Sabtu, 01 September 2012

MENARI DI ATAS BENDA SAKRAL

Bagi pecinta musik pop, tentu nama penyanyi Indah Dewi Pertiwi sudah tidak asing lagi. Lagu-lagu yang dibawakannya banyak yang bagus-bagus, ditambah lagi karena orangnya memang cantik dan seksi. Yang menarik bagi penulis bukannya lagu-lagu dan kecantikannya tetapi kepiawaiannya menari di atas sebuah benda (Gong) yang disakralkan oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan...

Barat.

Pada awalnya, saya hanya melihat sepintas lalu, tarian Indah Dewi Pertiwi (IDP), karena menari menjadi sesuatu yang biasa (tidak lebih dari sebuah koreografi semata) bagi seorang penyanyi. Namun, akhirnya saya serius juga menontonnya (di acara hot shot_SCTV, 31 Agustus 2012, jam 10.00 Wita), karena kepiawaiannya menari di atas benda yang disakralkan oleh suku Dayak di Kalimantan Barat. Terus terang saya sangat terkejut, melihat tayangan tersebut sembari bertanya dalam hati, bagaimana mungkin sesuatu yang disakralkan oleh suatu suku diperbolehkan menari di atasnya? atas dasar alasan apa, kepala suku membolehkannya dan bukankah itu sama saja dengan telah menghilangkan kesakralannya?

Dalam terminologi Antropologi, sesuatu yang sakral dapat diartikan sebagai sesuatu yang suci atau yang disucikan oleh suatu komunitas. Pada kenyataannya, yang sakral lebih mudah dikenal daripada didefinisikan (Notingham, 1996). Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri, baik yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat, terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa (sacred and profane). Menurut Notingham, hampir tidak ada sebuah benda pun yang ada di langit ataupun di bumi yang pada suatu saat belum pernah dianggap sakral oleh kelompok orang.

Orang Hindu di India memuja lembu yang suci dan tidak diperbolehkan memakan daging lembu; orang Islam mensakralkan batu hitam (hajar aswad) di salah satu sudut ka'bah; orang kristen memuja salib di atas altar; orang Yahudi memuja lembaran batu tempat ditulisnya 10 perintah Tuhan dan orang-orang yang berperadaban sangat sederhana memuja totem (dapat berupa benda atau binatang) yang dipercayai dalam mitos sebagai lambang nenek moyang pertama suku tertentu.

Di samping benda yang tampak atau konkrit, yang sakral juga mempunyai aspek yang tidak kelihatan dan gaib. Mahluk-mahluk dan wujud-wujud sakral yang bermacam-macam, seperti dewa-dewa, roh-roh, malaikat-malaikat, setan-setan dan hantu-hantu disembah karena menakjubkan atau suci (Notingham, 1996:11). Pribadi Yesus Kristus yang bangkit kembali dari kuburannya, Perawan Maria dan orang-orang yang suci, Zeus dan semua candi atau kuil orang Yunani; Allah dan Muhammad Saw adalah sakral bagi pengikut mereka masing-masing dan diadakan upacara-upacara serta diabadikan dalam ajaran-ajaran kepercayaan mereka.

Dengan demikian, kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri menyibakkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. Suatu perasaan yang luas biasa, yang memisahkan objek tersebut dari jangkauan perhatian sehari-hari. Jadi yang sakral itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kemanusiaan sehari-hari (Odea, 1981). Artinya yang sakral itu, kadang tidak dipahami dengan akal sehat yang bersifat empirik untuk memenuhi kebutuhan praktis.

Kawan Asror (seorang rasionalist) menyatakan bahwa benda-benda yang sakral sebenarnya secara lahiriah tidak berbeda dengan benda-benda biasa yang dikenal sehari-hari. Bagi orang yang belum mengetahui, dapat mempertanyakan apa bedanya gong sakral orang Dayak dengan gong yang ada di suku Sasak di Lombok atau dengan Jawa misalnya. Toh, sama-sama gong dan terbuat dari bahan baku yang sama. Tentu, yang membedakannya perasaan kagum terhadap suatu benda sakral yang tetap dilestarikan oleh para pemeluknya. Perasan itu merupakan perasan yang nyata, bukan sekedar memberikan sifat-sifat sakral kepada benda-benda tersebut, tetapi juga memungkinkan wujud-wujud khayal ini berada berada dalam fikiran para pemujanya. Lagi pula wujud-wujud semacam itu walaupun bersifat hayali atau imajiner, ternyata menimbulkan akibat-akibat yang dapat diamati secara empiris.

Nah, benda sakral yang berupa gong (dianggap suci orang Dayak) yang dapat dipinjamkan kepada IDP sebagai tempat syuting video klipnya, bisa saja telah berganti fungsi atau tidak sakral lagi, buktinya masak sih benda sakral dapat dipinjamkan. Atau memang kesakralan sudah beralih menjadi profane karena kuatnya kapital, sehingga yang sakral itu adalah kapital (sebut saja uang). Kalau demikian, tentu kapital dapat mengancam eksistensi kepercayaan kita, bukankah yang sakral itu sebenarnya menjadi inti dari suatu keyakinan atau agama. Tentu, hal itu menjadi ancaman serius bukan?. Dengan kapital yang sakral kini sudah banyak yang tergadaikan. Wallahul muwafiq ila Darissalam.

0 komentar: