( I )
Menghadirkan Islam yang rahmatan lil al-alamin adalah suatu keniscayaan di tengah tumbuh dan berkembangnya firqah-firqah dalam Islam. Tampak sepintas selalu, antara satu firqah dengan firqah lainnya tidak saling menyapa, malahan saling menyalahkan dan mengkafirkan (takfir). Tersadari atau tidak, kondisi tersebut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku komunitas firqah dan lebih jauh dapat berbenturan atau konflik sosial. Kasus pembakaran pessantren dan pengusiran Jamaah Syi’ah oleh masyarakat di Madura Jawa Timur (Majalah Forum, 2011) dan pengrusakan masjid Salafy di Sesela Lombok Barat dapat dijadikan acuan.
Konflik-konflik sosial yang bernuansa sosial-keagamaan datang silih berganti seakan tiada henti di negeri ini. Konflik-konflik itu sebagai akibat saja dari suatu fase sejarah yang panjang jika ditilik dari teori konflik (Ritzer dan Barry Smart, 2011). Setiap terjadi konflik sosial-keagamaan atau konflik antar ummat-beragama, kita merasa kesulitan untuk mendeteksi akar tunggal yang menjadi penyebab utamanya. Sebab seringkali penyebab utamanya bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut (seperti bid’ah dan khurafat), juga karena persaingan politik-kekuasaan dan ekonomi.
Karena seringnya terjadi konflik sosial-keagamaan, maka muncul harapan akan kehadiran konsep beragama yang baru, lebih lapang, toleran, nirkekerasan, terbuka dan kearifan atau minimal diperlukan rekonstruksi muslim yang rahmatan lil al-alamin, guna menepis pesimisme terhadap kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa kini dan mendatang.
(II)
Disebutkan dalam hadits sahih yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Abu Dawud dengan beberapa jalur riwayat yang marfu’ bahwa Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita bahwa “...Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi 72 golongan, dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan. Semua akan masuk ke dalam neraka kecuali hanya satu golongan”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, “orang yang mengikuti (sunnah) ku dan (sunnah) sahabat-sahabatku.
Mana di antara 73 golongan dalam Islam itu yang selamat? Jika, garis damarkasi antara satu golongan dengan lainnya dan satu golongan yang selamat pada ittiba’ atau mengikuti sunah rasulullah dan para sahabat. Lalu siapa sahabat yang dimaksudkan? Apakah yang dimaksudkannya “ittiba’ us – salaf” dengan segala perkembangan dan perubahannya?
Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda “...sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, orang-orang pada zaman berikutnya, dan orang-orang zaman berikutnya. Kemudian datanglah suatu kaum yang mana kesaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang tiga kurun tersebut, tetapi yang jelas menurut pendapat Jumhur ulama bahwa kebaikan dan keutamaan itu tertujukan kepada semua ummat Islam pada ketiga masa atau kurun tersebut. Tetapi tingkatan mereka berbeda sesuai dengan derajat ketakwaan dan istiqomah mereka. Golongan ummat Islam pada tiga kurun waktu tersebut yakni kelompok sahabat sebagai garda terdepan yang menerima pengajaran akidah dan dasar-dasar agama Islam secara langsung dari Rasulullah Saw, sehingga hukum-hukum dan etika-etika Rabbani melekat dalam hati dan pikiran mereka secara murni tanpa tercampuri dengan bid’ah, penyimpangan dan dugaan keraguan. Kemudian diikikuti kelompok tabi’in (pengikut) dan tabi’it tabi’in. Kelompok ini merupakan pungkasan dari kelompok yang lurus pemikirannya dan murni ajaran Islamnya dari segala penyimpangan internal.
Setelah tiga kurun waktu tersebut, mulai bermunculan bid’an dan penyimpangan dengan pesat. Di samping itu muncul pula kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari ketiga kurun waktu sebelumnya. Penyimpangan, bid’ah dan khurafat terus menyebar dan meluas dari waktu ke waktu sampai sekarang ini. Sehingga pada konteks ini menjadi benar sabda Rasulullah Saw riwayat Anas bin Malik bahwa “...tidak akan datang kepadamu zaman kecuali yang lebih jelek dari zaman sebelumnya”(HR Bukhari dan Muslim).
Ternyata rasulullah Saw telah dapat membaca dan menerawang kejadian yang bakal dialami oleh ummat Islam mendatang. Karena itu, beliau selalu memberikan tauladan, tidak saja pada ucapan tetapi juga perbuatan. Sehingga dalam konteks Islam suatu perbuatan dikatagorikan baik hanya dilihat dari tiga hal yakni niat, cara dan tujuan. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan inilah yang dimaksudkan dengan etika Islam. Jadi kebaikan dan citra Islam yang rahmatan lil al-alamin dapat terbangun dari formula etika Islam itu.
(III)
Dalam konteks makro, ada banyak sebab yang bisa menjelaskan buruknya citra Islam yakni reportase yang selektif (cetak dan elektronik), kurangnya penelitian akademis tentang aktivitas dan tradisi yang positif dan berorientasi nirkekerasan di masyarakat muslim, warisan subordinasi kolonial negara-negara muslim di bawah Barat, ketidakpedulian terhadap perbedaan budaya, kegagalan kaum muslim dalam menyampaikan pesan-pesan agama mereka. Hasilnya adalah tumbuh dan bertahannya pandangan negatif yang berkepanjangan tentang Islam di kalangan para pembuat kebijakan dan sarjana (Norman 1993; John L. Esposito, 1992).
Ketidakpedulian terhadap perbedaan budaya adalah salah satu sebab buruknya citra Islam yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Karena saat ini, ummat berhadapan dengan era globalisasi, dimana pertemuan unsur-unsur budaya telah terjadi secara intens tanpa mengenal dimensi ruang dan waktu. Pluralitas kultural dan segala aspeknya akan mengiringi nilai-nilai dan konsep-konsep parsial ke dalam kotak primordialisme.
Oleh karenanya, budaya selain dapat merupakan pemersatu atau integrative factors, juga menjadi faktor penyebab konflik. Tumbuh suburnya sikap berlebih-lebihan dalam masalah takfir, irja’, bid’ah dan khurafat adalah faktor lain penyebab konflik antar firqah dalam Islam (Syaikh Bakr dan Abdul Muhsin, 2009). Artinya ada proses meniadakan dialog kebudayaan yang sebenarnya telah terbangun saat Rasulullah Saw membangun kota dan masyarakat Madinah.
Disharmoni diantara firqah semakin tampak, diberbagai tempat dan setiap waktu sering terjadi kecendrungan ketidakcocokan dengan firqah lainnya. Fenomena itu merupakan dampak dari perubahan sosio-kultural yang terjadi dan lebih jauh menimbulkan krisis identitas, akibatnya sebagian orang mengalami dislokasi dan disorientasi. Manusia banyak yang linglung, tidak tahu posisinya dalam tatanan masyarakat yang sedang berubah dan kehilangan orientasi dan arah tujuan hidupnya akibat transisi kehidupan yang tidak dapat dikuasainya.
Penyesuaian perilaku manusia terhadap nilai baru menjadi pilihan rasional yang tidak terhindari, tetapi tidak selalu berjalan mulus dan bahkan sering mengakibatkan konflik sosial. Pengelolaan terhadap perubahan sistem nilai seringkali menjurus kepada terjadinya konflik. Pihak yang satu melakukan koreksi terhadap pihak lain, sebaliknya pihak yang dikoreksi juga melakukan hal yang sama. Masyarakat Indonesia dengan budaya Timurnya yang kental cendrung memberikan resistensi atau bahkan perlawanan terhadap koreksi. Keadaan yang demikian membuat konflik cendrung semakin berkembang dan semakin tajam dan klimaksnya terjadi benturan fisik yang mengakibatkan jatuhnya kurban jiwa.
Anggota suatu masyarakat majemuk atau plural selalu terlibat dalam dinamika pluralitas yang kritis sebagai terlihat dalam tiga kecendrungan berikut: Pertama, masyarakat majemuk mengidap konflik yang kronis dalam hubungan antar kelompok. Sebab konpromi-konpromi antar pada platform tertentu sering tercapai, namun pada kenyataannya kompromi ini belum menutup kemungkinan terjadinya konflik, contoh konpromi pela-gandong (pada konflik kekerasan di Ambon). Kedua. Pelaku konflik cendrung secara secara stereotif memandang ketegangan dari perspektif kelompok sendiri, sehingga konflik dipandang sebagai perang all out war. Ketiga. Proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Sehingga integrasi sosial lebih bersifat heteronom dan bukan didasari karena ketulusan, melainkan faktor eksternal (Sahrin, 2011) dan mungkin kepentingan.
Dinamika kemajemukan yang kritis dan berujung pada konflik terjadi di kecamatan Sekotong, desa Berora kecamatan Lembar, Gelogor kecamatan Kediri dan desa Sesela kecamatan Gunungsari, kabupaten Lombok Barat yang melibatkan jama’ah Salafy. Konflik dengan kelompok salafy tersebut lebih disebabkan karena perbedaan tafsir, bid’ah, khurafat dan takfir.
Terhadap konflik-konflik yang terjadi, seharusnya masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan, organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk pemerintah, Kementrian Agama, tokoh-tokoh agama dan MUI, harus peka terhadap potensi dan gejala konflik. Kenyataannya tidak, baru setelah potensi itu menjadi gelombang konflik, Pemerintah, ummat, MUI dan tokoh-tokoh agama merasa kebingungan dan kerepotan. Akhirnya yang muncul komentar-komentar liar dan tidak mengerti persoalan. Bukan mendamaikan malah memperuncing konflik yang sudah membara.
(IV)
Menampilkan wajah Islam yang rahmat (rahmatan lil al-alamin) dengan mengutamakan pendekatan toleransi (tasamuh) dalam berkomunikasi dengan komunitas lain menjadi keniscayaan. Bukankah pluralitas keberagamaan merupakan kenyataan yang bersifat nushush (didasarkan pada firman dan sabda suci). Oleh karenya, ummat Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam, dalam pikiran, gagasan, program dan tindakannya selalu mengedepankan komitmen pada terwujudnya harmonitas intra – ummat dan antar – ummat beragama.
Mencontoh pengalaman berkomunikasi masyarakat Madinah bentukan Rasulullah Saw patut dijadikan referensi guna menampilkan wajah Islam yang sebenarnya yakni Islam yang moderat dan akomodatif. Cara beragama yang moderat secara internal melahirkan cara beragama yang bijak, tidak kaku dan memandang kewajiban beragama sebagai sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan membahagiakan. Sementara secara eksternal melahirkan cara beragama yang terbuka, lapang, akomodatif dan selalu mengutamakan titik temu dalam membangun kehidupan yang lebih baik, harmonis dan maju, sehingga keberagamaan menjadi rahmat bagi kehidupan yang plural.
Penganut cara beragama yang moderat dapat dilihat dari sikapnyanya yang selalu ingin membuktikan agar agamanya menjadi rahmat bagi seluruh ummat manusia, selalu mencari titik temu dari keberagamaan yang pluralis, serta selalu megajak pihak lain untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan masa depan bersama yang lebih baik.
Ummat Islam harus membangun kembali kesadaran mendalam terhadap kemestian dialog peradaban dan interdependensi manusia dalam pinjaman-pinjaman kebudayaan. Sebab hanya dengan itulah peradaban menjadi milik bersama dan untuk kesejahteraan ummat manusia dan dengan itu pula progres peradaban dapat dipacu perkembangannya. Dengan demikian kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa kini dan mendatang tidak perlu diragukan. Wallahul Mustaan ila Darussalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar