ICW
merilis hasil penelitiannya tentang peningkatan pemberantasan korupsi.
Pada tahun 2012 KPK telah menangani kasus sekitar 4.092 kasus korupsi
dan di tahun 2013 meningkat menjadi 5.721 kasus korupsi. Hanya sayang,
data itu tidak ditambah dengan data kasus tindak korupsi yang sedang
ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Sepertinya, usaha penyidikan tindak pidana korupsi
yang ditangani Kejaksaan Agung kalah pamor dengan lembaga
ekstra-ordinary ala KPK dalam menangani tindak pidana korupsi. Diakui
atau tidak itulah faktanya. KPK memang lembaga ekstra-ordinary dalam
penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam menjalankan
tugasnya, KPK terus menunjukkan powernya mengejar para koruptor.
Terakhir KPK berhasil memulangkan Anggoro Wijaya dari Cina tersangka
kasus SKRT di Kementrian Pertanian. Tidak hanya itu, di era kepemimpinan
Abraham Samad sebagai ketua KPK banyak pejabat pemerintahan, anggota
DPR, Politisi, dan bahkan Menteri aktip menjadi tersangka tindak pidana
korupsi. Belum lagi deretan kepala daerah yang mengalami nasib yang
sama.
Pada tahun 2012 setidaknya ada 34 orang kepala daerah
menjadi tersangka dan menjadi tahanan KPk. Di tahun 2013 meningkat
menjadi 35 orang kepala daerah yang ditahan KPK dan bisa jadi akan terus
meningkat pada tahun 2014 mendatang. Indikasinya sudah sangat jelas,
kita tunggu saja. Hal ini berarti peningkatan pemberantasan korupsi
terus mengalami peningkatan. Apakah hal itu menjadi indikator juga bahwa
tindak pidana korupsi terus menjelma mencari bentuk baru atau ada
kondisi yang memaksa kepala daerah harus melakukan tindak pidana
korupsi?
Yah mungkin saja, karena biaya politik pemilukada yang
dikeluarkan pasangan calon kepala daerah memang tidak sedikit.
Amisalnya saja, untuk membayar honor saksi per TPS saja pasangan calon
harus mengeluarkan dana sampai ratusan juta rupiah belum lagi pos
anggaran lainnya, seperti biaya kampanye, sosialisasi, dan lainnya.
Demokrasi memang membutuhkan biaya tinggi atau hight cost.
Namun, tidak hanya itu, sebab lain mengapa tindak pidana korupsi
terpaksa dilakukan? Bisa jadi karena persoalan mentalitas, tata kelola
pemerintaahan yang tidak bersih, kualitas perpolitikan yang rendah,
penegakan hukum lemah, dan alpanya DPR yang tidak menjalankan fungsi
melekatnya sebagai anggota yakni fungsi pengawasan atau controlling.
Biaya politik yang hight cost sangat mungkin menjadi pendorong tindak
pidana korupsi yang dilakukan pasangan kepala daerah. Maka logis saja
kalau setelah menjabat, mereka berupaya mengembalikan dananya untuk
biaya pemilu. Sepertinya susah akan dibantah logika itu, ditambah lagi
dengan masalah mentalitas anak bangsa yang merasa sangat nyaman
menduduki jabatannya, serta melupakan nasib rakyatnya demi sanak
keluarganya. Lihat saja nasib rakyat yang semakin melarat di tanah
penguasa dinasty, seperti Banten dan daerah lainnya yang berbau dinasty.
Efek rembesan dari hight cost politik dan dinasty politik ini adalah
hancurnya tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien yang mengarah
kepada amburadulnya birokrasi di daerah. Jabatan-jabatan karir birokrasi
di daerah semakin tidak jelas. Jabatan apapun digantungkan pada
"kedekatan dengan penguasa daerah". Aturan tentang karir jabatan
birokrasi dicampakkan begitu saja. "Sabda pandito Ratu atau akulah sang
penguasa", seakan menjadi aturan baku politik kekuasaan yang diterapkan
di era otonomi daerah.
Sehingga pada aras ini, si penguasa
daerah bisa berbuat apa saja, termasuk melakukan korupsi dengan sangat
sadar, dimulai dari merontokkan aturan-aturan penghalang serta
melantahkan tatanan birokrasi yang harusnya melayani masyarakat menjadi
birokrasi melayani penguasa atau raja-raja kecil di daerah.
Kalau sudah begini, penegakan hukum secara ekstra-ordinary mutlak
dilakukan demi mengurangi kesengsaraan rakyat yang semakin parah. Dengan
demikian, wacana hadirnya perwakilan KPK di daerah menjadi kebutuhan
yang mendesak demi meretas kekuasaan raja-raja kecil di daerah. Sudah
saatnya rakyat menyatu untuk memberikan pembelajaran bagi siapa saja
yang melakukan tindak pidana korupsi. Menyatu dalam artian membawa
laporan yang valid ke KPK tentang dugaan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara negara.
Kinerja KPK sangat baik,
sampai berani mempidanakan penyelenggara negara setingkat menteri,
kepala daerah, dan mungkin juga penyelenggara negara yang lebih tinggi
tingkatannya. Rakyat, sekali lagi harus memberi dukungan moral terhadap
kerja-kerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di semua
tingkatan penyelenggara negara.
Usulan menarik untuk meretas
kekuasaan raja-raja kecil di daerah dan demi mengembalikan wibawa
birokrasi di daerah adalah dengan mengkaji kemungkinan penerapan pilkada
asimetris, kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermasyah Djohan.
Pilkada asimetris maksudnya pilkada dilakukan tidak seragam, tergantung
dari kesiapan dan karakter daerah. Pilkada nantinya tidak serta merta
dilakukan secara langsung dipilih oleh rakyat, tetapi pada beberapa
daerah bisa dipilih oleh DPRD.
Bisa saja usulan Dirjen Otda
Djohan itu menjadi alternatif dalam kerangka penataan dan mengembalikan
wibawa birokrasi sehingga birokrasi kembali ke fungsi idealnya sebagai
pelayan masyarakat bukan pelayan kekuasaan. Semua kemungkinan alternatif
pemikiran untuk meretas benang kusut space tindak pidana korupsi di
daerah sangat mungkin diterapkan selama ada political will untuk
mensejahterakan rakyat.
Pada aras ini, peran rakyat menjadi
sangat penting untuk meretas tindak pidana korupsi di daerah. Kemiskinan
yang selama ini menyelimuti rakyat dapat menjadi pemicu untuk melakukan
gerakan peretasan itu. Kemiskinan bukan takdir yang harus didekap.
Kemiskinan harus dilawan karena kemiskinan itu memang sengaja diciptakan
oleh penguasa untuk dapat dijual demi prestise si penguasa. Dengan
demikian, kondisi yang diciptakan itu sangat dimungkinkana untuk
dimanfaatkan kembali demi kekuasaan dan materi yang berlebih.
Sinergi antara rakyat dengan KPK, serta penegak hukum lainnya menjadi
kata kunci meretas tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini. Dan
untuk memberikan efek jera, maka perlu diterapkan hukuman maksimal atau
hukuman mati bagi koruptor. Karena perilaku mereka lah rakyat menjadi
kurban dan terus terjebak dalam kubangan kemiskinan mutlak. Hukuman
maksimal menjadi kata kunci untuk meretas tindak pidana korupsi, dengan
tidak mengesampingkan ikhtiar penataan perpolitikan, dan penataan
birokrasi sebagai penopangnya. Sehingga tidak lagi ada alasan bahwa
"sorry Bro, aku terpaksa korupsi".
Wallahu a'lam bissawab.
Tanak Beak, 04022014.08.19
Selasa, 04 Februari 2014
SORRY BRO, AKU TERPAKSA KORUPSI
18.09
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar