Ketika saya
menyebut istilah Dewan Wali, mungkin kita akan bertanya, mahluk macam apa ini?
Atau mungkin juga, kita dapat menggambarkan sosok orang-orang yang mempunyai
moralitas tinggi dan kharismatik. Namun, mengapa saya harus usil untuk menulis
tentang Dewan Wali yang belum jelas bentuk dan wujudnya. Apakah, memang Dewan
Wali itu ada dan kalaupun ada, siapa yang memperdulikannya, serta untuk siapa
mereka berada.
Dewan Wali pernah
eksis menjelang keruntuhan kerajaan Majapahit (saat itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya
V) dan penyokong atau penggagas bendirinya kerajaan Demak Islam di bawah
kepemimpinan Raden Jimbun alias Raden Patah. Kerajaan Majapahit kala itu sedang
lemah ditambah lagi dengan serangan yang dilakukan oleh Prabu Girindrwardhana
dari Kediri. Karena serangan itu, Prabu Brawijaya V yang memang sudah sangat
sepuh merasa kehancuran Majapahit tinggal menunggu waktu saja, tentu hal itu
membuat Prabu Brawijaya V tambah putus asa. Dan dalam situasi seperti itu,
Prabu Brawijaya V sudah terpikir untuk melakukan moksa di gunung Lawu menjelang
ajalnya menjemput.
Berdirinya kerajaan
Demak Bintara tak lepas dari peran Dewan Wali, seperti Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan lainnya. Keberadaan mereka dalam tatanan
kerajaan (Penasehat kerajaan) Demak Bintara kala itu, berperan central pada
setiap keputusan yang akan diambil oleh Raja. Dan tidak hanya itu,
keikutsertaan mereka menghadapi pemberontak menjadi catatan lain tentang
loyalitas dan kesetiaan mereka kepada kerajaan. Kedudukan yang mereka emban
dilakoninya sebagai amanah dan bukan demi jabatan itu sendiri. Sehingga tidak
heran bila mereka berhasil dalam membumisasikan Islam di Tanah Jawi dengan
pendekatan budaya dan politik.
Di tengah
mengguritanya korupsi dan berbagai tindakan kekerasan (terorisme) di Indonesia
saat ini, mungkin kita sangat merindukan sejenis Dewan Wali yang akan
memberikan nasehat kepada para pemimpin bangsa, sebagaimana Raden Jimbun atau
Raden Patah mempercayakannya kepada Dewan Wali Songo di bawah komando Sunan
Bonang. Sejenis Dewan Wali dengan nama yang berbeda, juga dipakai oleh Mantan
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika akan dan saat menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia. Keduanya, mempunyai maksud dan tujuan yang
sama yakni sebagai penasehat.
Saya ingat betul,
ketika Gus Dur yang dicalon sebagian besar masyarakat Indonesia (terutama
kalangan Nahdliyin dan Lintas Agama), tidak berani memberikan keputusan antara
maju atau tidak menjadi calon Presiden sebelum mendapatkan restu dari kalangan
kiai (di langan NU dikenal dengan istilah kiai langitan). Pada suatu acara munas
alim ulama’ Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat, akhirnya Gus Dur mendapatkan restu untuk maju
menjadi calon Presiden menggantikan Baharudin Jusuf Habibi. Setelah mendapatkan
restu kiai Langitan atau disebut juga kiai khos, Gus Dur menyampaikan rasa
terima kasihnya atas dukungan para kiai, seraya berkelakar “kalau sudah dapat
restu kiai, segala rintangan akan saya terjang dan itulah modal utama saya
menjadi calon presiden, kata Gus Dur, sebab hanya itu yang dipunyai kiai, uang
pasti tidak punya” katanya singkat.
Saat ini,
keberadaan sebagian besar kiai sebagai aktor politik yang mempunyai tujuan dan
kepentingan sendiri, sehingga rasanya agak sulit untuk menemukan pigur kiai
sebagaimana peran Wali Songo yang tergabung dalam Dewan Wali. Para kiai seakan
sudah menjadi tukang stempel dan pendukung politik kekuasaan yang sudah tidak
ramah lagi kepada ummatnya. Pada ranah ini, jangan heran bila ummatnya sudah
mulai bersebarangan dengan sang kiai, terutama kiblat politiknya. Tentu, pada
kasus-kasus tertentu, sangat mungkin perbedaan kiblat politik antara kiai dan
ummatnya akan sangat berpengaruh kepada otoritas moralnya, atau meminjam
istilah Calmers disebut sebagai “pembangkangan terselubung”. Kalau sudah begini
repot khan.
Apa itu berarti
bahwa kiai tidak boleh terjun ke kancah politik praktis? Tentu, di dalam alam
demokrasi, tidak ada seorang pun yang dapat melarang setiap warga Negara untuk terjun
ke politik (apalagi kiai), tetapi beban kiai turun gunung ke kancah politik
praktis resikonya lebih besar dibandingkan dengan warga masyarakat lainnya.
Sebab dipundak kiai terdapat ribuan dan bahkan jutaan ummat yang haus akan
“Mauidzotil Hasanah” dan tuntunan moral. Siapa yang bisa menjamin, dalam system
birokrasi seperti sekarang ini (terutama di Indonesia) kiai tidak tergoda
kepada dunia material, tidak ada bukan. Kita masih ingat betul, ketika almarhum
KH. Zainuddin MZ terjun ke dunia politik praktis sebagai medan dakwahnya, yang
terjadi adalah ummat mulai menjauhinya dan dua kali, ia mencalonkan diri
menjadi anggota DPR RI tidak pernah terpilih, bukan. Hal itu sebagai bukti
bahwa memang saat ini sedang terjadi pembangkangan terselubung terhadap kiai
politik, dan masih banyak kasus lannya.
Sebenarnya,
kahadiran Dewan Wali sebagai penyuara suara moral yang diharapkan di tengah
kondisi bangsa Indonesia yang dilanda berbagai macam musibah dan ditengah
kebijakan penguasa yang tidak populis, serta cendrung segala kebijakannya tidak
berpihak kepada rakyatnya tetapi kepada kapitalist. Dewan Wali sebagai pemegang
otoritas moral sangat sulit terwujud karena mereka terjebak pada kepentingan
politiknya dan tidak lagi bernuansa amanah demi kesejahteraan ummat dan rakyat
Indonesia. Pigur seperti Raden Said atau Sunan Kalijaga yang nota bene adalah
putra seorang Tumenggung di daerah
kerajaan Majapahit dan Raden Jimbun atau Raden Patah (pendiri kerajaan Demak
Bintara), sudah sangat sulit ditemukan di negeri ini. Sebab tingkat
ketergantungan dan independensi para kiai sudah banyak dipertanyakan ummatnya
sendiri, artinya mereka sudah terbelah dalam firqah-firqah dengan barikade yang
sangat kuat. Wallahul muwaffiq ila Darissalam. By Ahyar Fadli
0 komentar:
Posting Komentar