Kamis, 20 September 2012

BERPOLITIK ALA WARGA NAHDLATUL ULAMA

Nahdlatul Ulama (NU) sudah memutuskan untuk kembali ke khittah 1926 (hasil muktamar Sitobondo 1984), dimana NU tidak lagi menjadi partai politik atau bagian dari dan terikat oleh partai politik manapun. Keputusan kembali ke khittah 1926 membuat masyarakat kebingungan sebab cara berpolitik selama ini ditentukan oleh pimpinan pusat organisasi, karena itu NU mera

sa perlu memberi pedoman agar warga Nahdliyin tetap menggunakan hak politiknya secara benar dan bertanggungjawab.

Pada muktamar NU Tahun 1989 di Yogyakarta melahirkan pedoman kepada warga NU yang menginginkan hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab, serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, juga membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama.

Pedoman berpolitik ala warga NU sebagaimana hasil muktamar NU Tahun 1989 di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai berikut:
(1). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

(2). Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan bathin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan diakhirat.

(3). Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

(4). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(5).Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitutional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

(6). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal-Jama'ah.

(7). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

(8). Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

(9). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan (Abdul Mun'im DZ, 2012, Piagam Perjuangan Kebangsaan Nahdlatul Ulama, Jakarta: NU online dan ISNU).

Itulah kutipan pedoman berpolitik warga Nahdlatul Ulama yang secara moral patut untuk dipedomani oleh warga Nahdlatul Ulama dimanapun dan berada di partai politik manapun. Ahlakul Karimah menjadi titik sentral berpolitik warga Nahdlatul Ulama agar mampu memberikan warna dan nilai untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur, serta tidak mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: