This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 06 April 2013

PEMIMPIN BUMI GORA


Alkisah, pada suatu acara seorang pemuka agama atau Tuan Guru didatangi oleh seorang pemimpin atau tepatnya calon pemimpin yang akan mendaftar menjadi gubernur Bumi Gora, NTB. Bagaikan seorang anak yang mengharap kasih sayang yang tulus dan doa restu dari orang tuanya, dengan lirih ia berbisik, Abah, tolong pilih orang Sasak menjadi gubernur mendatang. Mendapat permintaan yang tampak tulus, Tuan Guru berkata berikan saya waktu untuk berfikir dan beristiharah.
Hiruk pikuk pemilihan gubernur NTB 13 Mei 2013 menyuguhkan sebuah pertanyaan besar, orang seperti apa yang pantas memimpin Bumi Gora? Semua orang tahu jawabannya orang tersebut hendaklah berbuat untuk Bumi Gora. Ia harus berbuat untuk Bumi Gora. Siang malam, sepanjang waktu, yang ada di kepalanya Cuma Bumi Gora, tidak boleh ada hal lain. Ia harus hidup 100% buat Bumi Gora.
Saya berkeyakinan, tidak terlalu sulit mencari seseorang yang bersedia total untuk yang ia pimpin. Orang Jawa pasti bersedia sepenuhnya berbakti demi manusia Jawa. Pemimpin Bima akan bersungguh-sungguh bertindak untuk Bima. Pemimpin Sumbawa akan berbuat total untuk orang Sumbawa. Begitu juga dengan orang Lombok pasti bersedia sepenuhnya berbakti dan berbuat demi manusia Sasak. Bumi Gora NTB yang dahulunya bernama Sunda Kecil berhimpun tiga etnis besar Sasambo singkatan dari Sasak, Samawa dan Mbojo Bima. Siapapun pemimpin Bumi Gora mendatang rasanya tidak bisa lepas dari tiga etnis besar itu.
Pemimpin Bumi Gora tidak bisa setengah-setengah berfikir dan berbuat, ia harus 100% untuk Bumi Gora NTB. Ia, tidak boleh dikuasai dan dikendalikan oleh seseorang atau kelompok yang berkepentingan mengeruk isi perut Bumi Gora demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemimpin Bumi Gora harus mandiri, adil dan setara dalam memikirkan tiga etnis besar penghuninya (dan juga etnis lainnya). Kekayaan alam permata hijau di Sumbawa Barat dan emas yang ada di Sekotong harus diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat dan bukan untuk dibagi-bagi untuk kelompoknya.
Orang Sasak jika ditanya, seperti apa pemimpin yang mereka hayalkan? Tentu akan mengisyaratkan calon pemimpin dari etnisnya sebagaimana keinginan etnis lain ketika ditanyakan hal yang sama. Ketika seorang budayawan Sasak di tanya, calon pemimpin seperti apa yang diidamkan, pasti menyodorkan ciri-ciri pemimpin sesuai jati diri orang Sasak. Dan begitupun, ketika seorang Tuan Guru ditanya hal yang sama, hampir dipastikan jawabannya calon pemimpin yang memiliki ciri-ciri pemimpin Islam seperti Rasulullah Muhammad Saw. Yakni Siddiq, Amanah, Tablig dan Fatonah.
Usman Paradiso, sebagaimana dikutip Saharudi, MA dalam tesisnya menyebutkan bahwa jati diri pemimpin Sasak setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1). Tan laba artinya pemimpin tidak mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongannya sendiri; (2). Tan kena hiwah, seorang pemimpin harus punya pendirian yang kukuh, ampuh dan kuat, tidak terpengaruh serta cepat berubah dengan orang yang mengelilinginya; (3). Tan kasamar, seorang pemimpin harus bersifat transparan, terbuka, tidak remang-remang dan berat sebelah dalam mengambil keputusan; (4). Sun ya hadi pelamar hulubung, seorang pemimpin harus menunjukkan atau mengedepankan sifat-sifat terpuji seperti adil, arif dan bijaksana dalam menempatkan kebijaksanaannya; (5). Lateh hing bumi, seorang pemimpin harus mengutamakan rasa tanggung jawab dan pengabdian atas kepemimpinannya di muka bumi; (6). Dadi waja wong senegari, yakni seorang pemimpin harus mampu menjadi tumpuan dan harapan serta kekuatan seluruh rakyat yang dipimpin; (7). Wani hing pati, seorang pemimpin harus berani karena benar dan takut karena salah; (8). Minangka damar ring wulan, seorang pemimpin harus dapat menjadi pelita yang terang benderang bagi rakyat dalam kegelapan yang gelap gulita; dan (9).  Minanghan sifat, maksudnya seorang pemimpin harus bersifat lurus, mulus, tulus dan tidak berbelit-belit seperti ular.
Dari uraian ciri-ciri pemimpin di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin pada masyarakat Sasak harus ahli di bidang pemerintahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang ada. Hal ini tergambar dalam ungkapan filosofis orang Sasak, yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Kalau dicermati dari perjalanan sejarah (terutama pemimpin Sasak), saya yakin betul para pemimpin itu pasti tahu betul filosofis dan ciri-ciri pemimpin Sasak yang ideal, tetapi nyatanya sampai saat ini tidak pernah lahir pemimpin yang ideal yang diminta dan diidamkan masyarakat karena pemimpin di Bumi Gora tak bisa lepas dari pengaruh kehendak politik. Siapapun yang memimpin Bumi Gora harus tunduk dan mengikuti irama dan permainan politik agar bisa tetap memimpin dan berkuasa. Rakyat pun terpaksa atau dipaksa untuk bermain politik ketika hendak mengganti pemimpinnya.
Atas nama demokrasi, rakyat dipaksa untuk menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin yang terkadang tak jelas track recordnya. Rakyat hanya disuguhkan beberapa pasangan calon pemimpin oleh partai politik untuk di pilih sementara rakyat tidak faham betul siapa sebenarnya mereka itu. Di dunia politik baik-buruk; benar-salah bedanya sangat tipis, sehingga tidak heran perilaku politik pemimpin juga sering merugikan rakyat yang dipimpinnya, seperti melakukan korupsi, mementingkan keluarga atau nepotisme, dan mementingkan kelompok golongannya. Selama tidak menjadi persoalan, perilaku politik itu jalan terus layaknya perjalanan di jalan tol, tetapi mungkin berakhir di rumah derita.
Memilih pemimpin saat ini, ibarat orang empat orang buta yang ditanya bagaimana wujud gajah. Masing-masing dari mereka mempersepsikan gajah dari apa yang dipegangnya. ketika memegang telinga, jelas persepsinya bahwa gajah itu luas dan lebar. Saat memegang gadingnya, ia mempersepsikan gajah itu panjang dan kurus. Saat orang buta ketiga memegang paha gajah, maka ia mempersepsikan gajah itu besar dan tinggi. Orang buta keempat hanya memegang ekor gajah, maka jelas ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sapu. Apa mereka salah? Tentu mereka tidak salah, mereka benar semua berdasarkan apa yang dipegangnya pertama kali.
Tentu memilih pemimpin tidak seperti empat orang buta itu. Memilih pemimpin seharusnya berdasarkan ciri-ciri dan persyaratan tertentu. Partai politik seharusnya membuat kriteria calon pemimpin berdasarkan kriteria yang ideal, sebagaimana kriteria tersebut di atas.

BERHARAP PADA ORANG SASAK
Acap kali terjadi orang Bumi Gora menggantungkan hidup dan peruntungan mereka tidak pada orang Bumi Gora. Sebelum Harun Al Rasyid menjabat gubernur NTB, digantikan H Lalu Serinate dan Dr. TGB. M. Zainul Majdi, orang nomor satu di Bumi Gora NTB pernah di jabat Gatot Suherman dan Warsito (gubernur yang berasal dari Jawa Tengah), ternyata mereka sukses mengurus NTB beserta masyarakatnya. Dan di era gubernur Gatot Suherman NTB berhasil dalam swasembada pangan dan penopang lumbung nasional dengan Gogor Ancahnya, sehingga sampai saat ini NTB dikenal dengan sebutan Bumi Gora. Senyatanya, saya lebih senang menyebut NTB dengan daerah Bumi Gora, karena di dalam istilah itu terkandung makna kebanggaan menjadi orang NTB ketika duduk bersama dengan daerah lain.
Namun logika itu tidak bisa di bolak balik dengan menyatakan bahwa orang Bumi Gora dapat mengurus kehidupan mereka tanpa peran orang luar, karena sejarah membuktikan bahwa Bumi Gora pernah diurus oleh gubernur dari tanah jawa dan berhasil. Jangan-jangan di hati kecil rakyat masih mengidolakan atau menginginkan Bumi Gora ini diurus oleh orang Jawa. Namun, cepat-cepat wak Emet menjawab enggak ah. Kita bisa memimpin Bumi Gora dengan tetap melibatkan peran dari orang luar (etnis lainnya).
Saat ini, jika orang Sasak ditanya, pilih mana, diurus oleh sesama manusia Sasak atau orang luar, dan pasti jawabannya memilih pilihan pertama. Mengapa? bukankah yang membuat NTB ini terkenal karena diurus oleh gubernur dari tanah Jawa? Ya, iyalah, kata wak Emet, tetapi tidak sebatas itu khan. Yang jelas orang Sasak tentu lebih mengerti sesamanya. Maksudnya, apa wak Emet? Maksudnya kalau pemimpinnya manusia Sasak kita lebih mudah minta ijin tidak masuk kantor ketika acara-acara keagamaan, seperti maulid nabi, kegiatan masyarakat dan pelaksanaan adat istiadat. Welah wak Emet, ada-ada saja. Kalau hanya itu mengapa harus manusia Sasak menjadi pemimpin, siapapun bisa. Dasar manusia kampungan yang tidak bisa lepas dari mitos Doyan Nade.
Tetapi, okelah wak Emet. Nyatanya orang Sasak sering benci sesama orang Sasak ketika berkuasa. Kebencian mereka ditunjukkan dengan berbasa-basi, bikin lelucon, mentertawakan pada setiap kesempatan, sambil minum kopi dan ubi goreng di warung Inak Ipuk dan di tempat lainnya. Terkadang sok berkuasa, segala sesuatunya harus terkoneksi dengan label-label tertentu. Bantuan, hibah, ijin dan segala tetek bengeknya harus terkoneksi, jika tidak, maka cukup hanya gigit jari. Memangnya, jabatan itu abadi tanya wak Camet sahabatnya wak Emet dengan nada keheranan. Kita berhusnu Zhon saja, pinta wak Emet sambil menarik napas.
Sebentar lagi, kita akan memilih gubernur Bumi Gora. Dari empat pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi NTB, kelihatannya komposisi dan perpaduan etnik Sasambo cukup berimbang. Ada pasangan Sasak – Sumbawa; Sasak – Dompu; Bima – Sasak dan Sumbawa – Sasak. Kalau pilihannya seperti ini, kira-kira siapa yang kita pilih wak Emet, tanya wak Camet dengan sedikit nada berkelakar. Wak Emet hanya terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selang beberapa saat, wak Emet sambil menarik napas panjang berucap “pokoknya orang Sasak, siapapun dia”. Wah kalau begini kata wak Camet, kamu bikin kami tambah pusing, tetapi ciri-cirinya seperti apa calon pemimpin manusia Sasak, kejar wak Camet. Pemimpin yang bisa dan sesuai dengan filosofi hidup orang sasak yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Pituturan dua sahabat yang berbeda latar belakang itu menarik untuk dicermati tentang pemimpin manusia Sasak. Menariknya, dari empat calon pemimpin manusia Sasak itu ternyata keempatnya berasal dari Lombok Timur. Masalahnya, apa ini kesalahan politik atau gestur superioritas dari orang Sasak yang memang tidak pernah harmonis. Atau semacam pertarungan kuasa antara Agamawan, Bangsawan dan Jajar Karang, kata Dr. Salman Fariz (budayawan Sasak). Faktanya, babad Sakra telah memberikan gambaran terang benderang tentang manusia Sasak yang tidak pernah menyatu dalam melakukan peperangan dengan Karang Asem ketika itu, sehingga manusia Sasak tidak pernah mampu mengalahkannya. Manusia Sakra bergerak sendiri; begitu pula dengan manusia Praya, Pujut, Puyung dan Mantang. Memang beberapa kali terjadi pertempuran sengit tapi tetap saja kalah. Welah, aku jadi pineng, kata wak Camet.
Itu sejarah wak Camet. Biarkan sejarah berjalan dengan alurnya sendiri, kita berbeda dengan manusia Sasak yang dahulu, sergah wak Emet. Pokoknya, pilih manusia Sasak jadi pemimpin, titik. Welah, wak Emet, kamu kayak pahlawan kesiangan, masih saja ngotot mengharuskan memilih manusia Sasak, bukankah masih ada yang lebih baik, berwawasan, santun, adil dan berempati terhadap permasalahan yang kita alami, kata wak Camet. Begini saja, tugas kita hanya memilih di antara empat, memilih calon gubernur manusia Sasak atau memilih wakil gubernurnya manusia Sasak. Begitu saja repot.
Biarkan dua sahabat itu terus berdebat. Tapi yang pasti bahwa memikirkan Bumi Gora bukan hanya Sasak, Samawa, Mbojo, masih banyak etnis lain yang berperan dalam membangun Bumi Gora. Semua itu tidak bisa dinafikan. Dari pada terus-terusan berdebat tentang siapa yang paling layak memimpin Bumi Gora, lebih baik mencoba mengidentifikasi tentang siapa diantara calon gubernur yang memiliki visi, misi dan program kerja untuk kemajuan Bumi Gora dan kesejahteraan rakyatnya. Tidak penting lagi berdebat tentang dari etnis mana gubernur mendatang. Pokoknya gubernur yang diidam-idamkan masyarakat Bumi Gora adalah yang mampu membawa daerah ini melompat jauh ke depan guna mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain di Indonesia.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 05042013.

Jumat, 29 Maret 2013

MENEKAN ANGKA GOLPUT PADA PILGUB NTB


Pembicaraan tentang golput atau golongan putih semakin signifikan manakala publik politik mulai mempertanyakan eksistensi partai politik. Golput dengan demikian, tidak lantas dikhawatirkan keberadaannya, sebagaimana ketakutan terhadap partai oposisi di era Orde Baru. Keberadaan golput sampai batas tertentu harus dilihat sebagai penyemangat partai politik untuk melakukan muhasabah diri dan kelembagaan, lalu maju ke medan kuru persaingan secara fair dan terbuka. Meningginya angka golput pada beberapa pemilu Kepala Daerah di Indonesia, seharusnya dapat diambil hikmahnya oleh partai politik.

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang-bincang dengan beberapa orang yang tidak memilih (golput) pada pemil.ihan Kepala Desa, baik di Lombok Barat maupun di Lombok Tengah. Kami berbincang dengan santai di teras rumah salah seorang warga sambil meminum kopi khas Sasak (Lombok) dan Ubi Goreng. Perbincangan kami hanya untuk mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa mereka tidak memilih pada Pilkades. Apa yang kami hasratkan memang tercapai, tetapi kami agak kaget, ternyata beberapa orang dari mereka memang tidak pernah memilih. Alasannya sangat sederhana, bahwa memilih atau tidak memilih, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan pribadinya. Apakah dengan saya memilih, kemudian hidup saya bisa menjadi lebih baik, ternyata tidak, katanya menjawab pertanyaanya sendiri. Kehidupan saya, ya, kehidupan saya dan tidak ada kaitannya dengan memilih atau tidak memilih.

Perbincangan di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa masyarakat sudah jenuh dengan Pemilu (termasuk Pemilu Kepala Daerah). Dengan demikian, golput sejatinya harus dianggap sebagai suatu proses normal dalam setiap pemilu yang diadakan di semua Negara, termasuk Indonesia. Dan juga, kehadiran golput senantiasa menjadi pernik-pernik penghias pelaksanaan Pemilu dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap pemenang Pemilu, sebagaimana yang terjadi pada Pemilukada di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Hitadup golput, hidup gollput, hidup golput. Itulah kalimat yang patut diteriakkan, ketika melihat hasil pemilihan gubernupr Jawa Barat dan Sumatera Utara. Bagaimana tidak berteriak gembira, ternyata suara golput lebih tinggi dibandingkan perolehan suara yang didapatkan oleh pasangan calon gubernur di dua daerah yang berbeda itu. Melihat prosentase perolehan suara Ahmad Heryawan dengan Dedi Mizwar mendapatkan angka 33,20 persen, sementara angka golput 34,10 persen pada pemilu di Jawa Barat. Dan angka golput pada pemilu gubernur Sumatera Utara mencapai angka 51,50 persen, sementara pasangan Pujo-Erry hanya mencapai angka 33,51 persen. Keduanya tetap ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pemilu Kepala Daerah walaupun angka golputnya tinggi.

Permasalahannya kemudian, apa yang harus dilakukan kalau seandainya pada setiap Pemilu angka golputnya mencapai angka 50+1 persen? Dari perspektif hukum, mungkinkah Pemilu diulang atau dikatagorikan sebagai cacat hukum? Kiranya pemerintah perlu memikirkan dan sebaiknya diatur sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang pemilu. Sementara dari perspektif politik, meningginya angka golput paling dianggap sebagai pemerintahan yang tidak legitimate dan rawan di makzulkan.

Sebuah pemerintahan akan semakin legitimate jika didukung oleh suara rakyat yang berdaulat. Artinya semakin besar dukungan itu akan semakin legitimate sebuah pemerintahan. Partai politik sebagai peramu menu kebangsaan, hidangannya sedang tidak diminati oleh masyarakat dan ditambah lagi gizi politik yang dikandungnya pun tidak memenuhi standar minimal asupan yang harus tersedia (Musa, 2003). Rakyat bukan semakin sehat, tetapi semakin kurus dan ringkih secara politik. Akibatnya kepercayaan rakyat berangsur-angsur memudar. Titik inilah yang memberikan celah bagi munculnya golongan putih (golput). Sebagai data empiris, tingginya angka golput pada Pemilu Kepala Daerah Jawa Barat dan Sumatera Utara menembus angka 34,10 – 51,50 persen.

Angka golput yang sangat pantastik .ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak (Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu). Masalahnya, apa makna dibalik tingginya angka golput di atas? Faktor-faktor apa yang menyebabkannya? Dan bagaimana antisipasi ke depannya? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Namun demikian, perlu kiranya memberikan pemahaman tentang makna golput.

Secara koseptual, golput mempunyai dua makna yakni psikologis dan politis. Makna psikologis bisa menyangkut kepribadian dan orientasi pemilih. Perilaku golput disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tidak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi (Aspar, 2006). Para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cendrung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena menganggap issu-issu kampanye dan program yang ditawarkan partai politik tidak berhubungan dengan kepemimpinannya. Ketidakhadiran pemilih ke TPS karena partai tidak mampu menawarkan program sesuai dengan preferensi politik mereka.

Orientasi kepribadian tampak pada sikap apatis, anomi dan alienasi. Apatisme merupakan inkarnasi atau perkembangan lebih lanjut dari kepribadian otoriter yang ditandai dengan tiadanya hasrat terhadap persoalan politik. Anomi menunjuk pada perasaan tidak berguna. Pemilih memandang bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempunyai pengaruh yang berarti, karena keputusan-keputusan politik berada di luar kontrol pemilih. Anggota Dewan setelah terpilih sibuk dengan logika-logikanya sendiri dalam mengambil setiap keputusan politik dan dalam banyak hal berada di luar jangkauan pemilih atau konstituennya. Artinya, konstituen oleh politisi masih tetap dianggap sebagai objek penderita.

Alienasi berada di luar apatis dan anomi (Asfar, 2006). Menurut Karl Marx alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan ekonomi (termasuk politik). Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh untuk mengatasi keterasingan (alienasi) pemilih. Jika perasaan keterasingan (alienasi) ini memuncak, kemungkinannya akan mengambil bentuk alternative aksi politik, seperti kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan tindakan kekerasan politik.

Apa yang dapat dibaca dari meningginya angka golput pada setiap pemilu? Ada dua hal yang dapat dibaca dari ketidakhadiran pemilih ke TPS yakni (1). Bisa dianggap sebagai ketidakpercayaan pemilih terhadap pemerintah yang sedang berkuasa rendah. (2). Dianggap sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Karenanya, ketidakhadiran pemilih menandakan bahwa mereka puas terhadap kinerja pemerintah yang berkuasa, karena itu tidak perlu hadir ke TPS. Mereka akan berpartisipasi ketika pemerintah tidak becus dalam mengelola Negara atau dengan perkataan lain seseorang akan berpartisipasi ketika kecewa terhadap pemerintah dengan hasrat untuk mencari pemimpin yang baru.

Faktisitas dan kondisi politik saat ini, dapat menjadi pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Umumnya, para pemilih yang berpendidikan memadai dan pemilih rasional mempunyai kecendrungan golput. Dalam studi voting behavior, menurut Muhammad Asfar (2006) pemilih rasional mempunyai kalkulasi untung rugi dalam menentukan pilihan politiknya. Biasanya berkaitan dengan program-program yang ditawarkan sesuai dengan preferensi politiknya dan siapa kandidat yang bisa memperjuangkan aspirasi tersebut.

Pada aras ini, pemilih rasional tidak mempunyai kedekatan dengan suatu partai politik dan biasanya pemilih memiliki beberapa preferensi pilihan politik, mulai dari yang paling disukai sampai paling dibenci. Ketika berada di bilik suara, mereka tidak harus memilih partai yang paling disukai, tetapi juga memperhitungkan program dan kualitas orang-orang yang akan memperjuangkan program tersebut. Maksudnya, terawangan terhadap para caleg menjadi faktor penting untuk dipilih walaupun partainya tidak sama.

Hanya saja, kalkulasi untung rugi terhadap kandidat tidak selamanya bersifat rasional. Tetapi juga pada latarbelakang sosial ekonomi dan ketokohannya. Bagi pemilih semacam ini, tidak penting melihat kemampuan intelektual, wawasan, penguasaan dan pengalaman, tetapi cukup melihat dari orang tuanya (keturunan), latarbelakang organisasi (NU, Muhamadiyah, NW) dan lainnya. Bahkan tidak sedikit pemilih kandidat berdasarkan tampilan fisiknya.

Untuk menekan angka golput pada pemilu Kepala Daerah pada tanggal 13 Mei 2013 mendatang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan kinerja parpol (Musa, 2003) dan program penyelenggara Pemilu yaitu:
(1). Perlu ada upaya dari setiap partai politik agar dapat menampilkan kader-kader partai dengan tingkat kualitas sumber daya manusia yang handal, dilihat dari segi pendidikan formal ataupun kemampuan serta wawasan para kader. Kualitas kader ini menjadi sangat penting sebab mereka yang akan menjadi legislator mewakili partai politik. Makanya jangan heran kalau kualitas para legislator diragukan kompetensinya oleh masyarakat.
(2). Perlu ada ruang atau space umur kader muda. Maksudnya, dengan memberikan kesempatan kepada kader muda parpol untuk berkiprah di ranah perpolitikan nasional selain menunjukan keberhasilan kaderisasi partai, juga menunjukan sikap kenegarwanan pimpinan parpol dalam memberikan tongkat estafet kepemimpinan. Secara kasat mata tampak bahwa tokoh-tokoh partai tidak rela memberikan ruang dan kesempatan bagi kader muda partai untuk menunjukkan potensinya, sehingga terkesan partai tertentu miskin kader.
(3).Perbaikan parpol harus diupayan sedemikian rupa sehingga parpol benar-benar akan menjadi alat perjuangan rakyat yang mewujud dalam gerakan kerakyatan yang bersifat advokatif dan futuristic. Maksudnya, pembelaan parpol kepada kepentingan rakyat harus benar-benar terealisasikan dan tidak hanya mencakup problema kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
(4). Perbaikan parpol harus menyentuh wilayah sistemik internal kepartaian, baik menyangkut paradigm, visi dan misi, pola rekrutmen, pengkaderan, kredibilitas dan integritas pimpinan. Logikanya, bagaimana mungkin parpol mau mengurus rumah tangga rakyat secara sehat, jika rumah tangga sendiri berantakan dan mengandung virus penyakit yang mematikan.
(5). Parpol memberikan program dan pendidikan politik yang berkesinambungan terhadap masyarakat, sehingga keberadaan parpol tetap dirasakan adanya. Yang tergambar di benak masyarakat bahwa parpol itu ada ketika menjelang pemilihan umum dan setelah jadi hilang bagaikan lenyap ditelan bumi, ada tetapi tidak ada (wujuduhu ka adamihi).

Partai politik harus berbenah agar kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Saya khawatir, bila kondisi dan perilaku para politisi tidak segera berubah, bisa jadi masyarakat akan semakin apatis dan semakin terdorong untuk tidak memilih (golput) pada pemilu kepala daerah mendatang. Mengapa Fraksi PDI Perjuangan memilih walkout ketika sidang paripurna pada tanggal 18 Maret 2013 dengan agenda mendengarkan LKPJ gubernur NTB. Dalam kondisi masyarakat yang cendrung apatis sekarang ini, sebaiknya parpol tidak memainkan logika yang tidak rasional seperti itu. Apa mereka mengira bahwa masyarakat tidak memantau? Bukan sanjungan atau pujian masyarakat yang didapatkan malah cemoohan. Kalaupun terjadi pelanggaran (sebagaimana disinyalir pelaku walkout), bukankah sudah ada salurannya, seperti Badan Kehormatan Dewan. Saatnya melakukan pembenahan dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk kembali berpolitik.

Penyelenggara Pemilu (Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum) secara berkesinambungan juga harus melakukan sosialisasi tentang program dan tahapan kepemiluan. Sangat lucu, masyarakat yang punya hak memilih sampai tidak mengetahui waktu pelaksanaan pemilu kepala daerah. Sebagai masyarakat sangat berharap agar penyelenggara pemilu terus melakukan sosialisasi agar partisipasi masyarakat pada pemilu kepala daerah mendatang meningkat. Partisipasi masyarakat akan menjadi penentu kualitas dan kesuksesan penyelenggaraan pemilu. Angka golput sebagaimana pada pemilu Sumatera Utara yang mencapai angka 51, 50% pertanda bahwa kualitas pemilu diragukan., sehingga wajar jika pasangan calon lain melakukan gugatan. Kesalahan yang sering terulang adalah sosialisasi hanya dilakukan menjelang pelaksanaan Pemilihan umum. Menjelang pemilu kepala daerah di NTB, idealnya, penyelenggara Pemilu harus mempunyai program pendidikan politik bagi masyarakat untuk melahirkan pemilih yang sadar, cerdas, rasional dan kritis agar angka golput di NTB bisa di tekan dalam menyongsong Pemilu yang akan datang. Wallahul Musta'an ila Darissalam.


Jumat, 15 Maret 2013

MEMBACA POTENSI KONFLIK POLITIK PADA PILKADA NTB


Ada pertanyaan yang selalu menggantung di setiap Pemilu Kepala Daerah, apakah setiap pasangan calon itu, selain bersiap untuk menang juga menyediakan memori untuk menerima kekalahan. Hal ini tampaknya masih agak sulit ketika selama puluhan tahun sebuah kemenangan selalu berarti “kecurangan”. Pemilu Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara semakin seakan menjadi pembenar bahwa suatu kemenangan selalu berarti kecurangan. Pasangan Rieke Diah Pitaloka melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar pada Pilgub Jawa Barat dan begitu pula Efendi Simbolon pada Pilgub Sumatra Utara.
Apa yang dilakukan oleh kedua pasangan yang kalah pada Pilkada Gubernur dibenarkan oleh perundang-undangan dan berada pada saluran yang tepat dengan mengajukan gugatan secara hukum. Dan tentunya, tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya untuk tidak melakukan gugatan hukum. Itulah saluran yang disediakan oleh system demokrasi, mau memanfaatkan saluran itu atau tidak, sangat bergantung pada data-data kecurangan yang dimiliki oleh pasangan yang kalah. Di samping itu, seharusnya pasangan calon yang kalah juga penting untuk menerima bahwa kekalahan itu adalah bagian dari kenyataan yang harus diterima. Tampaknya ini yang sulit diterima oleh pasangan calon yang kalah.
Sepanjang tahun 2012 lalu, di kabupaten Lombok Tengah, masyarakat dibuat tercengang oleh pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung calon Kepala Desa yang kalah. Setidaknya ada 7 (tujuh) kejadian tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya setelah pemilihan Kepala Desa, dan 5 (lima) kantor desa disegel oleh masyarakat sendiri. Perilaku pendukung calon Kepala Desa yang kalah itu menambah catatan panjang bahwa kemenangan masih identik dengan kecurangan. Kemudian ke depannya, saya berkeyakinan bahwa potensi kekerasan pada Pemilu Kepala Daerah di NTB masih menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun yang terpilih menjadi pimpinan Kepala Daerah. Karena itu, untuk menghindari tindakan kekerasan, sebaiknya para pasangan calon mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
Guna menghindari konflik pasca pelaksanaan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah menyediakan ruang dan memediasi semua pasangan calon Kepala Daerah untuk menandatangani kesepakatan bersama tentang “Siap menang, siap kalah”. Kenyataannya, walaupun para pasangan calon telah menandatangani kesepakatan “Siap menang, siap kalah”, tidak sedikit dari mereka yang siap menerima kekalahan. Selalu saja mengemuka bahwa kemenangan itu akibat adanya kecurangan yang dilakukan pemenang. Kemudian masalahnya, apakah kalau seandainya yang kalah berada pada posisi pemenang, secara otomatis sepi dari tuduhan kecurangan? Tentu saja, tidak. Sebab masih kental dalam memori para politisi bahwa kemenangan selalu identik dengan kecurangan.
Kalimat tersebut tidak lahir dari ruang hampa, yang datang dari dunia antah barantah, namun terlahir dari suatu proses panjang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, mulai dari penyelenggaraan Pemilu Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Transisi menuju Demokrasi sekarang ini. Perlu disadarai bahwa pergerakan perpolitikan di Indonesia bagaikan spiral, bergerak memutar untuk kemudian kembali lagi pada start awalnya. Lalu bergerak kembali sebagaimana gerakan sebelumnya, terkadang sedikit terjadi zig zag, tetapi ruh pergerakannya sama saja.
Jika demikian, merubah memori “kemenangan identik dengan kecurangan” membutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merubah isi memori itu menjadi “kemenangan identik dengan kejujuran dan taat aturan”. Saya fikir, hal itu tidak sulit, asalkan pemerintah bersama DPR bersikap jujur di dalam melakukan perbaikan system penyelenggaraan pemilu (termasuk partai politik peserta pemilu). Ada kesan bahwa revisi terhadap beberapa undang-undang politik (UU Partai Politik dan Pemilu) mengandung hasrat untuk penyederhanaan Partai Politik peserta Pemilu. Kini, kesan itu menjadi kenyataan dengan ditetapkannya 10 Partai Politik (semula 24 Parpol) peserta Pemilu pada tahun 2014 mendatang.
Apa yang dilakukan pemerintah itu tidak lain sebagai upaya untuk menjaga bayi mungil yang bernama partai Demokrat dalam percaturan politik mampu berteriak lantang dalam gema ganda (meminjam istilah Fahri Ali) sambil meninggalkan parpol-parpol dan kini Demokrat menang pemilu dan parpol lain kalah total. Kemenangan Demokrat memberikannya keleluasaan bergerak dalam menangani policy kenegaraan.
Analogi politik “kepala ganda” sedari awal sudah dilakukan oleh partai pemerintah (Demokrat dan Golkar).  Fungsi kepala pertama adalah meletakkan struktur dasar dedikasi di bumi katulistiwa. Dan fungsi kepala kedua, meletakkan batu pertama guna kebangunan kekuasaan yang permanen (ini yang sedang dilakukan oleh partai Demokrat). Wujud kepala ganda ini bekerja dalam program yang elastis. Dalam kurun waktu pemerintahan SBY, implementasi program Demokrat telah terlihat. Goresan perjalanannya dalam hampir sepuluh tahun membentuk suatu struktur spesifik kondisi nasional, baik itu kondisi sosial, ekonomi, politik serta rentetan kejadian yang lepas kontrol.
Mekanisme kerja kepala pertama bertumpu pada dedikasi terhadap bangsa dan rakyat Indonesia telah nyata. Di bidang politik upaya-upaya penyederhanaan multy party system telah terlaksana. Dan secara ideology terpetakan menjadi tiga yakni berhaluan ideologi Nasionalis, Nasionalis-Religius dan Religius. Kelompok berideologi Nasionalis, yakni Demokrat, Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, Nasdem. Kelompok Nasionalis-Religius yakni PKB, dan PAN. Dan kelompok berideologi Religius yakni PKS dan PPP.
