Sabtu, 22 September 2012

HIDUP DALAM LINGKARAN TEROR


Tampaknya, kita sebagai warga masyarakat belum bisa tenang menjalani kehidupan di negeri ini, sebab terror masih saja terjadi. Beberapa terror bom yang terjadi beberapa bulan terakhir ini, sungguh telah merusak ketenangan hidup sebagai warga Negara. Di mulai dari penembakan terhadap pos keamanan di Solo Jawa Tengah, lalu bom meledak di kawasan Beiji Depok Jawa Barat, kemudian Bogor, di Tambora Jakarta, dan terakhir ditemukan (22/09/2012) di Solo ada 8 bom yang siap diledakkan.
Menghadapi para terroris Densus 88 Kepolisian Republik Indonesia bertindak cepat, tepat dan tangkap para pelakunya. Tampaknya, kepolisian kali ini tidak bermain-main dengan para terrorist yang telah membuat masyarakat resah, karenanya Densusu 88 tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat menangkap para pelaku dan barang buktinya berupa benda-benda yang dapat dipergunakan untuk meracik bom. Para terroris, seperti Muhamad Thoriq dan Abu Totok alias Muhamad Yusuf Rizal, serta Firman sudah diamankan (menyerahkan diri). Ruang gerak para terrorist dengan cepat dapat dimatikan, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan diri atau mati (sebagaimana Dr. Azhari mati dalam kontak senjata dengan Densus 88).
Jika dicermati, ternyata para pelaku terror adalah orang-orang yang pengetahuan agamanya sangat minim, sebagaimana diungkapkan oleh Wamenag RI Prof. Dr. Nazaruddin Umar. Maka logika sederhananya, mereka yang pengetahuan agamanya kuat dan luas tidak mungkin melakukan tindakan kekerasan dan apalagi sampai membunuh banyak orang. Agama Islam dan agama apapun tidak pernah melegalkan dan mendakwahkan kekerasan atau terror. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, agama cinta damai. Kalaupun terjadi tindakan kekerasan atau terror yang dilakukan oleh para terrorist (kebetulan mengaku beragama Islam) tidak dapat dikaitkan dengan agama Islam, itu hanyalah oknum yang tidak mewakili pemeluk Islam lainnya.
Dalam konteks Indonesia, aksi terror dalam pengertian peledakan bom di beberapa daerah sudah terjadi semenjak tahun 2000-an dan jauh hari sudah terjadi sebelum aksi terror yang memalukan Amerika dengan peledakan menara kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2011. Pasca tragedi 11 September 2001 di New York, terminology terrorism semakin menggurita dan menjadi issu primadona khususnya bagi Negara Adidaya semisal Amerika. Kendatipun belum ada suatu definisi yang berlaku secara universal untuk mengartikan apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan terror atau terrorism, namun issu terrorism senantiasa mendapat prioritas utama dari setiap kebijakan politik maupun hukum suatu Negara.
Namun, barangkali kita sepakat bahwa fenomena kejahatan yang berskala global dan bernuansa kekerasan, serta kanibalism terhadap ummat manusia di seluruh belahan dunia di awal dekade 2000-an sampai saat ini adalah aksi terrorisme. Dalam spektrum sosial, terjadinya peristiwa-peristiwa pengeboman diberbagai daerah dalam wilayah NKRI merupakan gangguan yang serius terhadap keselamatan manusia (human security) untuk membebaskan manusia dari rasa takut (freedom of fear). Pada sisi lain, tindak pidana  terrorism dewasa ini terkait dengan kejahatan lintas Negara (transnational organized crime) oleh sebab itu terrorism menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa-bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Menurut beberapa ahli, terrorism memiliki karakteristik yang patut untuk diketahui agar lebih memahami kejahatan terrorism tersebut. Karakteristik dari terrorism, menurut Hasnan Habib, sebagaimana ditulis King Faisal Sulaiman adalah (1) Pengekploitasian terror sebagai salah satu kelemahan manusia secara sistematik; (2) penggunaan unsur pendadakan dan kejutan, perencanaan setiap aksi terror; (3) mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.
Karakteristik terrorism sebagai tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa kendatipun banyak pendapat yang beragam mengenai karakteristik terrorism, namun aksi terrorism harus senantiasa mendapat perhatian  bagi semua pihak. Para pelaku teroris tidak membedakan secara tegas para penduduk sipil atau orang-orang yang tidak berdosa. Terrorism tidak hanya menjadi ancaman bagi para negarawan, politisi maupun diplomat (sebagaimana terbunuhnya Dubes AS untuk Libya, hari Rabu Tanggal 13 September 2012 kamarin), akan tetapi masyarakat sipil yang tidak berdosa-pun tidak jarang menjadi korban kebringasan (kasus bom Bali satu dan dua, misalnya), kekejaman dari para pelaku terrorism tersebut.
Di samping mengetahui karakteristik dari terrorism, penting juga diketahui jenis-jenis terrorism agar masyarakat umum dapat membedakannya secara tegas. Setidaknya ada empat jenis terrorism yaitu (1) Irrational Terror, yakni aksi terror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya kurang masuk akal; (2) Criminal Terror, biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan kelompoknya; (3) Political Terror, merupaka kegiatan terror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan yang bertujuan politik; (4) State Terror, adalah aksi terror yang dilakukan oleh penguasa suatu Negara terhadap rakyatnya untuk membentuk perilaku dari segenap lapisan masyarakat.
Yang terpenting dan harus dilakukan pemerintah sekarang adalah mengembalikan rasa aman masyarakat dari terror yang datangnya sulit terdeteksi. Aparat keamanan harus bekerja extra untuk dapat mengembalikan perasaan aman masyarakat itu. Upaya pemerintah untuk mencegah terrorism, baik dasar hukum maupun lembaga-lembaga yang menanganinya. Wujud keseriusan pemerintah memerangi terrorism, tampak pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lalu, dibentuk juga Densus 88 anti terror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kesemuanya bekerja untuk menanggulangi tindak Pidana Terorism.
Terlepas dari kondisi sosio-politis munculnya UU Nomor 15 Tahun 2003 itu, namun yang pasti bahwa tidaklah mudah menanggulangi para pelaku terorisme. Oleh sebab itu, pemerintah harus membangun kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral ataupun multilateral diberbagai bidang dalam memberantas kejahatan terorisme ini. Efektifitas kerjasama itu harus didukung oleh perangkat hukum yang baik serta budaya hukum masyarakat yang baik pula. Hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek kinerja dan integritas moral dari aparat penegak hukum, karena tidak mustahil dalam proses penegakan hukum, peluang terjadinya pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM akan semakin besar. Masyarakat Indonesia masih tetap yakin dan mendukung kerja-kerja penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana terorisme demi kembalinya kehidupan yang aman, damai, dan harmonis. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

0 komentar: