Rabu, 08 Januari 2014

MENCERABUT AKAR TERORISME

Awal tahun 2014, Densus 88 Mabes Polri memberi kado spesial dengan melipat komplotan teroris yang disinyalir di bawah komando Abu Roban. Komplotan teroris di kepung di sebuah rumah kontrakan di Ciputat, Tengerang Selatan, Banten. Ada 6 orang yang berhasil ditembak oleh Densus 88 Mabes Polri. Terungkapnya komplotan teroris itu menjadi indikator bahwa terorisme masih menjadi ancaman serius dan perlu penanganan serius dari aparat keamanan.

Rasanya, sangat sulit untuk memberantas teroris sampai ke akarnya. Dari data yang ada, terdapat sekitar 200 orang yang sudah mendapat pelatihan khusus, sudah di bai'ah dan siap untuk berjihad. Saat ini mereka tersebar di beberapa daerah yang masih belum bisa terlacak keberadaannya. Juga terdapat 30.000 orang yang punya potensi untuk mendapatkan pelatihan. Kalau data ini benar berarti teroris masih menjadi ancaman bagi keamanan dan ketentraman Indonesia. Karena itu, Indonesia bisa dikatagorikan sebagai zona merah tumbuh dann berkembangnya teroris.


Teror yang terjadi selama ini lebih mengacu kepada bentuk perlawanan terhadap Polisi, lebih khusus lagi perlawanan terhadap Densus 88 Mabes Polri. Perlawanan teroris itu bukan lagi bentuk perlawanan terhadap negara yang dianggap thogut tetapi mengarah kepada bentuk balas dendam terhadap Polisi karena pembunuhan terhadap sanak keluarganya. Diakhir hayat, para teroris selalu mengatakan "lanjutkan perjuangan sampai akhir hayat".

Dalam konteks kesejarahan, teroris muncul sebagai bentuk perlawanan terselubung terhadap kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang tidak berpihak kepadanya. Kemiskinan yang tidak pernah akan berakhir, sepertinya dapat menjadi pemicu gerakan mereka lalu dipoles dengan keagamaan atau ideologi, maka menjelma menjadi gerakan jihad, siap mati demi syurga yang dijanjikan para pemimpin mereka. Model kaderisasi dan pelatihan mereka sangat rapi buktinya dapat melahirkan manusia militan yang siap mengurbankan nyawanya demi perjuangannya.

Hanya saja, tempat pergerakan mereka seakan terkonsentrasi di sekitar daerah Banten, Temanggung, Solo, dan Nusa Tenggara Barat termasuk dalam zona merah berkembangnya teroris di Indonesia. Tentu, sebagai warga Gumi Gora harus selalu waspada, apalagi pertengahan tahun 2013 lalu Densus 88 Mabes Polri telah menangkap komplotan teroris di kabupaten Bima, NTB. Memang, sebagai daerah yang kuat agamanya, NTB sangat memungkinkan sebagai basis pengkaderan dan pelatihan generasi teroris.

Embrio teroris dimulai dari sesuatu hal yang kecil dengan mengajak orang lain melawan orang, kelompok dan bahkan negara. Dalam konteks, negara yang menganut asas demokrasi pancasila yang menghargai kebhenekaan atau bhenekantunggal ika, maka teroris layak di hukum mati. Mengapa? Karena seharusnya internalisasi nilai-nilai kebhenekaan menjadi program utama untuk melahirkan manusia Indonesia yang pancasilais, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai kasih sayang di antara sesama. Bukannya saling benci dan menebar permusuhan antar sesama dan bahkan kebencian sesama ummat beragama.

Untuk mencerabut akar teroris di negeri Indonesia ini, maka perlu penanganan serius dan program pemerintah bersinergi dengan masyarakat untuk melakukan deradikalisasi. Hanya saja, sering terjadi kontra produktif terhadap penanganan teroris dengan kekerasan, sebagaimana disinyalir oleh penggiat HAM. Mungkinkah, penanganan teroris dilakukan dengan nir-kekerasan, sebagaimana Mahatma Gandhi telah melakukannya di India. Para keluarga kurban seringkali protes terhadap Densus 88 yang memperlakukan tersangka teroris seperti binatang. Teroris juga manusia yang harus dihargai kemanusiaannya.

Untuk mempersempit ruang gerak teroris, diperlukan keterpaduan antara pemerintah dan masyarakat. Dimulai dengan sesuatu hal yang kecil dari lingkup RT dengan mendata warga yang keluar masuk di lingkungannya masing-masing. Juga, warga masyarakat harus peka terhadap lingkungannya, siapa dan apa yang dilakukan warga masyarakat atau tetangganya. Bila saja, hal itu bisa dilakukan maka itulah sumbangsih masyarakat untuk mempersempit ruang gerak teroris. Saya yakin, semua orang bisa melakukannya.

Secara terstruktur dan terprogram Kementrian Agama harus melakukan internalisasi nilai-nilai agama yang santun, ramah, saling menghargai antar sesama. Pembinaan ummat oleh kementrian agama pada setiap tingkatannya perlu dilakukan terstruktur dan terprogram dengan melibatkan semua tokoh agama dan pesantren. Jika mungkin, di pesantren dimasukkan ke kurikulum menjadi mata pelajaran anti teroris. Hal ini penting dilakukan agar para santri tidak terjebak ke dalam ekslusivism kaku dan sempit sehingga mudah mengkafirkan serta menghalalkan darahnya.

Kesungguhan pemerintah untuk memberantas teroris sampai ke akar-akarnya menjadi kebutuhan bersama demi lahirnya penganut agama yang santun dan menghargai agamanya sendiri. Sebagai masyarakat yang mendambakan ketentraman dan keamanan maka masyarakat wajib menuntut keseriusan pemerintah untuk memberantas teroris. Tetapi tidak berarti masyarakat berpangku tangan menanti tanpa berbuat apapun. Dengan kebersamaan dan sinerginitas masyarakat dan pemerintah semua bisa dilakukan, termasuk pemberantasan teroris. Semoga.

Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Kediri, 02012014.16.41


0 komentar: