Selasa, 04 Februari 2014

SORRY BRO, AKU TERPAKSA KORUPSI

ICW merilis hasil penelitiannya tentang peningkatan pemberantasan korupsi. Pada tahun 2012 KPK telah menangani kasus sekitar 4.092 kasus korupsi dan di tahun 2013 meningkat menjadi 5.721 kasus korupsi. Hanya sayang, data itu tidak ditambah dengan data kasus tindak korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Sepertinya, usaha penyidikan tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung kalah pamor dengan lembaga ekstra-ordinary ala KPK dalam menangani tindak pidana korupsi. Diakui atau tidak itulah faktanya. KPK memang lembaga ekstra-ordinary dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Dalam menjalankan tugasnya, KPK terus menunjukkan powernya mengejar para koruptor. Terakhir KPK berhasil memulangkan Anggoro Wijaya dari Cina tersangka kasus SKRT di Kementrian Pertanian. Tidak hanya itu, di era kepemimpinan Abraham Samad sebagai ketua KPK banyak pejabat pemerintahan, anggota DPR, Politisi, dan bahkan Menteri aktip menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Belum lagi deretan kepala daerah yang mengalami nasib yang sama.


Pada tahun 2012 setidaknya ada 34 orang kepala daerah menjadi tersangka dan menjadi tahanan KPk. Di tahun 2013 meningkat menjadi 35 orang kepala daerah yang ditahan KPK dan bisa jadi akan terus meningkat pada tahun 2014 mendatang. Indikasinya sudah sangat jelas, kita tunggu saja. Hal ini berarti peningkatan pemberantasan korupsi terus mengalami peningkatan. Apakah hal itu menjadi indikator juga bahwa tindak pidana korupsi terus menjelma mencari bentuk baru atau ada kondisi yang memaksa kepala daerah harus melakukan tindak pidana korupsi?

Yah mungkin saja, karena biaya politik pemilukada yang dikeluarkan pasangan calon kepala daerah memang tidak sedikit. Amisalnya saja, untuk membayar honor saksi per TPS saja pasangan calon harus mengeluarkan dana sampai ratusan juta rupiah belum lagi pos anggaran lainnya, seperti biaya kampanye, sosialisasi, dan lainnya. Demokrasi memang membutuhkan biaya tinggi atau hight cost.

Namun, tidak hanya itu, sebab lain mengapa tindak pidana korupsi terpaksa dilakukan? Bisa jadi karena persoalan mentalitas, tata kelola pemerintaahan yang tidak bersih, kualitas perpolitikan yang rendah, penegakan hukum lemah, dan alpanya DPR yang tidak menjalankan fungsi melekatnya sebagai anggota yakni fungsi pengawasan atau controlling.

Biaya politik yang hight cost sangat mungkin menjadi pendorong tindak pidana korupsi yang dilakukan pasangan kepala daerah. Maka logis saja kalau setelah menjabat, mereka berupaya mengembalikan dananya untuk biaya pemilu. Sepertinya susah akan dibantah logika itu, ditambah lagi dengan masalah mentalitas anak bangsa yang merasa sangat nyaman menduduki jabatannya, serta melupakan nasib rakyatnya demi sanak keluarganya. Lihat saja nasib rakyat yang semakin melarat di tanah penguasa dinasty, seperti Banten dan daerah lainnya yang berbau dinasty.

Efek rembesan dari hight cost politik dan dinasty politik ini adalah hancurnya tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien yang mengarah kepada amburadulnya birokrasi di daerah. Jabatan-jabatan karir birokrasi di daerah semakin tidak jelas. Jabatan apapun digantungkan pada "kedekatan dengan penguasa daerah". Aturan tentang karir jabatan birokrasi dicampakkan begitu saja. "Sabda pandito Ratu atau akulah sang penguasa", seakan menjadi aturan baku politik kekuasaan yang diterapkan di era otonomi daerah.

Sehingga pada aras ini, si penguasa daerah bisa berbuat apa saja, termasuk melakukan korupsi dengan sangat sadar, dimulai dari merontokkan aturan-aturan penghalang serta melantahkan tatanan birokrasi yang harusnya melayani masyarakat menjadi birokrasi melayani penguasa atau raja-raja kecil di daerah.

Kalau sudah begini, penegakan hukum secara ekstra-ordinary mutlak dilakukan demi mengurangi kesengsaraan rakyat yang semakin parah. Dengan demikian, wacana hadirnya perwakilan KPK di daerah menjadi kebutuhan yang mendesak demi meretas kekuasaan raja-raja kecil di daerah. Sudah saatnya rakyat menyatu untuk memberikan pembelajaran bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana korupsi. Menyatu dalam artian membawa laporan yang valid ke KPK tentang dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

Kinerja KPK sangat baik, sampai berani mempidanakan penyelenggara negara setingkat menteri, kepala daerah, dan mungkin juga penyelenggara negara yang lebih tinggi tingkatannya. Rakyat, sekali lagi harus memberi dukungan moral terhadap kerja-kerja KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di semua tingkatan penyelenggara negara.

Usulan menarik untuk meretas kekuasaan raja-raja kecil di daerah dan demi mengembalikan wibawa birokrasi di daerah adalah dengan mengkaji kemungkinan penerapan pilkada asimetris, kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermasyah Djohan. Pilkada asimetris maksudnya pilkada dilakukan tidak seragam, tergantung dari kesiapan dan karakter daerah. Pilkada nantinya tidak serta merta dilakukan secara langsung dipilih oleh rakyat, tetapi pada beberapa daerah bisa dipilih oleh DPRD.

Bisa saja usulan Dirjen Otda Djohan itu menjadi alternatif dalam kerangka penataan dan mengembalikan wibawa birokrasi sehingga birokrasi kembali ke fungsi idealnya sebagai pelayan masyarakat bukan pelayan kekuasaan. Semua kemungkinan alternatif pemikiran untuk meretas benang kusut space tindak pidana korupsi di daerah sangat mungkin diterapkan selama ada political will untuk mensejahterakan rakyat.

Pada aras ini, peran rakyat menjadi sangat penting untuk meretas tindak pidana korupsi di daerah. Kemiskinan yang selama ini menyelimuti rakyat dapat menjadi pemicu untuk melakukan gerakan peretasan itu. Kemiskinan bukan takdir yang harus didekap. Kemiskinan harus dilawan karena kemiskinan itu memang sengaja diciptakan oleh penguasa untuk dapat dijual demi prestise si penguasa. Dengan demikian, kondisi yang diciptakan itu sangat dimungkinkana untuk dimanfaatkan kembali demi kekuasaan dan materi yang berlebih.

Sinergi antara rakyat dengan KPK, serta penegak hukum lainnya menjadi kata kunci meretas tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini. Dan untuk memberikan efek jera, maka perlu diterapkan hukuman maksimal atau hukuman mati bagi koruptor. Karena perilaku mereka lah rakyat menjadi kurban dan terus terjebak dalam kubangan kemiskinan mutlak. Hukuman maksimal menjadi kata kunci untuk meretas tindak pidana korupsi, dengan tidak mengesampingkan ikhtiar penataan perpolitikan, dan penataan birokrasi sebagai penopangnya. Sehingga tidak lagi ada alasan bahwa "sorry Bro, aku terpaksa korupsi".
Wallahu a'lam bissawab.

Tanak Beak, 04022014.08.19


0 komentar: