Awal
tahun 2014, Densus 88 Mabes Polri memberi kado spesial dengan melipat
komplotan teroris yang disinyalir di bawah komando Abu Roban. Komplotan
teroris di kepung di sebuah rumah kontrakan di Ciputat, Tengerang
Selatan, Banten. Ada 6 orang yang berhasil ditembak oleh Densus 88 Mabes
Polri. Terungkapnya komplotan teroris itu menjadi indikator bahwa
terorisme masih menjadi ancaman serius dan perlu penanganan serius dari aparat keamanan.
Rasanya, sangat sulit untuk memberantas teroris sampai ke akarnya. Dari
data yang ada, terdapat sekitar 200 orang yang sudah mendapat pelatihan
khusus, sudah di bai'ah dan siap untuk berjihad. Saat ini mereka
tersebar di beberapa daerah yang masih belum bisa terlacak
keberadaannya. Juga terdapat 30.000 orang yang punya potensi untuk
mendapatkan pelatihan. Kalau data ini benar berarti teroris masih
menjadi ancaman bagi keamanan dan ketentraman Indonesia. Karena itu,
Indonesia bisa dikatagorikan sebagai zona merah tumbuh dann
berkembangnya teroris.
Teror yang terjadi selama ini lebih
mengacu kepada bentuk perlawanan terhadap Polisi, lebih khusus lagi
perlawanan terhadap Densus 88 Mabes Polri. Perlawanan teroris itu bukan
lagi bentuk perlawanan terhadap negara yang dianggap thogut tetapi
mengarah kepada bentuk balas dendam terhadap Polisi karena pembunuhan
terhadap sanak keluarganya. Diakhir hayat, para teroris selalu
mengatakan "lanjutkan perjuangan sampai akhir hayat".
Dalam
konteks kesejarahan, teroris muncul sebagai bentuk perlawanan
terselubung terhadap kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang
tidak berpihak kepadanya. Kemiskinan yang tidak pernah akan berakhir,
sepertinya dapat menjadi pemicu gerakan mereka lalu dipoles dengan
keagamaan atau ideologi, maka menjelma menjadi gerakan jihad, siap mati
demi syurga yang dijanjikan para pemimpin mereka. Model kaderisasi dan
pelatihan mereka sangat rapi buktinya dapat melahirkan manusia militan
yang siap mengurbankan nyawanya demi perjuangannya.
Hanya
saja, tempat pergerakan mereka seakan terkonsentrasi di sekitar daerah
Banten, Temanggung, Solo, dan Nusa Tenggara Barat termasuk dalam zona
merah berkembangnya teroris di Indonesia. Tentu, sebagai warga Gumi Gora
harus selalu waspada, apalagi pertengahan tahun 2013 lalu Densus 88
Mabes Polri telah menangkap komplotan teroris di kabupaten Bima, NTB.
Memang, sebagai daerah yang kuat agamanya, NTB sangat memungkinkan
sebagai basis pengkaderan dan pelatihan generasi teroris.
Embrio teroris dimulai dari sesuatu hal yang kecil dengan mengajak orang
lain melawan orang, kelompok dan bahkan negara. Dalam konteks, negara
yang menganut asas demokrasi pancasila yang menghargai kebhenekaan atau
bhenekantunggal ika, maka teroris layak di hukum mati. Mengapa? Karena
seharusnya internalisasi nilai-nilai kebhenekaan menjadi program utama
untuk melahirkan manusia Indonesia yang pancasilais, menghargai
perbedaan dan mengamalkan nilai kasih sayang di antara sesama. Bukannya
saling benci dan menebar permusuhan antar sesama dan bahkan kebencian
sesama ummat beragama.
Untuk mencerabut akar teroris di negeri
Indonesia ini, maka perlu penanganan serius dan program pemerintah
bersinergi dengan masyarakat untuk melakukan deradikalisasi. Hanya saja,
sering terjadi kontra produktif terhadap penanganan teroris dengan
kekerasan, sebagaimana disinyalir oleh penggiat HAM. Mungkinkah,
penanganan teroris dilakukan dengan nir-kekerasan, sebagaimana Mahatma
Gandhi telah melakukannya di India. Para keluarga kurban seringkali
protes terhadap Densus 88 yang memperlakukan tersangka teroris seperti
binatang. Teroris juga manusia yang harus dihargai kemanusiaannya.
Untuk mempersempit ruang gerak teroris, diperlukan keterpaduan antara
pemerintah dan masyarakat. Dimulai dengan sesuatu hal yang kecil dari
lingkup RT dengan mendata warga yang keluar masuk di lingkungannya
masing-masing. Juga, warga masyarakat harus peka terhadap lingkungannya,
siapa dan apa yang dilakukan warga masyarakat atau tetangganya. Bila
saja, hal itu bisa dilakukan maka itulah sumbangsih masyarakat untuk
mempersempit ruang gerak teroris. Saya yakin, semua orang bisa
melakukannya.
Secara terstruktur dan terprogram Kementrian
Agama harus melakukan internalisasi nilai-nilai agama yang santun,
ramah, saling menghargai antar sesama. Pembinaan ummat oleh kementrian
agama pada setiap tingkatannya perlu dilakukan terstruktur dan
terprogram dengan melibatkan semua tokoh agama dan pesantren. Jika
mungkin, di pesantren dimasukkan ke kurikulum menjadi mata pelajaran
anti teroris. Hal ini penting dilakukan agar para santri tidak terjebak
ke dalam ekslusivism kaku dan sempit sehingga mudah mengkafirkan serta
menghalalkan darahnya.
Kesungguhan pemerintah untuk memberantas
teroris sampai ke akar-akarnya menjadi kebutuhan bersama demi lahirnya
penganut agama yang santun dan menghargai agamanya sendiri. Sebagai
masyarakat yang mendambakan ketentraman dan keamanan maka masyarakat
wajib menuntut keseriusan pemerintah untuk memberantas teroris. Tetapi
tidak berarti masyarakat berpangku tangan menanti tanpa berbuat apapun.
Dengan kebersamaan dan sinerginitas masyarakat dan pemerintah semua bisa
dilakukan, termasuk pemberantasan teroris. Semoga.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam.
Kediri, 02012014.16.41
Rabu, 08 Januari 2014
MENCERABUT AKAR TERORISME
22.53
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar