Rabu, 12 Februari 2014

PERILAKU POLITIK JAILANGKUNG

Terkadang, rakyat yang tinggal di pedesaan seringkali dibuat bingung oleh kemunculan orang asing yang tiba-tiba seperti Jailangkung. Kemunculannya tanpa diundang dan kepergiannya pun seringkali tanpa pamit. Kisah ini bukannya hayalan, tetapi sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh masyarakat pedesaan di beberapa daerah terpencil. Cerita itu mengalir bagaikan air bah yang melantahkan sendi kehidupan masyarakat desa bahkan sampai pertahanan terakhirnya.

Kira-kira itulah perilaku para caleg yang akan bertarung pada pemilu 9 April 2014 mendatang. Apapun akan mereka lakukan demi untuk dapat dikenal masyarakat pemilihnya di daerah pemilihan masing-masing. Perkenalan diri kepada masyarakat pemilih disebut sebagai sosialisasi dalam konteks Sosiologi Politik. Di tahun politik, pelbagai strategi, trik, intrik, dan janji politik absah dilakukan walaupun terkesan kurang memperhatikan etiket apalagi aturan yang termaktub dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang tata cara kampanye, khususnya zonasi pemasangan baliho dan alat peraga kampanye lainnya.


Politik itu persepsi atau pencitraan. Setidaknya itu pengertian paling sederhana dari politik. Pada aras ini, para kompetitor atau caleg berupaya untuk membangun citra terbaik tentang diri dan partai pengusungnya. Sehingga tidak heran bila di setiap sudut desa, pohon, dan tembok rumah penduduk sudah dipasangi baliho, penil dan stiker para caleg. Siapa yang memasang, dan kapan? Warga desa tidak ada yang tahu. Tiba-tiba alat peraga itu muncul di pagi hari dan keesokan harinya bisa hilang tanpa bekas tergantikan dengan alat peraga dari caleg lainnya.

Masyarakat seperti sudah maklum dengan muncul dan hilangnya alat peraga itu. Dan atau masyarakat tidak peduli akan hal itu, buktinya memang tidak pernah menjadi masalah. Di satu baliho, tampak foto caleg dengan pakaian kebesaran partainya, tetapi pada tangannya terpasang stiker caleg dari partai lain, sementara pada sisi lain juga terdapat stiker dari caleg lain dari partai lain lagi. Oh, kok bisa seperti itu, gumam ku dalam hati. Apakah itu simbol dari ketidak siapan para kompetitor untuk bersaing sehat atau bentuk ketidak berdayaan ekonomi caleg itu?

Lagi-lagi masyarakat tidak memperdulikan pelbagai alat peraga itu. Biarkan saja, apa untungnya bagiku. Toh, mau menang ataupun kalah nantinya, akan kembali ke mereka. Yang terpenting sekarang, apa yang akan di dapatkan dari mereka sekarang ini, kata Waq Kemot salah satu warga desa. Kalau tidak sekarang, ya kapan lagi.

Bagi caleg yang kaya, kondisi itu membuka jalan untuk melakukan praktik politik jual beli suara. Sementara bagi caleg yang kurang modal atau miskin bisa jadi malapetaka. Sementara bagi caleg idealis akan menganggapnya sebagai bentuk kegagalan partai politik melakukan pendidikan politik. Sedangkan bagi masyarakat sendiri dianggapnya sebagai suatu kewajaran karena kebiasaan yang mentradisi dari caleg. Maksudnya kalau sudah terpilih mereka akan sangat susah ditemui apalagi dimintai tolong, jelas Waq Kemot dengan lebih bersemangat.

Otokritik. Mungkin benar, dan mungkin juga salah kritik Waq Kemot itu. Masyarakat sendiri yang mengalaminya. Artinya, apa yang diharapkan masyarakat itu saat sekarang ini lahir dari proses panjang. Lahir dari suatu proses janji-janji politik yang tidak kunjung di tepati. Kalaupun di tepati, masyarakat harus menunggu lima tahun lagi, ketika akan menjadi calon kembali. Gombal. Dari pada begitu, lebih baik mendapatkan 100 ribu sekarang dari pada satu juta lima tahun mendatang. Siapa yang berani bayar? Itulah pilihanku. Pragmatis memang, tapi tidak salah dan tidak pula benar. Itulah fenomena politik menjelang pemilu 2014 mendatang.

Perilaku politik Jailangkung. Itulah yang saya maksudkan dengan perilaku politik Jailangkung. Perilaku menabrak aturan, pragmatis, dan jalan pintas. Pastinya, perilaku politik Jailangkung tidak akan membawa perubahan positip kepada clean and good governance atau tata kelola kepemerintahan yang bersih dan baik. Malahan akan terjerembab pada pada kubangan korupsi karena harus mengembalikan modal jual beli suara di awal. Sehingga akhirnya rakyat sendiri yang akan menanggung derita berkepanjangan.

Berangkat dari fenomena tersebut tanpaknya perilaku politik Jailangkung telah merasuki seluruh sendi kehidupan berbangsa. Tidak hanya caleg, tetapi masyarakat pun telah memberi ruang untuk melakukan praktik kotor jual beli suara atau money politik. Kalau sudah begini, susah sekali untuk mendudukan kembali demokrasi pada tataran normatifnya. Di butuhkan waktu berpuluh-puluh dan political will yang sungguh-sungguh dari penyelenggara negara dan rakyatnya. Tidak mudah memang. Atau kalau mau cepat, revolusi mungkin bisa menjadi alternatif. Mungkinkah?

Namun, yakinlah bahwa masih banyak caleg atau rakyat yang anti money politik untuk mendudukan seseorang menjadi wakilnya di legislatif. Dengan demikian, perilaku politik Jailangkung bukan menjadi keniscayaan di tahun politik, tetapi merupakan anomali politik yang harus dihindari demi terbangunnya kewibawaan dan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan baik. Kampanye anti politik uang atau koney politik harus lebih kencang disuarakan. Dan siapapun pelakunya, harus disanksi sesuai dengan hukuman tindak pidana pemilu.

Pada aras ini, peran Bawaslu untuk menegakkan pemilu yang bermartabat menjadi keniscayaan. Begitu pula dengan masyarakat harus berani mengawal penyelenggaraan pemilu yang jurdil untuk melahirkan wakil rakyat yang bertanggung jawab. Katakan "tidak" pada caleg yang mau membeli suara kita. Memilihlah dengan rasional berdasarkan visi, misi, dan programnya, tidak dengan uangnya. Oleh karena itu, meretas perilaku politik Jailangkung harus dihentikan sebagai prasyarat utamanya. Inilah tugas kita sebagai pemilih. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita mau memilih wakil rakyat yang bersih dan bertanggung jawab. Suara kita merupakan amanah bagi mereka. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) diharapkan juga untuk mengawal pemilu yang Jurdil (tidak malah terjebak ke perilaku yang sama). Semoga.

Tanak Beak, 12022014.08.47


0 komentar: