Dalam
konteks sejarah pemilu, pelaksana pemilu 2014 mendapatkan nilai rapor
paling banyak merahnya. Kalau pengamat pernah menjustifikasi bahwa
pemilu 1999 lalu merupakan pelaksanaan pemilu paling jelek bila
dibandingkan dengan pemilu yang pernah ada di Indonesia. Namun kini
pernyataan itu batal dengan munculnya faktisitas baru bahwa pelaksanaan
pemilu 2014 ternyata tidak lebih baik
dari pemilu sebelumnya. Mungkin kita bisa berbeda pendapat dalam hal ini
tetapi fakta-fakta yang berserakan membuktikan bahwa banyak tahapan dan
data-data kepemiluan yang tidak valid, seperti DPT dan penghitungan
suara yang banyak di ulang.
Carut marutnya pelaksanaan pemilu
kali ini, memang tidak semata-mata dilimpahkan kesalahan kepada
pelaksana pemilu (KPU dan Bawaslu), partai politik juga harus
bertanggung jawab karena sebagai user sering nakal juga, terutama tidak
mampu mengontrol perilaku para calegnya. Belum lagi integritas para
penyelenggara pemilu di tingkat bawah atau KPPS yang bermain mata dengan
para caleg dari partai politik. Buktinya tidak sedikit dari mereka yang
menggelembungkan suara caleg tertentu dan atau pembiaran terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh para caleg. Terponisnya 2 tahun 5 bulan
terhadap beberapa Ketua KPPS dan salah seorang Ketua KPU kabupaten yang
sudah dijadikan tersangka karena terindikasi menguntungkan caleg
tertentu.
Kasus-kasus banyaknya pemungutan suara ulang (PSU)
menambah rapor merah penyelenggara pemilu. PSU di puluhan ribu TPS di
sebagian besar wilayah Indonesia menambah bukti penyelenggara pemilu
tidak professional. Belum lagi berkaitan dengan DPT yang masih
dipersoalkan sampai saat ini dan money politik atau jual beli suara yang
sengaja dilakukan oleh para caleg demi kuasa yang citakannya. dalam
konteks tindak pidana pemilu money politik tergolong dalam tindak pidana
pemilu. Mungkin semua sepakat dengan marwah undang-undang pemilu
tersebut, tetapi masalahnya walaupun Bawaslu melihat money politik dan
jual beli suara di depan matanya tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa
dilakukan Bawaslu hanya menunggu laporan dari masyarakat dan kalau tidak
ada yang melapor berarti tidak ada kecurangan.
Tetapi kini
semua bentuk kecurangan tersebut mulai satu persatu diuraikan oleh para
caleg yang gagal. Kalau selama ini, kata Ahmad Yani (PPP) begitu dahsyat
dan jitunya serangan subuh untuk memenangkan caleg atau parpol
tertentu, tetapi pada pemilu 2014 serangan dhuha ternyata lebih dahsyat
dengan menusuk jantung para penyelenggara pemilu. Namun hemat saya,
memang betul terjadi banyak kasus yang mewarnai penyelenggaraan pemilu
tetapi semua itu saling terkait satu sama lainnya (KPU, Bawaslu, Partai
Politik) dan masyarakat hanya sebagai kurban dari curat marutnya drama
politik di negeri katulistiwa ini.
Kesemua kasus yang terjadi
sepanjang proses pelaksanaan pemilu yang kini ujungnya berada pada tahap
pleno di KPU RI. Sayangnya, ada kelaziman yang dilakukan oleh KPU yakni
perilaku senang menunda-nunda suatu keputusan dari batas akhir yang
sudah ditetapkannya sendiri. Terus terang saya sangat khawatir tentang
batas akhir tanggal 9 Mei 2014 sebagai puncak dari pileg legislatif bisa
tercapai karena perilaku menunda-menunda putusan dari komisioner.
Penundaan penetapan hasil pileg beberapa provinsi menjadi bukti terkini
yang membenarkan perilaku tersebut. Penundaan tersebut menurut anggota
KPU Arief Budiman akibat dari PSU di banyak daerah sehingga berakibat
pada penetapan di tingkat pusat.
Apapun alasannya, seharusnya
kasus semacam itu dapat diantisipasi penyelenggara pemilu sejak awal.
Akibat PSU itu masyarakat memberikan catatan merah sejarah pemilu di
tanah air. Dengan demikian, kualitas pemilu belum baik. Kualitas hasil
pemilu yang pertama sebenarnya lebih genuine dibandingkan PSU kata
Firman Noor, pengamat Politik LIPI. Hal ini, menunjukkan tingkat masalah
beragam dan kompleks.
Kasus PSU di Sampang memiliki karakter
yang berbeda. KPU seharusnya dapat memahami karakter masyarakat Sampang
dan pendekatan perlu dibangun. Tidak elok jika KPU menilai kasus seperti
itu berdasarkan persentase, ini menurunkan kualitas demokrasi (HN,
Selasa, 29 April 2014). Masyarakat Sampang sebanyak 4.169 orang yang
menolak PSU dan terdaftar di DPT pada 17 TPS. Sebenarnya, penolakan itu
sudah bisa terdeteksi saat PSU pertama digelar tanggal 19 April 2014.
Penolakan PSU warga Sampang itu menyangkut harga diri. Warga Sampang
berpandangan jika PSU digelar kembali sama artinya dengan mereka
melakukan kesalahan.
Dugaan alasan pelanggaran yang membuat PSU
di beberapa daerah memang patut diapresiasi. Hal ini membuktikan bahwa
pengawas pemilu punya nyali untuk menindak lanjuti laporan yang
diberikan masyarakat atas berbagai pelanggaran yang dimungkinkan
terjadi, termasuk kasus PSU Sampang. Namun permasalahannya terletak pada
kuantitas kehadiran para pemilih. Artinya pemilih yang hadir tidak
sesuai terget atau kehadiran pemilih tidak lebih dari 40 orang dari 420
orang di setiap TSP yang melaksanakan PSU.
Rapor merah sejarah
pemilu (Penyelenggara Pemilu), tidak hanya menyangkut tahapan yang
sering tertunda, DPT yang masih bermasalah, dan ketidakmampuan dalam
mendeteksi awal kecurangan sehingga PSU terpaksa dilakukan. Tetapi rapor
merah juga diberikan karena ketidakmampuan memahami karakter masyarakat
yang pluralistik sehingga pendekatan-pendekatan tidak bisa terbangun.
Penolakan masyarakat untuk PSU menjadi wajar sebab mereka sudah merasa
telah memberikan hak suaranya dengan benar. Kalau mau diulang hal itu
sama saja dengan kami telah melakukan kesalahan. Kami yang salah atau
penyelenggara pemilu yang tidak tahan ditekan atau diteror oleh para
caleg yang kalah. Oleh karena itu, wajar kami menolak PSU.
Dengan demikian, rapor merah penyelenggara pemilu sebenarnya tidak ada
kaitannya dengan masyarakat pemilih. Dari berbagai kasus yang terjadi
seharusnya partai politik (caleg) juga ikut bertanggung jawab karena
mereka juga yang membuat suasana politik menjadi seperti ini. Money
politik dan bagi-bagi uang khan dilakukan oleh para caleg. Hal itu itu
akibat minimnya pendidikan politik yang caleg terima dari partai
politiknya. Masyarakat hanya memberikan hak suaranya dan kisruh bisa
dikatakan sebagai akibat dari perilaku para caleg yang tidak bertanggung
jawab. Rapor merah satu sisi milik para penyelenggara pemilu (KPU dan
Bawaslu) serta Partai Politik. Sementara harga diri menjadi milik
masyarakat yang sudah mulai kritis akibat telah lamanya terombang ambing
oleh ulah mereka. Biarlah semua itu menjadi catatan merah sejarah
pemilu Indonesia, tetapi masyarakat pemilih tidak bisa dipersalahkan
sebab memilih adalah "hak", bukan kewajiban.
Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, 30 April 2014. 06.42.45.
Rabu, 07 Mei 2014
RAPOR MERAH KPU DAN HARGA DIRI PEMILIH
01.00
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar