Minggu, 09 September 2012

DEWAN WALI


Ketika saya menyebut istilah Dewan Wali, mungkin kita akan bertanya, mahluk macam apa ini? Atau mungkin juga, kita dapat menggambarkan sosok orang-orang yang mempunyai moralitas tinggi dan kharismatik. Namun, mengapa saya harus usil untuk menulis tentang Dewan Wali yang belum jelas bentuk dan wujudnya. Apakah, memang Dewan Wali itu ada dan kalaupun ada, siapa yang memperdulikannya, serta untuk siapa mereka berada.
Dewan Wali pernah eksis menjelang keruntuhan kerajaan Majapahit (saat itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya V) dan penyokong atau penggagas bendirinya kerajaan Demak Islam di bawah kepemimpinan Raden Jimbun alias Raden Patah. Kerajaan Majapahit kala itu sedang lemah ditambah lagi dengan serangan yang dilakukan oleh Prabu Girindrwardhana dari Kediri. Karena serangan itu, Prabu Brawijaya V yang memang sudah sangat sepuh merasa kehancuran Majapahit tinggal menunggu waktu saja, tentu hal itu membuat Prabu Brawijaya V tambah putus asa. Dan dalam situasi seperti itu, Prabu Brawijaya V sudah terpikir untuk melakukan moksa di gunung Lawu menjelang ajalnya menjemput.
Berdirinya kerajaan Demak Bintara tak lepas dari peran Dewan Wali, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan lainnya. Keberadaan mereka dalam tatanan kerajaan (Penasehat kerajaan) Demak Bintara kala itu, berperan central pada setiap keputusan yang akan diambil oleh Raja. Dan tidak hanya itu, keikutsertaan mereka menghadapi pemberontak menjadi catatan lain tentang loyalitas dan kesetiaan mereka kepada kerajaan. Kedudukan yang mereka emban dilakoninya sebagai amanah dan bukan demi jabatan itu sendiri. Sehingga tidak heran bila mereka berhasil dalam membumisasikan Islam di Tanah Jawi dengan pendekatan budaya dan politik.
Di tengah mengguritanya korupsi dan berbagai tindakan kekerasan (terorisme) di Indonesia saat ini, mungkin kita sangat merindukan sejenis Dewan Wali yang akan memberikan nasehat kepada para pemimpin bangsa, sebagaimana Raden Jimbun atau Raden Patah mempercayakannya kepada Dewan Wali Songo di bawah komando Sunan Bonang. Sejenis Dewan Wali dengan nama yang berbeda, juga dipakai oleh Mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika akan dan saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Keduanya, mempunyai maksud dan tujuan yang sama yakni sebagai penasehat.
Saya ingat betul, ketika Gus Dur yang dicalon sebagian besar masyarakat Indonesia (terutama kalangan Nahdliyin dan Lintas Agama), tidak berani memberikan keputusan antara maju atau tidak menjadi calon Presiden sebelum mendapatkan restu dari kalangan kiai (di langan NU dikenal dengan istilah kiai langitan). Pada suatu acara munas alim ulama’ Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, akhirnya Gus Dur mendapatkan restu untuk maju menjadi calon Presiden menggantikan Baharudin Jusuf Habibi. Setelah mendapatkan restu kiai Langitan atau disebut juga kiai khos, Gus Dur menyampaikan rasa terima kasihnya atas dukungan para kiai, seraya berkelakar “kalau sudah dapat restu kiai, segala rintangan akan saya terjang dan itulah modal utama saya menjadi calon presiden, kata Gus Dur, sebab hanya itu yang dipunyai kiai, uang pasti tidak punya” katanya singkat.
Saat ini, keberadaan sebagian besar kiai sebagai aktor politik yang mempunyai tujuan dan kepentingan sendiri, sehingga rasanya agak sulit untuk menemukan pigur kiai sebagaimana peran Wali Songo yang tergabung dalam Dewan Wali. Para kiai seakan sudah menjadi tukang stempel dan pendukung politik kekuasaan yang sudah tidak ramah lagi kepada ummatnya. Pada ranah ini, jangan heran bila ummatnya sudah mulai bersebarangan dengan sang kiai, terutama kiblat politiknya. Tentu, pada kasus-kasus tertentu, sangat mungkin perbedaan kiblat politik antara kiai dan ummatnya akan sangat berpengaruh kepada otoritas moralnya, atau meminjam istilah Calmers disebut sebagai “pembangkangan terselubung”. Kalau sudah begini repot khan.
Apa itu berarti bahwa kiai tidak boleh terjun ke kancah politik praktis? Tentu, di dalam alam demokrasi, tidak ada seorang pun yang dapat melarang setiap warga Negara untuk terjun ke politik (apalagi kiai), tetapi beban kiai turun gunung ke kancah politik praktis resikonya lebih besar dibandingkan dengan warga masyarakat lainnya. Sebab dipundak kiai terdapat ribuan dan bahkan jutaan ummat yang haus akan “Mauidzotil Hasanah” dan tuntunan moral. Siapa yang bisa menjamin, dalam system birokrasi seperti sekarang ini (terutama di Indonesia) kiai tidak tergoda kepada dunia material, tidak ada bukan. Kita masih ingat betul, ketika almarhum KH. Zainuddin MZ terjun ke dunia politik praktis sebagai medan dakwahnya, yang terjadi adalah ummat mulai menjauhinya dan dua kali, ia mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI tidak pernah terpilih, bukan. Hal itu sebagai bukti bahwa memang saat ini sedang terjadi pembangkangan terselubung terhadap kiai politik, dan masih banyak kasus lannya.
Sebenarnya, kahadiran Dewan Wali sebagai penyuara suara moral yang diharapkan di tengah kondisi bangsa Indonesia yang dilanda berbagai macam musibah dan ditengah kebijakan penguasa yang tidak populis, serta cendrung segala kebijakannya tidak berpihak kepada rakyatnya tetapi kepada kapitalist. Dewan Wali sebagai pemegang otoritas moral sangat sulit terwujud karena mereka terjebak pada kepentingan politiknya dan tidak lagi bernuansa amanah demi kesejahteraan ummat dan rakyat Indonesia. Pigur seperti Raden Said atau Sunan Kalijaga yang nota bene adalah putra seorang Tumenggung di  daerah kerajaan Majapahit dan Raden Jimbun atau Raden Patah (pendiri kerajaan Demak Bintara), sudah sangat sulit ditemukan di negeri ini. Sebab tingkat ketergantungan dan independensi para kiai sudah banyak dipertanyakan ummatnya sendiri, artinya mereka sudah terbelah dalam firqah-firqah dengan barikade yang sangat kuat. Wallahul muwaffiq ila Darissalam. By Ahyar Fadli

0 komentar: