Pada tanggal 30 Juli s/d 1 Agustus 2012 lalu,
saya mengikuti kegiatan pembinaan akademik bagi PTAI di Hotel Marbella
Bandung. Kegiatan tersebut diikuti oleh Rektor/Ketua PTAI seluruh
Indonesia. Kehadiran saya selaku Rektor Institut Agama Islam (IAI)
Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah NTB.
Budaya akademik merupakan
suatu sistem nilai dan tata nilai yang hidup dan b...
erkembang
di kalangan masyarakat ilmiah yang tercermin dalam sikap dan perilaku
komunitasnya, kata H Zaenal Mukaraom sebagai salah satu nara sumber pada
kegiatan itu. Fungsi budaya akademik sebagai norma, tradisi dan cara
hidup dari masyarakat pendukungnya yang bernaung dalam sebuah institusi
yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan
objektivitas.
Labih lanjut dikatakan Mukarom bahwa sesuatu
telah menjadi budaya apabila sesuatu itu sudah menjadi milik masyarakat
pendukungnya. Dikatakan sebagai milik, apabila telah disenangi,
dihargai, dipelihara dan bahkan dibela atau dipertahankan.
Secara teoritis ada beberapa prinsip budaya akademik yakni adanya
kebebasan akademik, menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, objektivitas,
keterbukaan dan otonomi keilmuan (Mukaram, 2012). Tentu, jika ditelisik
secara seksama kelima prinsip budaya akademik tersebut belum sepenuhnya
dapat diterapkan oleh kampus PTAI. Hal itu disebabkan oleh banyaknya
permasalahan yang dihadapi oleh PTAI (baik yang dikelola pemerintah
maupun masyarakat) baik faktor eksternal maupun internal (Muhammad Zain,
2012).
Faktor eksternal meliputi bergesernya paradigma
masyarakat terhadap makna pendidikan yang selalu dikaitkan dengan
serapan lapangan pekerjaan; regulasi pendidikan yang selalu berubah dan
cendrung tidak terintegrasi; beratnya tantangan yang yang dihadapi oleh
ahli agama dalam profesinya; tingginya rivalitas diantara PTAI dalam
merekrut calon mahasiswa yang berakibat terabaikannya kualitas.
Belum lagi rivalitas antara PTAI yang dikelola pemerintah dengan yang
dikelola masyarakat dan terkesan PTAI yang dikelola masyarakat sebagai
the second to campus. Itulah faktanya, sehingga PTAI yang dikelola
masyarakat dibeberapa daerah harus menunggu limpahan calon mahasiswa
dari PTAI yang dikelola pemerintah. Kalau rivalitas tersebut tidak
segera dicarikan solusinya, bukan mustahil bayak PTAI yang dikelola
masyarakat akan gulung tikar. Di ranah ini, pemerintah harus adil dalam
menanganinya.
Sementara itu, faktor internal lebih tidak
terurus, seperti penyelenggaraan tri dharma tidak terarah dan cendrung
salah urus; penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat formalitas dan
munculnya praktek-praktek tidak terpuji dalam bentuk instanisasi
pendidikan (buktinya menjamurnya jual beli ijasah sebagaimana kasus di
Jawa Timur); minimya sarana dan prasarana pendidikan; lemahnya
bargaining position PTAI dalam kancah pergaulan lokal, nasional dan
internasional, dan berbagai persoalan lainnya.
Nah, di tengah
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh PTAI tersebut di atas, tentu
para pengelolanya tidak boleh mandek dalam menumbuhkan budaya akademik.
Indikator sederhana untuk menumbuhkan budaya akademik dengan
mengupayakan tumbuhnya kebiasaan membaca, menulis dan meneliti dari
kalanan civitas akademika; Proses Belajar mengajar harus diupayakan
berlangsung secara demokratis; dibukanya ruang kompetisi secara sehat
dikalangan civitas akademika: lalu bagi mereka yang berprestasi
diberikan penghargaan terhadap prestasi dan kualitas; dan yang
terpenting adalah mengurangi tradisi orality kemudian diupayakan tradisi
literacy (Mukaram, 2012).
Untuk mewujudkan budaya akademik
tersebut di atas maka diperlukan strategi yang tepat dan smart. Diantara
strateginya meliputi perlu ada komitmen dan keseriusan mengelola PTAI;
dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership); SDM yang berdaya saing
(minimal S2 dan S3) dan sarana dan prasarana yang memadai (terutama
pelayanan dengan memanfaatkan IT).
Pemeritah dalam ranah ini,
seharusnya memberikan bantuan dan perhatian yang adil bagi semua PTAI
agar strategi tersebut di atas dapat dilakukan demi tumbuhnya generasi
cerdas dan bertanggungjawab. Bantuan-bantuan fisik sedapat mungkin
diprioritaskan bagi PTAI yang dikelola masyarakat, demikian bantuan
penelitian dan pengabdian masyarakat bagi para dosen harus berdasarkan
rasa keadilan. Ya, rasa keadilan itu harus garis bawahi, sebab bagaimana
bisa satu orang dosen ditahun anggaran yang sama bisa menerima bantuan
penelitian lebih dari satu. Demi tumbuhnya dan berkembangnya budaya
akademik hal-hal tersebut mesti menjadi perhatian. Wallahu muwafiq ila
Darissalam.
Menjelang pesta demokrasi di daerah, suhu
perpolitikan di NTB semakin memanas (lebih khusus Pilkada Lombok Barat).
Banyak nama yang sudah disebut-sebut masyarakat untuk menjadi bakal
calon bupati Lombok Barat, satu diantaranya adalah Tgh. Muharar Mahfuz.
Bapak Tuan Guru sampai saat ini masih tercatat sebagai pimpinan Pondok
Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat NTB.
Tgh
Muharar Mahfuz rasanya sudah sangat dikenal masyarakat, baik sebagai
politisi maupun sebagai tokoh agama yang selalu memberikan siraman
penyejuk rohani bagi masyarakat di Nusa Tenggara Barat, wabil khusus di
kabupaten Lombok Barat. Kemunculan bapak Tuan Guru sebagai bakal calon
bupati Lombok Barat sudah sangat dirindukan oleh masyarakat gumi patut
patut patcu. buktinya sudah tidak terhitung lagi masyarakat yang datang
baik perorangan maupun kelompok organisasi. Kedatangan mereka tidak lain
kecuali untuk memberikan dukungan kepadanya untuk siap dan menjadi
bupati Lombok Barat.
Sebagai seorang tokoh agama dan pimpinan
pesantren, tentu bapak Tuan Guru tidak bisa menolak keinginan dan
dukungan masyarakat tersebut, hal itu merupakan amanah dan mohon doanya,
katanya singkat. Di samping itu, peran parpol juga sangat penting
sebagai pintu masuk dan gerbong yang akan membawanya menuju bupati
Lombok Barat mendatang. koalisai partai dan rakyat menjadi satu kesatuan
yang mutlak agar cita masyarakat bisa tercapai.
Menjadi bupati
atau menjadi apapun bukan menjadi tujuan, kata Abun Harar, tetapi yang
lebih penting adalah menjalankan amanah yang diberikan oleh semua elemen
masyarakat gumi patut patuh patcu untuk menuju masyarakat yang
berkeadaban, sejahtera, aman, demokratis dan berahklakul karimah.
Politik yang berakhlakul karimah sebagaimana nabi Muhammad Saw memimpin
negara Madinah pantas untuk bumisasikan agar tidak tercatat di lembaran
sejarah semata. Konsep-konsep negara Madinah harus dapat diterapkan di
Lombok Barat sebagai penggalan dari pulau seribu masjid (bukan seribu
masjid lagi kata sahabat Suhaimi Samsuri, tetapi seribu satu
masjid)...kok bisa khan tambahannya Islamic Centre.
Tentu,
harapan besar untuk merubah wajah Lombok Barat menjadi lebih sejahtera,
menjadi amanah yang musti harus dibumisasikan oleh Abun Harar sebagai
Balon bupati Lombok Barat mendatang. Atau siapapun yang akan menjadi
pimpinan Lombok Barat nantinya (termasuk incamben).
Diakui atau
tidak suhu perpolitikan di Lombok Barat semakin memanas, namun kondisi
perpolitikan itu dapat dibikin adem, sejuk kalau semua pihak mau
mengedepankan politik akhlakul karimah. Politik akhlakul karimah
sederhananya dapat menerapkan nilai kesantunan dalam melakukan aktivitas
politik, sehingga endingnya siapapun yang menjadi pemenang tetap harus
menghormati yang kalah dan tidak disoraki. Begitu pula, siapapun yang
menjadi pemenang atau menjadi bupati nantinya harus tetap berlaku
nilai-nilai akhlakul karimah. Dengan demikian, kalah menang menjadi
sesuatu yang lumrah atau sudah given menurut peraturan alam.
Semoga saja politik akhlakul karimah ini dapat menjadi perhatian bagi
petarung sejati. Peran penyelenggara Pemilu atau KPU pada ranah ini
menjadi sangat strategis terutama untuk menerapkan nilai-nilai politik
akhlakul karimah di Lombok Barat (sebagaimana Rasulullah Saw dulunya).
Pluralitas masyarakat Lombok Barat menjadi fakta empiris untuk
diterapkannya politik ahklakul karimah itu. semoga. wallahul muwafiq ila
Darissalam.
Dua hari menjelang lebaran, kita dikejutkan
oleh amuk massa sebagian masyarakat Sukabumi Jawa Barat terhadap
kelompok atau aliran Artijaniyah Mutlak. Keelompok ini oleh pelaku amuk
massa diindikasikan sebagai aliran sesat. Sepengetahuan saya aliran
sesat adalah aliran atau sekelompok orang yang ajaran-ajarannya
melenceng dari ajaran Islam yang murni kemudian diajarkan kep...
ada
orang lain. Permasalahannya, dimana letak perbedaan aliran Artijaniyah
Mutlak ini dengan ajaran Islam? Salah satunya adalah larangan untuk
melaksanakan shalat subuh lalu diganti dengan shalat dhuha dan aliran
ini tidak mau berbaur dengan warga masyarakat.
Semua kita
menyangkan mengapa amuk massa terjadi lagi, apakah itu berarti
pemerintah memang sangat lamban dan mungkin tidak pernah tuntas untuk
menyelesaikan kasus-kasus aliran yang dikatagorikan sesat. Tragedi amuk
massa terhadap aliran Artijaniyah ini bukan kali pertama terjadi,
kejadian serupa terulang berulangkali, kasus yang satu belum
terselesaikan (misalnya kasus Jamaat Ahmadiyah yang sampai sekarang
masih mengungsi di Transito Mataram) kini muncul kembali kasus
Artijaniyah. Kenapa kita tidak bisa menyelesaikan secara damai dan
berkepala dingin, serta tenang (cooling down) dan mengapa harus mengamuk
segala. Tidak bisakah kita sebagai warga masyarakat menyerahkan
penyelesaiannya kepada pemerintah, sehingga tidak menimbulkan kerugian?
Saya sangat setuju kalau penyelesaian berbagai bentuk aliran yang
dikatagorikan sesat diserahkan saja ke pemerintah untuk mengurusnya
(dalam hal ini Kementrian Agama). Bukankah kita sudah meyerahkan
sebagian hak kita kepada negara, setidaknya menurut teori kontrak
sosial. Negara tentunya harus serius untuk menyelesaikan permasalahan
itu dengan cepat, tepat dan adil. Saya meyakini bahwa amuk massa terjadi
sebagai pilihan terakhir karena pemerintah tidak pernah serius dan
tuntas untuk menyelesaikan kasus aliran sesat tersebut, agar mereka bisa
kembali ke ajaran Islam, kemudian bertaubat.
Dalam kaitan ini,
saya teringat bait-bait syair Abu Nawas diantaranya demikian, "wahai
Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus-Mu. Namun, aku
tidak kuat dipanggang panasnya api neraka jahim-Mu. Izinkan aku
bertaubat dan ampunilah dosa-dosaku karena Engkaulah pengampun dosa-dosa
besar. Siapa yang tidak terpesona dengan syair ini. Kita menginginkan
para jamaah aliran terkatagorikan sesat segera bertaubat dan pemerintah
punya peran penting untuk pertaubatan itu. Pemerintahlah yang paling
berhak untuk melarang semua bentuk aliran sesat di Indonesia (bukan
masyarakat).
Sebenarnya menurut pemberitaan di media elektronik
Trans TV (Senen, 20 Agustus 2012) bahwa amuk massa itu dipicu oleh
adanya issu terbunuhnya salah satu tokoh agama yakni Ustaz Dindin yang
dilakukan oleh jamaah Artijaniyah. Tentu, issu itu belum bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi sekali lagi sebenarnya amuk
massa bisa redam kalau pemerintah cepat, tepat dan adil dalam
menyelesaikan kasus tesebut. Sehingga yang terjadi kemudian masyarakat
sendiri yang menjadi hakim dan akibatnya fatal. Rumah, mobil dibakar,
dan warga masyarakat menjadi kurban sia-sia. Sungguh sangat disayangkan
tragedi amuk massa itu.
Secara sosiologis sangat disayangkan
kejadian itu dan sebaiknya siapapun pelakunya harus diberikan sanksi
sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Siapapun orangnya,
jika salah diberikan sanksi dan jika tidak, jangan dijadikan kriminalkan
sekedar untuk mencari-cari kambing hitam. Keadilan mesti ditegakkan.
Saya kira, polisi sudah bertindak cepat untuk menahan pimpinan
jamaah Artijaniyah untuk menghindari amuk massa yang lebih besar dan
mengungsikan para jamaah Artijaniyah lainnya. Hal itu dilakukan
semata-mata untuk memberi rasa aman kepada mereka karena belum tentu
mereka bersalah. Keikut sertaan mereka menjadi anggota kelompok karena
minimnya pengetahuan agama. Dalam kondisi awam seperti itu sangat mudah
untuk dipengaruhi dan dibaiat. Semoga saja mereka mau kembali ke ajaran
Islam dan bertaubat. Ajaklah mereka kembali bil hikmah wal mauidzah
hasanah, bukannya dengan jalan kekerasan. Wallahul muwafiq ila
Darissalam.
Untuk memahami
teori kritis Jurgen Habermas_penting terlebih dahulu memahami konteks sejarah
dan konteks pembentukan teori-teori yang melatar_belakangi
pemikiran-pemikirannya. Sebagai pemikir otentik, Habermas tidak dikungkung oleh
warisan pemikiran mazhab Frankfurt, tanpa melihat titik-titik lemahnya untuk
kemudian berupaya memperbaharuinya. Di sinilah posisi penting Habermas dalam
teori kritis mazhab Frankfurt.
Pemikiran mazhab
Frankfurt merupakan pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan
penerusnya. Namun_pemikiran mazhab Frankfurt tidak dapat dipisahkan dari
sejarah pemikiran Marxis itu sendiri, karena bagaimanapun pemikiran teori
kritis merupakan perkembangan lebih lanjut dari Marxisme di Barat[1].
Dalam “Das Kapital”, Karl Marx mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat
kapitalis akan berjalan sedemikian rupa sehingga sistem ini akan menuju
penghancuran oleh dirinya sendiri. Friederich Engels_sahabat dekat Marx,
mempopulerkan teori Marx ini sampai dijadikan idiologi politik gerakan buruh di
Jerman dengan “Partai Sosial Demokrat Jerman”. Di dalam kongresnya tahun 1891
di Erfurt_gerakan buruh terbesar pada waktu itu_dengan tegas menerima ajaran
Marx sebagai dasar program partainya dan dalam kongres internasional II telah
menyebabkan teori Marxis diterima oleh gerakan buruh di luar Jerman (termasuk
Partai Sosial Demokrat Rusia) dimana Lenin menjadi wakilnya[2].
Dengan demikian_pandangan Marx tentang perkembangan kapitalisme menjadi
pandangan resmi gerakan buruh internasional.
Kapitalisme
sebagai suatu bentuk masyarakat akan terus menghisap kaum buruh dan konsentrasi
modal ada di tangan kaum kapitalis_yang secara kuantitas klas proletar akan
bertambah. Ada keyakinan bahwa_sistem kapitalis akan ambruk dengan sendirinya
dan digantikan dengan sistem sosialisme (dimana kekuasaan ada di tangan kaum
proletar atau buruh). Keyakinan atau pandangan Internasionale II disebut determinisme ekonomis atau ekonomisme,
yakni suatu penafsiran positivistis atas ajaran-ajaran Marx di dalam “Das
Kapital”. Penafsiran ini tentu telah melenyapkan peran historis klas
proletariat melalui perjuangan kelasnya karena anggapan dasar bahwa sistem sosialis
akan datang dengan sendirinya secara alamiah.
Sebuah kenyataan
sejarah bahwa sampai dengan perang dunia I, ramalan ilmiah ini tak pernah
terbukti. Konflik klas yang diharapkan terjadi tidak pernah terjadi_dan
datangnya zaman baru, zaman sosialisme_secara otomatis juga tidak dapat
diharapkan lagi. Pada aras ini, seorang cendekiawan Marxis Eduard Bernstein
mempunyai pandangan bahwa sistem kapitalisme mampu membenahi dan menyesuaikan
diri dengan keadaan-keadaan yang baru. Negara Jerman dan negara-negara
kapitalis-Industrial berhasil menstabilkan dirinya dengan meredam kemungkinan
munculnya krisis sebagaimana yang diharapkan pendukung teori Marx. Kemudian Bernstein
mengusulkan agar Marxisme juga disesuaikan dengan kenyataan,_tetapi gagasan ini
ditolak dan dicap sebagai “revisionisme”[3]. Lenin
adalah salah satu penganut determinisme ekonomis yang tetap setia dengan
teori-teori ortodoksnya.
Dalam revolusi
tanggal 7 Oktober 1917_Lenin punya peran untuk meruntuhkan Tsarisme Russia dan
memberikan kemenangan gemilang kaum Bolshevik; juga memberikan dampak yang
mendalam pada gerakan buruh Internasional. Pada waktu yang bersamaan didirikan
Uni Soviet di bawah kaum Bolshevik, namungerakan buruh terpecah menjadi dua sayap: sayap demokratis anti-soviet
(partai-partai sosial demokrat) dan sayap komunis yang pro-soviet
(partai-partai komunis). Sayap moderat dalam perkembangan lebih lanjut telah
kehilangan sifat Marxisnya, sementara sayap komunis semakin memperteguh diri
dengan determinisme ekonomis Marxis yang telah digabungkan dengan ajaran-ajaran
Lenin.
Munculnya Stalin
sebagai pengganti Lenin, partai komunis melakukan pembersihan terhadap
anasir-anasir partai yang tidak sejalan dengan ajaran pusat di bawah dominasi
ajaran Uni Soviet sebagai kakak tertua dari sosialis[4].
Dibawah pimpinan Stalin,
pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Lenin dibekukan menjadi idiologi resmi
Soviet. Pada aras ini, kontrol dan sensor diadakan untuk meluruskan pikiran
para cendekiawan (baik pada tataran akademis maupun kritik atas ajaran Marx
sendiri tidak dimungkinkan); karena bagi Moskwa tidak ada sesuatu yang lebih
berbahaya daripada kritik emansipatoris berdasarkan ajaran-ajaran Marx sendiri.
Akibatnya_segala usaha merevisi atau memperbaharui ajaran-ajaran Marx dan
tafsir resminya pasti akan dicurigai dan pasti berdampak pada kelesuan di
kalangan para cendekiawan.
Berkisar tahun
1885-1971 muncul pemikiran kritis dari Georg Lukacs, Karl Korsch. Lukacs
menolak determinisme ekonomis dari kalangan penganut Marxisme ortodok dan
menekankan bahwa kesadaran kelas proletariat sebagai subyek dialektika sejarah.
Sementara Korsch_mengemukakan bahwa hakikat dari Marxisme adalah tafsiran
praktis atas kesadaran manusiawi akan tetapi maksud Marx ini telah dileyapkan
oleh tafsiran positivistis atas Marxisme dalam internasional II; lebih lanjut
Korsch menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Marx merupakan teori-teori yang
memiliki maksud praktis.
Pemikiran kritis
kedua filsuf masuk ke dalam aliran pemikiran neo-Marxisme atau Marxisme kritis;
Antonio Gramsci menyebut pemikiran kedua filsuf itu filsafat praxis. Pada
perkembangan selanjutnya_filsafat praxis mendapatkan kritik dari kubu Marxis
ortodoks dan pembersihan dari pihak partai mereka sendiri_akibatnya filsafat
praxis memudar, keduanya telah meninggalkan kosnep-konsep penting bagi
pembentukan teori Marxisme kritis berikutnya, yaitu konsep alienasi (diambil
dari pemikiran Marx Muda; hegemoni, praxis dan konsep reifikasi dari Lukacs).
Dan inilah yang dikatagorikan sebagai pemikiran kritis gelombang pertama,
sementara pemikiran kritis gelombang kedua yaitu pemikiran kritis mazhab
Frankfurt.
Generasi pertama
Teori Kritis memperkembangkan gagasan-gagasan Lukacs dalam Geschichte und Klassenbewusstein.
Usaha menarik yang dilakukan Lukacs adalah mengaitkan konsep rasionalisasi
menurut Max Weber dan konsep fetisisme komoditi menurut Karl Marx. Hasil
sintesis kedua konsep itu_Lukacs menghasilkan konsep reifikasi
(verdinglichung), yaitu pandangannya mengenai hubungan antara manusia yang
nampak sebagai hubungan antara benda-benda[5].
Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran teori kritis
mengenai Rasio Instrumental, kritik mereka atas masyarakat modern dan
rasionalitasnya.
Kritik adalah
konsep kunci untuk memahami teori kritis dan juga merupakan suatu program bagi
mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang
kebudayaan dan masyarakat modern. sasaran kritik mereka pada berbagai bidang kehidupan
masyarakat modern, seperti : seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan
kebudayaan_pada umumnya dianggap mazhab ini telah menjadi rancu karena
diselubungi idiologi-idiologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang
sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.
Teori
kritik mempergunakan konsep kritik_dihubungkan dengan konsep kritik yang
diperkembangkan pada masa-masa setelah renaisasnce (masa aufklarung-abad ke 17
dan 18) serta abad ke 19. Pada masa ini muncul filsuf-filsuf seperti: Immanuel
Kant, Friederc Hegel, Karl Marx_yang oleh mazhab Farkfurt di pandang sebagai
filsuf-filsuf kritis.
Teori kritis
yang dirintis oleh Max Horkheimer, Adorno, Markus dari mazhab Frankfurtatau Frankfurt schule pada awalnya
merupakan sebuah upaya untuk mengatasi determinisme ekonomi dari Marxisme ortodoks
yang dianut sebagai ideologi resmi Uni Soviet. Pemikiran Karl Mark betapapun
dibela dan dianggap tabu, tetap dapat diperlakukan sebagai sebuah teori sosial.
Bahkan lebih radikal lagi, teori Marx adalah salah satu produk rasionalisme
Barat yang dikembangkan sejak Yunani Kuno dan rasionalisme Barat itu mulai
mendapat aktualisasi historisnya pada zaman renaissance melalui
pemikiran Rene Descartes.
Upaya Mazhab
Frankfurt untuk mengatasi determinisme ekonomis, bagaimanapun, adalah sebuah
proyekdalam rasionalismeBarat. Pemikiran Barat sejak Descartes
ditandai oleh gairah yang sangat besar untuk kebebasan manusia secara
universal. Keyakinan yang menandai para perintis modernisasi Barat itu bahwa
kebebasan manusia dapat diraih lewat penggunaan rasio sampai tak terbatas,
kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang ditetapkan berdasarkan iman
keagamaan. Oleh karena itu, modernitas yang ditandai rasionalisme Barat itu
adalah bentuk kehidupan atau bentuk kesadaran. Sebagai bentuk kehidupan,
berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal. Sebagai
bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme, kritik, dan
kebebasan.
Jurgen Habermas
dikenal sebagai pewaris utama mazhab Frankfurt dan dapat dikatagorikan ke dalam
salah satudari tiga aliran utama atau mainstream
filsafat dewasa ini, yaitu aliran kritis. Dua aliran utama lainnya yaitu gaya
pemikiran fenomenologis dan analitis. Aliran kritis sebenarnya bertitik tolak
dari pemikiran Karl Marx yang berkaitan kritiknya terhadap hubungan-hubungan
sosial yang riil. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya
sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi.
Aliran kritis
berbeda dengan aliran fenomenologis ataupun analitis; dimana teori kritis tidak
mentasbihkan diri ke dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat
dapat secara netral menganalisa hakekat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus
terlibat di dalamnya[6].
Sementara aliran fenomenologis dan aliran analitis mentasbihkan diri berada
pada teori murni yang secara netral menganalisa hakekat manusia dan masyarakat,
sementara pemikiran kritis tetap merasa bertanggung_jawab terhadap kenyataan
sosial.
Sampai sekarang
Habermas masih dikenal sebagai pembaru tradisi intelektual yang dirintis oleh
Marx Horkheimer. Sekarang sudah hampir 28 tahun yang sudah begitu jauh dari
sendi-sendi pertama program Teori Kritis yang diletakkan oleh Horkheimer. Di
Jerman Horkheimer sebagai seorang direktur “Insitut fur Sozialforschung
(Institut Penelitian Sosial) Frankfurt yang didirikan tahun 1923; dan Juga
dikenal sebagai peletak dasar-dasar pengembangan sebuah program multidisipliner
yang disebutnya Teori Kritis. Program ini sebenarnya tidak bergerak pada ruang
hampa_tapi bergerak melalui jalur Filsafat kritis yang sudah dirintis sejak
Hegel dan Karl Marx.
Orang-orang yang
mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat tidak akan terkejut jika
mendengar bahwa secara intelektual, Marxisme dalam bentuk ortodoknya sudah
lebih dari setengah abad yang silam ditanggapi dengan sikap kritis. Horkheimer
bukanlah orang pertama yang tidak puas dengan Marxisme ortodoks, sebab sebelum
dia sudah ada para revisionis dan orang-orang, seperti Antonio Gramsci, Lukacs
dan Korsch yang tidak kurang kritisnya. Akan tetapi di tangan Horkheimer_lah
Marxisme dijadikan sebagai sebuah pendekatan akademis-filosofis yang diharapkan
dapat memberi terang teoritis pada praksis kehidupan bermasyarakat. Atau dengan
kata lain_Horkheimer berjasa sangat besar untuk mengembalikan Marxisme menjadi
filsafat kritis_yang kemudian dipadukan dengan kritisme Emmanuel Kant, Hegel,
dan juga metode psikoanalisis Freud. Kemudian dua tokoh lainnya, yakni Theodor
Adorno dan Herbert Marcuse ikut bergabung di dalam program teori ini dan
membentuk mazhab tersendiri yang disebutnya “Mazhab Frankfurt” atau “die
Frankfurter Schule”_mazhab ini yang selalu memberikan kritik-kritik tajam
terhadap masyarakat industri maju di tahun 1960-an.[7]
Bagi
Habermas_ada enam tema sentral yang menjadi pokok kajian mazhab Frankfurt,
yaitu bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat postliberal, sosialisasi dan
perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes,
teori seni dan kritik atas positivisme.[8]
Keenam tema sentral teori kritis itu seolah menjadi ilham bagi gerakan
mahasiswa pada tahun 1960-an yang kemudian dikenal dengan gerakan “The New
Left Movement”.
Gagasan sebuah
teori kritis masyarakat ditemukan Habermas pada Karl Marx. Berhadapan dengan
penindasan-penindasan yang dialami kaum buruh dalam sistem kapitalisme Marx
membongkar kepercayaan bahwa hukum ekonomi kapitalistik adalah sesuatu yang
alamiah dan abadi. Kapitalisme adalah buah karya manusia sendiri;
penindasan-penindasannya bukan sesuatu yang dapat diterima begitu saja. Bila
membaca sejarah secara kritis (sejarah sebagai hasil pekerjaan manusia)
struktur-struktur sosial, politis dan ekonomis yang kita temukan bukan hasil
ketentuan sebuah nasib yang buta melainkan hasil pekerjaan manusia dan
sekaligus sebagai sejarah penderitaan[9].Dua hal yang dapat dibaca dari kapitalisme,
pertama. Keadaan di bawah kapitalisme tidak wajar dan kedua, apa yang tampak
sebagai hukum objektif bidang ekonomi adalah perbuatan manusia sendiri_hasil
sejarah dan oleh karena itu terbuka untuk perubahan. Dengan demikian teori Marx
membuka jalan ke tindakan emansipasi.
Jurgen Habermas
mendalami pikiran ini dengan menggunakan pendekatan model psikoanalisa[10].
Akan tetapi menurut Habermas_Karl Marx tidak konsisten mempertahankan
pendekatannya. Daripada memahami teorinya sebagai kegiatan kritis yang
merangsang kegiatan mereka yang tertindas akan kemungkinan pembebasan, maka
Marx memahami teorinya menurut pola teori ilmu alam (jelas pengaruh scientis
abad ke 19). Sebagai teori objektif yang sekedar mendeskripsikan hukum-hukum
objektif perkembangan masyarakat; Habermas dalam hal ini bicara tentang salah
faham positivistik Marx terhadap teorinya sendiri. Akibatnya, teorinya menjadi
sebuah dogma yang justru kehilangan daya pembebas dan malah berubah menjadi
daya dominasi. Maslahnya, mengapa Marx berubah menjadi seorang positivistik
sosial? Menurut Habermas karena Marx mereduksikan manusia pada satu macam
tindakan saja yakni pekerjaan.
Kritik terhadap
Marx ini kemudian menjadi inti pemikiran Habermas berikutnya. Bukan hanya Marx
yang mereduksikan manusia pada pekerjaan, melainkan seluruh teori kritis
masyarakat mengikuti Marx dalam penyempitan perspektif itu. Menurut Habermas
itulah sebabnya mengapa Horkheimer dan Adorno tidak melihat jalan keluar dari
dialektika pencerahan, dari analisis mereka_bahwa manusia semakin ia mau
merasionalkan kehidupannya, malah semakin menjadi irrasional.
Jurgen Habermas
sering bicara tentang interaksi atau komunikasi. Komunikasi adalah hubungan
yang simetris atau timbal balik_terjadi diantara dua pihak yang sama
kedudukannya. Komunikasi bukan hubungan kekuasaan, melainkan hanya dapat
terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasannya dan saling
percaya. Komunikasi juga merupakan interaksi yang diantarakan secara
simbolis_menurut bahasa dan megikuti norma-norma. Bahasa harus dapat
dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat
dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya.
Komunikasi tidak mengembangkan keterampilan melainkan kepribadian orang dan
kita menjadi ahli komunikasi melalui internalisasi peran-peran sosial.
Karl Marx
memahami interaksi dalam kerangka pekerjaan, maka pada aras ini teorinya gagal
sebagai teori emansipatif. Jelas bahwa Marx mau mengembalikan seluruh
perkembangan masyarakat pada perkembangan alat-alat produksi. Tetapi Habermas
menegaskan bahwa perkembangan alat-alat produksi_meskipun tetap memainkan
peranan dalam perkembangan masyarakat, tidak memelopori, melainkan menyusul
perubahan sosial.
Maka pada
penelitian yang dilakukan Habermas pada tahun 1970-an semakin di arahkan pada
pengembangan sebuah teori perkembangan masyarakat. Bagi Habermas, perkembangan
masyarakat adalah proses kompleks dimana sebuah masyarakat belajar bukan hanya
dalam dimensi keterampilan-keterampilan teknis, melainkan juga dalam dimensi
normatif – etis. Dan pada perkembangan selanjutnya kajian Habermas semakin
terarah pada logika perkembangan pandangan-pandangan dunia dan proses-proses
masyarakat belajar dalam bidang moral dan komunikasi dan proses belajar dalam
bidang kesadaran moral-praktis mempunyai fungsi kritis.
B.Biografi dan kehidupan Habermas
Habermas dikenal
sebagai pemikir sosial dan pewaris teori kritis Frankfurt Schule_yang sangat
penting saat ini. Dia di lahirkan di Dusseldorf, Jerman tanggal 18 Juni
1929_dari lingkungan keluarga kelas menengah yang agak tradisional. Ayahnya
pernah menjabat Direktur Kamar Dagang_ketika berusia belasan tahun, sedang
terjadi perang dunia II dan sangat dipengaruhi oleh perang itu. Usai
perang_dunia II membawa harapan dan peluang baru bagi pemuda Jerman_termasuk
Habermas_namun Habermas kecewa karena hampir tidak ada kemajuan yang berarti di
tahun-tahun awal sesudah terjadinya perang.
Tidak
berlebihan_kalau Habermas dianggap sebagai pewaris dan pembaharu teori kritis
Frankfurt,[11]sebab sebagai pewaris dan pengembang_dia
tidak termasuk ke dalam kelompok Frankfurt (aliran Frankfurt sudah berakhir
setelah kematian Horkheimer, Adorno, Marcuse), tetapi Habermas punya jasa besar
dalam menumbuh_suburkan gaya pemikiran Frankfurtitu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang
lebih luas.
Jurgen Habermas
walaupun dianggap sebagai pewaris teori kritis, namun juga dikenal sebagai
seorang rasionalis besar terakhir. Rasionalisme yang dikembangkannya punya ciri
tersendiri; dengan gaya dialektik yang begitu apik_berusaha memasukkan core
entral kritik atas rasionalisme ke dalam rasionalismenya tersebut[12]. Theorie
des Kommunicativen Handelns yang diterbitkan dalam dua jilid di tahun 1981,
mewakili titik puncak upaya-upaya yang dilakukannya itu.
Hancurnya
Nazisme menimbulkan optimisme bagi masa depan Jerman_semua jenis peluang
intelektual muncul dan buku-buku yang semula dilarang dibaca kini boleh dibaca
dan tersedia bagi semua warga Jerman_termasuk Habermas (termasuk literatur
Jerman dan Barat maupun risalah yang ditulis oleh Marx dan Engels). Pada tahun
1949 dan 1954 Habermas mempelajari berbagai topik (antara lain filsafat,
psikologi, kesusastraan Jerman) di Gottingen, Zurich dan Bonn. Namun, tidak
seorang-pun di tempat Habermas sekolah_yang benar-benar terkenal dan kabanyakan
mereka mendukunh Nazi secara terang-terangan atau hanya melanjutkan pelaksanaan
tanggung_jawab akademis mereka di bawah rezim Nazi sebelumnya. Habermas
mendapat gelar akademik tertingginya atau Doktor dari Universitas Bonn tahun
1954 dan selama dua tahun bekerja sebagai jurnalis.
Tokoh-tokoh
aliran kritis pada waktu itu George Lukacs, Karl Korsch, Erns Bloch, Antonio Gramsci.
Salah satu aliran yang dalam kes,uruhan gaya pemikiran kritis yang berinspirasi
pada filsafat Marx itu apa yang disebut kemudian sebagai teori Kritis
Masyarakat atau “Eine kritische Theorie der Gessellchaft”. Teori Kritis
dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh tokoh-tokoh yang semula sampai melarikan
diri dari kejaran pemerintah Nazi di Jerman, bekerja di Institut fur
Soziaforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah dwi tunggal Marx
Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse. Anggota lainnya adalah
Freiderich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, Franz Neumann, Otto
Kirchheimer dan Karl August Wittfogel. Erich Fromm pun semula masuk dalam
aliran ini dan merek ini yang disebut sebagai Mazhab Frankfurt atau “Die
Frankfurter Schule”.
Pada tahun 1956
Habermas bergabung dengan The institute for Social Research di Frankfurt
dan dikenal dengan aliran Frankurt_menjadi asisten riset dari Theodor Adorno,
anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal. Namun_posisi Habermas di dalam
aliran Frankfurt sebagai orang yang mempunyai orientasi intelektual yang bebas;
dan posisi itu membuat hubungannya dengan Max Horkheimer_pimpinan Institut
itu_terutama ketika artikel yang ditulisnya pada tahun 1957. Habermas
menekankan pemikiran kritis dan tindakan praktis_namun Horlheimer takut
pendirian seperti itu dapat membahayakan pendanaan dan keberlangsungan Institut
secara umum. Sehingga Horkheimer menyatakan bahwa “ia agaknya mempunyai karir
yang baik atau bahkan cemerlang sebagai penulis di masa depan, tetapi ia hanya
akan menyebabkan kerusakan besar terhadap Institut”. Artikel Habermas itu
akhirnya diterbitkan juga_tetapi tidak dengan bantuan Institut dan sebenarnya
tidak merujuk ke institut dan atas kejadian itu_Horkheimer tidak enak hati dan
menghadapi kondisi yang sangat sulit berkenaan dengan karya Habermas
itu_kemudian Horkheimer mengundurkan diri dari jabatannya di institut.
Habermas tidak
bersifat radikal dalam seumur hidupnya; nampaknya setelah pertumbuhan dalam
Nazi Jerman_dia hanya mulai bergerak ke kiri di bawah pengaruh dari Adorno.
Pada tahun 1960-an dia seorang pendukung yang kuat dari mahasiswa sayap kiri_tetapi
kemudian menjauh dari mereka, sambil mengatakan bahwa mereka hanya membangun
bentuk-bentuk dominasi baru. Karya-karyanya sering diambil oleh golongan
kiri_tetapi hal itu termasuk suatu perpindahan yang radikal dari bentuk-bentuk
Marxisme.
Tahun
1961_Habermas menyelesaikan disertasi keduanya di Universitas Marburg Jerman. Setelah
menerbitkan sejumlah karyanya yang terkenal_Habermas direkomendasikan menjadi
profesor filsafat di Universitas Heidelberg_bahkan sebelum menyelesaikan
disertasi keduanya_hingga tahun 1964 dan kemudian pindah ke universitas
Frankfurt sebagai profesor filsafat dan sosiologi (sebagai pengganti
Adorno_suatu pengangkatan yang sangat bergengsi), mengalami begitu banyak
gangguan dan demonstrasi dari pihak mahasiswa sehingga pada tahun 1971_hanya
enam tahun kemudian, berhenti sebagai profesor. Dari tahun 1971 sampai 1981
(setelah mundur dari profesor di universitas Frankfurt)_Habermas menjadi
Direktur Institut Max Planck di Starnberg. Sejak tahun 1983 dalam alam akademis
yang berbeda_ Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan
tahun 1994 pensiun di Frankfurt. Selama karirnya di dunia akademis_Habermas
telah menerima sejumlah penghargaan bergengsi dan menerima gelar profesor kehormatan
dari sejumlah universitas.
Jurgen Habermas
dikenal sebagai rasionalis besar terakhir; namun rasionalismenya mempunyai ciri
tersendiri dengan gaya dialektik_dia berusaha memasukan insight-insight sentral
kritik atas rasionalisme ke dalam rasionalisme-nya tersebut. Theorie des
kommunicative Handelns_diterbitkan dalam dua jilid pada tahun 1981_mewakili
titik puncak upaya yang dilakukannya itu.
Juga_Habermas
dikenal sebagai pemikir neo-Marxis yang paling terkenal di dunia_walau hanya
beberapa tahun, namun setelah itu karyanya diperluasnya meliputi berbagai
masukan teoritis yang berbeda dan tetap optimis terhadap masa depan kehidupan
modern; dan dengan sikap optimismenya itu_ia menulis tentang modernitas sebagai
proyek yang belum selesai; sementara Marx menulis dan tetap pada kajiannya pada
pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatiannya pada
masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang
pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distorsif dari
struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan_titik tekan Habermas pada cara
struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Marx membayangkan kehidupan
masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif_sedangkan
Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan
terbuka. Pada aras ini, terdapat benang merah kesamaan antara Marx dan Habermas
yakni keduanya merupakan pemikir modernitas masih belum selesai (terciptanya
pekerjaan penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi yang bebas
dan terbuka menurut Habermas) dan keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek
modernitas yang belum selesai itu akan selesai.
Komitmen
terhadap modernisme dan keyakinan terhadap masa depan...inilah yang
membedakannya dengan para pemikir sosial kontemporer lainya (seperti Jean
Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya)_sementara pakar post-modernisme
sering terjebak ke arah nihilisme_namun Habermas terus yakin terhadap proyek
jangka panjangnya_modernitas. Sementara para pemikir lain seperti Lyotard
menolak kemungkinan terciptanya teori agung (grand theory)_Habermas
tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka dalam
teori sosial modern. pada aras ini_Habermas menghadapi banyak resika ketika
menghadapi pemikir post-modernisme; dan jika mereka menang_Habermas mungkin
akan dianggap sebagai pemikir modernitas besar terakhir_bila Habermas (para
penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang sebagai
juru selamat proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu-ilmu sosial.
Habermas adalah tokoh terkemuka filsafat
kritis dan sangat berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial.
Sebagaimana diketahui bahwa filsafat kritis terinspirasi oleh tradisi besar dan
karya Karl Marx. Ciri yang menonjol dari filsafat kritis adalah selalu
berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan sosial yang nyata; juga
merefleksikan dirinya dan masyarakat dalam konteks dialektika struktur-struktur
penindasan dan emansipasi. Juga_filsafat kritis tidak mengisolasi diri dalam
menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral
menganalisis hakekat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di
dalamnya; atau dengan kata lain bahwa filsafat kritis merasa diri
bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata.
Siapapun tidak
bisa berharap banyak pada filsuf-filsuf kritis yang mengharapkan bimbingan
dalam usaha mewujudkan keadilan sosial_semacam teori transformasi sosial
masyarakat yang tinggal dilaksanakan; tapi justru mereka menolak untuk menjadi
ajaran yang dapat menjadi pegangan oleh gerakan mahasiswa kala itu_malahan
mereka curiga terhadap segala ajaran.[13]
Diskursus pada tingkat filosofis-teoritis tetap menjadi ciri khas filsafat
kritis dan tetap menolak untuk menjadi sebuah idiologi perjuangan dan menjadi
guru[14]
(itulah sebabnya murid-murid yang mau berguru pada mereka itu selalu kecewa dan
salah paham); tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan
anggapan-anggapan mana masuk ke dalam inti metodologinya_bahwa justru sebagai
kegiatan teoritis yang tetap tinggal dalam medium fikiran_filsafat kritis
menjadi praktis.[15]
Aliran pemikiran
kritis memang dikenal sangat heterogen; antara satu pemikir dengan pemikir
aliran kritis tidak selamanya sepaham_mereka suka saling menanggapi dan saling
kritik. Pemersatu diantara mereka barangkali hanya_mereka melanjutkan pemikiran
Karl Marx secara kritis dan anti-dogmatis dan malah menolak apa yang disebut
“Marxisme Resmi” (terutama mereka tanpa kecuali menolak idiologi komunis,
Marxisme-Leninisme_oleh karenanya aliran ini sangat dibenci dan dikutuk oleh
kaum komunis.
Bagi mazhab
Frankfurt dan Lukack teori merupakan Reason_dengan huruf besar “R” yakni suatu
pengetahuan rasional mengenai dunia dan diri kita sendiri. Bagi Lucaks_cara
Reason bisa maju berkembang ke arah suatu pengetahuan yang bersifat totalisasi;
bagi Adorno_hal itu dikembalikan ke dalam kemampuan individu untuk menolak
kesimpulan dalam totalitas; tetapi bagi keduanya_hal itu adalah sesuatu yang
harus dipercaya_dan akan menjadi sesuatu kemungkinan dari suatu dunia yang
lebih baik. Tetapi_bagi Habermas, tidak berurusan dengan Reason tetapi dengan
pemikiran rasional dan lebih tertarik dengan penggambaran perbedaan-perbedaan
yang tipis daripada generalisasi-generalisasi yang luas.
Kata teori
berasal dari kata Yunani “theoria” berarti pemandangan atau kontemplasi.[16]
Paham Yunani tentang theoriat erat hubungannya dengan sebuah kosmologi;
melakukan theoria merupakan kegiatan tertinggi manusia karena berarti
mengaktifkan logos (percikan logos ilahi yang ada dalam diri manusia).
Orang yang berfilsafat akan mengembangkan ethos, yaitu sikap hidup yang
teratur_karena ia mengorientasikan diri pada tatanan kosmik yang mencerminkan
tatanan abadi.
Ilmu-ilmu
modern_seolah kehilangan kerangka acuan kosmologis; ilmu-ilmu positif dengan
metode yang bersifat nomotetik_mencari pengetahuan terlepas dari orientasi yang
abadi; kosmos menjadi empiris dan kosmologi tidak terpakai lagi_yang dicari
adalah fakta-fakta (ilmu sejarah dan ilmu sosial umumnya mengikuti kecendrungan
ini). Ilmu-ilmu modern dalam satu hal
tetap terikat pada tradisi kontemplatif (mereka mengandaikan bahwa penelitian
harus bebas nilai_pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan, dan
pernyataan-pernyataan logis harus dibebaskan dari yang normatif). Ilmu
pengetahuan modern mempertahankan kesan obyektifitas ilmu dalam pengertian
bahwa pengetahuan yang diusahakan itu diclaim tidak tercampur kepentingan dan
lirikan manfaat.
Habermas
menunjukan bahwa (atau bahkan Edmund Husserl_bapak fenomenologi yang hendak
mengembalikan obyektifitas murni pada pemikiran)_mengkritik anggapan naif
seakan-akan ilmu-ilmu dapat dipisahkan dari dunia kehidupan (lebenswelt),
justru buta terhadap pengandaian-pengandaian terselubung pemikirannya sendiri.
C.Habermas dan para pendahulunya
Jurgen Habermas
bergabung ke dalam Institut fur Sozial forschung pada tahun 1956, yaitu
lima tahun setelah Institut ini didirikan di bawah kepemimpinan Adorno. Satu
hal penting untuk memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya
di kalangan mahasiswa Frankfurt, seperti Adorno dan Horkheimer; Habermas
melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (meski
keterlibatannya hanya sebagai pemikir Marxis). Habermas menjadi populer
dikalangan mahasiswa sosialis Jerman dan mendapatkan reputasi sebagai pemikir
baru untuk melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse.
Pada tahun
1970-an gerakan-gerakan mahasiswa mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan yang
tidak dapat dibenarkan oleh pemikir institut. Pada aras ini, Habermas melakukan
kritiknya terhadap gerakan-gerakan itu. Aksi-aksi itu dikecamnya sebagai
revolusi palsu, bentuk pemerasan yang diulangi kembali, picik dan counterproductive
(juga seperti yang dialami pendahulunya; Habermas menghadapi konflik langsung
dengan para mahasiswa secara dramatis). Konfrontasi itu_menempatkan Habermas
dalam posisi sebagai pemikir Neo-Marxis.
Pokok-pokok
pikiran Habermas sebagai upaya penyegaran kembali teori kritis menyangkut
posisinya pada kontinuitas dan diskontinuitas pemikirannya dengan pendahulunya;
juga menekankan pada perbedaan jalan pemikirannya dengan Marxisme; dan posisi
teoritis mengenai konsep sentralnya dan yang membedakannya secara radikal dari
pemikiran Marxis dan Neo-Marxis (terutama konsepnya mengenai praxis).
Sebagaimana
uraian sebelumnya, para pendahulunya (Adorno, Horkheimer dan Marcuse)_memandang
pencerahan telah menghasilkan Zweckrationalitat atau rasionalitas
tujuan_sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan
barbarisme gaya baru. Rasionalitas modern sebenarnya merupakan radikalisasi
teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi
versi teori kritis setelah mendapat inspirasi dari Lukacs. Teori rasionalisasi
tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam
sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk
kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Habermas
meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan; keprihatinan
terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan
rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis_baik terhadap
rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial. Satu hal yang membedakannya
dengan para pendahulunya, adalah sikapnya terhadap masalah ini (jika para
pendahulunya mengahadapi rasionalisasi secara sistematis sebagai jalan tunggal
menuju perbudakan gaya baru; Habermas menemukan aspek positif dari proses itu
sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat di tempatkan
dalam konteks rasionalisasi).
Habermas,
sebagaimana para pendahulunya_hendak membangun sebuah teori dengan maksud
praxis, karena itu dalam banyak hal tidak meninggalkan konsep kritik menurut
warisan Mazhab Frankfurt. Pada aras ini_Habermas menghadapi masalah positivisme
dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial[17].
Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas
melihat segi-segi positipnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi,
ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berfikir_merupakan
faktor penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia yaitu kerja.
Dengan jalan itu, manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya.
Hanya saja_walau Habermas menerima cara berfikir positivistis dan teknologi
dalam konteks kerja_tapi tetap bersikap tegas terhadapnya bila diterapkan dalam
konteks interaksi sosial. Positivisme dalam konteks idiologi dan
saintisme_tetap dikecam Habermas, karena positivisme mengklaim diri sebagai
pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang_termasuk kehidupan sosial
manusia.
Latar belakang
pemikiran Habermas berakar pada tradisi idealisme Jerman, seperti para
pendahulunya (khususnya transendentalisme Kant, idealisme Fichte dan Hegel,
serta materialisme Marx)[18]. Psikoanalisis Sigmund Freud_juga terintegrasi
ke dalam teori kritis Habermas, sebagaimana jamaknya mazhab Frankfurt dan
bahkan bila dibandingkan dengan mazhab Frankfurt ternyata psikoanalisis Freud
lebih ditonjolkan Habermas. Di tangan Habermas, teori kritis mendapatkan
wawasan baru yang diperolehnya dari tradisi Anglo_Amerika_yaitu linguistic-analysis
dari Wittgenstein, Searle dan Austin_Habermas mencoba mengintegrasikan
pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis teori Kritisnya.
Perhatiannya terhadap linguistik manusia dapat dijumpai dalam karya-karya
awalnya_bahkan kerap dikatakan oleh sebagian ahli bahwa dalam pemikiran
Habermas telah terjadi “linguistic turn” dari pemikiran Marxis. Analisis
bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru teori kritisnya mengenai
komunikasi sebagai salah satu dimensi praxis. Habermas juga dipengaruhi oleh
pemikiran pragmatis Amerika, seperti Peirce, Mead dan Dewey[19].
Pelbagai tradisi yang melatar_belakangi pemikirannya, Habermas mencoba
meramunya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis; watak sistematis
dari teori-teorinya itu yang secara nyata membedakannya dari para pendahulunya
(Mazhab Frankfurt) yang terkenal sebagai anti-sistem.
Bidang-bidang kajian
dan kritik Habermas_tidak terbatas pada apa yang pernah di kaji para
pendahulunya, namun berangkat dari pemahamannya tentang praxis_membawanya untuk
menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang berkembang dewasa ini (meskipun
teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis
dicap sebagai “ilmu-ilmu borjuis).Misalnya, dengan minat yang besar sebelum melontarkan kritiknya_ia
mencoba menelaah teori fungsionalisme-struktural dan teori sistem Parsons;
perkembangan metodologi dalam lapangan etnometodologi dan ilmu fenomenologi dan
hermeneutis; bahkan dalam beberapa kesempatan_Habermas berdiskusi dengan filsuf
semisal Gadamer[20].
Endingnya,
melalui pengetahuan ensiklopedisnya_Habermas membangun sebuah teori Komunikasi
Masyarakat sebagai jalan baru bagi teori kritis. Walau demikian, pihak-pihak
kiri yang tetap memegang teguh jalan konflik-nya tetap menuduhnya sebagai
sebagai seorang Marxis yang sesat dan bekerja demi ilmu-ilmu borjuis[21].
Tuduhan itu dapat dipahami karena_Habermas memberi tempat sentral bagi
konsensus di dalam kritik idiologinya. Namun, yang jelas bahwa Habermas dengan
teori komunikasinya dianggap sebagai generasi baru teori kritis atau generasi
kedua teori kritis (bersama para sahabatnya Clauss Offe, Albrecht Wellmer,
Klaus Eder, dan Rainer Dobert).
D.Pokok-pokok Pemikiran Jurgen Habermas
1. Ilmu bebas
nilai?
Apakah ilmu-ilmu
pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial_harus bekerja dengan bebas nilai[22],
(bicara tentang yang ada, bukan yang harus ada). Perselisihan metode awalnya
terjadi di Jerman dan Austria sekitar tahun 1890-an, para pendekar utama adalah
Menger dan Schmoller yang mempersoalkan apakah ilmu ekonomi harus memakai
metoda eksak atau historis dan kemungkinan syarat-syarat ilmu-ilmu sosial dan
ekonomi yang normatif. Istilah kebebasan nilai (wertfreyheit) dibentuk
dalam perselisihan penilaian (werturteilsstreit) termasyhur berlangsung
antara tahun 1909 dan 1914). Posisi yang paling terkenal adalah posisi Max
Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu sosial bekerja dengan bebas
nilai_tetapi juga tetap relevan terhadap masalah nilai.
Para pendukung
kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif_bahkan menambahkan bahwa metode
yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda. Artinya,
kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, harus dapat
menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu
alam. Untuk sampai ke tujuan itu_sebuah riset sosial harus dapat menghasilkan
deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan
penilaian apapun. Oleh karena itu_seorang ilmuan atau peneliti harus dapat meninggalkan
rasa-perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya,
penilaian-penilaian moralnya atau bahkan kepentingan-kepentingannya, untuk
mendekati objek sosial, sehingga diperoleh pengetahuan objektif tentang
kenyataan sosial atau social fact. Berdasarkan anggapan itu_para
pendukung kebebasan nilai di masukkan ke dalam kubu positivisme.
Dalam
perselisihan Positivisme[23],
Karl Popper dan Albert mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya
dikritik oleh Adorno dan Habermas. Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu
pengetahuan pada fakta dan mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai
irrasional. Kemudian pada segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak
usaha yang dilakukan Adorno Cs. Untuk memasukannya ke dalam satu ranah
(meminjam istilah Bourdieu) dengan positivisme dan menyatakan diri sebagai
anti-positivistik.
Baik Popper cs.
maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi yang saling serang dan saling tuduh
sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh Popper cs. Sebagai positivistik
(Habermas: “ein positivistisch halbierter Rationalismus”), sedangkan
Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang sesungguhnya. Walaupun
demikian_pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri anti positivisme,
sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata kedua belah pihak
itu kelihatan berpendirian sama.
Namun
kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria kebenaran. Penolakan itu_baik
oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis, bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu
sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Pada aras ini, Habermas mengenai postulat
kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan
juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja tidak bebas nilai. Sebuah postulat
yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang berlaku bagi ilmu alam lebih
berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”.
Apa penjelasan
yang diberikan terhadap postulat itu? Postulat itu dapat disederhanakan sebagai
berikut : ramalan-ramalan ilmiah dapat dialihkan menjadi
rekomendasi-rekomendasi teknis; rekomendasi-rekomendasi itu dapat membedakan
antara situasi semula yang sudah ada, sarana-sarana alternatif dan
tujuan-tujuan hipotetis”. Penilaian-penilaian masuk ke dalam tujuan, tetapi
begitu tujuan telah ditetapkan, maka untuk mencapainya harus dipergunakan
sarana-sarana yang netral nilai.
Menurut
Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan, karena untuk melaksanakan
rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi konkrit, tentu rekomendasi
itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar maching dengan situasi itu.
Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan tujuan-tujuan tidak lagi dapat
diisolasikan. Artinya tujuan dapat menjadi sarana bagi tujuan selanjutnya,
sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan bahwa realitas masyarakat tidak
dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan sarana-tujuan, melainkan harus dimengerti
sebagai totalitas unsur-unsur yang saling menengahi.
Paling tidak_ada
dua hal yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu: pertama,ilmu-ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas
nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis.
Kedua, ruang keputusan-keputusan normatifyang secara keliru dianggap irrasional dapat saja dijelaskan secara
rasional. Dengan demikian_kesan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu bebas nilai
sangat bersifat idiologis. Asumsi bahwa suatu pengertian yang murni, bebas dari
kepentingan_padahal kepentingan murni ini tetap ditentukan secara normatif oleh
kepentingan-kepentingan teknis. Pemisahan antara fakta dan keputusan sendiri
hanyalah akibat dari reduksi yang tidak sah (yaitu reduksi segala bentuk
pengetahuan pada pengetahuan dari jenis teknis dan ilmu pengetahuan alam). Oleh
karena itu, menurut Habermas_ tidaklah kebetulan bahwa perpisahan keras antara
fakta dan keputusan baru diadakan dengan tajam pada awal kapitalisme. Sebab
reduksi di bawah kapitalisme_semua nilai pada nilai tukar atau nilai ekonomis
mengakibatkan bahwa hubungan-hubungan sosial akhirnya dalam semua bidang
kehidupan dibendakan[24]
(dianggap benda atau barang dagangan). Kritik Habermas terhadap postulat
kebebasan nilai ilmu pengetahuan_bukan sebatas teori ilmu pengetahuan,
melainkan Habermas mau membuka kedok suatu idiologi yang kekuasaannya
menghalang-halangi emansipasi manusia.
Apa yang
diuraikan Habermas tentang kebebasan nilai berangkat dari krisis ilmu
pengetahuan Barat. Keprihatinan Habermas terhadap krisis ilmu pengetahuan pada
awalnya diungkapkan saat pengukuhan guru besar di Universitas Franfurt tahun
1965; teks pidatonya berjudul Knowledge and Human Interests_kemudian
menjadi sebuah teks filosofis yang sangat termashur. Apa yang diungkapkan
Habermas dalam teks itu menjadi semacam rumusan dari posisinya berhadapan
dengan positivisme dan sekaligus menjadi proyek filsafatnya.
Dalam
pidatonya_Habermas mengemukakan lima tesis yang dianggap sebagai suatu
kesadaran baru yang bertentangan dengan paham yang lazim dalam ilmu-ilmu
positif. Pertama, pencapaian-pencapaian subjek transendental memiliki
dasar dalam sejarah alam spesies manusia. Pengetahuan adalah hasil perkembangan
evolusioner spesies manusia dan pengetahuan yang bisa melampaui data-data
konkrit (transendental), kata Habermas tidak berasal dari langit[25].
Lalu apa bisa dikatakan bahwa rasio manusia adalah semacam organ adaftasi
(seperti kuku atau taring pada hewan)?. Pada aras ini, Habermas tidak menapik
kemungkinan itu, tetapi dia juga menyadari bahaya dari anggapan itu yakni
mereduksi pengetahuan pada proses-proses biologis. Karenanya_kepentingan yang
mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keterputusan dengan
alam sebab kebudayaan.
Kebudayaan
adalah hasil kerja manusia, menurut Habermas. Dan lewat kerjanya manusia
mewujudkan hasrat-hasrat naluriahnya justru lewat penundaan naluri-naluri itu.
Di satu pihak_kebudayaan adalah hasil pembebasan dari paksaan alamiah manusia
(antara lain mempertahankan diri), juga dari dalam (naluri) dan dari luar
(proses-proses fisik). Habermas menunjuk pada sistem sosial sebagai pengganti
organ pertahanan diri di satu pihak, tetapi juga sebagai hasil perwujudan
proses-proses kognitif manusia yang bersifat utopis di lain pihak. Untuk status
kepentingan ini, Habermas menggunakan istilah “kuasi-transendental”.
Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat
pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Pembahasan
proses-proses pengetahuan sebagai sesuatu yang terwujud dalam proses
institusional masyarakat dan kebudayaan dimulai sejak Hegel. Pandangan
idealistik menyatakan bahwa pranata-pranata atau organisasi sosial pada
hakekatnya adalah rasio atau roh yang mendapat sosok tetapnya. Habermas
mengakui bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan idealisme (namun bersama
mazhab Frankfurt), tentu tidak bisa lepas dari wawasan tradisi ini.
Ketiga,
kepentingan-kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud
dalam tiga medium organisasi sosial, yaitu: kerja, bahasa dan kekuasaan. Ketiga
medium itu, menurut Habermas memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan
kelangsungan hidup bangsa manusia. Demi kelangsungan hidupnya_ manusia harus
menggunakan media sistem kerja sosial dan penegasan diri lewat kekerasan[26].
Juga_bahasa sehari-hari sebagai sarana komunikasi kehidupan bersama dalam
cakrawala tradisi yang melindungi manusia dari ancaman kekacauan sosial yang
mungkin akan membinasakan manusia. Dalam kehidupan sosial itu_ada tahapan
dimana manusia memperkokoh kesadaran akan ke-aku-an berhadapan dengan
norma-norma kelompok_demi kelangsungan hidupnya dalam bermasyarakat. Dan
sebagai perekat ketiga medium itu adalah informasi untuk memperluas kontrol
teknis, interpretasi yang memungkinkan arah tindakan dalam wawasan tradisi
bersama, dan analisis yang membebaskan dari kekuatan-kekuatan yang membeku.
Lalu permasalahan adalah, bagaimana keterkaitan kepentingan dengan pengetahuan?
Guna menjawab permasalahan itu_sangat berkaitan dengan tesis Habermas di bawah
ini.
Keempat, di
dalam kekuatan refleksi diri[27],
pengetahuan dan kepentingan menyatu. Konsep refleksi diri dipahami dalam
konteks idealisme Jerman (mengacu pada Hegel dan Fichte).Rasio mengandung dua segi yaitu kesadaran dan
kehendak[28].
Hegel menunjukan bahwa rasio manusia memiliki kemampuan untuk menemukan
kendala-kendala yang merintangi perkembangan manusia untuk mencapai otonomi dan
tanggung jawab atau kedewasaan (Mundigkeit)[29].
Sebuah ilustrasi di berikut ini untuk menjelaskan konsep itu, adalah dialektika
tuan dan budak. Lewat kerja paksanya_si budak menjadi sadar diri akan posisinya
di hadapan tuannya. Kepentingan kognitif emansipatoris dari rasio untuk
mencapai otonomi dan tanggungjawab ini, menurut Habermas sudah melekat dalam
bahasa. Karena itu, apa yang diungkapkannya sejalan dengan idealisme Jerman (universalitas
rasio merupakan arah refleksi diri bagi Habermas). Dan memang sangat kentara
pidato pengukuhan guru besar Habermas dipengaruhi filsafat sejarah Hegel.
Kelima, kesatuan
antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang
memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi
apa yang telah ditindas. Artinya_kesatuan pengetahuan dan kepentingan tampak
dalam usaha-usaha manusia dalam sejarah untuk mencapai konsensus itu lewat
dialog dan pada gilirannya, lewat tafsiran atau refleksi atas dialog yang
ditindas.
Kritik-kritik
idiologi dari positivisme yang menyingkirkan dogmatisme dengan memisahkan rasio
dari keputusan yang mengandung komitmen yang bermuara pada otomatisasi
keputusan menurut rasionalitas dominan, yakni rasionalitas teknologis.
Masalahnya, apakah pemisahan rasio dan keputusan itu sendiri dalam kenyataan
mungkin? Menurut Habermas_itu tidak mungkin. Sebab jika positivisme melakukan
kritik dan tentunya kritik itu tidak bisa dilepaskan dari pemihakan tertentu.
Hanya lewat pemihakan terhadao rasionalitas tertentu_kritik itu mendapat isi
rasionalnya. Dan itulah_yang terjadi dalam positivisme_betapapun dibatasi,
rasionalisasi tidak bebas dari nilai apalagi idiologi.
2. Krisis
Legitimasi
Konsep krisis
yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dewasa ini adalah konsep krisis yang
berparadigma sistemik-teoritis. Suatu krisis muncul ketika suatu struktur
sistem sosial hanya mampu membuka sedikit sekali pemecahan masalah daripada
kepentingan untuk menjaga sistem itu tetap eksis. Artinya bahwa krisis lebih
dipahami sebagai gangguan terus menerus yang hendak mencerai beraikan kesatuan
sistem
Pendekatan
Habermas terhadap konsep krisis memanfaatkan teori sistem Parsonian_setelah
memodifikasi secara kritis. Dari pendekatan sistem Parson ini, Habermas
mengeksplesitkan dua paradigma untuk menjelaskan krisis, yaitu paradigma
dunia-kehidupan dan sistem[30].
Paradigma diartikan Habermas sebagai perspektif atau sudut pandang. Masalahnya
kemudian adalah bagaimana menunjukan kesaling_terkaitan diantara kedua
paradigma itu?.
Fakta sosial
didekati sebagai sistem-sistem sosial, menurut perpektif sistem dan sistem
sosial dipandang sebagai semacam organisme yang memiliki identitas dan tujuan
yang jelas. Habermas membedakan tujuan sistem-sistem sosial itu dalam dua aspek
yang saling berkaitan, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Suatu
masyarakat atau sistem sosial dapat dikatakan memiliki integrasi sosial
manakala para anggotanya berhubungan satu sama lain secara sosial membentuk
sistem-sistem institusi. Jadi, sistem sosial pada aras ini_dilihat sebagai
dunia-kehidupan (Lebenswelt), sebuah dunia yang dihayati oleh para
anggotanya yang terstruktur secara simbolik.
Berbeda halnya,
sebuah sistem sosial memiliki integrasi sistem kalau sistem sosial itu
menunjukan dirinya sebagai sistem pengendalian diri. Sistem sosial_dilihat
sebagai dengan sudut pandang kemampuannya untuk menjaga batas-batas
identitasnya dan keberadaannya dengan mengatasi berbagai masalah dari
lingkungannya yang berubah-ubah. Dan dari pendekatan sistem inilah_Habermas
melahirkan dua paradigma untuk menjelaskan krisis sebagaimana tersebut di atas.
Dengan
perspektif dunia kehidupan, yang akan disoroti adalah struktur-struktur
normatif (nilai-nilai dan institusi-institusi) masyarakat. Persitiwa-peristiwa
dan kondisi-kondisi berdasarkan ketergantungan terhadap fungsi-fungsi integrasi
sosial (dalam istilah Parson, integrasi dan pemeliharaan pola)akan dianalisa,
sementara komponen non-normatif sistem berfungsi sebagai kondisi-kondisi
pembatasnya. Sementara dengan perspektif sistem_akan dapat disoroti
mekanisme-mekanisme pengendalian masyarakat dan perluasan wilayah kemungkinan (contingency).
Dengan pendekatan ini_yang akan dianalisa peristiwa-peristiwa dan
kondisi-kondisi ketergantungan pada fungsi-fungsi integrasi sistem (istilah
Parson, adaftasi dan pencapaian-tujuan), sedangkan nilai-nilai tujuan berfungsi
sebagai data[31].
Karena itu, jika mencoba memahami sistem-sistem sosial sebagai dunia kehidupan,
maka aspek pengendalian akan terungkap, akan tetapi_jika mencoba memahami
masyarakat sebagai sistem, maka fakta atau realitas sosial terletak di dalam
faktisitas klaim-klaim kesahihan yang diakui_bahkan kontra-faktual, tetap tidak
akan terungkap.
Pertumbuhan
pesat berbagai proses dalam masyarakat kapitalis-lanjut menurut Habermas, telah
menghadapkan dunia sosial kepada persoalan yang tidak bisa dianggap sebagai
kesalahan fenomena krisis sistem, meskipun kemungkinan terbesar terjadi
berbagai krisis disebabkan oleh keterbatasan sistem. Seiring dengan
kompleksitas yang terus tumbuh, sistem dunia sosial melebarkan batas-batasnya
sebegitu jauh sehingga mencapai perbatasan outer nature serta inner
nature[32].
Habermas melihat empat kecendrungan krisis yang mungkin terjadi, sebagaimana
tabel di bawah ini:
Menurut Joseph
Heath, Habermas sebenarnya memposisikan diri dalam buku “Legitimation Crisis”
sebagai serangkaian usulan programatis. Meski cukup provokatif_namun
tidakmenyuguhkan detil-detil yang memuaskan_walau sudah melakukan perbaikan
terhadap seluruh pandangan sosio-teoritisnya. Perkembangan pemikiran Habermas
tentang persoalan legitimasi semenjak “legitimation crisis” kemudian
dalam “The Theory of Communication Action”, sampai pada karya “Between
Facts and Norms” posisi Habermas dicirikan oleh dua komitmen inti yang
tampak pengaruh teori sistem Parsonian dan pandangan luas Lukacsian tentang
modernitas kebudayaan (cultural modernity). Persoalan yang bisa
diselesaikan Habermas dengan penerapan komitmennya itu dan mencoba memetakan
versi rekonstruksi dari analisis krisis dan bagaimana konsep kuasa komunikatif
(communicative power) untuk bisa menemukan hubungan yang tepat antara
dunia kehidupan dan negara.
Walaupun
Habermas menerima model sistem sosial Parson, tetapi terdapat perbedaan utama
keduanya yakni mencakup penafsiran tentang sub-sistem pola pemeliharaan (L) dan
integrasi (I). Sub-sistem pola pemeliharaan bagi Parson_mengatur sosialisasi
agen dengan sistem nilai yang dianut bersama, sistem integrasi (I)
bertanggungjawab atas kontrol sosial melalui seperangkat norma yang diakui
bersama. Kedua sub-sistem ini berbeda dari sub-sistem adaptasi (A) dan
sub-sistem pencapaian tujuan (G) dalam bentuk mekanisme umum yang menyalurkan
resource-nya. Parsons menegaskan bahwa resource yang terdapat pada masing-masing
sub-sistem dimunculkan dalam bentuk media umum untuk memperantarai hubungan
pertukaran. Media-media itu adalah uang (A), kuasa (G), pengaruh (I) dan
komitmen (L). Masing-masing media digunakan untuk menstrukturkan interaksi
dengan cara tertentu sehingga tuntutan fungsional sub-sistembisa dihargai (tetapi cara-cara yang
digunakan oleh masing-masing media untuk menstrukturkan interaksi itu berbeda).
Semua menyiapkan sangsi (baik positif maupun negatif). Agen bisa mengendalikan
elemen-elemen situasi dimana agen lainnya harus bertindak, atau bisa juga
mengusahakan untuk mengubah niat mereka terlepas dari berbagai perubahan yang
terjadi di dalam situasi.
Habermas
menegaskan bahwa perbedaan dalam hal saluran ini mengakibatkan analogi antara
dua kasus tersebut menjadi tidak cocok[33].
Karena tujuan agen adalah sikap proforsional, maka setiap sarana yang bekerja
berdasarkan tujuan seperti itu akan menggunakan bahasa natural sebagai
substratumnya. Namun, di sisi lain, faktor situasi bisa dikendalikan tanpa
harus merujuk kepada bahasa. Dalam pandangan Habermas_penggunaan bahasa seperti
ini memberikan batasan signifikan pada rentang pola interaksi yang tersedia
bagi agen. Pembatasan ini ditentukan secara a priori oleh persyaratan komponen
pragmatis teori makna. Karena itu, Habermas_menegaskan bahwa sarana
pengendalian yang tepat harus dibedakan dari bentuk komunikasi yang umum dan
bahasa natural tidak dimungkinkan untuk membedakan fungsi , seperti yang dilakukan
oleh sarana pengendali.
Jadi yang
dimaksud Habermas dengan integrasi sistem adalah interaksi
sub-sistem-sub-sistem melalui sarana pengendalian sedangkan integrasi sosial
adalah integrasi melalui komunikasi dalam bentuk umum. Sementara lifeworlds
dimaknai sebagai wilayah interaksi sosial yang diintegrasikan secara sosial dan
kesemuanya berkat ketergantungan pada bahasa natural yang distrukturkan secara
menyeluruh.
3. Rasio dan
Rasionalisasi Masyarakat = Modernisasi
Persoalan rasio
dan rasionalitas merupakan persoalan yang biasa mengusik perhatian para filosof[34].
Habermas mempersoalkan kembali makna rasio di dalam masyarakat industri modern.
mazhab Frankfurt terutama melalui tiga tokohnya Horkheimer, Adorno dan Marcuse;
berhasil merumuskan hakekat rasio yang berlaku dalam masyarakat industri
Modern, yakni rasio yang berfungsi sebagai alat yang netral untuk
mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Rasio bisa diperalat untuk
mengoperasikan sistem sosial atau sistem teknologi tertentu_justru karena rasio
ini dipisahkan dari praxis[35].
Habermas dalam
kaitan ini (netralisasi rasio)_berpendirian yang sama denga mazhab Frankfurt
walau penjelasannya berbeda. Rasio insrumental dewasa ditempatkannya dalam
konteks yang lebih luas_yaitu maslah kaitan teori teori dengan praksis yang
selalu menjadi persoalan dalam tradisi filsafat Barat di masa pencerahan.
Artinya_bahwa Habermas mengembalikan masalah kaitan teori dan praksis pada akar
filsafat Barat (Yunani kuno). Pada era ini Filsuf seperti, Sokrates, Plato,
Aristoteles berfilsafat untuk kebijaksanaan hidup; filsafat menjadi way of
life. Mereka berteori, tetapi teori mereka pada gilirannya memberi
pengarahan bagi praksis kehidupan sosial. Habermas menyebut_bagi tradisi klasik
ini pertautan teori dan praksis senantiasa mengacu pada hidup yang baik dan
layak, atau hidup yang benar; sebagaimana diungkapkan dalam bukunya Knowledge
and Human Interests, teori cendrung dipisahkan dari praksis kehidupan
sosial-individual manusia. Teori yang dicari dalam sejarah filsafat adalah
teori murni[36].
Dalam alam
pemikiran abad ke 18, demikian Habermas menunjukkan bahwa terdapat minat yang
besar terhadap emansipasi sosial. Praksis perubahan sosial yang dibimbing oleh
teori mencakup tahap-tahap emansipasi yang ditafsirkan Habermas sebagai
pembebasan dari paksaan-pakasaan atau pembatasan-pembatasan yang berasal dari
luar individu. Karena itu_teori mengandung pencerahan untuk bertindak secara
tepat dan benar[37].
Hegel dan Sigmund Freud banyak menginspirasi Habermas tentang makna kritik;
tilikan kritis ke dalam hubungan-hubungan kekuasaan menghasilkan pengalaman
emansipasi.
Emansipasi
itu_di abad 18 dapat terjadi karena manusia memakai rasionya_bukan iman dan
bukan juga kepercayaannya. Rasio dalam menghadapi dogmatisme yaitu metafisika,
kekuasaan feodal dan gereja_mengambil posisi memihak; rasio tidak netral,
melainkan berkepentingan untuk membebaskan diri dari dogmatisme[38].
Emansipasi yang diperoleh rasio mengarah pada otonomi individu, peleyapan
penderitaan dan perwujudan kebahagiaan konkret. Dan tentu saja_rasio yang
memihak pada masa pencerahan ini terjewantahkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang membuahkan sukses-sukses konkret itu. Rasio yang memihak itu
menghasilkan emansipasi karena terwujud dalam keputusan untuk emansipasi itu.
Atau dengan kata lain, teori dan praksis terkait dalam wujud rasio yang
memutuskan untuk mewujudkan kepentingan emansipasi.
Merujuk pada
Karl Marx, Habermas menguraikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad
18_semakin menjadi kekuatan produktif di dalam masyarakat. Dalam kondisi sosial
semacam ini, hubungan teori dan praksis mengalami perubahan. Akibatnya, apa
yang dimengerti sebagai rasio dogmatisme dan keputusan mengalami perubahan
juga, ungkap Habermas. Kegiatan produktif masyarakat dalam industri, teknologi,
ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi saling terkait dan saling menopang mengarah
kepada penaklukan alam, yang oleh Habermas disebut sebagai “kontrol Teknis atas
Alam”. Dan dalam perkembangan dewasa ini, menurut Habermas_potensi sosial rasio
dalam ilmu pengetahuan_direduksi menjadi kekuatan kontrol teknis. Artinya_rasio
telah mengalami pergeseran yang tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif
manusia untuk membebaskan diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan
kognitif untuk memanipulasi alam secara teknis.
Permasalahannya
sekarang, mengapa pergeseran pemahaman itu terjadi? Bagi Habermas_hal itu
diakibatkan oleh hilangnya kemampuan orang-orang modern untuk membedakan antara
dimensi teknis dan praktis di dalam masyarakat[39]. Di
dalam kebudayaan ilmiah_masyarakat industri maju, riset, teknologi, produksi
dan administrasi berinteraksi menjadi sebuah sistem yang saling tergantung_yang
kemudian menjadi basis kehidupan masyarakat modern. manusia modern hidup dalam
jaringan organisasi dan rangkaian barang-barang konsumsi, sistem teknologi dan
administrasi menjadi kebutuhan hidup yang menentukan (namun di lain pihak,
sistem itu tertutup bagi pengetahuan dan refleksi).
Habermas_melihat
paradoks pada aras ini “semakin pertumbuhan dan perubahan masyarakat ditentukan
oleh rasionalitas proses-proses riset ilmiah, mengalami pembagian kerja,
kebudayaan masyarakat itu (yang sekarang menjadi makin ilmiah)_semakin kurang
berakar dalam pengetahuan dan kesadaran para warganya”. Dalam hal ini_istilah
dogmatisme (seperti juga rasio dan keputusan) mendapatkan pengertian baru
sebagai pemutlakan dimensi teknis pada bidang-bidang sosial dalam kebudayaan
ilmiah dan diartikan sebagai dogmatisme baru; atau Fichte menyebutnya sebagai
“kesadaran yang membeku”[40].
4. Modernisasi:
Proyek yang belum selesai
Jurgen Habermas
mencoba mengatasi jalan buntu yang dihadapi pendahulunya dengan paradigma
komunikasinya, proyeknya menuju masyarakat komunikatif itu tetap bergerak pada
jalur yang sama_dirintis oleh Hegel meneruskan proyek pencerahan dan proyek
emansipasi kemanusiaan universal. Sebagai generasi baru Mazhab Frankfurt,
Habermas melangkah mantap untuk mengemban tugas intelektual teori kritis.
Sementara itu,
kritik terhadap pencerahan_yang dianggap berakhir dengan kebuntuan dan
kebingungan, Adorno dan Horkheimer justru melangkah ke sebuah jalur filsafat
yang berbeda. Pada aras ini, Habermas menghadapi tantangan yang paling
menggelisahkan untuk seluruh proyeknya. Mereka yang menantang ini sangat kritis
terhadap rasionalitas modern dan banyak terinspirasi oleh filsafat Nietszche
dan seorang diantaranya adalah Jean-Francois Lyotard_yang di tahun 1980-an
meluncurkan tema “Post-modernisme”[41].
Tema tersebut_bagaikan hantu yang menyembul ke atas genangan kesadaran sejarah
Habermas, karena segera menempatkannya dalam posisi tertentu yang diandaikan
sudah out of date, yaitu modernisme dengan segala proyek-proyek
sejarahnya. Bagi Habermas_masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan
modern sebelum mulai berfikir mengenai kemungkinan Post-modern_yang kemudian
modernitas dilihatnya sebagai “proyek yang belum selesai”[42].
Ada satu kata
sepakat dalam semua lingkungan pemikiran, bahwa modernisasi merupakan suatu
kekuatan terbesar dalam sejarah[43].
Satu kekuatan pemacu perkembangan peradaban umat manusia yang hampir tidak ada
presedennya di masa lampau. Bumi sebagai sebuah planet terus bergejolak dengan
berbagai perubahan radikal, menghadirkan ketidakpastian dalam sebuah krisis
besar peradaban. Lalu bagaimana_Habermas memberikan gambaran mengenai proyek
modernitas yang belum selesai itu?
Bagi Habermas,
produk akhir dari proyek modernitas adalah masyarakat rasional penuh dimana,
baik sistem maupun rasionalitas kehidupan-dunia dimungkinkan untuk mengungkapkan
dirinya sendiri sepenuhnya tanpa yang satu menghancurkan yang lain[44].Saat ini, manusia sedang mengalami
penderitaan pemiskinan kehidupan-dunia yang segera diatasi, dan jawaban tidak
pada aras penghancuran sistem (terutama sistem ekonomi dan administrasi),
karena sistem itulah yang semestinya menyediakan persyaratan material yang
diperlukan untuk memungkinkan kehidupan dunia menjadi rasional.
Satu masalah
yang mendapat perhatian Habermas adalah masalah yang dihadapi oleh negara
kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern. penyelesaian masalah tersebut
bagi Habermas tidak bisa terselesaikan pada tingkat sistem saja, melainkan
dalam kerangka hubungan antara sistem dan kehidupan dunia. Rintangan pengendali
(restraining barrier) harus digunakan untuk mengurangi pengaruh sistem terhadap
kehidupan-dunia, jelas Habermas. Begitu pula_sensor harus di bangun untuk
meningkatkan pengaruh kehidupan –dunia terhadap sistem. Jadi, masalah kontemporertidak dapat terselesaikan dengan sistem
pembelajaran untuk berfungsi secara lebih baik; impuls-impuls kehidupan dunia
harus mampu berperan dalam pengendalian sendiri dari sistem fungsional. Hal ini
merupakan langkah penting, menurut Habermas menuju terciptanya saling
memperkaya antara kehidupan-dunia dan sistem.
Pada aras
itulah, gerakan sosial mulai memainkan peran, karena gerakan itu mencerminkan
harapan akan pensejajaran sistem dan kehidupan-dunia sehingga keduanya dapat
mencapai tingkatan rasional setinggi mungkin dan bisa hidup berdampingan secara
damai dan setara dalam kehidupan modern. persekutuan penuh antara rasionalitas
sistem dan rasionalitas kehidupan-dunia itulah manurut Habermascara penyelesaian proyek modernitas.
Rasio Komunikatif
dan Pencerahan lanjut: suatu Alternatif
Kritik radikal
atas rasio dan pencerahan yang dilontarkan pemikir Post-modernitas (seperti
Heidigger, Bataille dan Derrida)...tidak ditolak sepenuhnya oleh Habermas; hal
ini dapat dilihat dalam program teori kritisnya yang memperlihatkan bahwa rasio
dikondisikan secara empiris oleh masyarakat, zaman, sejarah, kebudayaan dan
bahasa. Juga, sama dengan pemikir Post-modernitas, Habermas memandang ada
sesuatu yang tidak beres dengan pencerahan dan modernitas yaitu adanya hubungan
antara rasio dan kekuasaan..Namun_semua persamaan ini berubah menjadi
ketidaksetujuan manakala kritik mereka menjadi total dengan menolak kemungkinan
rasio menjadi kritis, termasuk menolak bahwa soalnya bukan rasio pada dirinya,
melainkan distorsi rasio dalam modernisasi kapitalis.
Perbedaan
Habermas dengan pemikir Post-modernitas, sebagaimana pendapatnya bahwa
cacat-cacat pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan modernitas dan
pencerahan, melainkan dengan pencerahan lebih lanjut[45]. Tawaran
alternatif rasional yang ditawarkan Habermas berangkat dari sebuah kritik atas
rasio yang mungkin menjadi kritis. Karena itu_ kritik radikal atas rasio yang
berpusat pada subjek akan menjumpai paradoks yang sulit di atasi kalau tidak
meyakini kemampuan kritis-emansipatoris dari rasio atau menggunakan sementara
untuk kemudian meninggalkannya. Paradoksanya adalah bagaimana melangsungkan
kritik itu tanpa tergelincir ke dalam rasio yang berpusat pada subjek yang
ingin dihancurkannya itu?.
Habermas yakin
bahwa rasionalisasi dunia-kehidupan dimungkinkan lewat tindakan komunikatif.
Rasionalisasi akan menghasilkan tiga segi, yaitu reproduksi kultural, integrasi
sistem, dan sosialisasi. Dimana masing-masingnya menjamin keberlangsungan
tradisi, koherensi pengetahuan, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan
sarana-sarana hubungan antar pribadi dan kemampuan untuk bertindak bagi
generasi mendatang tetap terjamin dalam bentuk kehidupan kolektif
terpelihara.keterkaitan ketiganya menurut Habemas melalui tindakan komunikatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens, K,1983, Filsafat
Barat abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia.
Budiman, Hikmat, 1997, Modernisme
dan Krisis Rasionalitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frankel, Boris l,1974, Habermas Talking: An
Interview, dalam : Theory and Society vol 1
Frans Magnis Suseno, memberikan pengantarbuku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari ”Ilmu dan Teknologi
sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik und Wissenschaft als
Ideologi, 1990.
George Ritzer-Douglas J. Goodman,
2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana
Habermas, Jurgen, 1990, Ilmu dan Teknologi
sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES
______, 2006, Teori Tindakan
Komunikatif, buku satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana
______, 2007,Rasio dan
Rasionalisasi Masyarakat, Pent. Buku satu Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi
Wacana
______, 2007, Kritik atas Rasio Fungsionalis, Pent. Buku Dua
Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
______,1975, Legitimation Crisis, Baecon Press
Hardiman, F.Budi,1993, Menuju Masyarakat
Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.
____, 1990, Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,Yogyakarta: Kanisius
Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern, Jakarta: Gramedia
R. Roderic, 1986, Habermas and Foundation of
Critical Theory, Lond
[1]Teori-teori Marxisme di Barat_yang
kemudian dikenal dengan nama Marxisme Kritis atau Neo-Marxisme. Neo-Marxisme
merupakan serangkaian usaha untuk menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl
Marx yang telah dibekukan menjadi alat idiologis di tangan Partai Komunis
Unisoviet.
[3]Revisionisme adalah usaha teoritis
untuk memodifikasikan ajaran-ajaran marxis-ortodoks sesuai dengan keadaan
masyarakat kontemporer. Kaum resivionis tidak meninggalkan sama sama sekali
ajaran marxis dan tetap berafiliasi pada suatu partai komunis. Tokoh utamanya
adalah Bernstein; dan lebih lanjut ia beranggapan bahwa bagan materialisme
sejarah yang disusun Marx dan Engels tidak sesuai lagi dengan fakta masyarakat
kontemporer. Oleh karena itu, ia menolak determinisme ekonomis atas sejarah
perkembangan masyarakat. Determinisme itu_justru dipertahankan oleh penentang
revisionisme yaitu kaum Marxis ortodok (dengan wakilnya yang terpenting Karl
Kautsky).
[5]R. Roderic, 1986, Habermas and
Foundation of Critical Theory, London, Macmillan, p.35
[6] Frans Magnis Suseno, memberikan pengantar
buku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari
”Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik
und Wissenschaft als Ideologi, 1990.
[10]Psikoanalisa si pasien yang
meningat-ingat kembali sejarah hidupnya, dengan segala kemiringan, trauma dan
penindasan pisik. Dan dengan demikian bebas dari penguasaan yang tidak sadar
dimana trauma-trauma itu_tanpa disadari, bekerja terus, bekerja terus_begitu
manusia mengingat sejarahnya, sebagai sejarah penderitaan dan
penindasan_dibebaskan dari kekuasaannya yang sebelumnya tidak disadari. Ia
menyadari bahwa situasi yang sekarang ternyata dapat diubah.
[14]Mazhab Frankfurt menjadi sangat
populer di kalangan mahasiswa di era pemberontakan mahasiswa antara tahun
1965_1975. Hanya Herbert Marcuse yang mendekati figur menjadi seorang guru_yang
walaupun akhirnya juga ditolak oleh mahasiswa yang memang sedang mencari sebuah
idiologi perjuangan untuk sebuah revolusi.
[15]Kata “praktis” selalu
digunakan oleh Habermas dalam konteks pengertian yang dipahami Aristoteles
sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat.
[16]Kontemplasi mengacu kepada hal-hal
yang abadi, yang ilahi, juga kontemplasi kosmos_yang dalam keseluruhannyamencerminkan tatanan ilahi. Orang yang
melakukan kontemplasi itu adalah sang filosof; kontemplasi atas hal-hal yang
ilahiat yang tidak berubah mengorientasikan manusia yang melakukannya pada pada
tolok ukur-tolok ukur abadi.
[20]Bertens,K,1983, Filsafat Barat
abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia.p. 233
[21]Boris Frankel,1974, Habermas
Talking: An Interview, dalam : Theory and Society vol 1.p.38
[22]Bahwasanya orang sering tidak
sepakat mengenai nilai-nilai dan masalah nilai sesungguhnya adalah masalah
pengutamaan, selera (de gustibus non est disputandum), jadi orang tidak
perlu mempertentangkannya. Kalaupun dipertentangkan itu sudah mengarah kepada kepentingan
(Ralph Barton Perry dalam bukunya “General Theory of Value”).
[23]Disebut perselisihan Positivisme,
karena para wakil teori Kritis masyarakat berpendapat bahwa tuntutan agar
ilmu-ilmu sosial bekerja bebas dari pelbagai penilaian, pada dasarnya berakar
dalam pendekatan positivistik.
[25]F.Budi Hardiman,1993, Menuju
Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.hal. 10.
[26]Jurgen Habermas, 1990, Ilmu dan
Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES
[27]Refleksi diri_sepadan dengan kata”
kritik”, dan rasio yang menjalankannya adalah apa yang oleh mazhab
Frankfurt disebut “Rasio Kritis”. Dan dalam kosa kata Habermas menjadi “konsensus
bebas-paksaan”.
[34]Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh
Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia
[35]Praxis yaitu tindakan manusia untuk
merealisasikan hidup yang baik atau moralitas. Rasio tidak mengandung isi
moral, sebab semua harapan, penilaian moral, unsur-unsur subjektif_dianggap
tidak rasional dan menghambat efektivitas, efisiensi dan operasionalitas sistem
sosial dan teknologi. (lih.Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif,
Jakarta: Kreasi Wacana.
[37]Bentuk-bentuk teori yang terkait
dengan praksis ini dapat dilihat dalam tulisan Friederick Hegel “Pheneomenology
of Mind” dan psikoanalisis Signund Freud.
[39]Istilah “praktis”, Habermas_ mengacu
pada komunikasi inter-subjektif yang diarahkan dengan pertimbangan etis untuk
mencapai saling pemahaman. Sementara istilah” teknis”_mengacu pada penguasaan
alam, kontrol dan manipulasi atas proses-proses objektif.