Terkadang,
rakyat yang tinggal di pedesaan seringkali dibuat bingung oleh
kemunculan orang asing yang tiba-tiba seperti Jailangkung. Kemunculannya
tanpa diundang dan kepergiannya pun seringkali tanpa pamit. Kisah ini
bukannya hayalan, tetapi sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh
masyarakat pedesaan di beberapa daerah terpencil. Cerita itu mengalir
bagaikan air bah yang melantahkan sendi kehidupan masyarakat desa bahkan sampai pertahanan terakhirnya.
Kira-kira itulah perilaku para caleg yang akan bertarung pada pemilu 9
April 2014 mendatang. Apapun akan mereka lakukan demi untuk dapat
dikenal masyarakat pemilihnya di daerah pemilihan masing-masing.
Perkenalan diri kepada masyarakat pemilih disebut sebagai sosialisasi
dalam konteks Sosiologi Politik. Di tahun politik, pelbagai strategi,
trik, intrik, dan janji politik absah dilakukan walaupun terkesan kurang
memperhatikan etiket apalagi aturan yang termaktub dalam PKPU Nomor 15
Tahun 2013 tentang tata cara kampanye, khususnya zonasi pemasangan
baliho dan alat peraga kampanye lainnya.
Politik itu persepsi
atau pencitraan. Setidaknya itu pengertian paling sederhana dari
politik. Pada aras ini, para kompetitor atau caleg berupaya untuk
membangun citra terbaik tentang diri dan partai pengusungnya. Sehingga
tidak heran bila di setiap sudut desa, pohon, dan tembok rumah penduduk
sudah dipasangi baliho, penil dan stiker para caleg. Siapa yang
memasang, dan kapan? Warga desa tidak ada yang tahu. Tiba-tiba alat
peraga itu muncul di pagi hari dan keesokan harinya bisa hilang tanpa
bekas tergantikan dengan alat peraga dari caleg lainnya.
Masyarakat seperti sudah maklum dengan muncul dan hilangnya alat peraga
itu. Dan atau masyarakat tidak peduli akan hal itu, buktinya memang
tidak pernah menjadi masalah. Di satu baliho, tampak foto caleg dengan
pakaian kebesaran partainya, tetapi pada tangannya terpasang stiker
caleg dari partai lain, sementara pada sisi lain juga terdapat stiker
dari caleg lain dari partai lain lagi. Oh, kok bisa seperti itu, gumam
ku dalam hati. Apakah itu simbol dari ketidak siapan para kompetitor
untuk bersaing sehat atau bentuk ketidak berdayaan ekonomi caleg itu?
Lagi-lagi masyarakat tidak memperdulikan pelbagai alat peraga itu.
Biarkan saja, apa untungnya bagiku. Toh, mau menang ataupun kalah
nantinya, akan kembali ke mereka. Yang terpenting sekarang, apa yang
akan di dapatkan dari mereka sekarang ini, kata Waq Kemot salah satu
warga desa. Kalau tidak sekarang, ya kapan lagi.
Bagi caleg
yang kaya, kondisi itu membuka jalan untuk melakukan praktik politik
jual beli suara. Sementara bagi caleg yang kurang modal atau miskin bisa
jadi malapetaka. Sementara bagi caleg idealis akan menganggapnya
sebagai bentuk kegagalan partai politik melakukan pendidikan politik.
Sedangkan bagi masyarakat sendiri dianggapnya sebagai suatu kewajaran
karena kebiasaan yang mentradisi dari caleg. Maksudnya kalau sudah
terpilih mereka akan sangat susah ditemui apalagi dimintai tolong, jelas
Waq Kemot dengan lebih bersemangat.
Otokritik. Mungkin benar,
dan mungkin juga salah kritik Waq Kemot itu. Masyarakat sendiri yang
mengalaminya. Artinya, apa yang diharapkan masyarakat itu saat sekarang
ini lahir dari proses panjang. Lahir dari suatu proses janji-janji
politik yang tidak kunjung di tepati. Kalaupun di tepati, masyarakat
harus menunggu lima tahun lagi, ketika akan menjadi calon kembali.
Gombal. Dari pada begitu, lebih baik mendapatkan 100 ribu sekarang dari
pada satu juta lima tahun mendatang. Siapa yang berani bayar? Itulah
pilihanku. Pragmatis memang, tapi tidak salah dan tidak pula benar.
Itulah fenomena politik menjelang pemilu 2014 mendatang.
Perilaku politik Jailangkung. Itulah yang saya maksudkan dengan perilaku
politik Jailangkung. Perilaku menabrak aturan, pragmatis, dan jalan
pintas. Pastinya, perilaku politik Jailangkung tidak akan membawa
perubahan positip kepada clean and good governance atau tata kelola
kepemerintahan yang bersih dan baik. Malahan akan terjerembab pada pada
kubangan korupsi karena harus mengembalikan modal jual beli suara di
awal. Sehingga akhirnya rakyat sendiri yang akan menanggung derita
berkepanjangan.
Berangkat dari fenomena tersebut tanpaknya
perilaku politik Jailangkung telah merasuki seluruh sendi kehidupan
berbangsa. Tidak hanya caleg, tetapi masyarakat pun telah memberi ruang
untuk melakukan praktik kotor jual beli suara atau money politik. Kalau
sudah begini, susah sekali untuk mendudukan kembali demokrasi pada
tataran normatifnya. Di butuhkan waktu berpuluh-puluh dan political
will yang sungguh-sungguh dari penyelenggara negara dan rakyatnya. Tidak
mudah memang. Atau kalau mau cepat, revolusi mungkin bisa menjadi
alternatif. Mungkinkah?
Namun, yakinlah bahwa masih banyak
caleg atau rakyat yang anti money politik untuk mendudukan seseorang
menjadi wakilnya di legislatif. Dengan demikian, perilaku politik
Jailangkung bukan menjadi keniscayaan di tahun politik, tetapi merupakan
anomali politik yang harus dihindari demi terbangunnya kewibawaan dan
tata kelola kepemerintahan yang bersih dan baik. Kampanye anti politik
uang atau koney politik harus lebih kencang disuarakan. Dan siapapun
pelakunya, harus disanksi sesuai dengan hukuman tindak pidana pemilu.
Pada aras ini, peran Bawaslu untuk menegakkan pemilu yang bermartabat
menjadi keniscayaan. Begitu pula dengan masyarakat harus berani mengawal
penyelenggaraan pemilu yang jurdil untuk melahirkan wakil rakyat yang
bertanggung jawab. Katakan "tidak" pada caleg yang mau membeli suara
kita. Memilihlah dengan rasional berdasarkan visi, misi, dan programnya,
tidak dengan uangnya. Oleh karena itu, meretas perilaku politik
Jailangkung harus dihentikan sebagai prasyarat utamanya. Inilah tugas
kita sebagai pemilih. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita mau memilih
wakil rakyat yang bersih dan bertanggung jawab. Suara kita merupakan
amanah bagi mereka. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) diharapkan
juga untuk mengawal pemilu yang Jurdil (tidak malah terjebak ke perilaku
yang sama). Semoga.
Tanak Beak, 12022014.08.47
Rabu, 12 Februari 2014
PERILAKU POLITIK JAILANGKUNG
00.14
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar