Saat
menulis tentang calon legislatif, saya teringat syair lagu Sasak yang
bercerita tentang semua orang ingin jadi Datu atau penguasa (entah
sebagai bupati, wali kota, gubernur, DPR, kepala desa, kepala dusun,
atau menjadi ketua RT). Sah-sah saja orang mau menjadi apapun asalkan
memiliki kompetensi. Inilah demokrasi, semua bisa menjadi apapun yang
diimpikan asalkan dipilih oleh masyarakat.
Tukang batu mele jari datu. Pengarat sampi mele jari datu. Tukang ojek
mele jari datu. Pengangkut geres mele jari datu. Preman mele jari datu.
Tukang sakap melen jari datu. Laguk sai jak pade pilek. Itulah gambar
keinginan masyarakat yang ingin menjadi datu atau penguasa.
Tentu tidak ada yang salah dari semua keinginan masyarakat tersebut di
atas. Malahan harus diapresiasi dengan baik karena hal itu berarti bahwa
masyarakat telah sadar dan melek politik. Keinginan pelbagai lapisan
masyarakat yang ingin mengundi nasib menjadi penguasa (baca DPR) berarti
pula pendidikan politik sudah sukses. Atau jangan-jangan semua
keinginan tersebut bentuk perlawanan dari mereka yang sudah bosan
dibohongi terus menerus.
Lihat saja faktanya. Tukang ojek
menjadi caleg. Pedagang bakso menjadi caleg. Pedagang angkringan menjadi
caleg. Penggembala sapi menjadi caleg. Kusir cidomo menjadi caleg. Guru
menjadi caleg. Bupati menjadi caleg. Gubernur, mentri, artis menjadi
caleg. Tokoh agama menjadi caleg, dan semua menjadi caleg. Sekali lagi
tidak ada yang salah dari semua keinginan masyarakat yang ingin menjadi
datu atau penguasa (DPR).
Dalam konteks demokrasi, keinginan
pelbagai komponen masyarakat menjadi caleg bukan fenomena baru tetapi
sudah berlangsung lama dan sudah lama dipraktikkan di negara-negara
demokrasi, seperti di AS. Tercatat beberapa aktor kawakan telah menjadi
gubernur di negara bagian di Amerika, sebut saja George Bush, Bill
Clinton, Silvestre. Di Indonesia sendiri sudah tercatat puluhan artis
menjadi anggota DPR, menjadi Gubernur, dan Bupati/wali kota.
Caleg sudah sangat variatif. Masyarakat pemilih juga sudah mempunyai
banyak pilihan untuk dipilih. Apakah masyarakat akan memilih artis,
tukang ojek, tokoh agama, pengembala sapi, tukang batu, tukang bakso
menjadi wakilnya di DPR. Entahlah masyarakat sendiri yang akan
menentukannya. Inilah inti demokrasi yang sesungguhnya.
Pada
sisi lain, semakin variatifnya para caleg itu tidak lepas dari
keberpihakan partai politik untuk mengakomodirnya. Caleg pemilu 2014
tidak saja didominasi oleh para politisi, artis semata, tetapi juga dari
lapisan masyarakat di grassroot, seperti tukang bakso, tukang ojek, dan
bahkan sampai penggembala sapi. Melihat dari sisi baiknya, tentu baik.
Lalu bagaimana dengan kualitas mereka jika terpilih menjadi anggota DPR?
Nah ini masalahnya. Yang sekarang saja wajah DPR kita sudah berada pada
titik nadir keburaman (untuk tidak mengatakan hitam). Tetapi entahlah.
Kualitas sepertinya menjadi permasalahan yang tidak terlalu penting di
negeri tercinta ini. Apakah hal ini kita akui atau tidak. Terserah saja.
Mari kita menjawab secara jujur dengan melibatkan hati nurani kita.
Namun yang pasti bahwa kita berharap bahwa kualitas DPR hasil pemilu
2014 akan lebih bermutu dan berkualitas.
Adakah harapan
tersebut akan menjadi kenyataan? Kita selaku pemilih yang akan
menentukannya, apa kita butuh kualitas wakil kita yang duduk di
legislatif atau tidak. Maksudnya memilihnya hanya untuk memenuhi selera
tanpa dasar yang logis. Kemungkinan itu bisa terjadi. Semoga saja,
semakin variatifnya para caleg pada pemilu 2014 melahirkan kualitas
legislatif yang diharapkan.
Kediri, 20012014.10.35
Sabtu, 01 Februari 2014
CALEG YANG SEMAKIN VARIATIF
20.41
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar