Kamis, 30 Agustus 2012

MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK DI PTAI

Pada tanggal 30 Juli s/d 1 Agustus 2012 lalu, saya mengikuti kegiatan pembinaan akademik bagi PTAI di Hotel Marbella Bandung. Kegiatan tersebut diikuti oleh Rektor/Ketua PTAI seluruh Indonesia. Kehadiran saya selaku Rektor Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah NTB.

Budaya akademik merupakan suatu sistem nilai dan tata nilai yang hidup dan b...

erkembang di kalangan masyarakat ilmiah yang tercermin dalam sikap dan perilaku komunitasnya, kata H Zaenal Mukaraom sebagai salah satu nara sumber pada kegiatan itu. Fungsi budaya akademik sebagai norma, tradisi dan cara hidup dari masyarakat pendukungnya yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektivitas.

Labih lanjut dikatakan Mukarom bahwa sesuatu telah menjadi budaya apabila sesuatu itu sudah menjadi milik masyarakat pendukungnya. Dikatakan sebagai milik, apabila telah disenangi, dihargai, dipelihara dan bahkan dibela atau dipertahankan.

Secara teoritis ada beberapa prinsip budaya akademik yakni adanya kebebasan akademik, menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, objektivitas, keterbukaan dan otonomi keilmuan (Mukaram, 2012). Tentu, jika ditelisik secara seksama kelima prinsip budaya akademik tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh kampus PTAI. Hal itu disebabkan oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh PTAI (baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat) baik faktor eksternal maupun internal (Muhammad Zain, 2012).

Faktor eksternal meliputi bergesernya paradigma masyarakat terhadap makna pendidikan yang selalu dikaitkan dengan serapan lapangan pekerjaan; regulasi pendidikan yang selalu berubah dan cendrung tidak terintegrasi; beratnya tantangan yang yang dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya; tingginya rivalitas diantara PTAI dalam merekrut calon mahasiswa yang berakibat terabaikannya kualitas.

Belum lagi rivalitas antara PTAI yang dikelola pemerintah dengan yang dikelola masyarakat dan terkesan PTAI yang dikelola masyarakat sebagai the second to campus. Itulah faktanya, sehingga PTAI yang dikelola masyarakat dibeberapa daerah harus menunggu limpahan calon mahasiswa dari PTAI yang dikelola pemerintah. Kalau rivalitas tersebut tidak segera dicarikan solusinya, bukan mustahil bayak PTAI yang dikelola masyarakat akan gulung tikar. Di ranah ini, pemerintah harus adil dalam menanganinya.

Sementara itu, faktor internal lebih tidak terurus, seperti penyelenggaraan tri dharma tidak terarah dan cendrung salah urus; penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat formalitas dan munculnya praktek-praktek tidak terpuji dalam bentuk instanisasi pendidikan (buktinya menjamurnya jual beli ijasah sebagaimana kasus di Jawa Timur); minimya sarana dan prasarana pendidikan; lemahnya bargaining position PTAI dalam kancah pergaulan lokal, nasional dan internasional, dan berbagai persoalan lainnya.

Nah, di tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh PTAI tersebut di atas, tentu para pengelolanya tidak boleh mandek dalam menumbuhkan budaya akademik. Indikator sederhana untuk menumbuhkan budaya akademik dengan mengupayakan tumbuhnya kebiasaan membaca, menulis dan meneliti dari kalanan civitas akademika; Proses Belajar mengajar harus diupayakan berlangsung secara demokratis; dibukanya ruang kompetisi secara sehat dikalangan civitas akademika: lalu bagi mereka yang berprestasi diberikan penghargaan terhadap prestasi dan kualitas; dan yang terpenting adalah mengurangi tradisi orality kemudian diupayakan tradisi literacy (Mukaram, 2012).

Untuk mewujudkan budaya akademik tersebut di atas maka diperlukan strategi yang tepat dan smart. Diantara strateginya meliputi perlu ada komitmen dan keseriusan mengelola PTAI; dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership); SDM yang berdaya saing (minimal S2 dan S3) dan sarana dan prasarana yang memadai (terutama pelayanan dengan memanfaatkan IT).

Pemeritah dalam ranah ini, seharusnya memberikan bantuan dan perhatian yang adil bagi semua PTAI agar strategi tersebut di atas dapat dilakukan demi tumbuhnya generasi cerdas dan bertanggungjawab. Bantuan-bantuan fisik sedapat mungkin diprioritaskan bagi PTAI yang dikelola masyarakat, demikian bantuan penelitian dan pengabdian masyarakat bagi para dosen harus berdasarkan rasa keadilan. Ya, rasa keadilan itu harus garis bawahi, sebab bagaimana bisa satu orang dosen ditahun anggaran yang sama bisa menerima bantuan penelitian lebih dari satu. Demi tumbuhnya dan berkembangnya budaya akademik hal-hal tersebut mesti menjadi perhatian. Wallahu muwafiq ila Darissalam.

0 komentar: