berhasil menetapkan Syariat Bill di Pakistan.
Kedua, kelompok rekosntruksionis yang cendrung memberikan interpretasi baru dalam memahami ajaran Islam. Kelompok ini berusaha mengadakan rekonsiliasi antara kebutuhan peradaban modern dengan ajaran Islam tradisional. Kelompok ini menilai bahwa pada periode formatifnya Islam telah menunjukkan sikap revolusioner, progresif, dan rasional. Islam telah meletakkan dasar-dasar kokoh untuk pencapaian supremasi intelektual. Namun akibat penyimpangan-penyimpangan, yang khususnya dalam pengekangan pemikiran kreatif, ditutupnya pintu ijtihad, diutamakannya interpretasi teks secara literal, dan ditetalkannya empat mazhab untuk diikuti. Akibatnya ummat Islam mengalami kemerosotan intelektual yang masih dirasakan sampai sekarang.
Ketiga, kelompok pragmatis yang merupakan the silent majority dari ummat Islam. Kelompok ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya tidak ada konflik antara Islam dan modernitas. Pemikiran ini dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Namun mereka tidak membuka pintu untuk berpolemik tentang hubungan Islam dengan sains sekular. Bagi mereka, sains dan masa depan kemanusiaan sangat erat kaitannya. Sains yang ditolang oleh prinsil-pronsip moral universal adalah landasan kokoh bagi kelangsungan manusia yang beradab di atas permukaan bumi.
Dari tiga respons di atas, tampaknya tren restorasionis sedang tampak aktif dewasa ini dan sedikit demi sedikit meluas dan berusaha untuk merangkul kelompok pragmatis yang merupakan mayoritas ummat Islam. Indonesia yang secara sosial budaya sangat heterogen diharapkan mempunyai versi tersendiri dalam menghadapi krisis yang melanda ummat Islam kekinian.
Dalam konteks ini, Dr. Alwi Shihab memandang perlu untuk menelusuri kembali landasan teologis bagi penerapan ajaran-ajaran Islam yang bersifat partikular yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Hal ini penting untuk dikaji bersama dalam rangka kebijaksanaan kita mengejar kertertinggalan dalam bidang sanis danbteknologi, kata Alwi Shihab (waq yar)
0 komentar:
Posting Komentar