Efek tetesan ke bawah kondisi nasional berpengaruh ke level daerah. Potensi konflik dan tindakan kekerasan di daerah dapat terjadi dan bisa lebih dahsyat terutama menjelang Pemilu Kepala Daerah. Di NTB yang akan menyelenggarakan Pemilu di tiga daerah pada  tanggal 13 Mei 2013 mendatang yakni pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati Lombok Timur dan Pemilihan Wali Kota Bima, juga berpotensi menjurus ke konflik dan tindakan kekerasan. Apakah rumus politik “Kemenangan selalu identik dengan kecurangan” juga akan mewarnai Pemilu Kepala Daerah di NTB, nantinya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi kondisi NTB setelah terjadinya pelbagai kekerasan, kerusuhan dan konflik antar kampung di beberapa daerah  masih menjadi ancaman. Momok tindak kekerasan masih menakutkan masyarakat, apalagi menjelang Pemilu Kepala Daerah.
Keresahan dan ketakutan masyarakat terhadap konflik sosial dan tindakan kekerasan itu, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tetapi suatu ketakutan dan keresahan yang beralasan sebab kondisi masyarakat NTB sekarang ini sangat mudah terprovokasi. Tentu, kita masih ingat issu penculikan anak  yang membuat 5 (lima) orang warga yang tidak bersalah menjadi kurban dan kerusuhan yang terjadi di Bima dan Dompu. Riak-riak potensi kekerasan pada pemilu Kepala Daerah semakin terasa dan tampak jelas terlihat pada pengrusakan beberapa atribut pasangan calon. Suasana dan tindakan pengrusakan atribut pasangan calon tersebut, semestinya segera ditanggapi oleh pihak kepolisian, Bawaslu dan KPU. Perlu dilakukan langkah antisipatif, sehingga tidak terkesan penyelenggara pemilu menerapkan politik pembiaran. Hal itu bisa berbahaya dan menjadi boomerang bagi penyelenggara Pemilu dan Kepolisian.
Pemilihan Umum, seharusnya tidak selalu dimaknai sebagai proses demokrasi untuk memperoleh kekuasaan, tetapi yang lebih penting adalah Pemilu merupakan pelembagaan untuk menyelesaikan konflik politik yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara damai, tidak melalui serangkaian kekerasan (Kacung Marijan, 2006). Ketika terjadi konflik politik, disalurkan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga politik yang tersedia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik politik Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Potensi dan munculnya konflik-konflik  politik pada Pemilu Kepala Daerah yang mengeras dan berujung pada lahirnya kekerasan politik, meskipun belum sampai pada munculnya aksi pembunuhan politik. Konflik itu, masih sebatas intimidasi, demonstrasi oleh pendukung calon tertentu yang tidak puas terhadap keputusan partai politik dan KPUD sampai kepada menduduki dan pembakaran gedung-gedung milik pemerintah dan milik calon.
Pembakaran terhadap pendopo kabupaten Bima, NTB dapat menjadi pelajaran tentang konflik politik. Kasus pembakaran pendopo itu, dapat menjadi acuan penyelenggara Pemilu dan kepolisian untuk bersikap antisipatip terhadap kemungkinan konflik politik selama dan pasca Pemilu Kepala Daerah di NTB. Tidak ada seorangpun yang menghendaki kasus pembakaran ala Pendopo Bima terulang kembali. Karena itu, semua pihak, pemerintah, penyelenggara Pemilu, aparat keamanan, partai Politik dan masyarakat harus bersinergi untuk menangkal kemungkinan terjadinya konflik politik yang mungkin akan terjadi.
Setiap tahapan Pemilu Kepala Daerah sangat rentan dengan konflik Politik, dimulai dari pendaftaran Pemilih (DP4), pencalonan pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. Itulah, tahapan-tahapan Pemilu yang rentan dengan konflik politik. Dengan dibukanya pintu bagi calon perseorangan sebagai bakal calon gubernur di NTB tentu membawa permasalahan sendiri, terutama dukungan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada aras ini, sering terjadi manipulasi data dukungan dalam bentuk foto copy KTP.
Dengan kemampuan membaca potensi konflik politik menjelang Pemilu Kepala Daerah di NTB, diharapkan penyelenggara pemilu dan aparat keamanan mampu mengantisipasi dan meminimalisir konflik politik yang mungkin bakal terjadi. Partai Politik sebagai pengusung Calon Kepala Daerah juga harus dapat menahan diri dan membudayakan politik damai dan santun dengan mencoba merubah memori bahwa “kemenangan adalah kedamaian dan kekalahan merupakan bagian dari realitas yang harus diterima”. Partai Politik seharusnya berada di garda terdepan untuk mensosialisasikan budaya politik damai di internal mereka.
Di dalam konteks ilmu politik, realitas munculnya Pemilu yang berlangsung secara damai itu sering dikaitkan dengan adanya budaya politik yang baik di dalam masyarakat. Larry Diamond (1994), sebagaimana dikutip Kacung Marijan, mengemukakan bahwa adanya nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat, seperti “moderation, cooperation, bargaining and accommodation” sangat penting di dalam demokrasi. Melalui nilai-nilai yang bercorak demokratis, proses perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dilakukan secara damai, tidak dilakukan melalui serangkaian tindak kekerasan dan kucurangan.
Mewujudkan budaya damai dalam alih kekuasaan di NTB menjadi tugas dan tantangan yang tidak ringan bagi Gubernur M. Zainul Majdi. Apalagi Tuan Guru Bajang sudah pasti akan ikut bertarung dalam pemilu Gubernur mendatang. Bila terjadi tindakan kekerasan dan konflik politik dalam Pemilu Kepala Daerah mendatang, bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap citranya sebagai gubernur yang tidak mampu menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Menang atau kalah pada Pemilu Kepala Daerah mendatang harus dianggap sebagai suatu realitas yang mesti diterima. Tidak perlu lagi dikembangkan bahwa “kemenangan selalu identik dengan kecurangan”. Gubernur M. Zainul Majdi, harus mampu mewujudkannya demi investasi politik damai. Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 15032013.15.16.